NovelToon NovelToon

Ternoda Sebelum Akad

Bab 01. Ternoda

"Kesucian seorang wanita terletak pada mahkotanya yang terjaga. Namun, ketika kehormatan yang selama ini dijaga mati-matian telah terenggut, apakah kesucian itu patut dipertanyakan?"

~AleeNa_Anonymous

...***...

"Alea!"

Aku terhenyak sejenak ketika sebuah suara mengagetkanku. Aku yang sebelumnya berjibaku dengan perlengkapan kebersihan segera meghentikan kegiatan.

Namaku Alea Hinata. Panggil saja Alea. Nanti malam, tepat pukul dua belas malam usiaku genap dua puluh tiga tahun. Saat ini, aku bekerja sif malam sebagai cleaning servis di sebuah hotel bintang lima.

Kualihkan pandangan ke arah suara yang sudah begitu familiar di telinga. Dia adalah Rindi, kawan baikku. Tugasnya di sini sebagai pelayan pengantar makanan di restoran yang ada di lantai dasar hotel ini. Dia datang dengan membawa baki yang sepertinya berisi makanan. Entahlah, karena aku sendiri tidak bisa melihat dengan jelas sebab di atas baki itu tertutup tudung saji berbahan steinles.

"Alea, bantu aku! Aku sudah tidak bisa menahannya." Dia berkata sembari memegang perutnya. Buru-buru aku meletakkan sapu dengan alat pel di tempatnya, lantas mencuci tangan menggunakan sabun yang terletak di wastafel.

"Hei, apa yang terjadi padamu?"

Dia menyerahkan baki itu kepadaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia berkata, "Tolong, antar ke kamar nomor 124 A!"

"Tapi, ..."

"Aku ingin ke toilet. Sudah tidak tahan lagi," ucapnya buru-buru sembari mengentakkan kaki seperti menahan rasa ingin buang air kecil sebelum pergi menuju closet yang kebetulan berada di dekat tempatku berdiri.

Senyum simpul di bibirku terbit begitu saja sambil menggeleng pelan melihat tingkah konyol Rindi. Seharusnya dia tidak perlu sampai mencariku ke area ini, bukan? Tetapi, namanya juga sakit perut, pasti segalanya terasa mendesak dengan isi kepala yang tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Segera kugantikan tugas Rindi untuk mengantar makanan tersebut ke kamar tamu sesuai permintaan. Kakiku melangkah hati-hati karena takut makanan yang tampak mahal itu terjatuh. Gajiku yang tidak seberapa pasti akan hangus sia-sia jika hal itu sampai terjadi.

Melewati koridor di tengah malam begini membuat hatiku gelisah. Tentunya aku bukanlah wanita pemberani. Nyaliku hanya sebiji sawi jika dipertunjukkan oleh hal-hal tak kasat mata. Maka dari itu, aku selalu berdoa agar Tuhan berbaik hati dengan tidak mempertemukanku dengan makhluk ghaib baik berwajah cantik, tampan, maupun menyeramkan.

Setelah menaiki elevator, kakiku terus melangkah untuk menuju kamar tamu pemesan makanan. Embusan napasku terdengar lirih setelah berada tepat di depan pintu bertuliskan angka 124 A sesuai dengan alamat kamar pemesan.

"Permisi, mau mengantar makanan." Aku berteriak sambil mengetuk pintu. Namun, pintu itu sepertinya tidak ditutup dengan benar. Ketukanku tidak terlalu keras, tetapi bisa membuat celah lebar dengan pintu terbuka sendiri.

Ragu. Aku memasukkan tubuh ke dalam tanpa ada yang menyuruh. Logikaku tidak berjalan dengan baik, hanya saja keinginan untuk segera menyelesaikan tugas lebih mendominasi sehingga alam bawah sadar menuntunku untuk masuk ke dalam.

Ruangan itu gelap. Tampaknya penghuni kamar sengaja tidak menyalakan lampu penerangan. Sedikit kugapai-gapai tempat meletakkan kartu smart lock door yang biasa menempel di dinding, tetapi tidak kutemukan. Aku hela napas dalam, berusaha tetap tenang sembari terus berjalan menuju meja yang berada di sudut ruangan. Berbekal bias cahaya rembulan yang sedikit menyinari ruangan, akhirnya aku bisa meletakkan makanan itu dengan selamat.

Ku embuskan napas lega. Baru saja selesai menata makanan itu di atas meja, terdengar suara pintu ditutup dari dalam. Segera kuedar pandangan ke belakang.

Namun, belum sempat aku berbalik, sepasang tangan tiba-tiba memeluk tubuhku.

Aku tertegun sejenak, ingin menoleh. Akan tetapi, tangan yang semula memeluk tiba-tiba melesap di balik seragam kerjaku. Sekuat tenaga aku berontak, menahan tangan kekar yang ingin menjamah bagian pribadiku. Sayangnya, dia terlalu kuat untuk dilawan.

Tangan itu menarikku ke belakang, membantingku ke atas ranjang. Siluetnya terlihat tinggi tegap. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang sedang memaksaku kali ini. Cahaya rembulan yang menerobos di balik tirai jendela kaca tidak cukup untuk menajamkan penglihatanku akan sosok itu.

Sekuat tenaga aku beringsut setelah tubuhku terpelanting di atas ranjang.

Siapa dia?

"Rena!"

Dia memanggilku Rena. Aku menggeleng kuat.

"Aku bukan Rena. Tuan, Anda salah orang."

Dia tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan karena pada detik itu juga sosok itu menerjangku. Aku berteriak, tetapi segera dibungkam dengan bibir laknat tersebut. Mulutku yang terbuka justru memberinya kesempatan untuk menyelusupkan lidahnya ke dalam.

Mataku membulat penuh ketika merasakan lidahnya menjelajahi rongga mulutku. Aku kebingungan, bukan merasakan kenikmatan seperti yang berada di drama novel-novel. Melainkan, rasa jijik dan ingin muntah. Aku tidak mengenalnya, juga tidak pernah melihat wajahnya. Mengapa dia bisa melakukan ini kepadaku? Mengambil ciuman pertama yang seharusnya aku berikan kepada orang yang kusayangi.

Aku terus menendang, memukul, atau menarik rambutnya. Semua usaha aku lakukan agar bisa terbebas dari manusia biadap di depanku. Sikap berontakku yang memukul-mukul tubuh itu sepertinya tak banyak berimbas. Dia semakin liar dengan melepas paksa pakaianku. Aku yakin kini seragam kerjaku sudah koyak dan robek di sana-sini, tetapi tanganku masih berusaha menahannya.

"Tu-an, lepaskan aku! To-long!"

Aku terus mengiba dengan deraian air mata. Pakaianku sudah menghilang entah ke mana. Pria itu terus saja memaksakan kehendaknya kepadaku. Rasa jijik ketika tangannya mulai merayap, menelusuri permukaan tubuhku membuatku hina. Aku ingin segera terlepas darinya, tetapi bagaimana?

Aku masih belum sepenuhnya menyerah. Kukerahkan semua tenagaku untuk terlepas dari tubuh kekar itu. Tubuh yang terasa panas dan keras. Mungkin, jika wanita lain akan terpesona dengan tubuh atletis seperti ini. Namun, hal itu tidak terjadi kepadaku. Aku jijik. Aku membencinya.

Dia terus saja menyebut nama Rena. Entah Rena siapa? Aku takut jika lelaki ini sudah beristri dan Rena adalah istrinya. Dia dalam kondisi tidak sadar. Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

"Tuan, kumohon!"

Dia tidak peduli. Hingga semuanya telah berakhir di sana. Bayangan hancurnya masa depanku sudah tergambar di depan mata. Tangisku tiada guna, semuanya sia-sia.

Malam itu, tepat di awal bulan Oktober yang mana usiaku bertambah satu tahun justru merupakan awal dari kehancuran hidupku. Jeritanku, penolakanku, dan segala perlawananku berakhir sudah.

Semuanya telah selesai. Aku kalah. Aku ternoda. Ya, Tuhan, apa salahku?

Lelaki itu ambruk menimpa tubuhku setelah merenggut kesucianku. Meninggalkan bekas luka mendalam yang tidak mungkin bisa terobati. Kehormatan sebagai seorang wanita yang selama ini susah payah kujaga telah hancur hanya dalam waktu semalam oleh lelaki yang sama sekali tidak aku kenal.

Peluh di badannya terasa basah melekat di kulitku. Aku ingin pergi menjauh, tetapi tidak kuat menyingkirkan tubuh serta lengan kekar itu. Ragaku rasanya terbelah, remuk redam, merasakan sakit luar biasa. Aku tak sanggup meluapkan emosi. Hanya isakan tangis dengan deraian air mata yang menemani malam kelamku hari ini. Malam yang seharusnya adalah malam spesial di hari ulang tahunku justru ternoda dengan luka dan kehancuran hidupku sendiri.

Aku Alea. Dan ini adalah kisahku.

...***...

Selamat Datang di karya keenamku.

Ini adalah kisah anak kedua Sean dan Salwa. Anak pertamanya masih bingung di letak di mana. Hihihi 😁

Btw, karya ini juga yg sudah 2 kali ikut lomba dan berakhir ditolak oleh Noveltoon. Entah nanti kontrak atau enggak, tergantung antusias pembaca. Mohon dukungannya ya agar bisa cepat turun kontrak dr platform.

Terima kasih sebelumnya.

Selamat membaca. Semoga terhibur.

Bab 02. Rencana Tuhan

Di ruang hampa yang kunamakan hati, aku berteriak. Begitu lelah jiwa dan raga setelah tubuh ini berontak meski pada akhirnya menyerah. Jika sudah begini, apakah seorang wanita akan tetap dipersalahkan?

Tubuh kekar itu mengeliat, membuatku terbebas barang sejenak. Aku berhenti bernapas, takut jika deru napasku membangunkan mata lelap di sampingku. Sedikit kudorong tubuh itu menjauh, memindahkan lengan yang sejak tadi mengurungku semalaman secara hati-hati.

Cahaya matahari mulai merangkak naik ke peraduan, mulai melakukan tugasnya untuk menyinari bumi. Sinarnya berpendar menyelusup di balik tirai-tirai yang tertutup sempurna, lalu menerobos masuk menerpa wajah sosok telanjang di sampingku.

Sejak semalam, aku kesulitan melihat wajah pria itu. Dan kali ini, aku bisa menatapnya dengan jelas siapa sosok yang telah tega menodaiku. Pria berkulit putih, berhidung mancung dengan rahang tegas membingkai wajah. Seharusnya aku terpana dengan wajah yang nyaris sempurna itu. Namun, tidak! Aku sangat membencinya. Kuamati lekat-lekat, mengingat setiap jengkal wajah itu dan kuharap tak akan lagi berjumpa dengannya.

Aku turun dari ranjang, memungut satu per satu pakaianku. Berharap lelaki yang kini masih terlelap di atas ranjang tak menyadari keberadaanku. Rasa takut mengimpitku. Waswas jika memang lelaki itu terbangun dan mulai memaksakan kehendaknya lagi kepadaku.

Rasa nyeri di bagian intiku tak bisa terelakkan. Perih dan sakit. Aku mendesis ringan sembari mengenakan pakaian dalam yang sebetulnya sudah tak layak digunakan. Pria itu telah menyobeknya tanpa belas kasihan. Hatiku kembali meringis melihat seragam kerjaku tak tertolong lagi. Mereka sudah koyak tak berbentuk dan tidak mungkin bisa aku kenakan.

Aku terduduk lemah, bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin keluar dari ruangan ini tanpa mengenakan pakaian. Hingga mataku tertuju pada kaus putih polos teronggok di lantai. Segera aku merangkak ke sana, mengambil kaus yang kuyakini milik pria itu.

Jujur, aku jijik dengan apa pun yang berhubungan dengan pria itu. Pria yang bahkan tidak kutahu siapa namanya. Namun, situasi mengharuskanku mengenyahkan rasa jijik itu dan segera mengenakan kaus tersebut secepat mungkin.

Tertatih-tatih aku berjalan, menghampiri tuas pintu yang rasanya terlalu jauh. Peluh membanjiri dahi tak kuhiraukan. Aku terus melangkah meski terseok-seok, berusaha keluar dari ruangan yang penuh kubangan dosa.

...***...

Bukan rumah tujuanku kali ini. Setelah terbebas dari cengkeraman pria itu aku menuju kontrakan Rindi. Bagaimanapun aku berakhir seperti ini karena menggantikan tugas Rindi. Barulah aku sadar jika sebagai pelayan hotel ternyata rentan mendapat pelecehan dari para tamu.

Kuhentikan motorku tepat di pagar besi seukuran dada orang dewasa, lalu menghubungi Rindi yang hari ini masih mendapat jatah sif dua. Meskipun Rindi bekerja di restoran, tetapi sistem kerjanya dilakukan dua sif, sama seperti petugas hotel. Dan secara kebetulan Rindi selalu satu sif denganku.

Tak menunggu waktu lama, Rindi membuka pintu dengan tampilan berantakan. Sepertinya aku mengganggu waktu istirahatnya. Namun, aku tidak peduli.

Sedikit mengernyitkan kening, Rindi berjalan dan mulai membuka pagar rumah kontrakannya lebar. Aku yang sudah terbiasa datang dan menginap di rumahnya segera memasukkan motor matikku ke dalam sebelum akhirnya Rindi menutup pagar kembali.

"Alea, kamu tidak pulang? Bukannya hari ini pernikahan kakakmu?" Rindi akhirnya bersuara. Kerutan di keningnya terjawab sudah bahwa dia penasaran akan kedatanganku yang tiba-tiba.

Kubuka helm di kepala, memperlihatkan rambutku yang acak-acakan dengan mata dan wajah sembab menyedihkan. Rindi terkejut melihat penampilanku. Dia mengguncang tubuhku dengan kedua tangannya.

"Alea, apa yang terjadi denganmu?"

Aku tak bisa menjawab apa-apa. Jiwaku terasa hancur bersamaan remuknya raga yang sejak semalam berusaha keras mempertahankan kesucian. Kupeluk Rindi erat dan dibalas pelukan yang sama. Aku menangis dalam, menenggelamkan wajahku di bahu Rindi yang tubuhnya lebih mungil dariku. Aku terisak, tak kuat menahan beban ini sendiri.

"Ayo, masuk ke dalam! Tidak enak dilihat tetangga."

Aku mengangguk. Rindi menuntunku masuk ke kontrakan kecil yang terdiri dari tiga ruangan: ruang tamu, satu kamar tidur dengan kamar mandi dalam, dan dapur. Dia menyuruhku duduk di sofa single, sementara dirinya masuk ke dapur.

Tak berselang lama, Rindi datang dengan membawa segelas minuman dan duduk bersebelahan denganku.

"Minumlah!"

Aku menerimanya. Setelah berteriak semalaman memaki dan memohon pada pria asing itu, tenggorokanku terasa kering. Tak sempat meneguk setetes air sampai saat Rindi menawarkan kepadaku. Dia masih diam, bersabar menungguku sedikit tenang. Kuembuskan napas kasar, mencoba menetralkan emosional di dada yang terasa sakit dan tercekik setelah meletakkan kembali gelas itu di atas meja.

"Aku ... diperkosa."

Dari gerakan tangan kutahu jika Rindi sedang menutup mulutnya yang terbuka. Dia ikut syok mendengar apa yang telah aku alami. Dia memelukku, erat. Begitu erat sambil menangis.

"Pesanan makanan itu? Katakan, apa karena pesanan makanan itu?" Dia mengguncang tubuhku.

Aku mengangguk lemah. Tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bisa saja saat itu Rindilah yang menjadi korban perbuatan asusila itu seandainya dia tak memintaku menggantikannya. Namun, sepertinya Tuhan masih berbelas kasih padanya dengan mendatangkan sakit perut di waktu yang tepat. Sedangkan aku? Apakah ini takdir yang memang harus kujalani?

Permintamaafan secara bertubi-tubi keluar dari bibir Rindi. Aku hanya bisa menangis menanggapinya. Disesali pun percuma, kehormatanku tidak akan kembali.

"Ayo, kita bisa melapor polisi! Aku akan mengantarmu." Rindi tiba-tiba berdiri setelah mengusap air matanya. Jelas terlihat raut penyesalan serta rasa bersalah di wajahnya.

Aku menggeleng. Aku takut. Rasa trauma masih menghampiriku. Aku butuh ketenangan. Lirih aku mengatakan, "Bolehkah aku di sini sampai siang nanti? Aku harus menghadiri pernikahan kakakku."

Rindi diam membisu. Aku tahu dia kecewa akan keputusanku yang memilih tidak berbuat apa-apa, tetapi kemudian dia mengangguk setuju.

"Mandilah! Bersihkan tubuhmu, lalu beristirahat!"

...***...

Setelah berpamitan pada Rindi, aku memutuskan segera pulang. Aku yakin Mama pasti akan memarahiku karena terlambat pulang. Meskipun terkadang Mama selalu mencari-cari kesalanku agar bisa menimpahkan amarahnya kepadaku. Aku sudah terbiasa akan hal tersebut.

Sudah ramai orang kulihat ketika memasuki gerbang rumah. Jangan membayangkan rumahku adalah sebuah kontrakan kecil atau hunian sederhana mengingat aku bekerja hanya sebagai petugas kebersihan. Rumahku merupakan hunian mewah di kompleks perumahan elite. Itu adalah rumah peninggalan almarhum Papa.

Kami semula hidup bahagia, saling mengasihi dan menyayangi. Namun, semenjak Papa tiada sikap Mama berubah. Entah apa yang terjadi sehingga membuat hidupku berbanding seratus delapan puluh derajat dengan kakakku, Renata. Kak Rena bekerja di perusahaan Papa sebagai manager, sementara Mama menjabat sebagai direktur utama. Namun, aku tidak diperkenankan masuk ke perusahaan keluarga mengingat kemampuanku yang dianggap pas-pasan.

"Alea!"

Aku menoleh segera setelah memasukkan motor ke garasi. Di sana Mama menatapku dengan murka. Sudah biasa.

"Kakakmu jadi pengantin, kamu malah kelayapan."

"Maaf," jawabku tanpa berani membantah. Ya, itu memang salahku.

"Cepat bersiap-siap! Sebentar lagi kakakmu ijab kabul. Semua keluarga sudah hadir, tinggal kamu saja yang masih berantakan."

Aku mengangguk patuh. Segera pergi untuk bersiap diri. Meski sebenarnya peranku tidak terlalu penting, tetapi mungkin Mama ingin agar kami semua berkumpul menyaksikan hari bahagia anak sulungnya.

Seragam keluarga yang berupa kebaya warna peach dengan bawahan batik sudah kukenakan. Riasan tipis sebagai penunjang penampilan tak lupa kusapukan ke wajahku yang pucat. Rasa lelah dan kurang tidur karena terlalu banyak menangis membuat wajahku seperti orang yang sedang sakit. Beruntung ada lipstik yang bisa menyamarkan semuanya.

Aku turun dari kamar menuju ruang tamu yang sudah banyak orang duduk bersila di sana. Hari ini acara ijab kabul di rumah dan dilanjutkan pesta pernikahan di gedung keluarga suami Kak Rena.

Aku ikut duduk di sana, mengitar di tepi dengan Kak Rena dan calon suaminya yang akan melakukan janji suci. Meski dari arah belakang, kulihat mereka sepertinya pasangan serasi. Kak Rena sangat cantik dengan kebayanya, sementara calon suaminya berpostur tinggi tegap dan gagah.

Sampai setelah pengucapan janji suci itu diikrarkan, semua orang berteriak satu kata dengan lantang.

"Sah."

"Alhamdulillah." Penghulu mengucap syukur dan diikuti yang lain. Wajah semua orang tersenyum haru penuh kebahagiaan. Kulirik Mama yang menitikkan air mata penuh syukur. Aku senang melihatnya.

Apakah beliau juga akan bahagia ketika nanti aku menikah?

Tapi, apakah aku bisa menikah mengingat aku sudah tidak suci lagi?

Mataku memejam lemah, menyadari kebahagiaan yang diimpikan semua wanita tampak mustahil terjadi kepadaku. Kepalaku menunduk, seolah aku tak lagi patut berada di acara sakral ini. Hingga seseorang menepuk bahuku dan mengatakan sesuatu, membuatku tersadar dari lamunan.

"Dia Alea, adik bungsuku." Suara Kak Rena mengalihkan perhatianku. Namun, mataku tak langsung tertuju kepadanya, melainkan pada sosok pria yang sudah duduk di depanku dengan pakaian pengantin.

Tubuhku gemetar, raut wajahku mendadak pasi.

Ya, Tuhan, apa yang sudah Engkau rencanakan?

Pria itu, pria yang menikah dengan Kak Rena tak lain adalah lelaki biadap yang telah merenggut kesucianku.

Bab 03. Mengapa Dia Datang?

Hidup tak bisa menafikan sebuah pertemuan. Semuanya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna. Akan tetapi, bolehkah aku memilih siapa yang akan dipertemukan denganku suatu saat nanti?

Mata itu terlalu indah untuk ditatap. Mata hazel bening dan sangat cocok dengan wajah tampan nan rupawan yang kini sedang mengulurkan tangan kepadaku.

Kening pria itu mengernyit heran melihat sikapku, tapi aku tak bisa menutup-nutupi betapa aku sangat membencinya. Bayangan perbuatan bejat yang semalam dilakukannya kepadaku terlintas begitu saja dan terus-menerus menari-nari di kepalaku. Tubuhku gemetar. Aku ingin segera pergi dari hadapan pria itu.

"Alea, dia Reynan. Kamu belum pernah bertemu dengannya, bukan?" Suara Kak Rena langsung menyadarkanku. Mataku kembali terpaku pada tangan kekar yang kini masih mengapung di udara, menunggu disambut olehku.

Perlahan kuulurkan tangan kepadanya demi menghormati Kak Rena. Kupaksakan diri ini untuk menerima kenyataan bahwa dia kini menjadi kakak iparku. Hanya beberapa detik tangan kami menempel dan segera kuturunkan kembali. Hatiku tidak kuat berhadapan seperti ini dengannya.

Aku pamit undur diri terlebih dahulu, mengabaikan suami Kak Rena dan yang lainnya untuk kembali ke kamar. Persetan banyak yang menatapku tidak suka, terutama Mama. Aku sadar, tatapan Mama ingin sekali marah atas sikapku yang dianggap tidak sopan. Aku tidak peduli.

Hancur. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi ini semua. Rasanya seperti mimpi. Kenyataan dijungkirbalikkan dalam sekejap mata.

Aku berdiri di depan cermin, menatap bayangan diriku yang berdiri tegap di sana. Perlahan kulepas satu per satu kancing kebayaku, menampilkan tubuh bagian depan yang berbalut pakaian dalam.

Di sana, tampak jelas tanda merah yang ditinggalkan lelaki itu membekas di badanku. Begitu banyak dan membuatku jijik terhadap tubuhku sendiri. Andai keluargaku tahu. Andai Kak Rena tahu. Betapa hancurnya hati Kak Rena jika menyadari suaminya adalah pria jahat?

Air mataku meleleh tiada henti. Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku tergugu sendiri, terbawa pusara kejamnya kehidupan tanpa ada tangan yang membantuku untuk bertahan. Hingga sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatianku, dan segera kupasang kembali kancing-kancing kebaya yang sempat kulepaskan.

"Alea! Apa yang kau lakukan?"

Itu suara Mama. Aku tahu Mama marah, tapi aku memilih abai. Aku tidak sanggup membuka pintu kamarku. Aku tak sanggup menatap Mama, apalagi Kak Rena. Biarlah mereka bahagia tanpa perlu melihat wajahku. Biarlah mereka tertawa tanpa aku turut serta di sana.

Kudengar suara Mama masih meneriakiku, memaki dan mengumpat. Aku masih diam, tak sanggup berkata sepatah kata. Suaraku seolah tertahan dan terimpit di tenggorokan. Mama, maafkan aku.

...***...

Dan di sini lah aku sekarang. Di kelilingi oleh orang-orang tak kukenal yang datang dengan menunjukkan wajah bahagia. Entah benar-benar bahagia, atau hanya kamuflase semata. Sebuah gedung mewah yang kuketahui milik keluarga Paderson, mertua Kak Rena, dijadikan acara pesta pernikahan.

Tidak semua kalayak sanggup menyewa aula gedung ini yang memang mampu menampung ribuan orang. Arsitekturnya modern, tetapi juga memiliki unsur-unsur seni yang menarik. Aku yakin, bukan sembarang orang yang mendesain interior area aula ini.

Di sana, sepasang pengantin itu tampak bahagia dari raut wajah mereka. Bukan hanya itu, Mama dan keluarga Kak Rey turut merasakan kegembiraan.

Kak Rey? Ya, aku harus memanggilnya Kakak, bukan? Dia kakak iparku, apa pun yang terjadi.

Aku tidak ikut bersama mereka, lebih memilih duduk di salah satu meja tamu sambil melihat para undangan memberi selamat kepada mempelai dan keluarga. Entahlah, aku merasa tidak nyaman berdekatan dengan Kak Rey. Lebih baik aku menjauhinya, sampai ketika tanpa sengaja pandangan kami saling temu.

Jus yang sedang kuminum tiba-tiba terasa getir di saat mata hazel itu menatapku tajam. Aku kesulitan menelan cairan di tenggorokan. Rasanya begitu tidak nyaman. Mengapa Kak Rey memandangku seperti itu?

...***...

Ketika malam menjelang, aku memutuskan pulang terlebih dahulu. Aku beralasan lelah, meskipun Mama memaksaku tetap di sana sebagai penghormatan, tetapi Kak Rena yang baik membelaku dan mengizinkanku untuk pulang ke rumah.

Kurebahkan tubuh letih ini dengan nyaman di kasur setelah selesai membersihkan diri dan berganti dengan pakaian tidur bermotif Hello Kitty. Rasa kantuk mulai menjejal di kepalaku, membuat mataku sayup-sayup terpejam dan berakhir tertidur setelah menguap berkali-kali.

Dan entah berapa lama aku memejamkan mata, sebuah ketukan pintu membuatku terbangun di tengah malam.

Siapa yang datang?

Kulirik jam dinding yang menempel di atas lemari pakaian. Sudah pukul satu dini hari. Tentu ada rasa tidak tenang menyadari hari sudah sangat larut. Bunyi ketukan tanpa diiringi suara orang yang mengetuk membuatku curiga. Jika Mama yang melakukan, tentu mengetuk sambil memanggil namaku. Tapi kali ini, suara ketukan itu terdengar lirih dan ... menggantung.

Sedikit malas dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka kuturunkan kakiku, menapak lantai berbahan marmer putih yang dingin terasa di telapak kaki. Perlahan akhirnya aku sampai di belakang pintu, memutar tuasnya dan ... terbuka.

Mata yang malas-malasan membuka seketika itu juga membeliak sempurna. Tubuhku tiba-tiba merasa debaran aneh. Rasa takut serta trauma menyerang begitu saja. Segera kututup kembali pintu yang sempat kubuka. Namun, terlambat.

Dia lebih sigap dengan menyelipkan tubuhnya masuk ke dalam kamarku.

"Kau! Apa yang kau lakukan di kamarku?"

Dia tak peduli. Tangannya dengan cepat mengambil alih kunci kamar, kemudian mengunci pintu tersebut.

Aku ingin berteriak, tetapi tangan kekar itu dengan cepat membungkam mulutku. Dia mendorongku hingga terentak ke dinding.

Mata itu menatapku tajam. Tubuhku yang gemetar semakin menggigil ketika bola mata hazel menghunjamkan sorotnya dingin.

Dia mengenakan baju tidur kimono dengan tali pinggang yang diikat menyamping. Harum tubuhnya menguar menggelitik hidungku. Aku yakin jika lelaki di depanku baru selesai membersihkan diri setelah hari melelahkan akan perhelatan pesta pernikahannya yang mewah. Aku baru sadar, seharusnya malam ini adalah malam pengantinnya dengan Kak Rena. Tapi, mengapa dia sekarang justru diam-diam masuk ke kamarku?

...****************...

Terima kasih sudah mengikuti.

Kisah ini up setiap hari dan mulai rutin per tanggal 01 September 2022. Plot dan outline sudah disiapkan hingga tamat, diharapkan cerita ini akan tamat sesuai dengan rencana dan tidak melebar ke mana-mana. Semoga betah membaca hingga akhir. Jangan lupa tinggalkan jejak serta dukungannya agar lebih semangat update.

Terima Kasih.

Aleena_Anonymous

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!