NovelToon NovelToon

Metalmorfosis

BAB 1. Tidak Ada Yang Percaya Dengan Kebenaran.

Halloo warga... Selamat datang di novel ketigaku...

Sebelum kumpul di RTnya bang Ren, nih disimak dulu pengenalan para tokoh. Semoga membantu untuk memvisualisasikan imajinasi kalian ya... Karna di novelku gak ada visual sehingga kalian bebas membayangkannya sesuka kalian.

Harapanku, semoga cerita kali ini juga menjadi penghiburan buat kalian yang membacanya. Semoga cerita ini bisa mengalihkan kalian dari kepenatan beraktifitas di dunia nyata. Dan juga, semoga ada pelajaran yang bisa di ambil dari cerita sederhana ini.

Okeee..

Selamat membaca....

*****

ZINNIA NASHIRA.

Gadis berusia 25 tahun yang masih bersikap kekanak-kanakan. Dengan ciri-ciri wajah biasa saja. Rambut pendek pirang. Selalu berpakaian serba hitam. Karna ia menyukai aliran musik metal, rock. Mengidolakan Avril Lavinge sehingga penampilannya banyak dipengaruhi oleh gaya artis itu. Anak pertama dari pasangan Dewi Arsa yang merupakan seorang hakim dan Hanafi yang merupakan seorang wakil menteri.

Walaupun punya orangtua dengan latar belakang hebat. Namun Jin (panggilannya) memilih untuk hidup suka-suka sesuai dengan keinginannya. Dia lebih sering memberontak ketimbang menuruti perkataan kedua orang tuanya. Ia putus sekolah saat SMA dan memilih menjadi penjual bakso untuk sekedar mencari penghidupan. Kalau ada kesempatan, ia juga bisa menjadi pencopet dadakan saat suasana hatinya sedang buruk.

REN KABA PRIANGGORO

Berumur 31 tahun. Dengan ciri-ciri wajah tampan khas anak orang kaya. Penampilan keseharian santai namun rapi saat di kantor. Menyukai aliran musik pop melow. Bahkan tak jarang ia sampai ikut galau sampai menangis ketika mendengarkan musik kesukaannya. Pewaris tunggal dari perusahaan kakeknya yaitu FD Corp. Anak pertama dari Semesta dan Rai Kenandra Prianggoro yang merupakan Direktur Utama maskapai penerbangan Sky Air Aviation.

Idola: ....?

Dia tidak punya idola. Dia juga hidup suka-suka tapi masih dalam batas aman.

NAVYA KUMALA

Umurnya baru 24 tahun. Tapi ia sudah bekerja di FD Corp sebagai kepala tim pemasaran. Itu karna ia memiliki otak yang cerdas dan cepat memahami situasi kalau masalah pekerjaan. Memiliki penampilan yang cantik dengan rambut panjang hitam berkilau. Semua itu ditunjang dengan sikapnya yang anggun. Bahkan cara berjalannyapun bak model profesional. Hampir semua pria dikantor mendambakanya menjadi istri. Apalagi ia adalah anak ke 2 dari pasangan Dewi Arsa dan Hanafi. Yang berarti dia adalah adik dari Zinnia.

Latar belakangnya mendukung semua itu.

JOHAM SYAH

Dia adalah teman Zinnia. Umurnya juga sama dengan Zinnia. Yaitu 25 tahun. Dia juga penggemar April Lavinge. Pokoknya, dari penampilan dan gaya hidup, Joham tidak pernah jauh dari Zinnia. Mereka berdua itu sudah satu paket.

Joham sedang berjuang untuk mendapatkan hati Navya. Namun ia selalu mendapatkan penolakan dari gadis itu. Namun ia tidak lantas menyerah begitu saja.

Namun di balik itu semua, Joham adalah seorang progammer kelas atas yang selalu dicari oleh para pelanggannya. Ia juga merupakan seorang direktur di perusahaan software yang ia dirikan sendiri.

****

Commuter Line jurusan Jatinegara-Angke Terlihat lebih padat dari biasanya. Mungkin efek malam minggu jadi banyak muda mudi yang keluar untuk menghabiskan malam panjang mereka.

Di dekat pintu keluar, duduk seorang pria dengan mengenakan celana pendek selutut berwarna putih tulang. Sepatu kets merk ternama, serta kaus putih dan kemeja kotak-kotak biru-putih yang tidak terkancing.

Headset bluetooth sempurna bertengger di kedua telinganya. Ia memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya. Menikmati setiap alunan nada yang mengalun indah di gendang telinganya. Tujuannya adalah sebuah area yang menjadi ajang fashion week di salah satu kawasan yang selalu di adakan setiap akhir pekan. Tempat yang belakangan ini menjadi ajang berkumpulnya orang-orang yang ingin memamerkan gaya fashion mereka.

Dia adalah Ren. Ren Kaba Prianggoro.

Malam minggu. Saat teman-temannya menghabiskan waktu bersama dengan pasangan mereka, namun Ren hanya bisa menghabiskan waktu sendirian di Commuter Line yang penuh sesak oleh penumpang.

Di hadapannya, berdiri seorang gadis yang sedang berpegangan pada handle sedang menatapnya kesal. Awalnya Ren tidak peduli. Namun lama-lama ia kesal juga setelah ditatap begitu lama.

“Apa? Kenapa?” Tanya Ren sambil balas memelototi gadis itu.

“Perasaan dikit kenapa, Bang? Prioritaskan tempat duduk buat cewek dong.” Ujar gadis yang mengenakan kaus dan celana jeans berwarna hitam itu. Separuh rambut pirangnya di ikat di belakang kepala.

Ren hanya memperhatikan gadis itu dari ujung kepala hingga kaki.

“Situ belum termasuk ke dalam kategori yang harus diberi prioritas. Kalau dilihat-lihat, situ bukan salah satu penyandang disabilitas. Juga bukan ibu hamil, apalagi nenek-nenek. Apa jangan-jangan, situ remaja jompo?” Ujar Ren sambil menahan tawa.

“Apa?”  Gadis itu tambah melotot kepada Ren. Tidak terima dikatai remaja jompo. “sia lan.” Makinya lirih.

Ren melanjutkan ketidak peduliannya. Sampai di stasiun berikutnya, datanglah seorang ibu hamil yang berdiri di hadapannya. Dan ia segera memberikan kursinya kepada ibu hamil tersebut. Sontak ia mendapat decikan dari gadis pirang yang kini berdiri tepat disampingnya.

“Silahkan, Mbak.” Ren mempersilahkan.

“Makasih, Mas.”

“Ch!” Gadis itu melirik sinis kepada Ren.

Ren hanya melengos saja kemudian sibuk dengan ponselnya. Sebelah tangannya memegang handle untuk menjaga keseimbangannya.

Walaupun fokusnya ke layar ponsel, namun ia masih bisa merasakan saat ada sebuah sentuhan di bokongnya. Ia juga bisa merasakan kalau perlahan dompet yang berada di saku belakangnya mulai bergerak naik.

Segera Ren menggeser tubuhnya dan menangkap tangan yang hendak mencuri dompetnya. Ia menarik dan mencengkeram tangan gadis yang berdiri disampingnya itu. Gadis itu tak kalah terkejutnya karna tiba-tiba Ren menarik dan mencengkeram tangannya dengan kuat.

“Kamu?!!” Ren mendelik kepada gadis itu.

“Aaaaaaaa!!!!!!!!”

Tiba-tiba gadis itu berteriak dengan sangat kencang. Membuat penumpang di gerbong mereka langsung melihat kepadanya.

“Kenapa, Kak?” Tanya seorang pemuda yang tak jauh dari mereka.

“Tolong! Dia melecehkan saya!” Pekik gadis itu lagi.

Ren langsung melepaskan tangan gadis itu seketika. Sementara gadis itu langsung menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Menatap pias kepada Ren yang jadi bingung karna reaksinya.

“Hei!” Ren berteriak saat beberapa pria tiba-tiba memeganginya. Mencengkeram kedua tangannya ke belakang.

“Dia bohong, Pak! Saya gak ada nyentuh dia. Dia yang mau ambil dompet saya! Dia itu pencopet!” Pekik Ren membela diri.

“Bohong! Kamu udah pegang-pegang pan tat saya!”

“Kamu yang bohong! Dasar pencuri!” Ren tetap membela diri. Membuat orang-orang bingung melihat mereka.

“Mana buktinya kalau aku mencuri?!” Gadis itu tetap pada aktingnya. “Kamu yang mesum, kok malah nuduh aku pencuri!” Gadis itu mulai meneteskan airmata demi menarik simpati dari orang-orang.

Seorang pria yang memegangi Ren meraba arah kantung celananya. Ia menarik dompet Ren yang masih berada di dalamnya dan menunjukkannya kepada semua orang.

Kini keadaan Ren semakin terpojok dengan bukti bahwa dompetnya masih ada di dalam sakunya. Dan tuduhan pelecehan seksualpun langsung tersemat kepadanya. Para pria semakin mengeratkan cengkeramannya hingga membuatnya kesulitan untuk bergerak. Sementara gadis itu sedang di tenangkan oleh beberapa ibu-ibu yang bersimpati padanya.

“Pak! Dia bohong, Pak!” Ren masih mencoba membela diri walaupun tidak ada satu orangpun yang percaya padanya.

Beberapa saat kemudian, dua orang pihak keamanan kereta datang dan langsung membawa Ren turun di stasiun terdekat  untuk kemudian di serahkan ke kantor polisi.

Gadis yang menjadi ‘korban’ pun ikut dibawa ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.

Kini, Ren dan gadis itu sudah berada di sebuah ruangan kantor polisi dan sedang di selidiki.

“Pak, tolong percaya sama saya. Saya sama sekali gak pernah menyentuhnya, Pak. Dia yang mau mencuri dompet saya!” Tegas Ren kepada petugas yang sedang mencatat di komputer dengan sesekali melihat kepada KTP milik Ren.

“Kamu, mana KTP-mu?” Petugas meminta kartu identitas milik gadis itu.

“Saya gak bawa, Pak.” Jawab gadis itu dengan raut wajah sedih.

“Tuh kan Pak. Dia ini penipu, Pak. Kalau enggak, mana mungkin dia gak bawa KTP.” Ren memanfaatkan situasi untuk membela diri. Namun sepertinya petugas tak serta merta mempercayainya.

“Boleh saya telfon pengacara saya, Pak?” Ujar Ren meminta izin.

“Wwiihh. Gaya sekali pake pengacara segala. Ngaku aja kalau memang kamu melecehkan Mbak ini.” Seloroh salah satu petugas mentertawakan Ren. Namun Ren tetap di perbolehkan untuk menelfon.

Ren segera menelfon Pak Heru, penasihat hukum di perusahaannya. Heru langsung bergerak cepat untuk mengamankan bukti berupa vlog dari salah satu penumpang kereta. Tidak butuh waktu lama karna ia punya banyak jaringan dimana-mana.

Dua jam kemudian, Heru sudah tiba di kantor polisi beserta dengan Ariga, sekretaris Ren. Heru segera menyerahkan bukti video kepada petugas yang hanya bisa ternganga saja melihat kepada gadis yang sedang menggigiti bibirnya itu. Dan akhirnya Ren dinyatakan tidak bersalah.

“Maaf atas ketidak nyamanannya, Mas.” Petugas meminta maaf kepada Ren.

“Iya, gak apa-apa, Pak. Yang penting tolong ditindak itu.” Ujar Ren yang menunjuk gadis pencuri dengan dagunya. Sedangkan gadis itu hanya melirik padanya saja. Tidak merasa bersalah sama sekali.

Ren sudah boleh keluar dari kantor polisi. Bersama dengan Ariga dan Heru, mereka berjalan menuju ke arah mobil di parkir.

“Makasih banyak, Pak Heru.” Ujar Ren.

“Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu.”

Ariga segera membukakan pintu untuk bosnya itu. Sementara Heru mengemudikan mobilnya sendiri.

“Harusnya Bapak ngajak saya. Atau naik mobil sendiri aja, Pak. Kenapa harus naik kereta, Pak?” Ariga mulai merepet menyalurkan kekesalannya. Karna peristiwa bodoh hampir saja menimpa Ren.

“Sekali-kali perlu healing, Ga.” Jawab Ren santai.

“Healing apaan kalau akhirnya dibawa ke kantor polisi, Pak? Healing itu ke gunung, ke laut.” Ariga masih saja merepet. “Kenapa gak di tuntut aja cewek itu, Pak?”

“Udah di urus sama Pak Heru.” Ujar Ren yang kemudian berusaha untuk memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil.

Melihat itu, Ariga sudah tidak berani protes lagi. Ia terus melajukan mobil menuju ke kediaman Ren.

BAB 2. Terjebak Di Padang Kaktus.

Zinnia masih terduduk di salah satu kursi ruangan kantor polisi setelah Ren pergi bersama dengan pengacara dan sekretarisnya. Ia bersedekap sambil menggoyang-goyangkan kursi yang ia duduki.

“Cepetan telfon keluargamu.” Perintah salah satu petugas.

“Saya gak punya keluarga, Pak.” Jawabnya santai.

“Kalau gitu saudaramu.”

“Saya juga gak punya saudara, Pak.”

“Ya ampun Mbak. Mana mungkin ada orang yang gak punya saudara.”

“Ada, buktinya saya.”

“Kamu bawa KTP, kan? Mana sini KTP-mu?” Pinta petugas.

Awalnya Zinnia enggan untuk memberikannya. Namun setelah melihat petugas yang melotot ke arahnya, ia jadi meringsut dan kemudian mengeluarkan dompetnya. Dengan terpaksa menyerahkan KTP kepada petugas.

“Dari tadi gini kan udah Selesai kerjaan.” Gerutu petugas yang kesal karna Zinnia keras kepala.

Petugas itu memperhatikan kartu identitas milik Zinnia kemudian mencatatnya di komputer.

“Umur udah 25 masih demen nyopet, Kamu. Cari kerja yang halal, Mbak. Banyak di luar sana kerja yang halal.”

“Bapak kok mental shamming sih! Bapak bisa saya tuntut lho, atas perbuatan tidak menyenangkan karna bapak udah nyinggung saya.”

“Ya,,, ya,,, ya,,,” petugas itu nampak enggan menanggapi Zinnia.

Zinnia merogoh saku celananya saat ponSelnya berbunyi. Ada nama ‘Joo’ yang muncul di layar ponSelnya.

“Joooooo....” Rengeknya tiba-tiba saat mengangkat ponSelnya.

“Dimana? Aku udah di lokasi ini.” Ujar pria bernama Joham Syah itu. Suaranya terdengar kesal.

“Di kantor polisi.” Jawab Zinnia santai.

“Hah? Kok di kantor polisi? Ngapain?”

“Biasa....”

Joham sepertinya mengerti apa yang dimaksud oleh Zinnia dengan ‘biasa’.

“Ya ampun. Kamu ini ya. Gak ada kapok-kapoknya sih!” Joham malah ikut menggerutu.

“Buruan kesini.” Perintah Zinnia kemudian mematikan ponsel secara sepihak.

“Kamu tau ancaman hukumanmu?” Tanya petugas kembali.

“3 tahun.” Lagi-lagi Zinnia menjawabnya dengan santai.

“Nah itu tau. Kenapa masih ngelakuin?”

Zinnia terdiam.

Namun obrolan itu terhenti saat ada seorang wanita berkacamata yang mengetuk pintu dan kemudian masuk ke dalam ruangan. Wanita muda itu memperkenalkan dirinya sebagai wali dari Zinnia.

Zinnia nampak melengos tidak peduli. Ia sudah menduga kalau Selvi akan datang. Mengingat kalau ibunya pastilah sudah dikabari oleh orang-orang kenalannya yang berada di kantor polisi.

Sekretaris pribadi ibunya itu langsung menyelesaikan masalah saat itu juga.

“Jadi ini anaknya Bu Arsa?” Petugas itu nampak berbisi-bisik kepada sesama rekannya.

Tidak heran. Karna ibunya terkenal sebagai hakim yang banyak di kagumi oleh orang-orang yang bergelut di bidang hukum. Termasuk para polisi.

“Kalau begitu kami permisi dulu, Pak. Terimakasih atas kerja samanya.” Ucap Selvi sambil memaksa Zinnia untuk keluar dari ruangan itu lewat kode kepalanya.

Zinnia yang masih bersedekap mengikuti Selvi dengan diam. Berjalan keluar dari kantor polisi ke arah mobil terparkir.

“Kenapa gak masuk?”

“Kak Selvi duluan aja. Aku nunggu temen.”

Selvi tidak peduli. Ia mengangguk kemudian masuk sendiri ke dalam mobil.

Zinnia mengikuti kepergian mobil Selvi yang mulai menghilang dari pandangan. Berdiri sambil sesekali menendang-nendang kerikil untuk mengusir bosan.

Kalau teringat kejadian sore tadi, rasanya enggan sekali ia pulang ke rumah. Karna bisa di pastikan kalau ia hanya akan mendapat omelan dari ayah, ibu, bahkan adiknya yang ‘sempurna’ itu.

******

Flasback di ruang keluarga tadi sore.

Zinnia sedang sibuk dengan ponselnya. Duduk bersila di sofa dengan TV yang menyala tanpa ada yang melihatnya. Tangan kanannya sibuk menjumputi snack kue bawang dari dalam toples di pangkuannya.

Saat terdengar suara mobil ibunya yang sudah kembali dari bekerja, ia segera merapikan duduk dan menutup toples serta menaruhnya kembali ke atas meja. Ia juga menepis-nepis remahan yang mungkin terjatuh di atas sofa.

“Mama udah pulang?” Sapanya dengan tersenyum.

“iya.” Jawab Arsa yang ikut duduk di sofa. Wanita paruh baya itu meletakkan tasnya di atas meja kemudian menyandarkan kepalanya.

Zinnia menutup ponsel lipatnya kemudian membenahi duduknya untuk menghadap ibunya.

“ma...” Lirihnya.

“Apa? Mau minta apa?”

“Hehehe.. Ehmmm,, Zinnia mau lihat konser di Malang, boleh?”

“Konser apa?”

“Ya konser musik metal.”

“Gak.” Jawab Arsa tegas.

Dan seketika suasana hati Zinnia berubah kesal. Ia merengut kepada ibunya dengan mendengus kecil. Mengutarakan kekesalannya padahal ia belum mengatakan alasannya.

“Kamu ini mau sampai kapan begini terus? Gak pengen berubah apa? Gak iri lihat adikmu yang udah berhasil dan sukses di umur semuda itu? Gimana caranya Mama bisa ngerubah kamu, Zinnia?”

Mulaiiii... Batin Zinnia kesal.

“Di umur segini, seharusnya kamu ini udah mikirin kerjaan. Gimana nasib masa depan kamu nanti? Lihat adikmu itu. Masa depannya sudah terjamin. Kenapa kalian ini beda? Kamu seperti bukan anak mama aja.” Dengus Arsa yang sudah kesal. Ia sudah lelah bekerja, ditambah dengan putri sulungnya yang selalu membuat masalah. Sibuk mengurusi konser apalah itu.

“Mungkin memang aku bukan anak Mama, kali.” Jawab Zinnia.

“Zinnia!!” Arsa sudah terpancing emosi.

“Memang apa salahku, Ma? Berhenti banding-bandingin aku sama Navya! Selama ini Mama gak pernah urusin hidupku dan terlalu fokus sama hidup Navya! Mama bahkan gak peduli saat aku minta berhenti sekolah dan malah biarin aku gitu aja. Di hidup Mama cuma ada Navya! Navya! Dan Navya! Cuma dia yang bisa banggain Mama sama Papa tanpa melihat kepadaku!” Zinnia sudah kepalang emosi.

Plak!

Sebuah tamparan dari Hanafi yang baru pulang bekerja tapi sudah mendapati istri dan anaknya bertengkar.

“Kamu ini apa gak pernah di ajari buat hormat sama orang tua?! Tiap hari melawan terus kalau di bilangin.” Dengus Hanafi dengan tatapan marahnya.

Hati Zinnia kembali terkoyak. Tamparan di pipi sakitnya tidak sebanding dengan yang ia rasakan di hatinya. Ia masih ingin melawan. Tapi saat melihat sekelebatan bayangan Navya yang berdiri di pintu masuk, membuatnya enggan untuk melanjutkan.

Seperti baisa, Navya melihat dengan tatapan menjijikkan dan remeh kepadanya. Membuat sakit di hatinya semakin berambah saja.

Zinnia muak tinggal di rumah ini. Ia  muak dengan semua perlakuan yang selalu ia terima dari orangtua dan adiknya. Ia ingin pergi tapi ia tidak punya tempat pelarian.

saking kesalnya, Zinnia langsung mendengus pergi begitu saja melewati Navya. ia keluar dari rumah dan tidak mempedulikan teriakan ibunya yang memanggil namanya.

Di mata keluarganya, ia seperti tidak terlihat. Selalu dipandang remeh dengan apapun yang ia lakukan. Ia ingin keluar dari tempurung yang menyesakkan itu. Pergi ke tempat dimana orang tidak memandang rendah dirinya. Dan tidak di banding-bandingkan dengan siapapun.

Untuk saat ini, pelariannya adalah musik metal. Saat ia mendengar dentuman demi dentuman di telinganya, membuat hati dan fikirannya kosong. Sesaat, ia bisa melupakan tempat yang membuatnya sesak tak berkesudahan itu.

Sejak kecil tidak di anggap dan Selalu diremehkan oleh keluarga sendiri. Itu ibarat seperti hidup di tengah padang kaktus. Kemanapun ia bergerak, duri-duri yang menyakitkan akan terus menusuk menembus kedalam kulitnya. Hingga menyebabkan luka itu gatal dan perlahan membusuk.

BAB 3. Tawa. Tempat Bersembunyi Paling Sempurna.

“Jin!”

Zinnia tau siapa yang sedang memanggilnya itu. Hanya satu makhluk di dunia ini yang memanggilnya begitu. Dia adalah Joham Syah. Teman seumuran yang sama tengilnya seperti dia. Mereka sama-sama menyukai aliran musik yang sama. Dan hanya Joham yang tidak pernah meremehkan dirinya dan mendukung apapun yang ia lakukan. Selama itu masih dalam batas wajar.

“Joo, kamu harus les artikulasi supaya bisa memanggilku dengan benar.” Gerutu Zinnia.

“Ya emang kamu Jin.” Jawab Joham santai.

“Sia lan!”

“Kamu ini kenapa lagi?” Tanya Joham yang masih duduk di atas sepeda motornya. “Buruan naik, aku anter pulang.”

“Kalau aku mau pulang, udah nebeng Kak Selvi dari tadi. Gak perlu repot-repot nungguin kamu. Malam ini aku nginep di rumahmu.”

“Heh! Enak aja. Kalau aku silap gimana? Kasihan Navya kalau tubuhku ternodai.” Joham menolak.

Plak! Sebuah pukulan mendarat di punggungnya. Zinnia menatapnya tanpa ekspresi sehingga nampak menyeramkan. Apalagi wajahnya di terpa oleh cahaya lampu dari teras kantor polisi.

“Aku tau kamu kuat iman, Joo.” Desisnya. “Berangkat!” Paksa Zinnia saat ia sudah nangkring di belakang Joham.

“Awas aja pokoknya kalau sampai salah satu di antara kita silap. Aku bakalan tuntut kamu atas dugaan pelecehan seksual dan pemerkosaan.” Ancam Joham.

“Gak bakal. Palingan ngeraba-raba dikit.”

“jin!”

“Hahahahahaha.”

Dan sepanjang jalan, Joham terus menggerutu tidak jelas. Ia kesal karna Zinnia tetap tidak mau diantar pulang ke rumahnya. Padahal ia sudah membujuknya.

“Mau ngopi dulu, gak?” Tawar Joham di tengah perjalanan.

“Boleh.”

Joham menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung burjo di depan komplek perumahannya. Si abang penjual langsung tersenyum ramah padanya.

“Kopi dua, Bang.” Pesan Joham yang langsung duduk di kursi panjang.

“Indomi satu, Bang. Banyakin cabenya.” Zinnia memesan sambil ikut duduk di samping Joham.

“Siap. Udah lama gak kemari, Neng?” Ujar abang penjual yang memang sudah mengenal Zinnia dan Joham. Namun Zinnia hanya tersenyum saja menanggapi pertanyaan itu.

Lima menit kemudian, pesanan mereka sudah datang. Aroma pedas langsung menyeruak dari piring mie goreng di hadapan Zinnia.

Tanpa banyak bicara, Zinnia segera menyantap hidangan itu. Joham hanya membiarkannya saja, ia sudah faham dengan apa yang terjadi selanjutnya.

Perlahan, suara isak tangis dari gadis yang duduk di samping Joham itu mulai terdengar. Joham menarik tisu dan mengulurkannya kepada Zinnia. Ia sudah tau apa yang membuat Zinnia menangis. Bukan karna pedasnya makanan yang ia makan, melainkan hatinya yang sedang terluka.

“Tuh kan? Pedes kan?” Seloroh abang penjual.

“Abang sih! Kenapa di kasih cabenya banyak banget! Kan aku jadi gak tahan sampe nangis begini!” Keluh Zinnia membuat abang penjual menggeleng heran.

“Lha kan situ yang minta. Kok jadi saya yang salah?”

“Huhuhuhuhu... Hiks.” Walaupun airmatanya meleleh namun Zinnia masih menghabiskan makanannya dengan sesenggukan.

Joham menunggu sampai temannya itu berhenti menangis, baru ia bertanya.

“Kali ini apa lagi?”

“Aku cuma minta ijin pergi ke Malang. Malah kemana-mana bahasnya.”

“Kan konsernya di batalin. Emangnya kamu gak tau?”

“Hah? Yang bener?” Zinnia mengusap hidungnya dengan punggung tangannya.

“Iyuhh.” Joham jijik sekali melihatnya. Ia kembali menyerahkan tisu kepada Zinnia. Tapi kali ini beserta kotaknya sekalian.

Zinnia mengambil tisu untuk mengelap tangan dan hidungnya. Zat capcaisin membuat cairan di hidungnya terus meleleh.

“Jadi gak ada gunanya dong aku kabur.”

“Hahahahaha. Makanya, apa-apa itu, lihat kondisi dulu.”

Zinnia mencibiri Joham. Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat.

“Apa yang kamu sukai dari Navya, Joo?” Pertanyaan itu membuat Joham langsung menoleh kepada Zinnia. Ia mengernyitkan keningnya.

“Yakin mau dengar? Nanti tambah sakit.”

“Sekarang gak yakin. Gak usah di jawab.” Dengus Zinnia.

“Hahahahaha. Cobalah cari pria yang baik. Bukan cuma karna kamu pengen nyosor bibirnya doang. Saat hatimu berdebar, kamu bakalan ngerti kenapa aku suka sama Navya.”

“Ch! Tapi hatiku gak pernah berdebar saat pacaran, Joo. Apa itu berarti aku belum ketemu sama pria yang baik?”

“Bisa jadi. Jodohmu masih sembunyi karna takut sama penampakanmu. Hahahahahaha.” Joham puas sekali menggoda Zinnia. Tidak peduli kalau punggungnya sudah berkali-kali mendapatkan pukulan dari gadis itu.

“Seremeh itukah aku bagimu, Joo? Bagi kalian?” Suara Zinnia berubah sendu. Ia menunduk sambil melipat tangannya di atas meja.

Dan saat itu Joham tau, kalau ia sudah salah bersikap. Ia menggaruk sebelah alisnya dengan ekspresi tidak enak.

“Bukan gitu, Jin.” Joham tidak jadi melanjutkan pembelaannya karna melihat airmata sudah kembali menetes ke atas meja. Ia hanya bisa menghela nafas penyesalan karna sudah salah berbicara.

“Maaf. Aku gak bermaksud nyinggung perasaan kamu.” Lirih Joham penuh penyesalan

Zinnia masih terdiam. Ia terus menundukkan wajahnya. Namun tiba-tiba tubuhnya mulai bergoyang dan terdengar suara darinya.

“Bbuuuuaahahahahhahaahhaaha!” Zinnia tertawa lepas. Ia menegakkan punggungnya sambil mengusap matanya. “Takut, ya? Takut, ya? Hahahahahahaha.” Raut wajah Zinnia tak menampakkan kesedihan sama sekali.

“Sialan kamu. Dasar jin.” Gerutu Joham yang sudah kepalang kesal.

Padahal Joham tau, itu hanya sikap pura-pura Zinnia untuk menyembunyikan kesedihannya yang sesungguhnya. Ia merasa kasihan kepada temannya itu.

Orang bilang, tidak ada kata persahabatan antara pria dan wanita. Karna salah satunya pasti memilik perasaan lebih terhadap yang lain.

Tapi Joham dan Zinnia membuktikannya. Mereka sudah bersahabat lebih dari lima tahun. Tak ada perasaan cinta di antara mereka. Baik Joham maupun Zinnia, tak pernah mempunyai perasaan lebih terhadap satu sama lain. Mereka hanya berteman. Hanya sebatas itu.

Joham tetap bertahan pada perasaannya untuk Navya. Sedangkan Zinnia, dia akan berpacaran dengan siapapun yang dia mau, dan akan memutuskannya saat ia mau.

“Jooo!!! Tunggu!” Pekik Zinnia saat Joham yang kesal sudah berjalan keluar di depannya. Pria itu bahkan mengancam akan meninggalkan Zinnia dengan langsung bertengger di atas sepeda motornya.

Untungnya Zinnia dengan cepat melompat ke atas jok motor. Dan Joham segera melajukan motornya menuju ke rumahnya.

“Aahhh. Enaknyaaa....” Seloroh Zinnia yang menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Menatap langit-langit ruangan itu dengan perasaan yang sulit di jelaskan.

“Kamu tidur di kamar aja. Biar aku yang tidur disini.” Perintah Joham sambil melemparkan selimut dan bantal ke atas sofa.

“Makaciiihhh...” Jawan Zinnia yang langsung ngeloyor ke kamar Joham.

“Bersihin dulu badanmu sebelum tidur!” Teriak Joham mengingatkan. Namun Zinnia hanya melambaikan sebelah tangannya saja.

Di rumah Joham hanya terdapat dua kamar tidur. Satu ia gunakan sebagai gudang dan ia hanya menggunakan satu kamar saja. Jadi saat Zinnia menginap disini, ia akan mengalah dan tidur di sofa ruang  tamu.

Zinnia memang sudah sering menginap di rumahnya kalau sedang bermasalah dengan keluarganya. Bahkan para tetangga Joham sudah mengenal baik siapa dia. Rumah Joham sudah seperti rumah kedua baginya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!