"Kamu yakin mau pindah? Kalau yakin, nanti biar aku bantu cari kontrakan."
Aku menatap wajah kak Wicak di layar ponselku. Saat ini, aku tengah bervideo call dengannya.
Kak Wicak kuliah di kota yang hanya berjarak 4 jam dari kampung. Lalu sekarang, aku meneleponnya karena ingin pindah dari kampung ke kota.
"Syahdu?"
Aku menarik napas. "Yakin, kak. Aku mau pindah sama nenek. Udah gak kuat." Jawabku dengan menahan sesak dan mata berkaca-kaca.
"Ya udah, nanti aku carikan kontrakannya. Kalau udah ketemu, aku kabarin."
Aku mengangguk lalu menutup ponselku. Disebelah, Nenek memandangku dengan wajah yang membuatku terus menunduk.
"Syahdu..." Nenek mengelus lembut pundakku. "Nenek senang kalau kamu senang." Ucapnya dengan suara parau.
Aku mengangguk saja, karena aku tahu, nenekpun berat meninggalkan kampungnya. Hanya karena aku yang sering menangis tak sanggup dengan sindiran orang-orang dan nenek tidak sampai hati melihatku seperti itu. Dia mengajakku pindah ke kota, supaya aku tenang dan bisa melanjutkan kuliah.
Nenek sangat ingin melihatku memakai toga, menjadi sarjana. Dia menabung dan bekerja keras demi melihatku memakai jubah wisuda dan akupun mau kuliah demi keinginan nenek saja. Padahal, aku lebih suka bekerja dan menghasilkan uang ketimbang sekolah lagi dan menjadi beban untuk nenek.
Aku sudah berkali-kali membujuk nenek untuk istirahat dan biarkan aku saja yang mencari uang, tetapi nenek bersikeras supaya aku terus belajar dan mengejar cita-cita. Kata nenek, aku harus sekolah tinggi-tinggi supaya tidak ada yang meremehkan dan merendahkanku lagi.
Beberapa hari lalu, saat aku berjalan menuju warung, aku mendengar percakapan tiga janda yang terkenal sebagai 'lambe turah' di kampungku.
"Syahdu itu anak baik-baik, katanya."
"Mana mungkin baik, Ibunya aja wanita penghibur."
"Anaknya kan, bisa aja beda."
"Halah mana mungkin. Kemarin kata anakku, Syahdu nyanyi di pentas saat perpisahan sekolah. Dia sengaja menarik perhatian laki-laki. Begitu."
"Namanya juga keturunan, gak akan jauh-jauhlah."
"Ho'oh, buah jauh tak jatuh dari pohonnya."
"Ngomong apa sih, kamu."
Mereka bertiga cekikan tanpa memikirkan perasaanku. Padahal aku tahu mereka melihatku tadi dan sengaja mengeraskan suara supaya aku dengar.
Lagi pula kalau dipikir-pikir, untuk apa sih, mereka menggosipin aku yang sebaya dengan anak-anak mereka. Aku ini anak-anak lho, dibandingkan usia mereka yang sudah hampir setengah abad. Tapi ya, namanya tukang gosip, siapa aja bisa jadi korbannya.
Sebenarnya aku sudah sangat sering mendengarkan hal semacam itu. Gosip-gosip tentang ibuku, aku tahu bahkan semua yang nenek sembunyikan dariku. Tetapi tetap saja aku sedih setiap mendengar ocehan mereka.
Waktu itu, saat usiaku 14 tahun, aku tak sengaja bertengkar dengan salah satu teman sekelasku. Orang tuanya marah-marah karena aku mencakar wajah anaknya. Padahal aku melakukan itu karena tidak terima dia mengatai Ibuku sebagai pelacur. Lalu Ibunya malah semakin menekanku.
"Memang benar ibumu itu pelacur! Kau tahu berapa laki-laki yang digodanya di kampung ini? Hampir semua laki-laki direbut oleh Ibumu itu! Kau harusnya malu, lahir diluar nikah dan gak tahu siapa bapakmu yang sebenarnya. Untunglah dia cepat mati. Kalau tidak, bisa jadi janda semua perempuan di kampung ini!"
Pekiknya padaku waktu itu di depan teman-temanku yang lain. Aku menangis, hatiku terasa teriris. Aku langsung lari pulang, ingin bertanya langsung pada nenek, pasti yang kudengar adalah fitnah.
Lalu saat aku bertanya, apa benar mendiang ibu seperti itu? Nenek hanya diam. Diamnya nenek membuatku hancur dan akupun tidak bertanya lagi tentang ibu mulai saat itu.
"Haah.." Aku merebahkan tubuhku di atas kursi setelah merasa letih berberes-beres untuk kepindahan kami.
Aku menatap sekeliling, rumah tempatku tumbuh dan besar dengan tangan nenek, akhirnya dijual dan uangnya untuk biaya kuliah dan hidup di kota nanti.
Drrttt
Aku mengambil ponselku yang bergetar dan tersenyum saat membaca nama di layar.
"Halo?"
"Syahdu, aku udah nemuin rumah kontrak yang murah dan dekat kampus yang akan kamu daftarin. Harganya juga murah."
Aku tersenyum, suara kak Wicak terdengar senang. Mungkin karena kami tidak akan menjalani LDR lagi. Selama ini, cuma kak Wicak yang tetap mendukungku walau orang tuanya menentang karena citra keluargaku. Tetapi, dia tetap mau bersamaku dari SMP sampai sekarang dia sudah di semester 7.
"Kamu jam berapa kesini? Supaya aku tau kapan jemput kamu."
"Hm.. mungkin satu jam lagi kami berangkat, kak."
"Oke, kabarin aku kalau udah mau sampe, ya. Aku kuliah dulu."
"Oke. Love you." Ucapku dengan senyuman.
"Love you too." Jawabnya, lalu menutup telepon.
Lelaki ini, walau sudah lama sekali bersamaku. Walau agak dingin, aku tetap tahu kalau dia sangat mencintaiku. Dan aku merasa sangat beruntung untuk itu.
"Syahdu.."
Aku menoleh pada nenek yang sudah berkeringatan.
"Nek, biar Syahdu aja."
"Gak papa, nenek juga gak ada kerjaan."
Aku menatap wajah nenek yang kulitnya sudah mengendur, rasanya sangat beruntung dia yang membesarkanku. Aku dengar, dulu aku sempat hampir diadopsi orang karena Ibu yang tidak mau merawatku, menganggapku sial karena setelah melahirkanku, pelanggannya banyak pergi sebab tubuhnya yang membengkak.
Nenek yang memaksanya untuk melahirkan aku. Walau waktu mendengar itu dari orang lain, aku marah pada nenek. Kenapa nenek menggagalkan Ibu yang menggugurkan kandungannya, padahal lebih baik aku tidak hidup daripada menderita seperti sekarang.
Lalu nenek menangis, kali pertama aku melihat nenek menangis. Katanya, dia sedih dengan ucapanku. Padahal nenek kuat karena kehadiranku, nenek berharap aku terus menjadi temannya saat anaknya tidak peduli padanya.
"Kenapa melamun?" Tanya nenek lalu duduk karena keletihan.
Aku langsung memeluk nenek sampai dia terheran dengan sikapku.
"Nek, terima kasih udah membesarkanku, udah mendukungku, sudah mengajariku banyak hal."
Nenek tak menjawab, dia tampak bingung dengan sikapku yang tiba-tiba.
"Maaf karena masih menyusahkan nenek."
"Hei, kamu bicara apa!" Nenek melepaskan pelukan dan menepuk bahuku.
"Sudah cepat, bereskan. Siang nanti yang beli mau nempatin rumah ini." Ucapnya lalu berdiri.
Aku tahu mata nenek berkaca-kaca karena ucapanku. Ah, nenek. Untunglah dia masih hidup sampai sekarang, ucapku lalu beranjak untuk membereskan barang-barang lagi.
...🍁...
"Kak, dimana?" Aku tengah berdiri diantara banyak orang, mencari-cari sosok yang wajahnya sudah menggantung di pelupuk mataku sejak tadi. Rasanya tidak sabar ingin bertemu.
"Disini."
Aku terlonjak saat suara yang kukenal tiba-tiba masuk ke telinga kananku.
"Kak! Bikin kaget aja!" Omelku pada pacarku yang terlihat sangat tampan dengan kemeja yang dimasukkan ke celana panjangnya, tampak sangat rapi. Dia baru saja pulang kuliah.
Dia menyalami nenek dan membantu membawakan barang-barangku.
"Ayo, aku udah pesan taksi."
Kami pun bergerak ke kontrakan yang sudah dipilih oleh kak Wicak.
Lelaki itu membantu kami membereskan barang, dia sampai menggulung lengan kemejanya dan berkeringat disekitar dahinya. Dimataku, dia terlihat sangat tampan.
"Kak, istirahat dulu."
Aku membeli gorengan dan es teh, meletakkannya di atas meja.
"Nenek udah istirahat di kamar, kakak juga istrihat."
Dia mengangguk dan duduk disebelahku, menghabiskan es teh setengah gelas langsung. Nampaknya dia kehausan karena mengangkat dan menyusun barang.
Aku menatapnya penuh cinta. Bagiku, tidak ada lelaki lain yang sangat memikat selain Aditya Wicaksana, kekasih hatiku.
"Kenapa liati aku begitu?"
Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala.
"Kangen?"
Aku mengangguk cepat.
"Aku juga. Nanti ya, aku berkeringat dan bau. Eh?"
Tanpa peduli aku memeluk lengannya dan menyenderkan kepalaku di bahunya.
"Kau ini.." ucapnya sambil mengusap rambutku.
Sudah dua bulan tidak bertemu. Biasanya Kak Wicak akan pulang seminggu sekali dan menyempatkan untuk bertemu denganku, tetapi belakangan katanya sibuk dan tidak sempat pulang kampung.
"Kak, besok temani aku daftar di Universitas itu, ya?"
"Iya, besok aku tidak ada mata kuliah. Pagi-pagi aku kemari." Jawabnya sambil mengunyah gorengan, membiarkan tanganku bergelayut di lengannya.
"Oh ya, kak. Rumah ini sudah kakak bayar selama 3 bulan, ya? Berapa uangnya? Biar kuganti."
"Ngga usah, pakai uangnya untuk mendaftar besok." Jawabnya santai sambil menyesap minumnya lagi.
"Mana bisa gitu, kak. Itu kan, uang tabungan kakak. Aku ada uang, kok." Protesku padanya. Aku tahu dia memang orang yang lumayan dan bekerja paruh waktu juga, tapi bukan berarti aku bisa seenaknya, kan?
"Udah, gak papa. Aku ini pacarmu. Mana bisa aku liat kamu kesusahan."
"Tapi uangnya ada kok, kak. Kan, nenek baru jual rumah." Sahutku lagi.
"Pakai aja untuk biaya kuliahmu. Rajin belajar supaya cepat selesai kuliahnya dan bisa tunjukin toganya sama nenek."
Aku mulai mewek. Kak Wicak, bagaimana aku tidak semakin cinta padamu.
"Lho, kok nangis?" Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku yang tengah merasa sangat beruntung punya pacar sepertinya.
"Jangan nangis, dong. Anak ini cengengnya masih aja sampai sekarang. Haha." Tawanya sambil menghapus air mataku.
"Dengar ya, Syahduku. Aku disini akan menjagamu. Kalau ada apa-apa, cepat kabarin aku. Kalau butuh sesuatu, bilang aku, oke?"
Aku mengangguk-angguk karena memang di rumah ini tidak ada laki-laki dan aku pasti hanya mengandalkannya saja.
"Ya udah, sana mandi. Bau kamu."
Aku cemberut mendengar ucapannya, tapi aku cukup tahu diri karena membereskan barang-barang ini membuatku banyak mengeluarkan keringat.
"Iyaa, aku mau mandi." Ucapku sambil beranjak dari kursi dan mengambil handuk di kamarku.
Sebelum menuju kamar mandi, aku melihatnya dulu sebentar. Dia mengeluarkan ponselnya dan mulai mengusap-usap layarnya. Aku memandangi wajahnya yang tampan itu. Lagi-lagi aku merasa sangat beruntung, lelaki seperti Kak Wicak yang tampan, pintar, dan baik hati itu tetap mau bersamaku.
"Hei, ngapain disitu? Mandi sana!"
Aku tersenyum malu saat ketahuan menatapnya dari jauh. Aku bergegas ke kamar mandi sambil terus cengengesan. Ah.. kak Wicak..
...☆★☆★...
Aku menikmati hari ini. Hari dimana kak Wicak sarapan bersamaku dan nenek di rumah.
Pagi-pagi sekali dia sudah datang dan mengatakan kalau dia belum sarapan dengan wajah memohon supaya aku memasakkannya nasi goreng yang dulu sering kubuat untuknya. Aku senang, dia suka masakanku.
Tadi juga, kami naik busway bersama. Duduk berdua dan dia terus menggenggam tanganku selama di dalam bus. Walau dia terlihat sangat cuek diluar, tetapi sebenarnya dia sangat peduli padaku. Orang kedua yang paling mengerti aku setelah nenek.
Tetapi genggaman tangan itu harus terlepas setelah ada seorang wanita hamil naik dan dia memberikan kursinya pada ibu itu. Baik sih, tapi aku kan, mau berdekatan terus dengannya. Walau bibirku mengerucut, dia hanya tersenyum tipis melihatku sambil berdiri di tempatnya.
Sesampainya disana, dia menyuruhku menunggu sebentar untuk mengambil formulir pendaftaran ulang setelah mendaftar online kemarin.
"Coba periksa dulu. Udah aku isi semuanya."
Kak Wicak menyerahkan beberapa lembar kertas. Aku membacanya dengan teliti. Semua diisi dengan benar.
Namaku, Syahdu Larasati. Tanggal lahir, 27 februari. Golongan darah, B. Aku membaca semuanya dan tersenyum lebar. He knows me well.
"Udah?"
Aku mengangguk pasti dan kak Wicak langsung membawanya ke ruang pendaftaran.
"Udah beres." Ucapnya sembari duduk dan mengeluarkan ponselnya.
"Kita kemana?" Senyumku mengembang, membayangkan jalan-jalan bersama kak Wicak di kota ini. Dia pasti tahu banyak tempat menarik.
"Mau kemana memangnya?" Tanyanya sambil terus fokus pada ponselnya.
"Kak, aku pingin jalan-jalan..."
"Wicaakkk!!"
Kami menoleh, dua orang perempuan cantik dan berpakaian modis melambaikan tangan pada kak Wicak dan kak Wicak tersenyum kecil pada mereka.
"Teman kakak?" Tanyaku penasaran. Dua gadis itu sangat cantik dan mereka berjalan ke arah kami.
"Iya."
"Cantik banget..." pujiku pada dua orang yang berjalan sambil tersenyum. "Kak, bilang aja aku bukan pacar kakak, ya."
"Kenapa?" Kening kak Wicak berkerut.
"Malu. Mereka cantik-cantik soalnya." Ucapku. Tapi jujur memang aku malu dan minder dekat mereka. Padahal di kampung, aku cukup modis karena beberapa temanku malah minta pertimbangan gaya baju padaku.
"Cak, ngapain? Kan, gak ada kelas." Tanya perempuan berbaju putih dan rok jeans pendek. Sangat cantik.
"Daftarin kuliah." Jawabnya singkat.
Kedua perempuan itu menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Aku menunduk malu. Hari ini aku pakai celana jeans, kemeja coklat, dan kuncir kuda. Menurutku sudah bagus, tetapi kalau dilihat dari cara mereka memandangku, aku merasa jadi sangat kuno.
"Dari kampung, ya?" Tanya perempuan yang lain dan aku mengangguk sambil tersenyum.
"Kenalin, ini pacarku."
Aku sontak melihat kak Wicak sambil terbelalak. Sudah kubilang, jangan beritahu. Tetapi dia tak peduli dengan ucapanku.
"Ooh. Yang sering kau ceritakan itu? Masuk sini juga?" Tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Apa? Yang sering diceritakan? Kupingku naik, rasanya amat senang mendengar itu. Ternyata, kak Wicak mengakuiku dan sering menceritakan aku pada teman-temannya.
"Syahdu." Ucapku sambil menyambut tangan mereka.
"Imel dan ini Cintya." Sahut yang bernama Imel.
"Lo sibuk, ya?"
"Pake nanya lagi. Ya iyalah. Lo gak liat ada ceweknya?" Timpal Cintya.
"Ah, ya sudahlah. Kami duluan, ya!"
Dua perempuan itu langsung pergi sementara aku masih menatap ke arah mereka.
"Kenapa?" Tanya kak Wicak yang melihatku membisu menatap keduanya yang sudah berjalan jauh.
"Mereka cantik-cantik ya, kak. Kayaknya teman-teman kakak cantik semua. Apa gak ada yang tertarik selama disini?" Tanyaku penasaran dan kak Wicak malah menggeleng heran dengan pertanyaanku.
Kak Wicak tidak menjawab. Dia memang begitu, baginya celotehan tidak pentingku hanya akan membawa pertengkaran walau sebenarnya kami sangat jarang dan hampir tidak pernah bertengkar. Aku sangat mengerti kak Wicak yang dingin dan dia juga mengerti aku yang oon.
"Aku serius, kak. Apalagi sepertinya teman kakak itu tertarik pada kakak."
"Kalau memang aku niat cari pacar lagi, seharusnya dari dulu kita udah putus!" Ucapnya dengen tegas. "Aku kemari untuk belajar, bukan cari pacar. Aku udah gak mikir-mikir perempuan lain karena pikiranku udah full kamu semua." Kak Wicak berdiri. "Udah, ayo pulang."
Hatiku berbunga mendengar itu. Kak Wicak hampir tidak pernah berkata manis, tetapi sekalinya berbicara, jantungku seperti mau lepas dari tempatnya. Tapi serius, dia tidak tahu kalau ucapannya itu telah menusuk di jantungku.
Dia menarik tanganku yang sejak tadi tersenyum mendengar ucapannya. Tanpa ia sadari, kalimatnya tadi sangat membuatku bahagia.
"Kak, kita kemana?" Tanyaku yang mengikuti saja langkah kak Wicak sambil saling bergenggaman tangan.
"Nonton. Ada film bagus." Jawabnya dan aku semakin tersenyum. Untuk pertama kali akhirnya aku bisa menonton di bioskop.
...🍁...
Hari pertama kuliah. Aku hanya membawa buku binder kosong dan alat tulis. Selebihnya hanya liptint dan ponselku.
Aku sudah tahu ruangannya sebab kemarin kak Wicak sudah mengajakku berkeliling kampus. Hanya saja, aku belum punya teman sebab disini tidak ada ospek segala macam. Dan hari pertama, aku benar-benar seperti orang bodoh.
Lihatlah, beberapa orang yang masuk sudah menggandeng teman. Dan lagi-lagi aku merasa kucel sendiri karena teman-teman kelasku terlihat bergaya.
Aku duduk dengan santai sambil berpikir. Aku pindah ke kota dengan hidup baru dan berharap, semoga tidak ada satupun orang yang mengenalku di kampus ini.
Aku ingin menjadi pribadi yang baik tanpa ada gosip miring lagi mengenai diriku yang anak seorang pelacur.
Ah, sepertinya aku harus mengubah nama panggilan. Aku tidak ingin di panggil Syahdu disini. Bagaimana kalau Larasati? Aku tersenyum. Benar, aku harus mengubah nama panggilanku menjadi Larasati.
"Apa di bangku ini ada orang?"
Lamunanku buyar, seorang perempuan cantik berambut pendek sebahu datang ke bangkuku.
"Enggak. Kosong, kok." Sahutku.
"Ah, syukurlah. Aku gak terlalu suka di depan." Ucapnya lalu duduk. "Aku Adina." Dia mengulurkan tangan.
"Larasati." Jawabku sambil menyambut uluran tangannya.
Ah, teman pertamaku. Manisnya..
"Eh, tau gak, tadi di depan aku liat ada cowok ganteng. Semoga aja masuk kelas ini, ya."
Aku mendengar percakapan dua perempuan di bangku depanku, sepertinya ada laki-laki yang menarik perhatiannya. Padahal kalau di lihat sekeliling, laki-laki di kelas ini keren-keren, kok. Yang dikatakannya ganteng, itu yang bagaimana? Aku mulai penasaran.
Dan benar, aku melihat laki-laki yang masuk. Dia sukses membuat orang di dalam kelas menatap ke arahnya. Dia memang tampan. Kulitnya putih bersih, hidung mancung, bibir seksi dan rambutnya terlihat sangat lembut sampai aku menyentuh rambutku. Dia pakai sampo apa, ya?
Dia duduk di sebelah kananku dan tak terlihat ingin berkenalan. Akupun tidak peduli sebab aku bukan tipe orang yang ramah mengingat posisiku di kampung juga cukup memprihatinkan dengan keramahan yang dianggap cari perhatian laki-laki. Huh, lagi-lagi mengingat itu bikin aku kesal.
Hari ini belum memulai pembelajaran. Dosen yang masuk hanya menginginkan kami mengenalkan diri masing-masing dan menyuruh kami mencari beberapa materi untuk di bahas minggu depan.
Aku agak heran, ternyata kuliah seperti itu. Aku pikir akan dibagi buku-buku ternyata malah disuruh cari sendiri jenis buku yang ia berikan rinciannya pada mahasiswanya dan kami juga harus mencari tahu sendiri gambaran untuk materi minggu depan. Sungguh membagongkan, ini malah seperti belajar sendiri.
Setelah selesai, aku melirik jam. Ternyata masih jam 12 siang dan aku ingin ke satu toko buku untuk mencari yang dosen minta sekaligus jalan-jalan menghapal tempat di kota.
Aku menghubungi kak Wicak, tetapi dia tidak bisa menemaniku karena masih kuliah sampai sore.
Hah, baiklah. Aku akan pergi sendiri ke toko buku terdekat.
Sesampainya disana, aku mengeluh sepanjang toko sebab aku memang bukan penggemar buku-buku pelajaran seperti kak Wicak. Aku lebih suka buku masak-masak. Kalau saja ada kak Wicak, pasti semua sudah beres.
Setelah menelusuri rak demi rak, akhirnya aku menemukan satu buku yang di tulangnya terlihat nama penulis yang sama dengan yang dosen minta.
"Hah, itu dia bukunya."
Aku ingin meraih buku di rak atas. Sedikit lagi, tanganku hampir sampai.
Ah, sulit. Aku tidak bisa meraihnya. Lalu tiba-tiba sebuah tubuh tinggi di belakangku meraih buku yang ingin kuambil. Dia mengambilnya dan melihat buku itu sebentar.
"Ah, terima ka..." aku bengong, sebab dia malah pergi membawa buku itu.
Tunggu dulu. Mataku menyipit meyakinkan apa yang kulihat. Bukankah itu anak laki-laki yang duduk disebelahku tadi?
"Ah, terima ka..." aku bengong, sebab dia malah pergi membawa buku itu.
Tunggu dulu. Mataku menyipit meyakinkan apa yang kulihat. Bukankah itu anak laki-laki yang duduk disebelahku tadi?
Bagaimana bisa dia pura-pura tidak mengenalku? Lalu, lihatlah attitude-nya itu. Padahal aku yang susah payah meraihnya, dia malah dengan enteng mengambilnya.
Hah, pada akhirnya aku memanggil karyawan toko untuk mengambil buku yang lain.
Setelah berbelanja kebutuhan kuliah, aku pulang ke rumah dan mendapati pintu rumah terbuka. Aku mendengar suara nenek terbatuk dari dalam kamarnya.
"Nenek.." Aku masuk ke kamar nenek. Kulihat dia terbaring di tempat tidur sambil memegang dadanya.
"Astaga, Nek." Badan nenek panas dan dia ternyata sesak napas.
Aku segera menelepon kak Wicak, memintanya membantuku membawa nenek ke rumah sakit. Pada awalnya nenek menolak, tetapi karena paksaanku, akhirnya mau tidak mau nenek ikut saja.
Kak Wicak menemaniku saat nenek diperiksa. Ternyata butuh beberapa langkah untuk mengetahui penyakit nenek.
Aku tidak tenang, aku menangis sejak tadi. Karena cuma nenek yang aku punya. Jika nenek tidak ada, aku harus bagaimana.
Kak Wicak terus menenangkanku, dia terus mengatakan bahwa nenek akan hidup sampai aku selesai kuliah. Aku malah semakin menangis, bagaimana jika nenek meninggal dunia? Aku tidak bisa memikirkan itu.
Setelah beberapa jam menunggu, hasilnya pun keluar. Dokter menjelaskan sesuatu yang aku tidak begitu paham. Yang paling kumengerti adalah nenek mengalami dua permasalahan di dalam organ tubuhnya, yaitu paru-paru dan yang membuat aku menangis adalah kanker stadium 3 di ginjal nenek.
Aku terduduk setelah mendengar itu. Nampaknya nenek selama ini tahu dan dia pasti menyembunyikannya dariku, supaya aku tidak khawatir.
Butuh biaya yang banyak untuk perawatan nenek kali ini. Aku tidak peduli, pokok nenek harus sembuh.
"Kita pulang saja, ya. Uangnya jangan dipakai untuk berobat. Sayang, lebih bagus untuk kuliahmu." Tukas nenek.
"Untuk apa aku kuliah kalau nenek meninggal??" Pekikku sambil meneteskan air mata. Nenek hanya diam sementara kak Wicak terus menenangkanku.
Aku langsung mengurus administrasi nenek dan terkejut, biaya awal yang harus kubayar adalah 50 juta untuk operasi pengangkatan ginjal yang terkena kanker. Aku bisa membayarnya dengan uang hasil jual rumah nenek. Walau tidak sisa banyak, tapi kurasa ini akan cukup untuk biaya perawatan nenek selama beberapa minggu di rumah sakit.
Tapi, itu masih untuk ginjalnya saja. Belum paru-paru yang bermasalah.
Ah, sepertinya aku takkan bilang untuk biayanya supaya nenek tidak cemas. Aku akan mencari uang dengan bekerja paruh waktu.
"Kenapa?" Tanya kak Wicak saat aku menariknya keluar ruangan.
"Kak, aku mau bekerja. Apa ada lowongan supaya aku bisa bekerja sambil kuliah?"
"Bekerja? Untuk apa?" Tanya kak Wicak kaget.
"Kok untuk apa, sih, kak? Nenek akan tinggal di rumah sakit sampai sembuh dan menurut dokter, itu membutuhkan waktu yang lama karena daya tahan tubuh nenek yang lemah. Jadi, aku harus mencari uang untuk itu, kan?"
Kak Wicak menunduk, dia juga tahu itu.
"Kamu yakin?" Tanyanya lagi dan aku mengangguk cepat. Aku yakin dan sangat yakin.
"Ya sudah, nanti aku kabari." Kak Wicak memegang kedua bahuku. "Aku yakin kamu kuat, Syahdu. Aku akan selalu disampingmu. Hubungi aku jika ingin sesuatu, ya. Aku harus pulang dulu."
Aku mengangguk dan memeluk kak Wicak. Untunglah ada dia, aku sedikit lebih tenang.
Kak Wicak pulang sementara aku menatapi wajah nenek yang terlelap. Sepertinya menyewa rumah adalah pilihan yang salah karena kini ternyata kami akan tinggal di rumah sakit ini.
Aku memilih untuk mencari tempat menangis. Aku ingin meluapkan emosi dalam diriku dan aku akhirnya naik ke lantai paling atas dari rumah sakit itu.
Aku berdiri menatap ke bangunan di bawahnya. Lampu-lampu malam berderetan di pinggir jalan, juga lampu kendaraan yang amat ramai membuatku merasa sesak. Hidup di kota yang kuharapkan sebuah ketenangan nyatanya malah sebaliknya. Belum ada dua minggu sampai di kota, harus menerima kenyataan pahit bahwa nenek mengidap penyakit yang akan menghabiskan simpanannya selama bertahun-tahun, yang seharusnya ia hadiahkan untuk kuliahku.
Aku mulai menitikkan air mata. Rasanya ingin protes kepada si pembuat takdir. Dia merancang hidup yang tidak pernah tenang untukku.
"Aaaaaaaaah!!" Teriakku di atas. Napasku naik turun dan sepertinya tangisku akan pecah. Aku tidak kuat dan akhirnya aku nangis sesegukan.
"AKU LELAAAH! AKU LELAAAHH!!" Teriakku lagi sambil menangis. Kubiarkan air mata mengalir dengan deras, mataku perih dan ingin terus mengeluarkan air mata.
"Aaaaaaa.." Aku menangis terisak, hatiku sangat sakit. Bagaimana tidak, aku dan nenek lari dari kampung ke kota untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Lalu apa yang kudapat? Nenek sakit! Apa yang lebih baik? Kehidupan ku gak pernah Baikkkkkk!!
"BAGAIMANA CARANYA AKU MENDAPATKAN UANG UNTUK BEROBAT NENEKKK!! AKU TAKUT DIA MATII AAAAAA..." aku menangis sampai terjongkok, aku memeluk lutut dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku gak kuat.. aku gak sanggup kalau harus kehilangan nenek.." lirihku.
"Ambil kami berdua.. jangan biarkan aku hidup tanpa nenek.. huuu..." dadaku terasa sangat sesak, aku terus berpikir bagaimana kalau nenek benar-benar akan meninggal.
Aku membiarkan diriku terus menangis di atas. Aku mau melapangkan pikiranku, aku perlu meluapkannya supaya terlihat baik-baik saja di hadapan nenek. Aku mencintai nenek, aku sangat ingin dia hidup bersamaku seperti dulu. Kami hanya ingin sedikit ketenangan.. sedikit saja. Itupun sulit sekali kami dapatkan.
Aku terus menangis sampai kedinginan karena angin yang menerpa tubuhku.
SRUK!
Kepalaku tertutupi sebuah kain yang harum.
"Pakai itu. Cuaca sangat dingin."
Aku diam, ternyata ada orang lain di atas tanpa kusadari. Aku.. malu.
Aku mengangkat kepalaku perlahan saat suara laki-laki itu sudah tidak ada.
"Hah.. siapa.." aku menoleh kesana kemari tetapi tidak ada orang. Ternyata orang itu sudah pergi.
Aku menghapus air mataku dan buru-buru mengejarnya ke bawah sambil menenteng jeket yang tadi ia bentangkan ke kepalaku.
Aku mencari seseorang yang mungkin belum jauh. Tetapi aku tidak juga menemukan laki-laki. Ada, seorang laki-laki paruh baya. Tentu bukan, dia mengingat jenis suara laki-laki itu sepertinya masih muda.
Tidak ketemu, akhirnya aku masuk ke dalam kamar dengan membawa jeket maroon navy itu. Jeket itu sangat lembut dan wangi, sepertinya jeket mahal. Wanginya sangat enak dan membangkitkan mood-ku. Tanpa sadar aku terus menciumi baunya. Hah, entah siapa orang yang malah memberikan jeketnya pada orang yang tak dikenal, batinku sambil membaringkan tubuh di sofa sebelah ranjang nenek.
...🍁...
Hari ini mau tidak mau aku ikut perkuliahan. Awalnya aku hanya ingin menemani nenek, tetapi nenek memaksaku kuliah saja. Hah.. untuk apa kuliah, lebih baik aku bekerja untuk menghasilkan uang. Aku sempat berpikir untuk diam-diam berhenti kuliah saja dan bekerja tanpa sepengetahuan nenek. Tapi lagi-lagi kak Wicak menceramahiku panjang lebar.
Hatiku masih terasa sedih. Tadi pagi dokter sempat cek keadaan nenek dan ternyata butuh 150 juta lagi untuk biaya paru-parunya.
Aku memijit dahiku yang mulai pusing. Sisa uang nenek hanya 80 juta lagi. Selebihnya sudah aku pakai untuk persiapan kuliah beberapa hari lalu. Dari mana aku dapat sisanya?
Aku menangkup wajah dengan kedua tanganku saat menyadari teman-teman sudah keluar kelas. Aku menangis di bangkuku paling belakang. Rasanya teramat sedih, apa yang harus kulakukan?
"Gue akan bantu lo."
Aku membuka wajahku, melihat ke sumber suara yang seperti tahu permasalahanku.
Aku membulatkan mata. Bukankah itu Arga Alexander? Lelaki yang mengambil bukuku di toko buku.
"A-apa maksudmu.."
"Butuh biaya, kan? Gue akan bantu perawatan nenek lo."
Aku menganga, apa dia bisa membaca isi pikiran?
"K-kau tahu.. dari mana.."
"Gak penting gue dari mana. Gue cuma nawarin bantuan buat lo. Gue akan bantu biaya rumah sakitnya, asal lo juga bantu gue."
Membantu katanya? Aku harus membantu apa sampai balasannya biaya rumah sakit yang ratusan juta?
"Lo harus jadi teman tidur gue."
BRAK! Kursi yang ku duduki terjungkal kebelakang. Aku berdiri dengan mata terbelalak sementara dia tetap tenang memandang ke arah depan.
"Kau pikir aku perempuan apa!!" Pekikku padanya.
"Gue tahu kok, Lo dari perkampungan, pindah karena cemooh orang-orang tentang nyokap Lo yang dulunya pelacur."
Aku menganga. Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu itu??
"Lo gak perlu terkejut. Gue nawarin bantuan yang sepadan. Lo gak perlu khawatir lagi tentang nenek Lo, kalo lo setuju."
Ahh.. ingin sekali aku menampar wajahnya. Dia sangat kurang ajar, dia bahkan menyamakanku dengan Ibuku. Dia pikir aku juga sama dengan Ibuku dan itu sangat menyakiti perasaanku.
"Aku tidak butuh bantuan orang sepertimu, sialan!!"
Aku pergi meninggalkan dia dengan darah yang mendidih. Sangat disayangkan, laki-laki sepertinya yang dikagumi banyak orang ternyata brengsek. Sangat tidak pantas dijadikan idola. Aku membencinya, sangat membencinya!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!