"Mbak Aleesha, minta tanda tangan nya dong ?"
"Mbak Aleesha, boleh foto bersama ?"
"Mbak Aleesha ..."
"Mbak Aleesha ..."
Riuh sorak-sorai peserta seminar usai acara. Gemerlap lampu panggung dan dentum musik masih menggema ramai terdengar di telinga.
Seorang gadis melenggang dengan anggun menuruni anak tangga dari atas panggung sebuah stasiun televisi swasta dengan senyum mengembang penuh percaya diri.
•Aleesha Zavira
Begitulah kedua orang tuanya memberi nama, yang mungkin dia sendiri tidak tahu apa artinya.
Yang pasti, dia yakin, kedua orangtuanya berharap suatu hari nanti dia akan hidup bahagia, meskipun tanpa kehadiran mereka.
Tutur bahasanya yang ramah, gayanya yang lincah dan sikapnya yang penuh pesona, membuat orang-orang di sekitarnya berdecak kagum dibuatnya.
"Iya sabar ya, mari siapa lagi ?" Sapanya dengan lembut kepada para member-member produk yang dia tangani.
Di usianya yang sudah cukup matang, Aleesha berhasil mencapai puncak karier nya di bidang pemasaran dan mentoring sebuah perusahaan Multi Level Marketing dengan peringkat Crown Ambasador.
Sesekali di waktu luangnya, dia salurkan hobi menulisnya yang dia upload pada sebuah aplikasi pembaca. Meskipun dia masih dibilang amatir, namun karya-karya imajinasinya banyak diminati pembaca.
"Wah ... Mbak Aleesha cantik sekali." Puji salah seorang peserta seminar.
Bukan hanya nampak cantik di luar, dari wajahnya juga terpancar iner beauty yang sangat menarik hati. Kalau bicara tentang kecantikan, jangan ditanya lagi. Didukung dengan postur tubuhnya yang jenjang itulah, kenapa dia berhasil mencapai target dengan level tertinggi di kelasnya.
"Aslinya ternyata lebih cantik dari yang aku lihat di foto." Puji seorang lagi setengah berbisik.
Aleesha tersenyum membalas pujian-pujian untuknya.
'Tidak pernah terbayangkan olehku, akan kuraih kesuksesan seperti ini. Nikmat apalagi yang aku dustakan Ya Allah, semua sudah aku dapatkan.' Gumamnya dalam hati.
"Tidak diragukan lagi, Beruntung sekali nanti yang berhasil mempersunting Mbak Aleesha, sudah cantik, cerdas, sukses lagi."
Deg ...
Sungguh, sebuah kalimat komentar yang sangat mengena di hatinya keluar dari bibir salah satu member tercintanya.
Namun, lagi-lagi Aleesha tersenyum tulus, dengan jemari yang masih sibuk menanggalkan coretan tanda tangannya.
'Itu, mungkin satu hal itu yang belum bisa menyentuh hatiku. Tapi biarlah, hanya aku dan Allah yang tahu.' Ungkapan hatinya disela-sela senyum nya yang mengembang.
Kesibukan nya untuk meraih suatu pencapaian, hingga dia lupa, bagaimana mengasah hati agar lebih tajam dan peka terhadap lawan jenis. Tapi bukan itu alasannya. Di dalam sisi hatinya, sudah tertulis sebuah nama. Meskipun kecil kemungkinan untuk bisa mendapatkannya.
"Terimakasih semuanya, sampai jumpa lagi." Pamitnya sembari melambaikan tangan kepada para membernya.
Langkah kakinya kian melebar dan sedikit tergesa menuju area parkir.
"Mbak Icha !" Panggil seseorang yang terdengar lebih akrab.
"Hai, kenapa Wid ?" Jawabnya sembari menoleh ke arah sumber suara.
Gadis belia yang kerap memanggilnya 'Icha' itu langsung berlari mendekati.
"Usai ini, saya langsung pamit pulang juga ya Mbak." Jawabnya setengah terengah.
• Widya Astuti
Asisten pribadinya yang selalu siap dan sigap dengan segala sesuatu yang diperlukan Aleesha.
"Oke, kamu mau naik apa ?"
"Gampang itu mah, saya bisa pesan ojek online." Jawabnya.
"Tidak-tidak, aku akan antarkan kamu pulang dulu, baru ke Bandara."
"Jangan Mbak, jangan biarkan Ayah dan Bunda Mbak Icha lama menunggu, kasihan."
'Benar juga apa yang Widya katakan, Ayah dan Bunda jarang sekali berkunjung. Aku harus datang lebih awal daripada Beliau yang menunggu.' Pikirnya dalam hati.
"Oke. Beneran nih, gakpapa ? Atau kamu gak mau ikut saja ke Bandara ?" Tawarnya.
"Gakpapa Mbak, maaf saya tidak bisa ikut, karena masih ada yang harus saya selesaikan di dalam." Jawabnya menunjuk arah yang dia maksud.
"Kalau begitu, saya jalan dulu ya." Pamit Aleesha.
"Salam buat Ayah dan Bunda."
"Wa'alaikumsalam, Insha Allah saya sampaikan."
"Hati-hati ya Mbak."
"Kamu juga, makasih ya." Lambainya mengikuti kepergian asisten pribadinya.
Aleesha kembali melanjutkan langkah kakinya. Tangan kanannya sibuk menyibak isi di dalam tas kecil yang dia jinjing. Entah apa yang sedang dia cari, hingga tidak memperhatikan jalan.
Bbrruukkk ... !
"Oh ..." Rintihnya sembari menepuk-nepuk lembut pangkal lengannya yang sedikit nyeri karena sebuah benturan.
Tas yang dia pegang terjatuh. Isinyapun tercecer keluar semua.
"Anda tidak apa-apa ?" Terdengar suara lembut menyapanya.
Deg ...
Bagai sebuah pukulan yang tepat mengenai sasaran. Tiba-tiba, detak jantung Aleesha terasa berhenti berdegup, saat mata mereka saling memandang.
Seorang pria tampan dengan postur tubuhnya yang gagah membantu membereskan isi tasnya yang tercecer.
"Oh tidak apa-apa, maaf, saya yang tidak memperhatikan jalan." Jawab Aleesha yang sempat terpaku melihat indahnya karunia Tuhan di depan matanya.
"Hhmmm, lain kali hati-hati." Ucapnya tanpa ekspresi.
"Maaf Pak Asbram, anda sudah ditunggu." Kata salah seorang pria dibelakangnya, seolah mengingatkan.
"Oke." Jawabnya sambil berlalu meninggalkan Aleesha yang masih terpaku di tempatnya.
"Asbram ?" Terlintas satu nama yang tadi sempat dia dengar.
Ya ...
•Asbram Purnama
Pria tampan yang selalu menomorsatukan kesempurnaan. Dia adalah Presiden Direktur pada stasiun TV yang tadi digunakan Aleesha untuk melangsungkan acaranya.
'Asbram Purnama, apakah ini mimpi ?' Gumamnya dalam hati.
"Aaauu ! sakit." Rintihnya, saat dia cubit lengannya sendiri.
Aleesha kembali melenggang, dia tepis kenyataan yang terasa seperti di dalam mimpi.
Namun belum sempat dia menginjak pedal gas mobilnya, seseorang memanggilnya dari belakang.
"Aleesha !"
Yang dipanggil menoleh, memastikan siapa pemilik suara itu, melalui kaca pintu mobil yang masih terbuka.
Sikap tergesa-gesa tadi seketika hilang, saat seseorang yang sangat dia kenal datang menyapa.
"Dokter Arya." Sapanya balik, kembali turun dari mobilnya.
"Hai, dari tadi aku mencarimu. Widya bilang kamu ada urusan lain. Apa, ada masalah ?"
"Oh tidak, terimakasih sudah hadir." Jawabnya menyimpang dari pertanyaan.
•Arya Devandra
Seorang dokter yang sedang berjuang melanjutkan pendidikannya di bidang keahlian khusus. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang lembut, selalu menjadi perhatian kaum hawa.
"Tidak masalah, dimana ada acara yang kamu bawakan, disitu pasti ada aku." Kelakar nya.
"Terimakasih, Dokter Arya selalu mendukung acara kami." Jawab Aleesha formal atas nama produk yang dia bawa.
"Bukan cuma produk kalian yang bagus, tapi juga mentornya, saya suka." Candanya setengah berbisik, membuat Aleesha sedikit tersipu.
"Ah, Dokter bisa saja."
Jika penerangan di area parkir itu tiga kali lebih terang, mungkin terlihat jelas rona merah di wajahnya.
"Bisa tidak, kalau di luar acara atau pas kita sedang ketemu seperti ini, panggil saya Arya saja." Permintaan yang membuat Aleesha sedikit gugup.
"Bukan apa-apa, biar lebih akrab saja." Lanjutnya.
"Eemmm, baik Dok. Eh ... Arya." Jawab Aleesha malu-malu.
Dokter Arya, eh ... Arya tersenyum simpul melihat tingkah gugup lawan bicaranya.
"Oh ya, ngomong-ngomong, apa yang membuatmu tergesa-gesa meninggalkan panggung ?" Tanya Arya mengalihkan pembicaraan.
Tapi, pertanyaan itu menyadarkan Aleesha akan tujuan awalnya segera turun usai acara.
"Astaga, maaf Dok, saya sampai lupa waktu. Saya harus permisi dulu, ada hal yang harus saya kerjakan dan tidak bisa ditunda." Pamitnya kembali ke dalam kemudinya.
"Hhmmm ... " Komentar Dokter Arya sembari mengerutkan dahinya, seolah mengingatkan dia akan sesuatu.
"Eh, iya, Arya." Ucapnya tersadar.
"Oke, take care." Lanjut Dokter Arya yang tidak mau menghalangi kesibukan idolanya.
"Sampai ketemu di acara selanjutnya." Lambainya.
"Bye." Balas Arya melambaikan tangan nya.
"Aleesha, Aleesha, selalu saja begitu kalau kita bertemu. Kamu selalu pergi tanpa ending yang berarti." Gumam Arya sendiri
Arya masih berdiri mematung, tersenyum manis, mengantarkan kepergian Aleesha hingga tak terjangkau oleh pandangan matanya.
Entah apa arti senyuman manis yang mengembang di wajahnya.
Next On ------------------->
Aleesha berjalan tergesa-gesa setengah berlari menuju ruang tunggu di depan pintu kedatangan di Bandara.
'Semoga belum terlambat.' ucapnya dalam hati, sesekali dia tengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Namun, di luar perkiraan, dari jauh sudah terlihat Ayah dan Bundanya menunggu di sana.
"Aleesha, kesayangan Bunda." Panggil Beliau saat melihat putrinya berlari.
Itulah kalimat pertama yang selalu Aleesha dengar saat berjumpa dengan Bunda.
•Aida Yulaikha,
Ibu angkat Aleesha Zavira. Beliau seorang ibu rumah tangga, yang hampir putus asa, sejak Dokter menyatakan kalau rahimnya harus diangkat, dikarenakan telah terinfeksi virus yang bisa menyebabkan tumbuhnya kanker pada rahim.
Namun hidupnya kembali terasa berarti sejak hadirnya Aleesha kecil di pangkuannya. Meskipun bukan terlahir dari rahimnya, Aleesha kecil adalah anugerah terindah yang Allah titipkan kepadanya.
"Ayah, Bunda, maafkan Icha. Icha terlambat." Ucapnya usai mencium punggung tangan kedua orangtuanya.
"Tidak apa-apa, yang penting kita sudah sampai dengan selamat." Kata Ayah bijak.
•Hermantoro
Ayah angkat Aleesha Zavira. Beliau seorang pensiunan guru, yang mendidik dan menyayangi Aleesha sejak ditinggal kedua orangtuanya.
"Ayo-ayo, Bunda ingin segera rebahan, untuk persiapan acara nanti malam."
"Tidak usah dipaksakan Bun, kalau Bunda capek, biar ayah saja yang datang." Komentar Aleesha sembari mendorong travel bag orang tuanya.
"Tidak-tidak, Bunda sehat, kuat, cuma butuh sedikit istirahat saja, nanti juga hilang capeknya." Kekeh Beliau.
"Maklum Cha, faktor U." Canda ayah menanggapi kalimat Bunda.
Canda tawa ria terdengar di dalam perjalanan menuju apartemen Aleesha. Berlanjut sampai di dalam rumah, hingga tak terdengar lagi suara Ayah dan Bunda yang terlelap karena rasa capek melanda.
***
Sabtu, 8 Januari 2022
Malam Minggu yang ditunggu. Reuni akbar yang lama tidak digelar, membuat kedua senior ini begitu bersemangat untuk menghadiri.
"Ayo Bun, jangan lama-lama dandannya." Teriak Ayah setengah menggoda.
"Iya sebentar Yah."
"Mau dandan seperti apa juga gak bakalan laku lagi." Celetuk Ayah bercanda.
"Memangnya Ayah rela kalau Bunda laku lagi."
"Hah, coba saja kalau berani."
"Hhmmm...gak rela kan."
Aleesha tersenyum mendengar candaan Ayah dan Bundanya. Suasana bahagia yang lama tidak dia rasakan, semenjak dia meniti karier dan harus jauh dari orang tuanya.
Di dalam hati, Aleesha berdoa, semoga kelak dia akan mendapatkan seorang pendamping seperti Ayahnya, sabar, pengertian dan penyayang.
Sejak kecil, belum pernah sedikitpun Aleesha melihat atau merasakan kemarahan Ayah. Meskipun mereka bukan orang tua kandung nya, tapi kasih sayang yang mereka berikan melebihi kasih sayang orang tua kepada anaknya. Jika Bunda merajuk, Ayah dengan sabar menenangkan.
"Let's go, Bunda sudah siap." Bahasa gaul Bunda membuyarkan lamunan Aleesha.
"Kamu yakin mau antar Ayah dan Bunda ?" Tanya Ayah kepada putrinya.
"Yakin, memangnya kenapa Yah ?" Jawab Aleesha ganti bertanya.
"Bukan apa-apa, Ayah cuma tidak mau kamu capek. Bukannya sejak pagi tadi kamu ada acara. Dan ayah lihat kamu belum istirahat sampai sekarang." Ucap Ayah panjang lebar.
"Gakpapa Yah, Icha senang bisa jalan sama Ayah dan Bunda. Lagipula tempat acaranya juga tidak begitu jauh dari apartemen."
"Atau begini saja Nak, Icha cukup mengantarkan Ayah dan Bunda saja. Nanti pulangnya kita pesan taxi online. Bagaimana ?" Kata Bunda urun rembuk.
"Gakpapa Bunda, Icha bisa tunggu sampai acara Bunda selesai."
"Jangan, jangan. Benar apa yang Bunda bilang, karena kita sendiri belum tahu acaranya selesai jam berapa." Cegah Ayah juga.
"Baik, baik, Icha ikut saja apa kata Bunda. Tapi ingat, kalau Icha siap dua puluh empat jam, kapanpun Ayah selesai bisa hubungi Icha." Tegasnya.
Dengan sedikit dibumbui perdebatan, akhirnya Aleesha menyerah dan nurut apa yang Bunda katakan. Cukup antar, tinggal, jemput lagi nanti kalau sudah selesai acara.
Lokasi tempat acara reunian memang tidak jauh dari apartemen Aleesha. Cuma memakan waktu setengah jam perjalanan. Gedung yang digunakan adalah gedung serbaguna milik keluarga besar Purnama sekaligus promotor acara reuni angkatan 70an saat ini.
"Kalau begitu, Icha tinggal ya Bun ?" Pamitnya.
"Iya Nak, hati-hati di jalan ya."
Ayah dan Bunda segera berjalan menuju ruang dimana acara akan berlangsung.
"Wah, hebat ya Hendra dan Rose, mereka bisa sesukses ini. Punya usaha dimana-mana." Gumam Bunda mengagumi megah nya gedung yang mereka masuki saat ini.
•Hendra Purnama & Rosemalina Purnama
Teman seangkatan Ayah & Ibu angkat Aleesha, yang juga sahabat karib Ayah dan Ibu kandung Aleesha.
"Bunda dengar, katanya putra sulung mereka juga seorang pengusaha sukses Yah." Lanjut Bunda sembari berjalan.
"Coba kalau Deni dan Linda masih ada ya Bun." Komentar Ayah.
Entah kata-kata mana yang sesuai dengan pernyataan Bunda.
•Deni & Linda
Orang tua kandung Aleesha, yang meninggal saat Aleesha masih berusia sebelas bulan. Beliau meninggal akibat sebuah kecelakaan tunggal.
Sejenak Bunda terdiam, ada sesuatu di masa lalu yang terlintas pada memori Bunda.
"Iya Yah, padahal dulu mereka sangat dekat." Raut wajah Bunda berubah muram saat mengucapkan kalimat itu.
"Ah, sudahlah Bun. Tidak usah diingat-ingat lagi."
Tak terasa obrolan sambil berjalan membuat Ayah dan Bunda tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikan.
"Mas Herman." Sapa seorang pria yang usianya tidak jauh beda dengannya.
"Hendra Purnama." Balas ayah menyapa.
Mereka saling berpelukan, melepas rasa rindu yang lama tak bertemu.
"Apa kabar Mas Herman ?"
"Alhamdulillah, baik, baik."
"Hhhmmmm, kalau sudah ketemu bestinya. Kita-kita dicuekin ya Mbak." Komentar Mama Rose yang sudah berpelukan dengan Bunda Aida, saat melihat keakraban suami-suami mereka.
"Hahahah... Rose, senang sekali bisa bertemu lagi." Sapa Ayah.
"Terimakasih sudah hadir Mas, Mbak. Ayo, mari silahkan. Kita ikuti acara dulu, nanti ngobrol lagi." Pinta Mama Rose disaat acara akan segera dimulai.
Mengingat situasi dan kondisi, membuat mereka belum banyak melakukan obrolan. Bahkan hingga acara usai, rasa lelah membuat mereka melupakan janji untuk berbincang kembali.
"Mbak Aida, kalian menginap dimana ?" Tanya Mama Rose saat acara telah usai.
"Kami, menginap di apartemen anak kami, di jalan melati, tidak jauh dari sini." Jawab Bunda.
"Oh ya, itu kan satu arah dengan rumah kami. Lalu kalian naik apa ke sana ?" Komentar Papa Hendra bertanya.
"Barusan saya menghubungi Aleesha, anak kami, untuk menjemput." Kata Ayah.
"Mas Herman, Mbak Aida, hubungi kembali anaknya, biar kami antar sekalian. Kita kan searah." Pinta Mama Rose.
"Tidak apa-apa, Aleesha sudah dalam perjalanan ke sini." Jawab Ayah tidak mau merepotkan.
"Oh ya Mas, masih lamakah di sini ?" Tanya Papa Hendra.
"Eeehhhmmm, belum tahu. Tapi rencananya kami di sini, satu Minggu ke depan."
"Baik, baik, aku masih ingin ngobrol. Biar kita agendakan untuk obrolan cantik bersama."
"Siap, siap. Kami tunggu infonya."
"Bener nich, gak mau bareng kami ?" Tanya Mama Rose memastikan kembali.
"Terimakasih, lain kali kami nebeng."
"Ya sudah kalau begitu, kami jalan dulu ya Mas." Pamit Papa Herman.
Aleesha sudah datang menjemput, selang sebentar setelah kepergian keluarga Purnama.
"Capek Yah, Bun ?" Tanya Aleesha.
"Harusnya Bunda yang tanya, kamu tidak capek Nak, harus bolak-balik antar jemput Ayah dan Bunda ?"
"Bunda ini bicara apa, apapun yang Icha kerjakan, itu dengan hati Bunda. So, tidak ada kata capek." Jawab Aleesha.
"Ini baru anak Ayah." Komentar Ayah, bangga.
Selalu ada celah untuk bercanda di setiap obrolan mereka.
Benar kata Aleesha, segala sesuatu yang dikerjakan dengan hati, akan membuahkan rasa puas bukan rasa lelah semata.
Next On ------------------>
Hari hampir petang, saat Aleesha sudah menyelesaikan tugasnya.
'Pukul tiga lewat empat puluh lima menit.' Gumamnya sembari melirik arloji yang menghiasi pergelangan tangan kirinya.
"Kita langsung pulang Mbak ?" Tanya Widya memastikan.
"Iya, badanku rasanya pegal-pegal Wid. Masih ada waktu beberapa jam perjalanan untuk sampai rumah. Aku mau tidur dulu sebentar." Jawab Aleesha yang sekian hari sudah, dia melakukan perjalanan ke luar kota untuk berbagai pertemuan.
Widya mengangguk, sebenarnya ada banyak pesan dan panggilan yang belum dia sampaikan, tapi takut akan mengganggu istirahat leader nya.
"Kenapa Mbak, gelisah gitu." Tanya Ridwan, driver freelance yang biasa dia booking saat bepergian ke luar kota.
"Gakpapa Mas, ini banyak pesan dan panggilan yang belum sempat saya sampaikan ke Mbak Aleesha." Jawabnya.
"Kira-kira, penting gak ?"
"Gak tahu Mas, gak berani buka."
"Ya sudah, tunggu Mbak Aleesha nya bangun saja. Kelihatannya dia capek, tidurnya pules banget." Kata Ridwan yang sempat melirik melalui kaca spion di atas dasboard mobilnya.
Perlahan tapi pasti, Widya juga ikut memejamkan mata. Suasana sebentar terasa hening. Hanya lantunan musik klasik dan deru berbagai jenis mesin kendaraan di luar sana yang terdengar.
"Sudah sampai mana Mas ?" Tanya Aleesha yang terbangun.
"Oh, sebentar lagi sampai Mbak."
"Hhhmmmm."
Dilihatnya Widya masih tertidur. Kembali dia rebahkan punggungnya pada sandaran jok mobilnya.
"Nanti, turunkan aku di rumah. Mobil kamu bawa saja Mas." Pintanya.
"Siap Mbak."
"Oh, Mbak Aleesha sudah bangun ?" Tanya Widya yang terbangun, saat menyadari terdengar obrolan di sekitarnya.
"Handphone saya dimana Wid ?"
Karena jadwalnya yang padat, sampai-sampai dia lupa membuka handphonenya.
"Ini Mbak, ada pesan dan beberapa panggilan dari Bunda yang belum Mbak jawab." Ucapnya sembari memberikan handphone milik atasannya itu.
"Oh, iya. Terimakasih."
Aleesha membaca satu persatu pesan yang masuk. Sudah hampir satu minggu, Ayah dan Bundanya ada di kota ini. Tapi belum bisa dia temani barang sehari saja untuk melepaskan rindu.
"Widya, apa besok aku ada acara ?"
"Eemmm, besok, sebentar Mbak."
Dia buka kembali jadwal yang sudah tersusun rapi pada memory book yang kemana-mana dia bawa.
"Untuk besok, kita free Mbak. Tapi lusa Mbak Aleesha ada pertemuan dengan Direktur Utama Startivi, untuk membicarakan kontrak." Lanjutnya.
'Direktu Utama Startivi, bukankah itu Asbram Purnama. Setelah sekian lama, bisa bertemu dan bertatap muka, inilah yang aku tunggu. Tapi ... ' Gumam Aleesha dalam hati.
"Apa, tidak bisa ditunda ?"
"Tidak bisa Mbak, kita menyesuaikan jadwal dari pihak Startivi. Karena CEO Startivi ingin bertemu langsung dengan kita." Jawab Widya yang sudah susah payah merangkum jadwalnya.
"Hhhmmmm."
Tidak ada komentar yang keluar lagi dari bibirnya.
"Apa Mbak Aleesha, ada acara lain ?"
"Tidak, tapi, aku ingin libur untuk beberapa hari di rumah menemani Ayah dan Bunda. Aku pikir, satu hari, rasanya belum cukup untuk menebus rasa rinduku pada mereka." Lirihnya.
"Apa perlu saya tanyakan lagi kepada asisten Pak Asbram untuk re-schedule. Tapi, takutnya akan mengurangi rasa percaya mereka." Kata Widya ragu.
"Tidak perlu, kita ikuti saja sesuai jadwal mereka."
***
Sesampainya di rumah.
"Kami pulang dulu ya Mbak ?" Pamitnya usai menurunkan Aleesha di rumahnya.
"Hati-hati di jalan ya Wid. Mas Ridwan titip Widya, untuk besok saya hubungi kalau saya perlu apa-apa."
"Siap Mbak."
Terlambat banyak waktu untuk makan malam bersama di rumah. Itulah kenapa Aleesha merasa bersalah. Selama Ayah dan Bundanya mengunjungi apartemennya, belum sekalipun dia bisa menikmati makan malam bersama.
Pintu kamar Bunda sudah tertutup rapat, saat Aleesha melewati nya menuju dapur.
"Baru pulang Nduk ?" Sapa Bunda, mungkin terbangun saat mendengar bunyi sendok dan gelas yang sedang beradu. Di tangannya ada secangkir teh panas, berharap bisa menghangatkan perutnya.
"Bunda belum tidur ?"
Diliriknya jam dinding, waktu menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat.
"Bunda juga belum lama baru pulang." Kata Bunda sembari meletakkan pantatnya di sofa.
"Dari mana Bun ?"
"Kami diundang makan malam ke rumah salah satu teman seangkatan kami."
Rasa kantuk yang tadi sempat menggelayuti, berganti dengan rasa penasaran di hati. Aleesha duduk di dekat Bunda, bersandar ingin bermanja.
"Oh ya, harusnya Icha yang mengantarkan Ayah dan Bunda tadi." Ucapnya sedih.
"Andai saja kamu bisa ikut, tapi...tidak apa-apa Nak, yang penting semua berjalan lancar."
Kata Bunda yang sedikit terdengar ada nada kecewa di dalam kalimatnya.
"Biarkan dia istirahat dulu Bun, besok masih banyak waktu untuk bicara." Kata Ayah menyela.
"Ada apa Bunda ?" Tersirat sebuah maksud tertentu pada kalimat yang ayah sampaikan. Rasa ingin tahu Aleesha semakin besar. Dia tatap wajah Bunda penuh tanda tanya.
Bunda tersenyum penuh arti, tangan lembut Beliau tak henti mengelus helai demi helai rambut Aleesha yang masih basah.
"Jangan sering berguyur di malam hari, tidak baik untuk kesehatan." Nasehat Beliau.
"Segar Bunda." Lirihnya.
"Kamu sudah makan ?"
"Sudah Bun. Ada apa Bunda ?" Dia ulang kembali pertanyaan yang tadi belum terjawab.
"Heiisstt...sudah, sudah, besok lagi ngobrolnya." Cegah Ayah lagi.
"Gakpapa Ayah, Icha belum ngantuk." Jawabnya berbohong.
Ayah ikut bergabung diantara mereka berdua.
"Ada hal yang akan Ayah sampaikan Nak." Kata Bunda.
Aleesha kembali duduk dengan benar, terbangun dari rasa nyaman saat bersandar.
"Icha, Ayah sendiri bingung mau mulai bicara dari mana." Kata Beliau mengawali pembicaraan.
"Tapi ini amanah yang harus kami sampaikan." Lanjut Beliau.
Aleesha masih terdiam, rasa hormat membuat dia sabar menunggu, petuah apa yang akan Ayah sampaikan.
"Icha , kedatangan Ayah dan Bunda ke kota ini dan menghadiri reuni akbar angkataan 70an, menemukan banyak hal di masa lalu yang tidak pernah kami tahu."
Bunda hanya diam terpaku memandangi wajah cantik Aleesha.
"Terus terang, Ayah ragu menyampaikan ini sama kamu. Tapi, kamu harus tahu dan bagaimana hasilnya nanti, kamu sendiri yang berhak memutuskan."
Kalimat yang Ayah ucapnya serasa mengena di hati Aleesha. Pada intinya, harus ada sebuah keputusan yang mereka harapkan.
'Entah kenapa, sampai disini, aku masih belum bisa menebak, kemana arah pembicaraan ayah sebenarnya.' kata hati Aleesha.
"Nak, jauh sebelum kamu di lahirkan, Ayah dan ibu kandungmu juga kami, menjalin persahabatan dengan seseorang yang bernama Hendra dan Rosmalina." Kata Ayah mulai bercerita.
"Namun, kami terpisah oleh jarak dan sempat lost kontak, disaat bisnis mereka mulai berkembang dan semakin maju ke kota lain." Cerita Beliau lagi.
"Sampai akhirnya, seorang teman seangkatan mempertemukan kami kembali dan tergabung di dalam group WhatsApp. Disaat itulah kami mulai saling menyapa hingga puncaknya pertemuan malam ini."
Masih belum jelas, apa inti pembicaraan yang akan Ayah sampaikan.
"Nak, apa yang Ayah bicarakan usai makan malam tadi, merupakan sebuah jawaban atas amanah yang pernah ibumu ucapkan dulu."
*Flashback On
Oeekk...ooeekk... ooeekk...
Suara tangis bayi terdengar pilu menyayat hati di tengah derasnya hujan.
"Linda, kamu harus kuat Lin, bertahan demi anakmu Linda." Isak tangis Bunda Aida tak tertahan.
Berbaring di hadapan Beliau, seorang ibu yang berjuang melewati masa kritis akibat dari sebuah kecelakaan yang menimpa dia dan suaminya. Deni, Ayah Aleesha meninggal saat dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan Linda, Ibunda Aleesha masih sempat dirawat setelah beberapa hari tak sadarkan diri.
Hanya Aleesha kecil yang selamat dari kecelakaan maut itu. Tubuh mungilnya terlindungi dari hempasan dahsyat di dalam dekapan sang ibu.
"Mas Deni..." Rintihnya lirih hampir tak terdengar.
"Dokter, dokter, pasien sudah sadar Dok." Teriak Ayah saat melihat Ibu Linda menggerakkan jarinya dan membuka mulutnya, menyebut nama suaminya.
"Bapak dan Ibu tolong keluar sebentar, biar kami melakukan pemeriksaan."
Ayah dan Ibu mengikuti apa yang Dokter sarankan.
Di pangkuan Beliau ada Aleesha kecil yang terus menangis. Entah rasa sakit akibat luka yang dia rasakan ataukah perasaan takut akan kehilangan yang dia tangisi.
"Bapak, Ibu, silahkan masuk. Pasien ingin bicara dengan anda." Kata Dokter beberapa saat usai memeriksa kondisi Ibu Linda.
"Lin, Linda." Ucap Bunda terbata.
"Aida, tolong jaga Aleesha untukku." Ucapnya mengawali.
Bunda memegang erat tangan Ibu Linda, bibirnya keluh tak mampu bicara. Hanya linangan air mata yang mewakili kesanggupannya menjawab permintaan Ibu Linda.
"Mungkin, Allah akan segera mempertemukan ku kembali dengan Mas Deni." Ucapnya ngelantur.
"Jangan bicara sembarangan, doakan suamimu agar bahagia di alam sana. Kamu harus kuat, kita besarkan Aleesha bersama." Pinta Bunda.
"Rawat Aleesha, anggap dia seperti anakmu sendiri. Kelak, jika dia sudah dewasa, pertemukan dia dengan Rose dan Hendra."
Sejak kalimat terakhir Ibu Linda ucapkan, saat itulah Beliau menghembuskan nafas terakhir. Sehingga belum jelas benar, apa arti permintaan terakhirnya.
*Flashback Off
"Karena kesibukan kami, sehingga kami lupa dengan pesan Almarhumah. Dan baru malam ini kami tahu bahwa, ada janji yang kedua orangtuamu jalin dengan Rose dan Hendra di masa hidupnya."
Cerita Ayah mulai terhenti.
"Janji apa Ayah ?" Lirihnya, mencoba mendesak.
Dalam diam Ayah berfikir, 'Haruskah ini terjadi ? Apakah ini adil untuk Aleesha ?'
Next On ----------------->
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!