NovelToon NovelToon

Ada apa dengan HUMAIRO

#01

Humairo masih merenung di beranda rumah. Memandang sesekali ke arah bulan sabit yang kadang tenggelam di balik awan hitam. Suasana rumah begitu sepi. Seperti malam-malam sebelumnya, tak ada yang berubah. Sepi seperti tak berpenghuni.

Sejak kematian ibunya tiga bulan yang lalu dan sejak pernikahannya dengan Ainul, pemuda pilihan ibunya yang sama sekali tak dikehendakinya. Terlalu kolot dan ketinggalan zaman dalam pandangannya yang modern. Tak ada satupun kreteria laki-laki idamannya yang ada pada diri Ainul. Yang ada, laki-laki itu hanya membuatnya muak dan jijik. Jangankan melihatnya, mendengar namanya disebut saja ia hendak muntah. Lagipula, tak ada yang bisa dilakukan pemuda kolot itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, jika seluruh waktunya ia habiskan di masjid dengan zikir dan mengajar anak-anak mengaji. Dia tak tahu pasti berapa honor yang di dapatkan Ainul sebagai marbot sekaligus pengurus di masjid desa. Yang jelas, ia merasa Ainul tak akan mampu memenuhinya walaupun untuk kebutuhan perawatan wajah dan tubuhnya. Beda halnya dengan yang ia dapatkan dari David. David tahu apa yang menjadi kebutuhannya. Bahkan sebelum ia memintanya. Itu sebabnya ia benci akan kehilangan sosok David. Selain tampan dan menjadi sosok yang selalu membuatnya berantem dengan teman-temannya karna cemburunya yang berlebihan setiap David dekat dengan mereka, David juga kaya dan royal.

Dan haruskah ia menyalahkan malam itu? Malam tanggal 5 dalam almanak Hijriah. Malam yang telah memberikan begitu banyak waktu pada ibunya untuk mengungkapkan segala keinginan hatinya. Termasuk menyodorkannya sebuah permintaan yang harus ia terima.

"Nak, ibu tahu permintaan ibu ini akan melukai perasaanmu. Ibu tahu, antara kamu dengan David sudah saling mencintai. Tapi yakinlah, yang tampak baik belum tentu mencerminkan kebaikan. Begitupun sebaliknya. Ibu sudah mencoba berkompromi dengan hati ibu dan mencoba mengijinkanmu menikah dengan David. Tapi hati ibu tetap menolak, hingga akhirnya ibu berkesimpulan, David bukan orang yang pantas untukmu.

Mungkin keputusan ini berat buat kamu. Tapi yakinlah, jika kamu sabar, kamu akan mendapatkan kebahagiaan hingga akhir hayatmu."

Kata-kata terakhir ibunya sebelum ajal menjemputnya amat menyentuh perasaannya. Seharusnya, malam itu dia yang akan meminta ijin ibunya untuk menikah dengan David, tapi ibunya terlebih dahulu mengungkapkan permintaannya. Ingin sekali ia mencabut kesanggupannya menikahi Ainul, tapi ketika memandang pancaran kebahagiaan di wajah ibunya, ia mengurungkan niatnya. Ia merasa tak sanggup merubah keceriaan yang baru saja terlihat di wajah ibunya dengan kesedihan. Ia tak bisa membayangkan jika ibunya mati dalam keadaan bersedih. Semenjak ibunya sakit, dia belum pernah melihat wajah ibunya sebahagia itu.

Kejadian itu sudah berlalu tiga bulan yang lalu. Tapi seperti baru kemarin saja terjadi. Dan walaupun sudah menjadi istri sah Ainul, Dia masih berhubungan baik dengan David. Bahkan semakin erat. Lewat sms, ketemuan di tempat pavorit mereka dulu saat masih pacaran, bahkan ia tak takut lagi didengar Ainul saat menelpon David. Ia berharap Ainul marah, dengan itu ia punya alasan untuk mengusirnya dari rumah. Toh rumah itu adalah rumah peninggalan ibunya. Ainul bisa tinggal disana hanya karna ia berstatus sebagai suaminya. Dan walaupun pada awalnya ia risih dengan tetangga yang sering melihatnya keluar malam, tapi seiring dengan waktu ia mulai terbiasa. Dia tak lagi menghiraukan penilaian tetangga kepadanya.

Tapi anehnya, Ainul seperti tak peduli. Dia sama sekali tak pernah menegurnya saat keluar rumah malam-malam, ataupun saat ia terang-terangan menelpon David. Mungkin Ainul merasa takut atau sadar ia menikahinya bukan didasarkan atas cinta. Dia benar-benar cuek dan terkesan tak mau ambil pusing. Sikap Ainul yang cuek itu memberinya banyak kesempatan untuk menemui David.

* * * * *

Humairo masih terdiam di teras rumah. David tak kunjung juga menelponnya. Sebentar lagi Isya dan jika sudah terlalu malam, bisa dipastikan mereka akan terlambat menghadiri pesta salah satu temannya.

Humairo mendesah. Bangkit dan mengeluarkan kunci motor dari saku bajunya. Motor matic yang terparkir di sudut teras dikeluarkannya, menyalakannya dan tak lama kemudian motor itu sudah melaju menembus kegelapan malam.

* * * * *

Tepat jam 12 malam, Ainul tiba di rumah. Seperti biasa, malam ini ia akan tidur di teras rumah. Suasana di dalam rumah tampak gelap. Itu tandanya Humairo tidak ada di rumah. Dia tidak tahu kapan Humairo akan pulang, tapi mengingat kebiasaannya pada malam-malam sebelumnya, bisa dipastikan ia akan pulang larut malam.

Ainul mendesah. Diambilnya tikar pandan lusuh yang bersandar di tembok teras. Tikar digelarnya dan kemudian ia mulai merebahkan tubuhnya.

Suara HP berdering di dekat kepalanya. Ainur menoleh. Kantuk yang mulai menderanya membuatnya berat meraih HP. Hingga untuk ketiga kalinya HP itu berbunyi, baru ia meraihnya.

Ainul tampak mendengarkan dengan seksama suara penelpon dari seberang sana. Sesekali ia mendongak dengan tatapan seperti mencari sebuah jawaban.

Beberapa kali terdengar suara "Halo" dari si penelpon. Ainul hanya menjawab singkat dengan jawaban yang sama tapi dengan nada yang lemah. Si penelpon dari seberang menutup telponnya.

Ainul kembali mendongak. Seperti pasrah. HP kembali berbunyi, tapi kali ini sebuah pesan. Ainul membukanya dan membacanya.

Beri aku kepastian. Jika memang kamu tidak berani mengambil keputusan, Ihklaskan aku untuk mencari laki-laki lain.

Sekali lagi Ainul mendesah. Dia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Ia tidak bisa memberikan keputusan kepada Revi, pacar yang ia tinggalkan menikah dengan Humairo karna permintaan almarhum bu Salma, ibunya Humairo.

Awalnya Revi begitu marah mendengar kabar Ia telah menikah dengan gadis lain, tapi begitu ia tahu Humairo tidak begitu senang dengan pernikahan itu. Ia jadi berharap banyak hubungannya bisa diperbaiki kembali dengan Ainul.

Walaupun begitu Ainul belum bisa memberikannya jawaban pasti. Walaupun hubungannya dengan Humairo tidak didasarkan cinta, tapi Ia dan Humairo sudah sah secara hukum sebagai sepasang suami istri. Dan tidak elok tampaknya jika harus membuat perjanjian dengan wanita lain. Sebisa mungkin Ia menampakkan kepada para tetangga bahwa rumah tangganya baik-baik saja. Walaupun mereka tahu Humairo sangat tidak menginginkan pernikahan itu. Dia adalah lulusan pesantren yang sedikit tidak faham dengan ilmu agama. Ia mengerti dengan baik tentang hukum dan ia tidak mau mencoreng namanya sebagai seorang lulusan pesantren. Ia harus sabar. Kelak jika Humairo tidak juga bisa berubah, tentu sabar ada batasnya. Tapi saat ini ia harus menyikapi dengan bijak. Humairo perlu ia beri waktu untuk mengerti segala hal tentang hidup.

Ainul bangkit. Walaupun ia merasa lelah tapi ia merasa tidak akan bisa tidur malam ini. Terlalu banyak masalah yang akan mengganggu pikirannya, dan itu membuatnya tidak akan bisa memejamkan matanya. Lebih baik ia mengambil air wudhu dan shalat beberapa rakaat. Selesai wirid nanti ia mungkin bisa memejamkan matanya.

Ainul melirik jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Sampai malam selarut ini, tidak ada juga tanda-tanda Humairo akan pulang. Ainul mendesah. Untuk saat ini Humairo tidak juga sedikit menampakkan kesenangannya saat melihat wajahnya. Jangankan menatap wajahnya, kebetulan berpapasan di pintu saja ia selalu mendengar Humairo seperti orang mau muntah. Ainul merasa jadi laki-laki paling buruk di hadapan Humairo.

Ainul kembali membaringkan tubuhnya. Hawa dingin terasa menusuk. Ia membuka sarungnya dan mulai meringkuk di dalamnya.

Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Ainul yang baru saja memejamkan matanya terbangun. Rupanya Humairo sudah pulang. Mungkin dia akan marah ketika melihatnya tertidur di tempat dimana ia sering meletakkan sepeda motornya. Tapi Ainul memilih tetap meringkuk di dalam sarungnya. ia berfikir masih ada banyak tempat untuk sepeda motor itu.

Ainul membuka sedikit sarung yang menutupi wajahnya. Terasa sekali Humairo meletakkan motornya persis di sampingnya tidur. Terdengar juga gerutuan panjang dari mulut Humairo sampai ke dalam rumah.

Ainul kembali mendesah. Di raihnya hp di sampingnya. Sudah jam dua lebih lima belas menit. Dia harus menyetel alarm agar jam tiga nanti ia bisa bangun untuk shalat tahajjud. Dia masih punya waktu untuk istirahat.

Ainul kembali meringkuk di dalam selimutnya, dan tak lama kemudian ia sudah terlelap.

Humairo melangkah ke arah dapur. Tiba-tiba saja ia merasa perutnya terasa panas minta diisi. Sudah bisa dipastikan tidak ada nasi di dapur. Nasi bungkus yang dibelinya tadi siang sudah dihabiskannya sebelum berangkat pesta. Ainul tidak pernah makan di rumah. Ia hanya memasak ketika pagi saat ia pergi ke masjid. Biasanya ia akan membuat nasi goreng dan menyisakannya satu piring di meja dapur. Ainul mungkin makan siang dan malamnya di masjid, atau mungkin saja membeli di warung. Jika menjelang akhir bulan, kira-kira tanggal 28 atau 30, ia akan mendapatkan uang satu juta lima ratus ribu rupiah yang biasa diselipkan Ainul di meja dapur. Tidak hanya itu, satu kotak mie sedap dan segala kebutuhan dapur lengkap tersedia di dapur.

Dia tak memungkiri, nasi goreng buatan Ainul memang enak. Walaupun tidak enak pun, mau tidak mau ia harus tetap memakannya karna ia paling malas jika harus masak pagi. Dan atas segala yang dilakukan Ainul untuknya, ia anggap sebagai sewa rumah. Ia tak perlu merasa risih apalagi berterimakasih pada Ainul. Sewa rumah di luar saja mungkin lebih dari itu. Ia harus siap dianggap sebagai pembantu karna tidak berusaha menolak menikah dengannya.

Humairo tertunduk lesu di atas kursi di dapur. Benar-benar tak ada yang bisa dimakannya malam ini. Mie di dalam karduspun sudah kosong.

Humairo bangkit dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Malam ini ia terpaksa harus melewatinya dengan perut kosong.

#02

Suara Azan zuhur terdengar berkumandang. Cuaca siang ini terasa terik dan menggerahkan. Angin yang berhembus pun seperti membawa hawa panas, membuat orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumh masing-masing.

Suasana di dalam rumah tampak sepi. Humairo membuka matanya perlahan. Ia merasakan tubuhnya terasa panas. Keringat di kening dan lehernya diusapnya dengan ujung selimutnya. Kepalanya terasa pusing dan beberapa kali ia terlihat memijitnya.

Humairo meraih hp di sampingnya. Ia mengusap matanya berkali-kali. Angka jam digital di dalam ponselnya masih samar di lihatnya. Humairo mendesah kesal. Sudah jam satu lebih. Ia bangun dan bersandar di sandaran ranjangnya sambil menselonjorkan kakinya. Ia memegang perutnya yang terasa lapar.

Humairo meletakkan kembali hp nya. Setelah mengikat rambutnya yang terurai. Dengan gerakan berat, ia bangkit, dan dengan langkah sempoyongan ia berjalan menuju dapur.

Dilihatnya wadah plastik penutup makanan di atas meja dengan segelas air putih di sampingnya. Seperti biasanya, Ainul telah meninggalkannya makanan untuk sarapan paginya. Dan seperti biasa ia sudah bisa menebak. Hari ini menunya tetap sama, nasi goreng. Humairo tersenyum ketus ketika tutup piring dibukanya. Ia menguap panjang. Setelah memastikan ada makanan yang akan ia makan, Humairo melangkah menuju kamar mandi.

Mmmh, nasi goreng buatan Ainul memang enak, tak sia-sia ia tinggal di rumah ini. Gumamnya dalam hati. Tapi sayang, sepertinya ia harus membeli nasi bungkus sebagai tambahan makan siangnya kali ini. Ia merasa masih belum kenyang juga.

Setelah meletakkan piring kotornya ke dalam bak berisi air, Humairo melangkah kembali menuju kamarnya. Ia lalu mengambil sebuah dompet berwarna biru dari dalam laci lemarinya. Hanya tersisa satu lembar uang lima ribu rupiah di dalam dompetnya. Ia baru ingat, tadi malam ia sudah menghabiskan uangnya untuk mentraktir teman-temannya makan masakan padang. Total pengeluarannya tadi malam satu juta rupiah.

Humairo menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia mendesah berat. Jika tidak ada uang hari ini, ia akan kelaparan nanti malam. Kouta internetnya pun sudah habis. Ia khawatir sekali jika nanti malam ia akan menghabiskan malam-malamnya tanpa kegiatan apapun. Mau nonton tv, tv di rumahnya sudah rusak akibat ulahnya sendiri melemparnya dengan gelas berisi air, hanya gara-gara Ainul pernah menontonnya.

Humairo tersenyum. Seperti ada solusi yang muncul di kepalanya. Ia kembali bergegas menuju dapur. Ia lalu memeriksa karung berisi beras yang diletakkan di sudut dapur. Humairo tersenyum. Sebentar lagi tanggal muda. Sebentar lagi Ainul akan menerima upahnya sebagai marbot dari masjid. Ia memperkirakan karung itu berisi satu kwintal beras. Jika satu kilo beras harganya delapan ribu rupiah, maka ia akan mendapatkan uang sejumlah delapan ratus ribu rupiah. Angka yang sangat banyak. Dia bisa makan enak nanti di rumah makan padang. Juga untuk membeli kouta internet, untuknya dan untuk David juga.

Humairo masih duduk di teras rumahnya. Pembeli beras yang ia telpon sejam yang lalu tak kunjung juga datang. Ia sudah berdandan rapi sejak tadi, berharap seseorang yang akan membeli berasnya segera datang dan ia bisa secepatnya pergi bersama David. Beberapa kali David menelponnya, ia takut David marah dan meninggalkannya.

Sebuah mobil pick up warna hitam berhenti di depan rumahnya. Seorang laki-laki yang duduk di samping sopir keluar dari mobil dan mendekat ke arah Humairo. Humairo nampak kesal.

"Kok lama sekali sih, Aku sudah menunggu satu jam lebih," kata Humairo setengah melotot ke arah laki-laki itu.

"Maaf, tadi mobilnya mogok. Oya berasnya dimana," jawabnya tersenyum sambil menggaruk kepalanya. Humairo tak menjawab. Ia memilih masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu mengikutinya dari belakang. Setelah menimbangnya, laki-laki itu memberikan sejumlah uang kepada Humairo.

"Kapan-kapan kalau mau jual beras lagi telpon ya," kata laki-laki itu sambil memanggul beras di punggungnya.

"Tapi kalau terlambat seperti ini Aku jual ke orang lain saja," Kata Humiro dengan nada terdengar masih kesal. Laki-laki itu hanya tersenyum.

Setelah menghitung uang yang ada di tangannya, Humairo memasukkannya ke dalam dompetnya. Ia tersenyum puas dan melangkah menuju sepeda motornya. Setelah memanaskan motornya sejenak, iapun berangkat meninggalkan rumah.

Ainul baru saja selesai mengimami jamaah shalat zuhur di masjid. Seperti biasa jamaah shalat akan diam sejenak untuk mendengarkan sedikit pengajian dari Ainul.

Ainul membalikkan tubuhnya ke arah jamaah shalat yang masih bersila di belakangnya.

"Mohon maaf bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati. Kali ini mungkin kita tidak bisa mengaji seperti biasanya. Saya lagi kurang sehat. Sekali lagi saya minta maaf," kata Ainul. Orang-orang yang ada di depannya mengangguk dan satu persatu mulai bangkit dan menyalami Ainul.

Ainul kembali duduk. Kakinya diselonjorkannya sambil diurut-urutnya pelan. Ia merasa begitu lelah hari ini. Tubuhnya pun mulai tidak enak. Ia tidak bisa istirahat tadi malam karna udara begitu dingin. Tepat jam tiga ketika alarmnya berbunyi, ia memilih untuk pergi ke masjid.

"Assalamualaikum."

Terdengar suara seorang perempuan mengucap salam dari luar masjid. Ainul menoleh dan tampak oleh seorang berkerudung hitam memasuki masjid.

Ainul terkejut ketika perempuan itu membuka kaca matanya. Ainul segera melangkah keluar teras masjid berharap agar perempuan itu mengikutinya.

Ainul mengajak perempuan itu duduk.

"Masya Allah Revi, kenapa kamu mencariku kesini. Ini masjid Revi. Apa kata orang-orang jika melihat kita berduaan di sini. Aku sudah menikah dan tidak baik bersama perempuan lain seperti ini," kata Ainul sambil menggeleng-geleng tak percaya.

Perempuan itu menoleh ke samping.

"Menikah? Tapi kamu sadar gak, wanita yang kamu nikahi itu sama sekali tidak menginginkanmu. Lagi pula kamupun menikah karna permintaan ibunya kan?" kata perempuan yang dipanggil Revi itu.

Ainul mendesah dan sekali lagi menggelengkan kepalanya.

"Terlepas dia menginginkannya atau tidak, yang jelas kami sudah sah sebagai suami istri secara hukum, baik agama maupun pemerintah. Aku tidak akan menceraikannya. Aku mencintai istriku," kata Ainul mantap.

"Maksudmu? Terus bagaimana dengan hubungan kita," kata Revi mulai kesal.

"Jawabanku sudah jelas. Aku mencintai istriku," kata Ainul tegas. Revi tampak kesal mendengar jawaban Ainul yang tegas. Ia mengambil tasnya dan bangkit. Tanpa pamit ia langsung pergi meninggalkan Ainul. Gerutuan panjang mengiringi suara langkahnya yang semakin menjauh. Baru beberapa langkah, terdengar isak tangis dari mulutnya.

Ainul mendesah. Ia menatap lekat tubuh Revi yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia terpaksa harus berkata tegas kepada Revi dengan harapan Revi tidak lagi menghubungi dan menemuinya.

Air mata Ainul terlihat berbinar sedih. Ia sudah menjalani tiga tahun pacaran dengan Revi, sebelum ia ditugaskan di desa itu. Ia tidak bisa menafikan bahwa masih ada cinta di hatinya untuk Revi. Revi adalah gadis yang setia. Bisa saja ia tak datang lagi menemuinya, karna masih banyak laki-laki yang menunggunya di luar sana. Wajahnya terbilang cantik walaupun nilainya masih di bawah Humairo. Ia tidak akan kesulitan mendapatkan laki-laki lain. Ia menganggap perempuan itu sudah putus asa sebab beberapa kali ia harus memutus sambungan telponnya. Ainul berharap kali ini ia benar-benar bisa melupakannya.

Dan tentang dirinya yang tidak diinginkan oleh Humairo, biarlah jadi ujian untuk kesabarannya. Bumi selalu berputar, begitupun juga dengan nasib. Semua bisa berubah, tinggal menguji kesabaran untuk meraih perubahan itu.

Ainul mendekap tubuhnya erat ketika angin yang berhembus terasa dingin. Ia mulai merasakan tubuhnya yang meriang tidak bisa ia paksakan untuk tetap bertahan di sana. Ia harus menelpon Haji Salman untuk menggantikannya mengurus masjid hari ini.

Ainul mengambil beberapa sarung dan baju koko di sebuah lemari di sudut belakang masjid. Ia lalu memasukkannya ke dalam tas kresek hitam. Setelah menutup pintu masjid, ia pun berangkat pulang.

#03

Sebelum sampai di rumah, terlebih dahulu Ainul mampir di sebuah warung kecil tak jauh dari rumahnya. Ia membeli satu buah botol air kemasan dan obat penurun panas. Ia merasa tidak harus sakit terlalu lama. Terlalu banyak yang harus ia kerjakan di masjid.

Setelah membayar, ia kembali melanjutkan perjalanan pulang.

Ainul menatap sudut teras yang penuh dengan daun-daun kering yang masuk terbawa angin. Sapu yang bersandar di sudut teras diambilnya dan mulai membersihkan teras. Setelah itu tikar pandan ia gelar. Dua buah sarung di keluarkannya dari dalam tas kresek warna hitam. Setelah minum obat, Ainul membaringkan tubuhnya pelan di atas tikar.

Di tempat lain. Di sebuah kafe bercat merah yang terbuat dari papan-papan kayu jati di pinggir pantai, Humairo terlihat menikmati minuman ringan yang disuguhkan pelayan. Di depannya, seorang laki-laki dengan potongan rambut cepak terlihat juga sedang mengaduk-ngaduk pelan minuman di depannya dengan sedotan plastik berwarna putih di tangannya. Ia adalah David, pacar Humairo.

Humairo terlihat cemberut. Beberapa kali ia berbalik membelakangi laki-laki di depannya.

"Udah Sayang, jangan cemberut terus. Nanti kamu cepat tua lho," kata David mencoba menggoda Humairo. Sisa air minum dalam sedotan ia percikkan ke wajah Humairo. Humairo membalas dengan memercikkan minumannya ke arah David.

"Kalau memang kamu tidak berani membuat keputusan, lebih baik aku pulang saja. Males tahu kalau berhubungan seperti ini terus," kata Humairo tampak kesal. Ia memasukkan HP nya ke dalam tasnya dan ia bangkit. David segera memegang tangan Humairo dan menariknya agar duduk kembali.

"Ok, ok, tapi kamu duduk dulu," kata David tersenyum.

"Kamu yang gak pernah menganggap ini serius. Setiap kali aku membicarakan ini, kamu tidak pernah menanggapinya serius," kata Humairo. Ia masih berdiri walaupun David masih memegang lengannya, berharap ia mau duduk.

"Makanya kamu duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik. Jangan marah seperti itu, gak enak dilihat orang," kata David sambil menoleh ke sekelilingnya.

Humairo akhirnya luluh dan duduk. Wajahnya masih terlihat cemberut dan tak mau menatap David.

"Aku tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Aku berada dalam posisi yang sulit. Kalau hanya mengikuti kemauan kita sendiri, itu gampang, tapi banyak hal yang harus terkait jika kita ngotot untuk menikah." David memegang tangan Humairo.

"Seharusnya kamu sendiri yang mengajak Ainul ngomong baik-baik. Minta ia menceraikanmu," sambung David. Mendengar itu, Humairo menghalau tangan David. Nampak ekspresi tubuhnya mengisyaratkan rasa jijik yang besar ketika David menyebut nama Ainul.

"Tapi aku tidak sudi bicara dengan dia," jawab Humairo ketus.

"Nah itulah masalahnya. Jika aku membawamu kabur hari ini, kita akan terusir dari desa ini. Bahkan polisi akan memburuku karna telah melarikan istri orang," kata David. Humairo terdiam. Ia berbalik dan tatapannya ia lemparkan jauh ke arah laut.

"Ini tidak semudah yang kita pikirkan Sayang. Aku ingin kita memikirkannya matang-matang." David melanjutkan pembicaraannya setelah untuk beberapa saat terdiam menatap Humairo.

"Kok kayaknya kamu mulai gak semangat," kata Humairo. David menyandarkan punggungnya di kursi. Ia tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan agar Humairo mengerti.

"Benar kan, kamu sudah tidak mau lagi melanjutkan hubungan ini." Humairo mempertegas ketika melihat David hanya terdiam menyandarkan tubuhnya.

David mendesah. Ia memejamkan matanya sejenak lalu kembali menatap Humairo.

"Bukan seperti itu maksudku. Kita butuh waktu lama untuk memikirkan masalah ini. Kita tidak bisa begitu saja mengambil keputusan. Sekali terusir dari desa itu, maka kita gak akan bisa kembali lagi. Masyarakat akan membenci kita. Ini bukan perkara gampang Humairo. Aku justru tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak baik kepadamu." David bangkit dan mendekat ke arah Humairo. Ia memegang kepala Humairo dan mengusapnya.

"Aku mohon kamu mengerti situasi ini. Sekali lagi ini tidak semudah yang kita pikirkan. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk saat ini, selain menunggu waktu yang tepat." David memperbaiki pengikat rambut bentuk kupu-kupu berwarna biru di rambut Humairo. Humairo terdengar menangis. Tubuhnya luruh dalam pelukan David. David mengusap-usap punggung Humairo. Ia membiarkan saja Gadis itu menangis dalam dekapannya. Ia sama sekali tidak punya cara untuk memberikan kepastian pada Humairo. Posisi yang benar-benar sulit. Tapi jika ia mengatakan untuk saling melepaskan dan mengikhlaskan satu sama lain, tentu gadis itu semakin tidak akan menerimanya.

Biarlah waktu akan merubah segalanya. Semuanya sudah ada yang mengatur. Dia tidak mau mendahului kehendak Tuhan. Dulu ia begitu yakin kalau Humairo adalah miliknya. Humairo sangat mencintainya dan tak mungkin memilih orang lain untuk menjadi pasangan hidupnya. Walaupun memang Humairo masih sangat mencintainya. Tapi Tuhan menitipkan Kehendaknya lewat almarhumah bu Salma, agar Humairo menikah dengan Ainul. Kini, ketika ia sudah lelah memikirkan jalan keluar agar bisa bersatu dengannya, Ia memilih untuk berdoa semoga suatu hari nanti Humairo bisa mencintai Ainul.

"Humairo, lihatlah! hari sudah mulai gelap. Sebaiknya kita segera pulang," ajak David. Humairo menggeleng dan pelukannya semakin erat. Setiap kali David ingin melepaskannya, pelukan Humairo semakin lekat. David mendongak tak berdaya.

"Aku mau pulang dengan satu syarat. Biarkan aku menginap di rumahmu," kata Humairo.

David *******-***** rambutnya.

"Kumohon Humairo, lepaskan pelukanmu. Lihat, pemilik kafe akan segera menutup cafenya. Kita harus pulang Humairo." David kembali mencoba melepaskan pelukan Humairo tapi tetap saja Humairo semakin mencengkram tubuhnya kuat. Melihat beberapa orang melirik ke arah mereka, David mulai kesal. Ia mulai terusik dengan tingkah Humairo. Ia menarik dengan paksa tangan Humairo dan membuatnya melepaskan pelukannya. Humairo terbengong. Baru kali ini ia melihat David memperlakukannya sekasar itu. Humairo menangis dan berlari meninggalkan David. Sadar telah membuat Humairo menangis, David segera mengejarnya.

Humairo sudah terlanjur marah. Teriakan David yang masih mengejarnya di belakang sama sekali tak digubrisnya. Ia terus menggeber laju sepeda motornya meninggalkan David yang sesekali berteriak di belakangnya. David terus membuntutinya. Ia takut akan terjadi sesuatu terhadap Humairo.

Setelah memastikan Humairo mengarahkan sepeda motornya menuju jalan ke desa, David memutuskan untuk berhenti mengikutinya.

Sementara itu Ainul yang masih merasa tidak enak badan terlihat duduk menekur di balik selimutnya. Surban hijau terlihat masih melilit kuat di kepalanya. Ia masih merasa sedikit pusing. Membuatnya tak nyaman merebahkan tubuhnya. Ainul kembali membaringkan tubuhnya lemah. Pengaruh obat yang diminumnya tadi masih menyisakan kantuk. Ia merasa harus kembali tidur dan berharap ia segera sembuh dan kembali beraktifitas seperti biasanya.

Samar-samar terdengar suara sepeda motor mendekat ke arahnya. Ainul yang baru saja mulai tak sadarkan diri membuka matanya perlahan. Sepertinya Humairo sudah pulang. Dia tahu ia sudah menempati tempat dimana Humairo selalu memarkir sepeda motornya. Humairo pasti akan marah jika melihatnya tidur lagi di tempat itu. Tapi tubuhnya yang lemah tak memungkinkan Ainul berpindah tempat.

"Hei bangun! Sudah tahu ini tempat parkir motor, masih saja tidur di sini. Bangsat kamu, gara-gara kamu hidupku jadi berantakan seperti ini," kata Humairo mulai menghardik Ainul yang yang masih mendekap kedua lututnya di dalam selimut. Ainul hanya terdiam mendengar umpatan Humairo. Humairo sudah berani mengeluarkan kata kasar kepadanya setelah sebelumnya hanya bersikap sinis dan membuang wajah saat bertatap muka dengannya. Kata-kata Humairo itu begitu melukai hatinya. Kali ini ia merasa ingin menuntaskan semuanya. Ia ingin memperlihatkan Humairo bahwa ia bukan laki-laki bodoh yang bisa diinjak harga dirinya. Tapi Ainul mengurungkan niatnya. Tubuhnya begitu lemah. Pesan terakhir bu Salma tiba-tiba hadir menyadarkannya untuk tetap bersabar.

"Jika Humairo bertindak kasar, jangan kamu ladeni Nak. Ibu mohon maaf jika nanti Nak Ainul sering terluka dengan sikap Humairo. Tapi ibu yakin, Humairo masih harus belajar untuk menjadi seorang istri yang baik buat Nak Ainul. Ibu mohon jangan tinggalkan Humairo apapun keadaannya. Kelak ia akan sadar bahwa tak ada siapapun yang ia miliki selain Nak Ainul".

Pesan itu membuat hati Ainul yang mulai tersulut emosi mulai mereda. Ia mulai menyibukkan hatinya berzikir dan membaca shalawat sehingga segala umpatan Humairo tak didihiraukannya sama sekali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!