Hujan mulai mengawali rintiknya di atas tanah yang gersang di awal bulan November. Sedari tadi langit terlihat mendung. Baru menjelang kumandang Azan Ashar, rintik-rintik hujan nan mengundang mulai mengguyur bumi.
Semuanya terlihat begitu indah. Langit seperti telah menurunkan separuh pesona keindahannya di muka bumi lewat butiran-butiran hujan. Tanah yang gersang dalam sekejap dirubahnya menjadi hamparan hijau nan subur.
Alfian memejamkan matanya. Ia seperti berusaha meresapi hembusan angin yang bertiup lembut di wajahnya. Dia sedang jatuh cinta seperti anak yang baru beranjak dewasa. Dia sudah terlalu lama memendam bara cinta dan ia masih saja tidak mengerti kapan ia harus mengabarkannya pada alam. Rasa yang begitu indah, yang tak mampu ia lukiskan dengan kata-kata.
Keadaannya saat inilah yang membuatnya harus bersedih berlarut-larut. Wajahnya yang buruk rupa dengan kaki yang hanya ditopang besi penyangga, membuatnya seperti makhluk paling terasing di dunia ini. Kepercayaan dirinya telah hilang. Dia merasa tak memiliki hak untuk dicintai. Dia hanya seorang pecinta. Pecinta yang hanya bisa mengagumi dan berdecak kagum. Dan ketika kata sudah tidak bisa mewakili perasaannya, hanya air matanya yang mengalir sebagai jawabannya.
Jangankan seorang gadis, ia merasa dunia dan isinya, hatta ikan di samudra terdalam pun akan mengejek ketidakpantasannya. Akan mengejek perasaan yang terlalu indah jika harus bersemayam dalam hatinya.
Dan ia pun tak pernah mengerti kenapa Tuhan harus tetap menghadirkannya di dunia dalam keadaan tidak sempurna layaknya hamba-hamba-Nya yang lain. Hamba-hamba yang terlihat sangat pantas menyandang predikat sebagai manusia sempurna, yang pantas mencintai dan dicintai. Dia masih saja mempertanyakan, kenapa ia harus mengalami musibah yang menyebabkan cacat pada wajah dan tubuhnya itu. Kenapa ia yang dulunya tampan rupawan, harus berubah seburuk itu. Dan jika memang Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, adakah pasangan hidup yang telah tercipta untuknya, disaat semuanya selalu diukur dengan materi dan ketampanan? Adakah seorang wanita yang berkeadaan buruk seperti dirinya di luar sana yang dipersiapkan sebagai pasangan hidupnya? Dan jika memang ia tak punya jodoh seumur hidupnya, lantas buat apa dia harus tetap diberi hidup oleh-Nya?
Apa yang dirasakannya kini amat menyakitkan. Perasaan yang telah lama terpendam dan tak mampu ia ungkapkan. Kalaupun akan diungkap, kepada siapa? Mereka hanya akan iba menyaksikan nasibnya.
Alfian mendongakkan kepalanya. Binar-binar air mata kesedihan meleleh di pipi kusamnya. Sesak dadanya dengan berbagai rasa tidak enak, membuatnya ingin terpejam dan tak membuka mata lagi.
"Oh Tuhan, Sang Pencipta cinta dan kedamaian dalam hati. Kenapa hati ini harus merasakan beban rasa yang begitu hebat, jika tidak Kau perkenankan untuk bersatu dengan orang yang dicintainya? Kenapa hati ini harus Kau perlihatkan makhluk-Mu yang menawan, yang menggugah rasa, jika tidak Kau ijinkan untuk didekap dalam pelukan malam? Bersama asa dan anganku yang terdalam dan tersiksa, kucoba menyelami sedalam mungkin hikmah dan arti di balik maha hebatnya rasa yang kini bersemayam dalam hati. Apakah hanya sebagai tempat persinggahan untuk penambah luka hati? Ataukah hanya untuk menyaksikan tarian dari kerudung indahnya, dan tak mampu mengungkapkan walau hanya sekedar ucapan, Aku mencintaimu?
Tuhan, beban ini begitu berat untuk aku tanggung dalam kesendirianku. Ingin rasanya aku terbang bersama sayap Jibril dan bersujud langsung di bawah Arsy-Mu, memohon kiranya Engkau berkenan menjadikan apa yang terbetik dan apa yang menjadi keinginan hatiku menjadi kenyataan. Bukan hanya sebuah imaji atau mimpi indah, pun bukan juga hanya dalam goresan bait-bait sajakku."
Alfian menundukkan kepalanya lemah. Alunan musik kitaro yang mengalun lembut dari sebuah rumah di ujung jalan, membuatnya semakin tak kuasa menahan tubuhnya untuk tetap tegak berdiri menantang angin.
Sudah satu jam lebih, dan ia masih setia menunggu gadis berkerudung putih menebar pesonanya menjelang senja. Hingga ketika ia merasa tak punya harapan, Ia memutuskan untuk turun dari rumah tingkat.
Suara beberapa orang wanita terdengar dari arah bawah. Itu suara gadis-gadis yang ikut pengajian di pesantren, jaraknya sekitar satu kilo dari rumah tingkat tempatnya bersembunyi.
Alfian berbalik dan segera mendekat ke arah jendela. Sebisa mungkin ia bersembunyi agar tak seorangpun bisa melihatnya dari bawah sana, terutama gadis berkerudung putih.
Gadis itu telah berpisah dengan teman-temannya. Dan kini ia terlihat sendiri menyusuri jalan setapak berlawanan dengan arah yang dilalui oleh teman-temannya. Langkahnya pelan dan tampak anggun. Alfian terdengar berdecak kagum. Dialah jelmaan Dewi yang diutus Tuhan sebagai inspirasi bagi para pujangga. Inspirasi buatnya untuk tetap bertahan dalam segala kekurangannya. Alfian tak mau menyia-nyiakan waktu untuk melihat bagaimana sempurnanya gadis itu dengan langkahnya yang anggun. Ia merengsek lebih dekat ke jendela, dan dengan leluasa bisa melihat dengan sempurna tubuh gadis berkerudung putih.
Emi melangkah dengan tenang walaupun ia merasa ada yang mengawasinya dari bangunan tua di samping jalan. Tengkuknya yang berasa lain dan bulu kuduknya yang mulai berdiri. Ia berusaha tetap tenang dan sesekali membalikkan setengah badannya, mencoba melirik ke arah tingkat dua bangunan tua.
* * *
Hari sudah mulai gelap. Azan maghrib terdengar mengalun syahdu dari arah masjid desa. Alfian berpaling. Beberapa saat tadi, jantungnya berdegup kencang ketika Gadis berkerudung putih menoleh ke arah bangunan tempatnya bersembunyi. Sebenarnya ia ingin gadis itu tahu ia di sana. ia ingin gadis itu tahu, ia memang sengaja menunggunya setiap hari hanya untuk melihatnya. Tapi ketika ia membayangkan betapa akan terkejutnya gadis itu ketika melihat wajahnya yang buruk, keberaniannya untuk menampakkan diri hilang begitu saja. Ia tak ingin gadis itu takut dan membuatnya trauma seumur hidupnya.
Alfian menunduk lesu. Pikirannya teraduk. Ia menoleh. Suasana di luar sana nampak lengang. Batuknya yang terpaksa ditahannya beberapa saat tadi akhirnya pecah dan menggema di dalam ruangan. Dengan perlahan Alfian membalikkan tubuhnya lemah. Perlahan, ia melangkah menuruni anak tangga dalam kegelapan. Suara kruk penyangga kaki kirinya terdengar menghentak membuyarkan hening sesudah maghrib.
** *
Di tempat lain. Di sebuah rumah mungil bercat hijau. Setelah melaksanakan shalat Maghrib berjamaah dengan ayah dan ibunya, serta membaca beberapa lembar ayat suci Alqur'an, Emi langsung menuju ke ruang keluarga tempat ayah dan ibunya sedang menonton TV.
Melihat Emi muncul dari balik pintu kamarnya, pak Marwan menepuk-nepuk alas sofa tempatnya duduk, memberi isyarat agar Emi duduk di dekatnya. Emi tersenyum manja dan segera mendekat dan duduk di samping pak Marwan.
"Waduh, anak ayah semakin cantik saja kalau udah selesai shalat," kata pak Marwan sambil merangkul tubuh Emi. Emi hanya tersenyum manja dan membalas erat rangkulan ayahnya.
"Cantik, tapi kapan nikahnya. udah berumur," sahut bu Marwan sambil melipat beberapa pakaian yang sudah distrikanya. Emi mendesah pendek dan bangkit mendekat ke arah ibunya. Ia mencolek pipi ibunya lalu mengambil beberapa pakaian yang belum di strika, yang menumpuk di samping bu Marwan, kemudian langsung menyetrikanya. Bu Marwan melirik ke arah suaminya sambil tersenyum.
" Kalau ditanya kapan nikah pasti begini. Gak mau jawab," kata bu Marwan.
Emi tak menoleh. Ia tetap menunduk menyembunyikan sedikit senyum di bibirnya.
"Aku ini anak satu-satunya ibu. Kalau nanti Emi nikah dan ikut suami Emi, siapa lagi yang akan bantu ibu beres-beres rumah," kata Emi. Tangannya terlihat begitu cekatan melipat pakaian yang telah selesai distrikanya.
Bu Marwan mendesah pendek. Gantian ia yang mencubit pipi Emi. Emi mencoba menghindar dengan menaikkan salah satu pundaknya.
"Ya kamu lah," kata bu Marwan. Ia bangkit dan duduk di dekat pak Marwan. "Makanya cari suami yang baik. Kalau suami kamu baik,pasti akan menganggap ibu sebagai ibunya juga. Masak dia gak ngasih kamu pulang untuk sekedar bantu ibu beres-beres rumah," sambung bu Marwan. Mendengar jawaban ibunya, Emi hanya bisa tersenyum.
"Ayah dan ibu tidak akan mencampuri urusanmu jika itu terkait pilihan hidupmu. Ayah yakin kamu adalah gadis shalehah dan punya dasar agama yang kuat. Dasar agama yang akan menuntunmu pada pilihan yang di ridhai Allah. Tak perlu tampan dan kaya. Carilah yang mengerti bagaimana membimbingmu ke jalan Allah," kata pak Marwan menimpali bijak.
"Insya Allah Yah, Bu. Emi minta doa biar jodoh Emi sesuai harapan Ibu dan Ayah. Tapi sabar dulu ya, kan Emi perlu istikharah. Tak ada yang lebih baik selain apa yang dipilihkan Allah buat hamba-Nya," jawab Emi. Pak Marwan mengacungkan jempolnya ke arah Emi, walaupun Emi tak melihatnya.
"Nah ini baru anak Ayah. Sekarang, ayo siap-siap. Sudah Azan isya, kita shalat jamaah dulu," kata pak Marwan. Emi buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Setelah itu, ia bangkit dan segera menyusul pak Marwan dan bu Marwan menuju Mushalla rumah.
* * *
Malam perlahan beranjak larut. suara melata malam terdengar ramai mendendangkan nyanyian malam. Sesekali terhenti ketika sesekali angin menghempas.
Alfian mengusap air bekas wudhu yang membasahi wajahnya. Ia mendekap tubuhnya erat, sebab angin yang berhembus begitu dingin hingga membuatnya menggigil. Sebelum melangkah ke kamarnya, ia sempatkan melihat kamar ibunya. Perempuan paruh baya itu sepertinya sudah terlelap tidur, setelah beberapa saat tadi ia mengeluh pinggangnya kumat.
Ada banyak yang harus dikerjakan Alfian malam ini. Novel yang akan ia kirim ke salah satu Aplikasi baca Novel, harus segera ia selesaikan. Ia bersyukur novel yang ia kirim telah diterima dan masuk kontrak. Uang yang ia terima cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari bersama ibunya.
Biasanya Alfian mulai menulis setelah selesai melaksanakan rutinitasnya setiap malam. Shalat, membaca Al-qur'an dan membaca beberapa buku lalu tidur sejenak dan menunggu dibangunkan Alarm tepat pukul satu malam. Setelah itu ia akan mulai menulis dan membatasinya hingga jam 3. Setelah melaksanakan shalat tahajjud dua rakaat, ia akan kembali menulis hingga azan subuh berkumandang.
Rutinitas malam yang sesekali enggan ia lakukan jika hatinya tak berkehendak. Ketika ia mulai mengeluh tentang keadaan dan kekurangannya. Tapi kesadarannya selalu mengingatkannya, bahwa mengeluh tak akan mendatangkan apa-apa selain sakit hati dan tersiksanya jiwa serta badan.
Benarkah ada orang yang sedang memperhatikannya dari atas lantai bangunan tua itu? Setiap hari, baik ketika pulang dan pergi mengaji di pesantren. Akhir-akhir ini, ia merasa ada orang yang tengah mengawasinya. Terkadang ia merasa takut, tapi ia selalu menenangkan diri. Jarak antara bangunan tua dan pesantren tempatnya mengaji tidak terlalu jauh. Jika terjadi sesuatu kepadanya, atau ada orang yang ingin berbuat jahat, ia yaqin suara teriakannya masih bisa terdengar hingga pondok pesantren. Emi merinding ketika menatap agak lama ke arah tingkat bangunan itu. Angker dan menyeramkan. Bangunan tua itu memang pantas ditakuti. Bangunan bekas kantor sebuah pabrik, yang sudah terbengkalai bertahun-tahun itu terlihat angker berdiri di tepi jalan. Lumut-lumut yang menghitam di dinding bangunan, semakin menambah kesan seram. Di sekeliling bangunan sudah penuh ditumbuhi tanaman merambat, ilalang dan semak-semak. Jika bukan pemuda-pemuda nakal, yang mungkin sedang minum minuman keras, atau mungkin pencuri yang sedang bersembunyi menunggu malam, mustahil sekali ada orang waras yang mau bersembunyi di tempat itu kecuali dengan maksud tertentu. Atau mungkin saja sosok yang ia lihat sekilas kemarin adalah gelandangan yang tak punya tempat tinggal.
Ah,"
Emi mendesah. Tak ada sesuatu yang perlu ia takutkan. Selama ia yakin Allah selalu bersamanya, tak akan ada sesuatu yang bisa mencelakainya. Emi meluruskan kakinya di atas ranjang. Beberapa buku yang telah selesai dibacanya, ia kumpulkan kembali di atas meja samping tempat tidurnya. Setelah menguap beberapa kali, ia memejamkan matanya. Sejurus kemudian, ia sudah terlelap dalam tidurnya.
* * *
Malam semakin beranjak larut. Angin yang sesekali menghempas, meninabobokan penghuni malam dalam tidur lelapnya. Suara desir angin di dedaunan pohon terdengar sesekali membuyarkan hening malam. Alam membisu dalam zikir panjangnya.
* * *
Pagi merekah. Cahaya putihnya yang cerah, berkilauan di bulir-bulir embun di ujung dedaunan. Suara-suara burung gereja di ranting-ranting pepohonan riuh beterbangan kesana kemari.
Alfian sudah berada di bangunan tua pagi-pagi sekali. Jawaban biasa yang selalu ia berikan ketika ibunya menanyakan kemana ia akan pergi, kali ini harus digantinya. Ia tak mau ibunya curiga dan membuntutinya. Tapi aneh, hari ini ibunya tak mengatakan apa-apa selain berpesan agar berhati-hati di jalan. Dan ia tak mau berlama-lama di rumah. Dia harus segera pergi. Sebentar lagi, Gadis berkerudung putih akan lewat dan ia tidak mau melewatkan waktunya sedetikpun tanpa melihat pesona gadis itu.
* * *
Alfian mendesah resah ketika telah sampai di atas bangunan. Kini ia menyandarkan tubuhnya sembari menatap ke langit-langit ruangan yang penuh dengan sarang laba-laba yang telah menghitam. Sesekali kepakan sayap kelelawar yang berpindah tempat menggantung, mengagetkannya.
Alfian tersenyum. Seperti sedang mencemooh dirinya sendiri.
Ah, melakukan apa yang dilakukannya saat ini setiap pagi dan sore, memang terasa sia-sia. Bersembunyi terus di balik jendela tanpa tahu kapan akan berakhir, membuat Alfian terkadang merenung. Mulai berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang sama sekali tak ada faedahnya. Sudah berapa lembar puisi yang ia tulis dan lemparkan ke luar jendela bangunan tua, berharap ada satu lembar saja yang dipungut oleh gadis berkerudung putih itu. Tapi hasilnya nihil. Jikapun gadis itu pernah menemukannya, gadis itu pasti sudah mencarinya. Jika membandingkan dirinya dengan Qais si Majnun, tentu itu berbeda sangat jauh. Qais dan Layla adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Qais berubah gila karna gap yang diciptakan manusia. Dan ia sendiri? Ia hanya pecinta dalam ruang gelap. Tak terlihat namun hanya bisa mengagumi. Dan itu lebih menyakitkan dari pada apa yang dirasakan oleh Qais.
Alfian membungkukkan tubuhnya. Ia tersenyum. Gadis itu sudah telihat di ujung bangunan. Pelan Alfian mengangkat kepalanya. Sebisa mungkin ia sembunyikan tubuhnya di balik sobekan karung yang menutupi setengah jendela. Dia tidak mau kejadian kemarin sore, saat gadis itu hampir memergokinya terjadi lagi.
Nafas Alfian terlihat naik turun. Degup jantungnya semakin cepat. Tatapan matanya seiring dengan mulutnya yang ternganga terperangah. Dia terlihat benar-benar takjub melihat kecantikan gadis berkerudung putih, yang perlahan semakin dekat dari pandangannya. Wajahnya yang lembut seperti memancarkan kelembutan dari dalam hatinya. Kesalehan diri yang memancar ke seluruh wadak zahirnya.
Alfian menahan nafasnya. Perlahan ia seret kepalanya ke bawah. Gadis itu menoleh lagi ke arah jendela tempatnya bersembunyi. Seperti yang terjadi di hari kemarin. "Mungkinkah dia melihatku?" Gumam Alfian resah. Sejenak Alfian tak berani mengangkat kepalanya. Ia mematung tanpa berani menggerakkan tubuhnya sedikitpun. Ia takut gadis itu masih menunggu dan menatap ke arah jendela.
Alfian merangkak pelan di lantai. Lembaran kertas tempat ia menulis puisi di robeknya. Ia lalu mengambil satu batu kecil yang menumpuk di depannya. Tumpukan batu, yang memang sengaja ia kumpulkan untuk mengantar puisi yang ditulisnya saban malam. Puisi-puisi yang telah ditulisnya itulah yang selalu ia lemparkan ke arah jalan, berharap nanti ada salah satu dari lembaran puisi itu yang ditemukan gadis berkerudung putih itu.
Dan ia merasa, inilah waktunya. Dia tak akan menunggu gadis itu berjalan jauh. Dia yakin gadis itu masih di sana dan pada akhirnya akan menemukan puisinya. Dia hanya ingin gadis itu tahu, ada seseorang yang mengaguminya. Seorang buruk rupa yang ingin meraih bulan namun tangannya tak sampai.
Dengan mata yang terpejam, Alfian melemparkannya keluar. Jantung Alfian berdegup kencang. Untuk beberapa lama suasana terasa begitu hening. Alfian mendongakkan kepalanya. Dari sinar matanya, tampak sekali binar-binar penuh dengan harapan, Gadis itu sudah menemukan lembaran yang dilemparnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!