Bab 1.
Zaman kuno, di dataran tengah. Malam itu kebakaran besar terjadi di salah satu rumah obat, seorang laki-laki paruh baya dengan jubah putih berdiri ditengah-tengah kobaran api, ia adalah Tagatha pendekar bangau emas (pendekar yang memiliki julukan adalah pendekar yang sudah diakui kehebatannya). Beberapa orang bertopeng mengelilingi Tagatha, bersiap untuk menyerangnya kapan saja, “cukup sulit untuk mencarimu, tapi malam ini nyawamu akan berakhir” kata salah satu pria bertopeng, “kalian membakar rumahku, membunuh keluargaku, akan kuhabisi kalian!” Tagatha memasang kuda-kudanya dan langsung menyerang, pertarungan terjadi ditengah kobaran api.
Didalam kamar seorang bayi berusia tiga tahun menangis dengan kencang, bayi keturunan Tagatha. Ji adik ipar laki-laki Tagatha datang memeluk bayi itu, menyelimutinya dengan kain, membawa bayi itu pergi dari rumah obat yang terbakar. Semenjak malam itu tidak ada lagi kabar dari rumah obat, hanya Ji dan bayi tiga tahun itu yang selamat. Ji kabur kesalah satu desa di kaki gunung, masuk ke dalam gubuk terbengkalai, menaruh bayi itu diatas tumpukan jerami “kita sudah aman disini” Ji tersenyum, ia mengeluarkan sebuah cicin dari perunggu, peninggalan turun-temurun keluarga Tagatha, mengalungkannya di leher bayi tiga tahun itu, Ji tersenyum “keturunan bangau emas belum berakhir”. Semenjak hari itu Ji membesarkan bayi tiga tahun itu, bayi keturunan bangau emas, bayi yang memiliki nama Niki.
Lima belas tahun berlalu, disebuah benteng di kaki tebing, benteng yang sangat besar, benteng dengan pendekar-pendekar hebat, salah satu benteng penjaga wilayah kekaisaran Bulan Sabit, benteng Tebing Langit. Disebuah pondok di ujung benteng, seorang kakek tua dengan rambut dan jenggot yang sudah lama menjadi putih, hanya duduk diam bermeditasi sepanjang hari, ia bernama tetua Su, tetapi sering dipanggil kakek kura-kura. Pintu pondok dibuka, seorang laki-laki paruh baya berkumis tebal masuk kedalam “maaf mengganggu” kata laki-laki dengan nama Wan, ia adalah ketua Tebing Langit, panggilannya adalah ketua Wan.
Su membuka matanya “selamat datang ketua Wan”, Wan tersenyum “lama tidak bertemu tetua” – “kau pria yang sibuk” Su mengambilkan segelas teh, “tidak perlu repot-repot, aku tak akan lama” kata Wan, “jadi apa maksud kedatanganmu?” tanya Su sembari meminum teh itu, “tahun ini benteng kita akan kembali menerima pasukan baru, aku hanya ingin meminta rekomendasi pendekar darimu tetua” Wan langsung pada inti pembicaraan.
Su tersenyum “kau tau kan aku sudah tidak mencari murid” – “tapi hanya kau dibenteng ini yang bisa melihat potensi pendekar dengan sangat baik, kumohon” Wan menundukan kepalanya memohon, “naikan kepalamu, baik-baiklah, aku akan membawa pendekar tahun ini, tapi aku hanya akan membawa satu” kata Su, Wan langsung tersenyum “terima kasih tetua, kalau begitu sebaiknya aku pergi dulu, masih banyak yang harus kukerjakan” Wan beranjak keluar dari pondok Su, Su hanya menghela nafas.
Niki kini sudah berumur delapan belas tahun, ia sudah tumbuh menjadi laki-laki yang gagah dengan rambut panjang diikat kebelakang, tetapi kekurangannya, ia pemalas. Siang itu matahari sudah sampai dipuncak, Niki masih berleha-leha didalam gubuknya di tengah ladang, pintu gubuk diketuk, “siapa?” tanya Niki tanpa beranjak dari tempat tidurnya, pintu gubuk kembali diketuk, “iya-iya tunggu sebentar” dengan malas Niki beranjak membukakan pintu gubuk.
Baru pintu gubuk dibuka, Su langsung menyerang Niki, Niki menghindari serangan itu, Su kembali menyerang, pertarungan terjadi di depan gubuk, Niki berhasil mengimbangi serangan Su, tentu saja Su tidak serius. “Hebat juga kau anak muda” puji Su, “kau siapa?” tanya Niki, “namaku Su, aku mencari Ji, apa dia tinggal disini?” – “untuk apa menyerangku?” tanya Niki lagi, Su tertawa “aku hanya bercanda, mencari kesenangan”, Niki kesal “kau tunggu saja, sebentar lagi paman juga pulang” Niki pergi dari gubuk meninggalkan Su, Su tersenyum, ia mengenali cincin perunggu yang menggantung dileher Niki.
Matahari sudah hampir terbenam, Niki baru kembali ke gubuk. Niki membuka pintu “paman aku pulang”, didalam gubuk Ji sedang berbincang dengan Su, “kakek tua ini masih disini?” tanya Niki saat melihat Su, “jangan kurang ajar begitu, dia adalah tetua Su, salah satu orang penting dari benteng Tebing Langit, beri hormat padanya” perintah Ji, “aku tidak memberi hormat pada orang yang menyerangku” Niki berjalan ke tempat tidurnya acuh tak acuh, “maafkan sikapnya tetua Su” kata Ji, Su tersenyum “aku suka sifatnya, aku ingin membawanya” – “sudah waktunya ya?” tanya Ji, Su mengangguk “kau sudah membimbingnya dengan baik, sudah waktunya ia kembali ke tempat seharusnya” – “baiklah akan kusampaikan padanya” Ji beranjak menghampiri Niki “Niki kemarilah, ada yang perlu dibicarakan”.
Saat itu masih pagi-pagi buta, Niki sudah bersiap dengan barang bawaannya, “mengapa aku harus ke Tebing Langit si?” gerutu Niki, “ini perintah dari kekaisaran, ia memintamu untuk menjadi pasukan mereka, itu sesuatu yang terhormat tahu” jawab Ji sembari membantu Niki menyiapkan barang bawaan, “aku mau menjadi petani saja” kata Niki lagi, “ngomong apa si kau!” Ji menjitak kepala Niki. Kini Niki sudah siap berangkat, “hei Niki, ada satu lagi” Ji memberikan sepasang kerambit pada Niki “pergunakan dengan baik, seorang laki-laki pasti akan pergi dari rumah, jadilah seorang pendekar, hanya itu pesanku”, Niki mengambil kerambit itu, diam memperhatikan untuk sesaat, kemudian mengantunginya “baiklah, aku berangkat” Niki tersenyum, Ji ikut tersenyum. Hari itu Niki pergi.
Bab 2.
Matahari sudah sampai dipuncak, gerbang masuk Tebing Langit sangat ramai, rombongan pemuda-pemudi memasuki gerbang itu, Niki juga ada diantara mereka. Su memperhatikan dari atas tembok benteng, ia berdiri ditemani seorang pemuda berambut panjang diikat kebelakang, memakai ikat kepala merah dikepala, dan membawa pedang di punggungnya, namanya Sai, dijuluki anak iblis, anggota pasukan macan kumbang (pasukan elit Tebing Langit). “Jadi dia anaknya?” tanya Sai, Su mengangguk, “bukannya dia terlalu muda?” tanya Sai lagi, “aku yakin dia siap” Su tersenyum. Ada peraturan, pemuda-pemudi yang berusia dua puluh tahun baru boleh menjadi pasukan.
Para calon pasukan baru dibariskan di halaman utama Tebing Langit, empat orang pendekar berdiri diatas altar menyambut mereka. Berdiri ditengah seorang perempuan berambut merah, namanya Vivian, dijuluki kilat merah, anggota pasukan penyergap.
Disebelah kanannya, dua orang laki-laki kembar, Taka dan Taki, dijuluki si kembar gila, anggota pasukan pengejar.
Lalu disebelah kiri, seorang laki-laki berbadan besar, Tang, dijuluki banteng besi, anggota pasukan menara.
Para calon pasukan baru terkesima melihat mereka berempat, mereka adalah beberapa dari pendekar-pendekar ternama di Tebing Langit, bahkan kekaisaran Bulan Sabit. Wan berjalan naik keatas altar, semua calon pasukan baru langsung memberi hormat, termasuk Niki, meskipun ia hanya ikut-ikutan, ia tidak tahu siapa itu Wan. “Selamat datang semuanya, saya adalah ketua Wan, ketua Tebing Langit” Wan memberi sambutan “kalian adalah masa depan benteng ini, selamat menjadi pendekar”, calon pasukan baru memberikan tepuk tangan yang meriah, Wan tersenyum, kemudian turun dari altar.
Vivian maju kedepan “semuanya dengarkan!”, seketika halaman utama hening, tidak ada yang menyangka perempuan secantik Vivian sangat galak, “mulai hari ini, kami berempat akan menjadi pengawas kalian, dalam tiga puluh hari kedepan kami akan menilai kemampuan kalian, dan memilih akan ditempatkan kedalam pasukan apa, dan mungkin juga ada harus kembali pulang!” Vivian menjelaskan, semuanya terdiam mendengar itu, mereka semua terkejut jika mereka bisa dipulangkan.
Makan malam di aula utama, Semua orang sedang berusaha berbaur mencari teman. Diantara mereka, ada beberapa orang yang paling menonjol, yang dianggap sudah pasti masuk dalam pasukan atas, memang di benteng ini terdapat banyak pasukan, mereka menyebutnya pasukan atas dan pasukan biasa, pasukan atas adalah para pasukan yang melakukan tugas-tugas penting, sedangkan pasukan biasa hanyalah para pasukan yang bertugas menjaga benteng.
Seorang pemuda bernama Lou Han dikelilingi teman-temannya “aku akan menjadi penguasa di Tebing Langit” katanya dengan sombong, Lou memang keturunan Han, keluarga pendekar hebat turun temurun, dan tentu saja hanya dengan nama Han, Lou sudah memiliki banyak pengikut. “Banyak bicara, aku yang akan jadi penguasa” potong Lee, pemuda berbakat.
Semua orang berusaha mencari nama malam itu, kecuali Niki yang tidak peduli dengan semua ini, ia hanya sedang menikmati makan malamnya, “boleh aku duduk disini?” seorang pemuda dengan rambut ikal dan berbadan kurus, “silahkan” jawab Niki sembari meneruskan makanannya, “namaku Ge, aku dari desa..” – “aku tidak peduli” jawab Niki acuh tak acuh, Ge diam dan mulai makan.
Matahari sangat terik, semua calon pasukan sedang latihan fisik di tengah-tengah halaman yang panas, ada yang berlatih jurus, berlatih tarung, kuda-kuda, dan latihan fisik lainnya. Seorang pemuda bernama Ju memukul Ge hingga terjatuh, “dasar lemah!” ejek Ju, Ge bangkit berdiri, “maafkan aku” kata Ge dengan gemetar, “kau tidak pantas disini” Ju menendang tubuh Ge hingga kembali jatuh.
Semua orang memperhatikan kejadian itu, termasuk para petinggi Tebing Langit yang duduk diloteng benteng, “ternyata sudah pada mulai menunjukan gigi ya” celetuk Lim, laki-laki paruh baya berbadan kurus, ketua pasukan menara, dijuluki kera api, “ya begitulah, yang kuat, yang menang, mereka harus berebut posisi” jawab Kong, laki-laki berbadan besar dan perut yang bulat, ketua pasukan pengejar, dijuluki king kong putih. “Tapi mau gimana pun, keponakanku tetap yang terhebat” lanjut Kong, “Lou Han ya, aku dengar dia sudah banyak pengikut” jawab Lim, “keturunan Han memang tidak pernah mengecewakan” tawa Kong.
Latihan siang itu selesai, semua orang sudah pergi, Ge masih duduk kesakitan akibat tendangan Ju, “biar kubantu” Niki mengulurkan tangannya, Ge terkejut melihat Niki “kau mau membantu ku?” – “sudah cepat tak usah banyak bicara” Niki menarik Ge berdiri “mau kuantar ke ruang pengobatan?” tanya Niki, Ge mengangguk. Ge sedang diobati oleh seorang perawat perempuan, namanya Yuyu. “Tidak apa-apa, hanya lebam biasa” kata Yuyu dengan senyum manisnya, “terima kasih” kata Niki yang menemani Ge.
Niki dan Ge dalam perjalanan kembali ke kamar, “kita bertemu dengan orang lemah lagi, bahkan sekarang ada dua” ejek Ju yang berdiri diujung lorong, “maafkan aku Ju” kata Ge dengan gemetar, “tidak perlu minta maaf!” potong Niki, “jangan cari masalah dengannya, dia pendekar hebat dari kota ku” Ge terlihat takut, “lalu kenapa?” jawab Niki acuh tak acuh, Ju berjalan mendekat “mau bertarung? Mati sajala” Ju melayangkan pukulan, Niki menghindarinya dan menendang tubuh Ju hingga terjatuh, “kurang ajar!” Ju bangkit berdiri dan kembali menyerang, Niki hanya tersenyum, menghindari serangan Ju dengan mudah, Ju terus menyerang, tidak ada serangan berarti untuk Niki, hanya dengan sekali pukulan Ju berhasil dijatuhkan lagi. Ju memberi hormat “aku mengaku kalah, aku akan menjadi bawahanmu” – “bicara apa? merepotkan saja!” Niki berjalan pergi dengan acuh tak acuh, Ge terkejut melihat kemampuan Niki.
Di dalam hutan, Sai dan empat orang anak buahnya berkuda masuk ke dalam hutan, mereka semua memakai ikat kepala merah dikepala, identitas pasukan macan kumbang. Di tengah perjalan tiba-tiba Sai memberi isyarat untuk berhenti, ia melihat beberapa mayat tak jauh didepannya, “ada apa senior?” tanya Yinsa, laki-laki berambut ikal, memakai syal dileher, membawa pedang berukuran besar dipunggung, ia dijuluki si pemenggal.
“Semuanya siaga!” Sai turun dari kuda, berjalan perlahan mendekati mayat-mayat itu, Sai melihat lusinan jarum menusuk tubuh parah korban, Sai mencabut salah satu jarum, jarum itu mengandung racun. “Senior?” Yinsa menghampiri Sai, “kita harus kembali ke Tebing Langit, melapor pada Ketua” kata Sai, “bukankah lebih baik kita mengejarnya, pasti pelakunya belum jauh” usul Han, laki-laki dengan busur dan panah. “Tidak perlu, didepan adalah Lembah Kabut, aku yakin mereka sudah memasang jebakan disana, lebih baik kita mundur” Sai naik keatas kudanya, Yinsa dan Han mengangguk, kembali naik keatas kuda mereka, mereka berkuda pergi dari sana.
Bab 3.
Hari ke tujuh seleksi pasukan baru, semua calon pasukan baru dikumpulkan di halaman utama, hari itu adalah tes bertarung, para petinggi Tebing Langit ikut menyaksikan dari atas loteng, ingin melihat bibit baru untuk dijadikan pasukan mereka. Arena bertarung berbentuk lingkaran didirikan ditengah-tengah halaman, Tang berdiri disana, “semuanya dengarkan! Hari ini adalah pertarungan individu, kami akan melihat cara kalian bertarung dengan tangan kosong, aku akan menjadi wasitnya” Tang menjelaskan.
Para calon pasukan baru tampak antusias untuk unjuk gigi, satu persatu maju bertarung diatas arena, para petinggi juga sudah menemukan calon-calon bibit unggul. Lou sedang bertarung diatas arena, ia menjatuhkan lawannya dengan mudah, melihat itu Kong langsung tertawa “lihat keponakanku, ia akan menjadi pasukan pengejar yang sangat hebat” – “jangan senang begitu, mungkin saja ia tertarik dengan pasukan menara” potong Lim, “biarkan saja ketua Wan yang menilai, bukan begitu ketua” kata Kong kepada Wan yang duduk di tengah-tengah mereka, Wan hanya tersenyum.
Para petinggi sedang asik menyaksikan pertarungan, Sai datang menghampiri, “ketua Wan” Sai memberi hormat “maaf menganggu, tetapi ada hal penting” – “Baiklah pertarungan selanjutnya Lee melawan Niki!” Teriak Tang dari atas arena, “maaf Sai, aku ingin melihat pertandingan ini terlebih dahulu” jawab Wan, “baik ketua” Sai memberi hormat, kemudian ikut menyaksikan pertandingan.
Lee naik keatas arena dengan antusias, sedangkan Niki hanya berjalan acuh tak acuh, Niki sangat malas jika dia harus bertarung, “hei, menyerah sajalah, gayamu saja tidak meyakinkan” ejek Lee. “Ada apa dengan anak itu, dia terlihat tidak antusias” celetuk Lim, “bukankah itu pendekar pilihan tetua Su? Apa dia salah memilih orang, dia kan sudah sangat tua” ejak Kong, Wan hanya diam menyaksikan.
“Wasit, harus bertarung berapa lama?” tanya Niki, “secepat kau bisa mengalahkannya, atau mungkin dia yang mengalahkanmu” jawab Tang. “Sudah siap dipermalukan?” Lee memasang kuda-kudanya, Niki juga memasang kuda-kuda, “mulai!” teriak Tang. Lee langsung maju menyerang, serangan yang penuh celah, Niki langsung membalikan serangan dan menjatuhkan Lee, semua orang terkejut melihat itu, termasuk para petinggi, “hebat juga anak itu” puji Lim, Wan hanya tersenyum melihat itu. Ge dan Ju menyaksikan dari bawah arena, mereka hanya tersenyum karna sudah tahu kemampuan Niki sebelumnya. Niki dengan santainya turun dari arena, Tang tersenyum melihat sifat Niki.
Sai kini berada di ruangan Wan, didalam sana juga ada Wu, laki-laki paruh baya dengan jenggot tebal, ketua pasukan macan kumbang, ia dijuluki harimau putih. “Apa kau yakin dengan yang kau katakan?” tanya Wu kepada Sai, Sai menunjukan jarum beracun yang ia temukan “ini adalah jarum beracun dan satu-satunya pendekar yang menggunakan senjata ini di wilayah Bulan Sabit hanyalah racun timur, saya sudah mengeceknya di gulungan hitam” (gulungan hitam adalah daftar pendekar buronan).
Wan diam sejenak “sudah beberapa tahun ia tidak pernah menunjukan diri, aku kira dia sudah mati” – “dari pengejaran terakhirku, ia lari ke dalam lembah kabut, sebelum terlalu jauh, sebaiknya mengirim pasukan pengejar” usul Sai, “tidak bisa, pasukan pengejar yang bisa mengimbangi racun timur hanya Taka dan Taki, sekarang mereka sedang menjadi pengawas seleksi pasukan baru” jawab Wan, “saya minta ketua memikirkan ulang, apa ini lebih penting dari mengejar racun timur?” kata Wu.
Pintu ruangan diketuk, Enma, tangan kanan Wan masuk kedalam, “permisi ketua” Enma memberi hormat “kereta kuda pengiriman obat dari kota diserang” Enma membawa kabar, “bajingan! Sai bawa pasukan macan kumbang dan pasukan penyergap, jika menemukan musuh, bawa mereka kemari!” Wan memberi perintah, “baik ketua!” Sai memberi hormat kemudian beranjak pergi.
Hari kesepuluh seleksi pasukan baru, Niki diundang makan siang dipondok Su, “aku mendengar pertarungan mu, hebat juga ya” puji Su, “terima kasih” jawab Niki santai sembari meneruskan makannya, Su tersenyum “kau selalu sedingin ini ya” – “memangnya harus bagaimana? Disini sangat merepotkan orang-orang selalu menantang ku bertarung, jika bisa tidak bertarung mengapa harus bertarung” gerutu Niki, Su tersenyum lagi “kau ini memang berbeda dengan orang-orang yang datang kemari”. Niki dan Su sudah menyelesaikan makan siang mereka, “terima kasih kek, aku pergi dulu” Niki beranjak pergi, Su hanya tersenyum melihat sifat Niki.
Niki sedang dalam perjalanan kembali ke benteng utama, seorang pemuda bernama Kin menghentikan “kau Niki kan, nama ku Kin, bertarunglah denganku, jika kau menang aku akan menjadi bawahanmu” Kin memberi hormat, “merepotkan saja!” Niki berjalan pergi tidak menghiraukan Kin, tiba-tiba Kin langsung menyerang Niki, Niki menghindari serangan Kin, pertarungan terjadi. Kin cukup hebat, tetapi Niki dapat melihat celah dan menjatuhkan Kin. Kin memberi hormat “aku mengaku kalah, aku siap mengikutmu, suatu kehormatan bisa..” belum selesai Kin berbicara, Niki sudah berjalan pergi.
Didalah hutan, Sai dan pasukannya sudah mencapai tempat tujuan mereka, mereka menghentikan kuda mereka, didepan terlihat kereta kuda yang membawa obat sudah hancur berantakan, beberapa mayat juga berserakan. “Yinsa, bawa empat orang dan periksa sekitar” perintah Sai, Yinsa mengangguk dan mulai memacu kudanya bersama empat pasukan, Sai turun dari kudanya, berjalan mendekati kereta kuda, melihat-lihat sekitar. Tetsu, anggota pasukan penyergap turun dari kuda dan menghampiri Sai “bagaimana senior?” tanya Tetsu, “mereka masih disekitar sini, darah korban belum kering” jawab Sai. Tiba-tiba terdengar suara pertarungan tak jauh dari sana, “itu pasti Yinsa!” Sai langsung naik dan memacu kudanya, diikuti Tetsu dan anggota pasukan lainnya.
Disisi lain, Yinsa sudah mencabut pedang besarnya dan bertarung dengan tiga orang bertopeng, mereka memakai topeng merah, topeng biru, dan topeng putih. “Kalian kan yang menyerang kereta kuda?!” teriak Yinsa, “kereta kuda yang mana? Banyak tahu, yang jelas dong kalo ngomong” ejek topeng merah, Yinsa kesal dan kembali menyerang, topeng merah mencabut pedangnya dan menahan serangan pedang besar Yinsa, topeng merah menendang tubuh Yinsa menjauh. Topeng merah tertawa “aku tahu siapa dirimu, si pemenggal, Tebing Langit sepertinya meremehkan kami, hanya mengirim pendekar seperti dirimu” ejek topeng merah, “cukup main-mainnya, tetap pada rencana” kata topeng biru, “diam kau! Aku ingin bermain-main sebentar” gerutu topeng merah.
Tiba-tiba topeng putih bertetiak, Sai sudah berada dibelakang topeng putih dan menusuknya dengan pedang hitamnya, topeng putih jatuh tergeletak. “Bajingan! Sejak kapan dia disana?!” topeng merah ingin menyerang, tetapi topeng biru menghentikan “lihat baik-baik, itu pedang hitam, dia pasti anak iblis, kita bukan tandingannya”, topeng merah tampak geram, “tenangkan dirimu, kita sudah mendapatkan ramuannya, lebih baik mundur, sesuai perhitungan, mereka tidak membawa pasukan pengejar, mereka takkan bisa menangkap kita” topeng biru menenangkan topeng merah, “baiklah terserah katamu, kita pergi!” topeng merah langsung berlari pergi diikuti topeng biru. “Kejar mereka!” teriak Yinsa, tetapi Sai menghentikan “tidak usah!”, Yinsa terlihat bingung, “kita sudah menangkap satu orang, orang ini tidak mati, aku tidak mengenai organ vitalnya, dia pasti berguna untuk diinterogasi” Sai memasukan kembali pedang hitamnya.
Ditempat lain, topeng merah dan topeng biru sedang beristirahat didalam gua. “Mereka tidak mengejar kita ya, lebih baik bawa kembali ramuan ini dulu, jika terlambat nanti dimarahi tuan” kata topeng biru yang masih terengah-engah, ia membuka topengnya, laki-laki bernama Kara, ia dijuluki tanpa bayangan. “Tetap saja aku kesal, mereka menangkap Sasa” gerutu topeng merah, ia membuka topengnya, laki-laki bernama Hibi, wajahnya penuh dengan bekas luka, ia dijuluki kaki setan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!