NovelToon NovelToon

Self Healing

Episode 1 Nefrotik Syndrome

2 hari setelah kegiatan hiking yang diselenggarakan oleh organisasi remaja masjid di Jakarta Selatan, aku mendapati kedua kakiku bengkak. Memang kegiatan itu cukup melelahkan, dengan berjalan menanjak di daerah pegunungan Cisarua, Megamendung, Bogor dengan curug Cilember yang indah sebagai destinasi perjalanan.

Melihat keadaan kakiku yang tak kunjung normal, aku pun tidur dengan posisi kaki di atas dengan bersandar di dinding samping tempat tidurku, karena aku mengira bengkak ini akibat dari kegiatan hiking yang cukup melelahkan. Aku pun tertidur dengan durasi yang cukup panjang karena kelelahan, yang membuat wajahku menjadi sembab. Tetapi keesokan harinya, kakiku tetap saja bengkak. Keluargaku tidak ada yang mengetahuinya, karena aku selalu memakai celana panjang walaupun di dalam rumah. Tetapi ibuku mengatakan sesuatu akan wajahku yang sembab.

"Mukamu kok sembab banget ?"

"Hmmm, palingan karena kelamaan tidur, makanya jadi sembab," jawabku, paling tidak menurutku seperti itu.

Tetapi kemudian, aku mengeluhkan keadaan kakiku yang bengkak kepada kedua orang tuaku.

"Bu, kakiku kok, masih bengkak ya? Padahal sudah lewat 5 hari dari acara hiking," ucapku kepada ibu sambil menunjukkan kedua kakiku.

Ibuku adalah seorang mantan bidan, sehingga ia sedikit banyak mengetahui tentang ilmu kesehatan. Ia pun segera memeriksa kedua kakiku dengan cara menekan-nekannya dengan jari tangannya yang kemudian meninggalkan bekas cekungan pada kakiku.

"Lin, sudah berapa lama bengkaknya?" tanya ibu dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Dari Ahad, pulang hiking," jawabku.

"Kok kamu nggak bilang ke ibu?! buang air kecilnya gimana? normal atau berbuih?" tanya ibu lagi.

"Hmmm kayaknya ada buihnya sih, tapi aku nggak tahu juga, Bu. Aku nggak merhatiin," jawabku.

Ibu pun segera masuk ke dalam kamarnya dan sesaat kemudian, ayah mendatangiku bersama ibu.

"Lin, kita ke dokter sekarang. Di rumah ujung itukan internis, kita segera periksa ke sana. Ayo, cepat ganti baju !" ucap ayah.

Aku pun segera mengganti pakaianku dan memakai jilbab instanku lalu dengan diantarkan oleh kedua orang tuaku, aku berjalan menuju tempat praktek dr. Tedi, SpPD, yang hanya di terpaut 5 rumah dari tempat tinggalku. Sesampainya disana, aku tidak perlu mengantri, karena aku adalah pasien pertamanya.

Sebelum memasuki ruang praktek, aku menimbang beratku terlebih dahulu, aku cukup terkejut, karena terakhir aku menimbang berat badanku, sekitar sebulan yang lalu, beratku 42 kg, tetapi sekarang beratku menjadi 45 kg. Apakah mungkin beratku bertambah 3 kg hanya dalam jangka waktu 1 bulan? sedangkan tipe badanku adalah tipe yang tidak mudah untuk menaikkan berat badan.

Lalu, aku pun memasuki ruang praktek dr. Tedi bersama kedua orang tuaku.

"Silahkan, atas nama Halina Ramadhani?" sapa dr. Tedi dengan senyuman hangat.

"Iya, Dok," jawabku.

"Ada keluhan apa?" tanyanya lagi.

"Ini Dok, kedua kaki anak saya bengkak dan katanya urinenya berbuih, wajahnya juga sedikit sembab," jelas ibu.

Dokter Tedi pun melihatku dengan seksama, lalu memintaku untuk naik ke atas bed periksa. Setelah aku berasa di atas bed periksa, dr. Tedi mulai melakukan pemeriksaannya, dari tekanan darah, kemudian denyut jantung serta memeriksa seluruh tangan dan kakiku.

Ibuku mendampingiku selama pemeriksaan, ia berdiri di samping bed periksa, untuk memastikan pemeriksaan yang dilakukan dr. Tedi padaku. Sementara itu, dr. Tedi menekan-nekan kuku jari tanganku lalu berpindah pada kakiku yang bengkak. Ia juga menekan-nekan kakiku dengan jarinya, lalu bekas jarinya yang ditekannya pada kakiku meninggalkan bekas cekungan akibat dari tekanannya, hal ini membuatku merasa aneh dan juga kedua orang tuaku. Sedangkan dr. Tedi terlihat berfikir sesaat, kemudian ia menyudahi pemeriksaan fisikku dan kembali ke meja periksanya dan aku pun mengikutinya.

"Ada keluhan lain? seperti kurang nafsu makan, mudah lelah, tidak bersemangat?" tanya dr. Tedi.

"Iya, Dok," jawabku.

"Usianya hampir 14 tahun, ya?" tanya dr. Tedi.

"Iya, Dok," jawab ibuku.

"Begini, saya minta tes darah dan urine untuk memastikan penyakitnya," ucap dr. Tedi sambil menuliskan daftar pemeriksaan laboratorium yang harus aku lakukan.

"Periksa lab-nya pagi-pagi yaa, jam 6-7 pagi. Setelah hasil lab-nya keluar, bisa kembali lagi kesini," lanjutnya.

Keesokan paginya, dengan diantar oleh kedua orang tuaku, pada pukul 06.00 pagi aku melakukan pemeriksaan di laboratorium yang tak jauh dari tempat tinggalku dan searah menuju sekolah.

Salah satu perawat segera mempersiapkan botol-botol untuk sampel darah dan urine kemudian ia menempelkan stiker yang bertuliskan namaku serta keterangan waktu, setelah ibuku memberikan kertas pemeriksaan laboratorium dari dr. Tedi.

"Puasa?" tanyanya.

"Iya," jawabku.

"Silahkan buang air kecil disini, itu kamar mandinya," ucapnya lagi.

Aku hanya mengangguk dan menuruti perintahnya dan menuju toilet yang berada di ujung lorong ruang pemeriksaan.

Setelah itu, aku didudukkan di sebuah sofa untuk pengambilan sampel darah. Aku melihat perawat berjalan ke arahku dengan membawa peralatannya, jarum suntik, tali pengikat lengan dan tabung sampel darah.

Ia lalu duduk di sampingku lalu mengoleskan lenganku dengan kapas yang telah dibasahi alkohol.

"Maaf yaa, nanti sakit sedikit. Sekarang dikepal jarinya yang kuat," ucapnya.

Aku pun mengepalkan jari-jemariku. Lalu ia menepuk-nepuk lenganku agar pembuluh darahnya terlihat. Ia melakukannya berulang-ulang, membuat firasatku tidak enak.

Lalu sepertinya ia sudah menemukan pembuluh darah yang ia cari, "Saya suntik yaa, tarik nafas....., lepas."

Aku pun mengikuti perintahnya, tetapi tidak ada cairan darah yang keluar, sehingga ia memulainya kembali, alhamdulillah darah pun keluar mengisi tabung suntik. Tetapi belum sepenuhnya terisi, aliran darahku terhenti. Perawat itu pun terlihat bingung, lalu ia menggerakkan jarum suntiknya untuk mencari pembuluh darahnya, hal itu dilakukan berulang sehingga membuatku kesakitan dan ibuku pun melayangkan protesnya.

"Mbak, bisa ngambil darahnya nggak sih? Kasihan anak saya, masak lengannya bolak-balik ditusuk-tusuk seperti itu?!"

Perawat itu pun terlihat gugup setelah mendengar protes ibuku. Lalu seorang perawat lain, mungkin yang lebih senior mengambil alih tugasnya.

"Maaf yaa. Hmmm, ini pembuluh darahnya tipis sekali, jadi memang lebih sulit. Coba tangannya naik turun seperti angkat barbel, seperti ini," ucapnya lagi sambil mencontohkannya.

Aku pun mengikuti perintahnya. Setelah beberapa saat, ia pun kembali memulai proses pengambilan sampel darahku. Alhamdulillah, kali ini berhasil. Cairan berwarna merah pekat pun mulai mengalir mengisi tabung-tabung yang telah diberi nama dan keterangan waktu.

Akhirnya proses pengambilan darah pun selesai.

"Nanti hasilnya akan kami kirim ke rumah, sekitar jam 2 siang," ucap si perawat tadi.

Setelah itu, aku pun berangkat menuju sekolah. Aku terlambat sekitar 15 menit, tetapi aku mengantongi surat periksa dokter dan pengambilan darah yang harus dilakukan di pagi hari, sehingga aku tidak mendapatkan sanksi akan keterlambatanku.

Sore harinya, aku kembali memeriksakan diri ke dr. Tedi dengan membawa hasil pemeriksaan laboratorium. Banyak istilah-istilah yang aku tidak pahami, tetapi terdapat angka-angka yang dibintangi karena melebihi batas normal, yang membuatku yakin ada yang tidak normal dengan tubuhku.

"Hmmmm kadar protein dalam urinenya tinggi sekali," gumamnya pelan, tetapi tetap terdengar olehku.

Ia terlihat sangat serius membaca setiap lembar laporan hasil laboratoriumku, sambil sesekali mengerutkan dahinya. Tak lama kemudian, ia mulai menjelaskan kemungkinan yang terjadi.

"Setelah saya baca laporan hasil laboratorium Halina, dapat disimpulkan dengan banyaknya kadar protein yang keluar bersama dengan urine, sepertinya Halina mengidap sindrom nefrotik atau istilah awamnya disebut bocor ginjal," jelasnya.

Aku hanya diam, karena aku tidak mengerti dengah apa yang baru disampaikan oleh dr. Tedi, sedangkan ekspresi kedua orang tuaku tampak sangat khawatir.

"Halina, bisa naik ke bed periksa," pinta dr. Tedi yang segera kuikuti.

Seperti pemeriksaan sebelumnya, ia mengukur tekanan darahku dan pemeriksaan rutin terlebih dahulu, sebelum melakukan USG pada tubuhku. Lalu ia meminta agar aku menaikkan sedikit kaosku, aku sedikit terkejut ketika cairan dingin gel yang dioleskan pada area sekitar ginjalku.

Wajah dr. Tedi terlihat sangat serius, seperti sedang mencari-cari sesuatu pada layar USG.

Tak lama kemudian,

"Sepertinya ini," ucapnya sambil menunjuk pada layar dan sambil satu tangannya masih memegang alat USG.

"Ini letak kebocorannya, sangat kecil sekali mungkin hanya sebesar tusukan jarum," jelas dr. Tedi.

Tak lama, dr. Tedi menyudahi pemeriksaan fisik padaku dan kembali ke mejanya.

"Jadi, dapat dipastikan antara gejala dan hasil laboratorium menunjukkan bahwa Lina terkena penyakit sindrom nefrotik atau bocor ginjal. Apakah penyebabnya? sampai saat ini belum dapat diketahui penyebab pasti dari penyakit ini," jelas dr. Tedi.

"Tetapi penyakit ini bisa disembuhkan dengan pengobatan yang tepat," tambahnya lagi.

Ibuku tampak menahan air matanya, sedangkan ayahku tampak lebih kuat dan menggenggam tangan ibuku, seolah-olah berkata, "She's gonna be fine, she'll be okay, don't you worry."

Sedangkan aku masih belum mengerti apa maksud dari sakitku ini. Yang kupikirkan hanya bagaimana aku bisa menderita penyakit yang namanya saja sulit kusebutkan, bahkan ini adalah pertama kalinya aku mendengar namanya.

Kemudian dr. Tedi, menuliskan resep obat untukku, sementara itu ibuku seperti memikirkan sesuatu.

"Dok, ada pantangan atau diet yang harus dilakukan untuk pengobatan, Lina?" tanya ibu.

"Tidak ada pantangan, semua tetap boleh dimakan, makan seperti biasa saja, bahkan tambahkan proteinnya, karena dia akan kekurangan protein akibat keluarnya protein bersama urine, jadi makan seperti biasa saja. Tinggal minum obat yang teratur," jelas dr. Tedi.

Episode 2 Aku, Halina Ramadhani

Aku adalah Halina Ramadhani, anak ke-tiga dari 5 bersaudara, 3 laki-laki dan 2 perempuan. Ayahku adalah salah satu pejabat di BUMN dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa.

Kakak pertamaku bernama Verdi Gama, ia 5 tahun lebih tua dariku dan ia adalah seorang mahasiswa jurusan akuntansi di salah satu universitas swasta di Jakarta.

Ervi Rihana, adalah satu-satunya saudara perempuanku, ia 4 tahun lebih tua dariku. Kami berdua lahir di bulan yang sama, yaitu pada bulan Agustus yang hanya selisih 3 hari, sehingga kami berdua memiliki banyak persamaan, kecuali wajah. Untuk urusan kemiripan, aku jauh lebih mirip dengan mas Verdi ketimbang dengan mbak Hana, hingga salah satu teman dari mas Verdi mengatakan, "Lin, kamu kalau pakai bedak item, waaah kamu jadi Verdi!!!", yaa perbedaan kami berdua selain gender adalah warna kulit yang sangat kontras. Kulitku putih kemerahan sedangkan Mas Verdi memiliki warna kulit sawo matang yang cenderung gelap khas Indonesia. Yes, we are black and white.

Selain Mas Verdi dan Mbak Hana, aku masih mempunyai 2 orang adik laki-laki, yaitu Ewing Dito dan Wawan Surya. Dito, kami memanggilnya bukan dengan nama depan, dia 4 tahun lebih muda dariku. Ia sangat pendiam dan memiliki warna kulit yang sama dengan mas Verdi. Yang aku sukai dari Dito adalah matanya yang cantik dan bulu matanya panjang. Selain itu, kami berdua sangat bertolak belakang, baik secara kepribadian maupun karakter.

Adikku yang terakhir adalah Wawan Surya, ia diberi nama Surya karena lahir di Surabaya. Diantara kami berlima, Wawan yang paling berbeda, selain kulitnya yang sangat putih, wajahnya pun berbeda dari kami, kakak-kakaknya. Tetapi ia lebih mirip dengan adik sepupu kami yang seumuran dengan Ewing. Kata ibuku, sewaktu adik sepupuku masih batita, ibuku sangat gemas dengannya dan mengatakan ingin punya 1 anak yang seperti dirinya. Sepertinya keinginan ibuku diijabah oleh Allah, ketika Wawan lahir, ia pun sangat putih, mirip dengan adik sepupu kami.

Setelah aku divonis menderita bocor ginjal, kegiatanku sangat terbatas, aku berhenti mengikuti kegiatan olahraga dan PMR yang sangat kusukai. Tetapi mau bagaimana lagi, aku tetap harus menerima sakit yang kuderita dengan segala larangan dari kegiatan yang kusukai.

Dua bulan sudah aku menjalani perawatan dari dr. Tedi, tetapi belum menunjukkan perbaikannya, karena dari hasil pemeriksaan darah dan urineku, masih saja diangka yang tinggi. Hal ini membuat kedua orang tuaku mulai berkonsultasi dengan teman-temannya untuk mencari tahu akan dokter internis terbaik di Jakarta, yang dapat menangani kasusku.

Akhirnya aku dibawa oleh kedua orangtuaku untuk memeriksakan diri ke dr. Mukidjan, SPD, di sebuah rumah sakit swasta besar di kawasan Jatinegara. Sesampainya di ruang tunggu, kulihat ramai sekali pasien-pasien yang sedang menunggu.

Saat sedang menungg, aku melihat ke sekeliling ruangan poli. Beberapa pintu sebelum ruang praktek dr. Mukidjan, terdapat praktek dokter umum, yang merupakan tetangga di komplek rumahku, namanya dr. Lusi. Saat itu, aku baru tahu kalau ia berpraktek disana. Lalu aku berbalik, untuk kembali melihat nama-nama dokter yang berpraktek lainnya dan aku menemukan nama dr. Tedi, yang ternyata ruang praktiknya saling berhadapan dengan dr. Mukidjan. Aku pun memberitahu ibuku.

"Bu, dr. Tedi praktek disini juga, tuh lihat," ucapku sambil menunjukkan pintu poli yang tertera namanya.

Ibuku pun tak kalah terkejutnya, tetapi kemudian ia berkata, "Yaa nggak papa, kan ini hak pasien untuk ganti dokter. Kita kan mencari pengobatan dari dokter yang tepat."

Aku pun sepakat dengan pendapat ibuku. Tak lama kemudian, namaku pun dipanggil untuk masuk ke dalam poli.

Aku beserta kedua orang tuaku pun segera memasuki ruang poli dr. Mukidjan, tetapi aku tidak langsung diperiksa oleh beliau, melainkan aku diperiksa terlebih dahulu oleh perawat untuk pemeriksaan tekanan darah dan berat badanku.

Ruangan polinya ternyata disekat menjadi 2. Sebelum bertemu dokter, pasien akan diperiksa terlebih dahulu oleh perawat, setelah itu menunggu sesaat sebelum pasien yang sedang berkonsultasi selesai di periksa.

Aku menunggu kira-kira sekitar 15 menit, hingga pasien sebelumku keluar, lalu namaku kembali dipanggil oleh perawat.

Kami bertiga pun memasuki ruang pemeriksaan, aku sedikit terhibur dengan penampilan dr. Mukidjan yang tak kuduga. Beliau terlihat sudah cukup sepuh, mungkin berusia diatas 65 tahun. Yang membuatku terhibur adalah penampilannya seperti engkong-engkong dalam film kungfu. Rambutnya putih dan berkacamata kecil yang sedikit melorot dari pangkal hidung. Tetapi suara beliau tidak bergetar seperti suara orang-orang tua di dalam film.

Yaaa, ini adalah efek terlalu banyak menonton film kungfu Jackie Chan dan Willy Dozan sewaktu SD.

"Halina? Ada keluhan apa?" tanya dr. Mukidjan.

"Ini Dok, putri kami mengalami edema (pembengkakan pada kaki yang berisi cairan), lalu kami periksakan ke dr. Tedi. Hasil diagnosis beliau, Lina terkena penyakit bocor ginjal. Tetapi setelah 2 bulan pengobatan, kami tidak melihat adanya perbaikan, bahkan wajahnya semakin sembab terutama setelah bangun tidur," jelas ibuku sambil memperlihatkan lembaran-lembaran hasil laboratorium.

Dr. Mukidjan nampak serius membaca setiap lembar kertas laporan hasil laboratorium tersebut.

Sesaat kemudian, beliau pun bertanya, "Sudah diberikan obat apa saja?"

Ibuku pun memperlihatkan obat-obatan yang telah ku konsumsi.

Dr. Mukidjan memeriksa satu persatu obatnya dan menuliskan catatan pada statusku.

"Ada diet khusus yang diberikan sebelumnya?" tanya dr. Mukidjan.

"Tidak ada, Dok. Cuma dokter Tedi menyarankan untuk mengkonsumsi protein lebih banyak, karena proteinnya banyak yang keluar melalui urine," jawab ibuku.

Mendengar jawaban ibuku, dr. Mukidjan pun mengerutkan dahinya.

"Halina, saya periksa dulu ya," ucapnya sambil memintaku untuk naik ke bed periksa.

Seperti pada umumnya, pemeriksaan standar rutin pun dilakukannya. Lalu ia mulai beralih pada jari-jari tanganku, sama seperti yang dr. Tedi lakukan. Kemudian ia melanjutkan pada kedua kakiku yang masih bengkak. Ia menekan dengan ibu jarinya dan seperti yang lalu, tekanannya meninggalkan bekas cekungan pada kakiku.

Ia pun menyudahi pemeriksaan fisikku dan kembali ke kursinya.

"Diagnosis dr. Tedi, tidak salah. Hanya saja, terapi pengobatannya yang kurang tepat," ucapnya.

"Jadi seharusnya untuk pasien penderita bocor ginjal, itu tidak boleh mengkonsumsi garam dan harus diet rendah protein dan lemak. Mungkin ini penyebab tidak adanya perbaikan. Untuk obatnya tidak ada masalah, ini adalah obat yang memang diberikan untuk penderita bocor ginjal, hanya saja dosisnya yang kurang tepat. Untuk itu, obatnya tetap ini saja, tetapi dosisnya saya rubah," lanjutnya lagi sambil menuliskan terapi pengobatanku.

"Untuk asupan protein yang dapat dikonsumsi itu dada ayam, tanpa kulit dan hanya boleh direbus atau dikukus. Gorengan harus dijauhi selama pengobatan," tambahnya lagi.

"Kalau untuk tumis, masih bisa kan, Dok?" tanya ibuku.

"Tumis boleh, tapi jangan pakai minyak sawit, gantinya minyak biji bunga matahari atau minyak kedelai," jelas dr. Mukidjan.

"Kalau untuk margarin?" tanya ibuku lagi, karena aku sangat suka memakai margarin untuk olesan roti tawar.

"Margarin cari yang rendah lemak dan garam, itu pun sangat sedikit penggunaannya. Misalnya untuk olesan di roti tawar, boleh saja tetapi tipis-tipis saja," jelas dr. Mukidjan.

"Oiya, stop makan mie instan, snacks kemasan dan soda yaa, karena kandungan garam dan lemaknya cukup tinggi," lanjutnya lagi.

Setelah mendengarkan penjelasan dr. Mukidjan, aku pun hanya membayangkan hidup tanpa mie instan, mie ayam, batagor, siomay dan semua jajanan yang ada di sekolah. Good bye, my cemilan.

Episode 3 Moon face

It's a new life, it's a new day. Inilah gaya hidupku yang baru, hidup tanpa kenikmatan makanan. Apapun makanannya, hambar tanpa garam adalah yang harus kunikmati selama pengobatan ini.

Ibuku pun meminta kepada ART kami di rumah, untuk memisahkan semua makanan. Untukku yang tanpa garam dan tanpa lemak. Aku pun dengan terpaksa harus menikmati makanan yang disajikan atau harus kelaparan.

Setelah beberapa pekan, bosan dan jenuh dengan makanan tanpa rasa, di saat aku kontrol ke RS, aku pun bertanya kepada dr. Mukidjan.

"Dok, boleh makan makanan pedas, nggak?"

"Pedas? Boleh, tapi secukupnya saja yaa," jawabnya yang membuat hatiku bersorak, paling tidak aku dapat merasakan pedas dalam makananku.

Di saat hari libur, aku pun mulai memasak makananku sendiri. Aku sudah terbiasa di dapur sejak kecil dan mulai memasak makanan untuk keluarga sejak aku kelas 4 SD, atau ketika usiaku sekitar 10 tahun.

Aku pun mulai memasak nasi goreng, dengan putih telur dan dada ayam tanpa lemak sebagai kondimennya dan cabai rawit untuk tambahan rasa pada masakan.

Beberapa kali aku memasak dengan menggunakan banyak cabai, hingga akhirnya lambungku pun berontak. Aku mengalami sakit perut hebat hingga aku berguling-guling di atas karpet.

"Lin, kamu kenapa?" tanya ibuku panik.

Lalu tanpa sadar, aku berguling-guling hingga menarik karpetnya yang membuatku terbungkus oleh karpetnya. Bentukku saat itu mungkin seperti dadar gulung yang terbungkus karpet berwarna coklat.

"Lah, ini kok jadi kepompong! Lin, kamu kenapa?" tanya ibuku lagi.

Kedua orang tuaku pun segera membawaku ke dr. Tedi. Sesampainya disana, aku segera di USG untuk melihat penyebabnya. Lalu, dr. Tedi menemukan sesuatu.

"Hmmm, ini sepertinya biji cabai. Lin, kamu makan pakai cabai berapa banyak? Ini banyak sekali lho?" ucapnya yang membuatku malu dan ingin segera lari ke Timbuktu.

"Hmmm, banyak Dok, soalnya aku bosen makan makanan hambar, trus katanya boleh makan pedes, jadi aku masak pakai cabainya banyak," jawabku sambil meringis menahan sakit perutku dan membela diri yang tentu saja hal itu membuat ibuku memberikan wajah kesalnya padaku.

"Yaa, maaf, Bu," gumamku dalam hati.

Dr. Tedi kemudian menyuntikkan obat pereda sakit untukku yang membuat rasa sakitnya jauh berkurang.

Setelah itu, ia menuliskan resep, untuk mengurangi rasa sakit pada perutku.

"Ini obatnya diminum hanya kalau sakit saja, yaa. Lin, jangan kebanyakan makan cabai, kamu bikin panik orang tua kamu, tuh," ucap dr. Tedi yang membuatku meringis menahan malu.

Sesudahnya kami pun kembali ke rumah, tentu saja sesampainya di rumah aku harus mendengarkan khutbah dari ibuku, yang aku sudah duga akan isinya.

"Linaaaa, kamu bikin panik oran tua aja, sih??!! Kolik sampai guling-gulingan di lantai, ternyata hanya gara-gara kebanyakan makan cabai?! Ibu tuh sudah mikir kamu kenapa-kenapa, apa ada sakit baru lagi? Nggak tahunya cuma karena cabai!!"

Aku pun hanya dapat kembali meringis menahan malu.

"Yaa maaf, Bu. Aku bosen makan yang hambar, pingin ada rasanya sedikit aja, saos sama kecap kan nggak boleh, yaa aku masukin cabai rawit aja," jawabku membela diri.

"Pokoknya nggak ada urusan cabai yang bikin panik lagi!! Malam ini kamu makan tanpa cabai, makan yang sudah disiapin sama mbak Yuli!" ucap ibuku, yang masih sedikit emosi.

Ayahku yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara.

"Lin, sekarang kamu harus mulai bertanggungjawab akan kesehatanmu sendiri. Kamu yang tahu kapan harus periksa ke dokter, kapan harus periksa ke laboratorium, apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak. Kamu yang menjalani itu semua, bapak dan ibu hanya bisa nganterin, nemenin kamu berobat dan membiayai semua pengobatan kamu. Tetapi kamulah yang merasakan sakitnya, merasakan nggak enaknya, sedangkan orang lain hanya bisa kasihan. Jadi kamu harus tertib dan disiplin, karena nantinya kamu juga yang akan merasakan kesembuhan setelahnya, merasakan kenikmatan untuk kembali beraktivitas dengan bebas. Tetapi untuk saat ini, kamu harus sabar dengan segala pantangan yang ada."

Mendengarkan kata-kata ayahku, aku pun terdiam. Ayahku benar, orang lain hanya bisa merasa kasihan padaku, sedangkan aku yang merasakan semua ketidaknyamanan akan sakitku ini. Mulai saat itu, aku pun lebih memperhatikan asupan makananku. Aku tidak boleh manja walaupun sakit, aku yang bertanggungjawab akan kesehatanku dan kesembuhan akan sakitku.

Hari-hari berikutnya aku tetap masuk sekolah seperti biasa. Hanya saja, belakangan wajahku mulai mengalami perubahan. Setiap bangun tidur, wajahku tidak saja sembab, tetapi seperti bengkak. Bahkan jika aku tidur miring ke kiri atau kanan, setelah bangun wajahku akan semakin bengkak, sesuai dengan posisi tidurku. Jika miring ke kiri, berarti wajahku akan mengalami pembengkakan di sebelah kiri dan sebaliknya.

Walaupun begitu, aku tetap bersekolah dengan moon face-ku. Tetapi beberapa kali aku pun harus tidak masuk sekolah, karena wajah moon faceku yang membengkak begitu juga dengan kakiku yang belum juga mengecil bahkan semakin membesar.

"Lin, napa muka Lo? kebanyakan tidur ?" tanya Tami teman sebangkuku.

"Kenapa emangnya? bulet banget yaa, chubby menggemaskan kah?" jawabku dengan pertanyaan canda.

"Hadee, Lo emang sakit ya, Lin ?" tanya Tami lagi, kali ini wajahnya cukup serius.

"Iya, gue sakit. Makanya mukanya begini, trus itu yang bikin gue nggak boleh ikut pelajaran olah raga," jekasku.

"Emang Lo sakit apa sih, Lin?"

"Kata dokter namanya bocor ginjal," jawabku singkat.

"Hmmm ginjal Lo bocor? padahal Elonya juga bocor ya, kompaklah sama sakit Lo," canda Tami.

"Iye kompaklah, eh tapi aneh nggak sih muka gue?"

"Nggak lah, Lo cuma keliatan gemukan sama putihan aja, nggak ada yang aneh kok," jawab Tami yang membuatku lega.

"Trus, kenapa ginjal jadi bikin muka Lo bengkak?" tanya Tami lagi.

"Nah, gue juga nggak tahu. Gue cuma tahu nama penyakitnya doang, trus udah," jawabku yang membuat Tami memandangiku.

"Kok Lo nggak nanya ke dokter?" tanyanya lagi.

"Udah ditanyain sama ibu, tapi gue nggak mudeng sama bahasanya, jadi yaa sudahlah, yang penting gue masih bisa sekolah," jawabku seadanya.

"Lo emang aneh, pinter tapi aneh !" ucapnya yang membuatku tertawa.

Belakangan, aku baru tahu akan istilah Moon face, itu adalah istilah bagi penderita nefrotik sindrom karena wajah kami yang mirip bulan, yaitu bulat seperti bulan.

Aku terkadang menghibur diriku sendiri dengan membuat rayuan gombal, yaitu wajahmu bagaikan bulan. Aku pun tertawa geli setiap mendengar kalimat itu.

Selain itu, jika Michael Jackson punya moon walk, paling tidak aku punya moon face, sedangkan etnis Cina punya moon cake.

Maju terus pantang Moon-door!!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!