NovelToon NovelToon

NOISY GIRL

PERKENALAN

Buat kalian yang baru mulai baca karena cerita udah end. Jangan lupa tinggalin jejak like komen ya, yang mau nyumbang vote buat cerita terbaruku aja gadis 100 Juta. Makasiih. 

 

BLURB

Ardian Rahaditya hanyalah seorang pemuda biasa, yang bercita-citakan kehidupan normal seperti anak bungsu pada umumnya, namun memiliki kakak perempuan yang cantik berisik dan sedikit gila membuatnya tidak bisa bersikap manis pada kaum wanita secantik apapun dia, ditambah lagi dengan kelakuan sang ibu yang berbeda dari para orang tua pada umumnya, keduanya membuat kehidupan Ardi jauh dari kata rukun, tenang dan damai seperti arti dari namanya sendiri.

 

 

Menikahnya sang kakak ia pikir akan menjadi awal kedamaian dalam hidupnya, hingga gadis berisik bernama Karina Larasati yang entah datang dari mana membuat hari-harinya dipenuhi dengan perdebatan.

 

 

Tapi satu hal yang tidak bisa seorang Ardi pungkiri, dia bahagia berada di antara wanita-wanita berisik yang amat ia cintai.

 

 

"Gue sadar, setiap perdebatan yang gue lalui setiap harinya, ternyata bisa melipat gandakan kerinduan, gue pengen pulang." ARDI

 

 

"Bang Ar, ayodong buruan suka sama Karin, nanti Karin tolak, biar Bang Ar patah hati." KARIN

 

 

"Ok google bagaimana cara menyadarkan adik yang durhaka." KAKAK (SI CANTIK MOLEK)

 

 

"Kalo tutup bapperware keluaran terbaru ibu belum ketemu, kamu nggak usah pulang." KANJENG MAMI

 

 

"Sabarin aja, yang berisik itu lebih asik, apalagi cantik." KAKAK KANDUNG RASA IPAR.

 

PERKENALAN

Ardi tidak pernah menyangka sebelumnya,  sang kakak cantik yang memang tidak mirip dengan sanak keluarganya itu ternyata bukan anak kandung sang ibu.

 

 

Dan anak kandung sang ibu yang dirawat oleh orang kaya sahabat sang ayah ternyata bos kakaknya, dan mereka saling jatuh cinta. Ardi tidak mengerti, yang dia tahu keduanya memang sudah berjodoh. (Untuk lebih jelasnya baca oh my boss)

 

 

Dan baginya sekarang itu tidak penting, yang paling membuatnya pusing adalah kehadiran gadis berisik bernama Karin.

 

 

Entah bagaimana ceritanya, sang ibu mengangkat gadis itu sebagai anak meski tidak secara resmi diadopsi.

 

 

Karin adalah gadis cantik dan periang yang kakak kandungnya kenalkan pada keluarganya, ibunya yang adalah orang tua tunggal dipenjara dengan kasus yang Ardi tidak tau entah apa. Awalnya Ardi tidak habis pikir kenapa gadis berisik itu bisa membuat hati semua orang luluh, tapi tidak untuk dirinya, seberapa gencar pun dia berusaha membuat seorang Ardi terjerat pesonanya, segencar itu pula pemuda itu menolaknya mentah-mentah.

 

 

"Bang Ar-di," panggil Karin sengaja dibuat manja yang membuat pemuda yang tengah menaiki motornya di pagi hari  itu berdecak sebal.

 

 

"Apaan," balas Ardi ketus, memberikan helm pada gadis itu dengan raut tidak ramah.

 

 

"Ke sekolahan Karin nya lewat selatan aja ya, Bang."

 

 

"Kenapa emang?"

 

 

"Soalnya perasaan Karin buat Bang Ar udah nggak sanggup buat di utara-kan."

 

 

"Ter-serah," adalah kata andalan seorang Ardi untuk menanggapi gombal receh gadis yang urat malunya seolah hilang ditelan bumi. Dia tidak habis pikir, dosa apakah dirinya sampai diamanatkan untuk menjaga gadis gila macam begini.

 

 

Dulu memang Ardi sering salah tingkah, malu sendiri dengan kelakuan adik angkatnya yang begitu manja dan sok akrab itu, tapi lama kelamaan dia justru menikmatinya, merasakan punya adik yang sebenar-benarnya. Benar-benar merepotkan maksudnya.

 

 

Ardi menurunkan gadis itu di depan gerbang sekolah yang beberapa bulan lalu pun ia bersekolah di sana, kini dia sudah menjadi seorang maha siswa, dan tempat ia berkuliah kebetulan satu arah, hal itu justru tidak membuatnya jadi bersyukur, karena itu artinya dia harus jadi tukang ojek mengantarkan Karin setiap paginya. Nasib orang ganteng memang selalu menjadi pemeran utama, yang menderita.

 

 

"Ar, lo dicariin Kak Dimas," ucap pemuda berrambut ikal yang menghadang Ardi di koridor kampus. Dia adalah Agung, sahabatnya sejak SMA, pemuda gagal move on meski sang mantan sudah berganti pasangan berkali-kali. Miris.

 

 

"Ngajakin tanding basket dia?" Ardi bertanya, Dimas adalah kakak tingkatnya yang merasa tersaingi sejak Ardi yang mulai berkuliah beberapa bulan lalu berhasil menjadi pusat perhatian kaum hawa. "Bilangin aja, gue nggak mau."

 

 

"Jangan gitu Ar, nanti lo malah makin diinjek-injek." Irfan yang entah datang dari mana tiba-tiba ikut nimbrung, pemuda yang biasa dipanggil Ipang itu menepuk pundak Ardi dengan semangat, "gue dukung, lo pasti bisa," ucapnya, yang membuat seorang Ardi meringis, mendapat nasihat dari pemuda yang saking percaya dirinya sampai pernah ditolak puluhan kali oleh kaum wanita, prinsipnya adalah, coba aja dulu, seenggaknya lo nggak penasaran, baginya ungkapan perasaan adalah bahan percobaan. Diterima sukur nggak yaudah.

 

 

"Do, Edo! Buset, chatt an terus, jomlo yang sibuknya nyaingin orang pacaran ya ini nih," tegur Agung pada teman yang berjalan di sebelahnya dan tersenyum-senyum sendiri.

 

 

"Apaan?" Edo mulai merespon.

 

 

"Nanti siang Ardi mau tanding basket satu lawan satu sama Kak Dimas, menurut lo gimana."

 

 

"Oh, yaudah entar gue nonton sama Nadia," jawabnya santai.

 

 

"Jeuh si ****, gue nggak nanya lo mau nonton apa kaga, menurut lo Ardi bisa nggak ngelawan si Dimas."

 

 

Edo mengerutkan dahi, berpikir. "Bisa lah kali, lo kan mantan kapten basket, masa iya kalah sama Dimas," ucapnya memberi semangat, "eh bentar-bentar, Nadia vidio call, minggir lo pada, gue mau ngomong lagi sendirian," usirnya kemudian yang membuat Agung nyaris menyerangnya jika tidak ditarik oleh Ardi juga Ipang yang teramat maklum dengan sifat keduanya.

 

 

Edo adalah budak cinta, dan sayangnya, dengan status sahabat dirinya dengan gadis bernama Nadia  membuatnya tidak berani untuk mengungkapkan perasaan.

 

 

Tiga tahun di SMA, tapi Ardi baru sadar ternyata teman-temannya itu tidak waras semua, dia bersumpah untuk upgrade teman baru nantinya.

 

 

Ketiganya melangkah menjauhi Edo yang tampak menerima panggilan.

 

 

"Padahal mah, bilang aja Nadia gue suka sama lo, apa susahnya si?" Ipang berkomentar.

 

 

"Takut ditolak kali, terus persahabatan mereka jadi renggang," jawab Ardi.

 

 

"Iya, terus diantara mereka tidak ada lagi keakraban, yang ada hanya kecanggungan, lupa bahwa mereka pernah tertawa bersama." Agung ikut berkomentar.

 

 

"Kenapa lo jadi curhat si, Gung, udah lah lupain aja Sivia, kaya cewek dia aja." Ipang menasihati.

 

 

"Dia itu beda, Pang."

 

 

"Iya, beda perasaan."

 

 

"Jangan gitu lah ngomongnya, gue masih sayang."

 

 

"Ini nih, contoh anak muda yang mengakibatkan kemunduran bangsa ini," saking sebalnya, Ipang sampai ber orasi.

 

 

"Udahlah ini urusan gue gimana sama si Dimas, ogah gue tanding basket sama dia."

 

 

"Yaelah Bambang, cuma basket doang. Gini nih gue contohin." Ipang mulai mendribble bola hayalannya dengan penuh penghayatan, melangkah mundur di hadapan keduanya, kemudian mengoper bola hayalan pada Agung yang sigap menerima.

 

 

Giliran Agung yang memang sudah gila bertambah tidak waras dengan seolah-olah menerima bola kemudian melompat dengan gerakan slam dunk memasukan bola ke dalam keranjang.

 

 

"Emang gila semua lo pada." Ardi jadi mengomel prustrasi. "Gue tendang juga ni bola," lanjutnya kemudian melakukan gerakan menendang bola yang mendapat teriakan dari keduanya.

 

 

Pemuda yang mengaku paling waras diantara semuanya ternyata sama gilanya.

 

 

***

 

 

Sepulang kuliah, Ardi menjemput Karin di sekolahnya, gadis berponi dengan rambut panjang dikuncir kuda itu menghampiri dengan lesu, wajahnya memerah, dari seragam olah raga yang ia kenakan, sebenarnya Ardi tahu, pasti gadis itu kebagian olah raga di jam pelajaran terakhir.

 

 

"Lo kaya mau mati, kenapa dah."

 

 

Karin berdecak, "aus banget Bang, bagi duit lah Karin beli es cendol dulu."

 

 

"Enak aja, udah dapet jatah masing-masing juga."

 

 

Karin menelan ludah, yang tampak begitu susah, saking dahaganya air liurnya sendiri pun kerontang. "Kan abang jatahnya gedean," omelnya yang membuat Ardi menahan senyum, dari pada digombali oleh gadis ini, sepertinya pemuda itu lebih suka diajak berdebat.

 

 

"Yaudah buruan naik, entar gue kasih minum."

 

 

"Asik." Karin menaiki motor dengan semangat. "Beli es ya, Bang."

 

 

"Kaga, minum dirumah aja."

 

 

"Idih, pelit banget Bang Ar."

 

 

 

***

 

 

Author; kenalan aja dulu, kalo suka nanti dilanjut lagi.

 

 

Netizen; gue dong thor kenalin juga sapa tau ada pembaca baru.

 

 

Author; plis lo jangan nongol dulu, gue lagi nggak bikin iklan.

 

 

Netizen; biarin apa thor gue mau ikut kenalan sama pembaca baru.

 

 

Author; bodo amat lah.

 

 

 

 

 

 

 

 

DUNIA KARIN

Pagi ini, Karin yang bangun kesiangan karena begadang mengerjakan tugas tampak pontang-panting berlarian keluar rumah saat sang abang sudah memencet klakson motornya beberapa kali, seragam putih abu yang ia kenakan juga berantakan.

 

 

Kedua tangannya menenteng masing-masing sepatu yang kemudian malah dilemparkan pada pemuda yang dengan songongnya nangkring di jok motor masih dengan membunyikan klakson, membuat tetangga yang kebetulan lewat jadi menoleh.

 

 

"Berisik banget dah, Ah!" Karin jadi mengomel.

 

 

Ardi yang mendapatkan lemparan sepatu dengan sigap menangkapnya, "untung reflek gue bagus," ucapnya sembari memegangi sebelah sepatu gadis itu.

 

 

Karin meminta sebelah sepatunya kembali, namun Ardi mengelak, malah mengacungkan sebelah sepatu di tangannya itu ke udara.

 

 

"Oy, udah siang ini elah," omel Karin.

 

 

"Minta maaf dulu nggak." Ardi memberi penawaran.

 

 

Karin berdecak kesal, kesal sekesal kesalnya orang kesal pokoknya. Luntur sudah cinta gadis itu pada Bang Ar ganteng yang ternyata amat menyebalkan.

 

 

"Yaudah iya, minta maaf-minta maaf."  Karin merebut sepatunya kembali, namun setelah itu dia malah menarik sebelah sepatu yang terpasang di kaki abangnya, lalu membuangnya ke dalam rumah.

 

 

"Woy!" Ardi reflek berteriak, hingga bunyi kegaduhan dari dalam rumah membuat keduanya saling berpandangan.

 

 

Karin yang dekat dengan pintu melongokkan kepalanya ke dalam, tumpukan bapperwate sang ibu yang semula tersusun rapi di atas meja kini berserakan di lantai terkena lemparan sepatu, gadis itu menoleh panik pada Ardi. "Bapperware ibu," ucapnya.

 

 

"Mampus!" Ardi dengan cepat menuruni motor, berlari ke dalam rumah mengambil sebelah sepatunya, bersamaan dengan itu suara sang ibu dari arah dapur terdengar berteriak.

 

 

"Heh, apaan tuh?" Tanya sang ibu, yang entah kenapa mengingatkannya dengan selogan acara televisi.

 

 

"Meooong!" Ardi berusaha mengelabuhi.

 

 

"Bang Ar, suara kucingnya terlalu ngebas." Karin sempat-sempatnya berkomentar.

 

 

"Buu!!! Dagangan Ibu diberantakin  Ardi." Nena, sang kakak yang tengah hamil tua keluar kamar dan langsung mengadu.

 

 

"Mati lah! ayo buruan." Tanpa mengenakan sepatunya kembali Ardi langsung menaiki motor, menyuruh gadis yang sama paniknya itu untuk segera ikut kabur.

 

 

"Ardi!!!" Teriakan sang ibu menggema di udara.

 

 

"Bang, Ar. Buruan, Karin nggak mau dilempar panci."

 

 

Keduanya melesat ke jalan raya dengan tertawa-tawa, uji nyali tidak pernah sepagi ini, sepasang sepatunya, juga sebelah sepatu milik Ardi, Karin dekap dengan begitu erat.

 

 

"Lo sih pake segala nglempar sepatu gue ke dalem." Ardi mengomel saat mereka sudah sampai di dekat sekolah, keduanya mampir dulu ke warung kang Edi tempat biasa Ardi sering nongkrong dulu saat masih jadi murid di Smanya itu.

 

 

Karin tidak menanggapi, bukan karena merasa bersalah, gadis itu sibuk memasang kedua sepatunya.

 

 

"Eh, Mas Ardi, jarang keliatan setelah lulus." Kang Edi yang memang mengenal baik pemuda itu menyapa, "kopi Mas?" Tawarnya kemudian.

 

 

Ardi membalas sapaan dengan senyum setelah memasang sebelah sepatunya. "Nggak usah, Kang. Air mineral botol aja, cuma numpang duduk bentar," tolaknya, kemudian meraih botol mineral yang disodorkan si pemilik warung.

 

 

Karin yang sudah selesai dengan sepatunya kini beralih merapikan seragam putih abu yang ia kenakan, dan kemudian mendapat teguran dari pemuda yang sedari tadi memperhatikannya.

 

 

"Rapi-rapinya di kamar mandi aja kali."

 

 

"Tanggung, bentar lagi bel, nggak sempet ke kamar mandi," jawabnya, masih sibuk dengan memasukan ujung seragam ke dalam rok abu selututnya.

 

 

"Walaah habis ngapain ini pagi-pagi udah berantakan." Istri Kang Edi yang entah datang dari arah mana tiba-tiba berkomentar. Wanita paruh baya itu memang senang sekali bercanda.

 

 

Ardi terkekeh pelan setelah meminum air di botolnya, "seru lah, Bi pokoknya." Jawaban itu mendapat tendangan di kaki dari Karin yang masih sibuk merapikan seragamnya. Lah kan emang seru, kanjeng mami ngamuk ragara dagangannya berantakan apa nggak seru coba. Pikirnya.

 

 

Istri pemilik warung tertawa. "Alaah, anak muda jaman sekarang pagi-pagi mainnya udah panas-panas an,"  godanya lagi setelah itu ngeloyor pergi.

 

 

"Pagi-pagi panas-panasan ngapain? Main layangan? Matahari juga blom nongol, panasnya dimana? Nggak ngerti Karin sama becandaan kalian." Karin berkomentar.

 

 

Ardi jadi tertawa. "Masih di bawah umur, otak lo belum nyampe," ujarnya.

 

 

"Ah udah lah, Karin udah kesiangan," ucap Karin bergegas pergi setelah merebut air mineral dari tangan abangnya.

 

 

"Minum gue oy."

 

 

Teguran Ardi tidak lagi Karin dengar, gadis itu berlari ke gerbang sekolah yang memang tidak terlalu jauh, dan sepeda motor tiba-tiba menghadang langkahnya.

 

 

"Telat ya, ayo ikut, lumayan sampe parkiran," ajak seorang pemuda yang Karin begitu kenal, dia Dewa, si ketua osis, alih-alih memikirkan kenapa pemuda itu begitu baik hati mengajaknya, Karin malah heran kenapa ketua osis juga nyaris kesiangan, nggak memberikan contoh suri tauladan yang baik nih ketua. Pikirnya.

 

 

"Boleh deh, Kak." Tanpa curiga ia ikut naik ke boncengan. Hal itu tidak luput dari perhatian Ardi yang masih duduk di warung, pemuda itu sampai meminta sebatang rokok, karena tiba-tiba saja suasana hatinya berubah buruk. Entah kenapa.

 

 

***

Bel tanda istirahat membuat seisi sekolah berubah ramai, Karin masih di kursinya, merapikan buku pelajaran yang berserakan di atas meja.

 

 

"Eh, Rin, katanya lo tadi berangkat bareng Kak Dewa ya?" Maya teman sebangkunya bertanya.

 

 

Karin menoleh, "siapa bilang, tadi gue  ketemu di depan gerbang doang, berhubung udah kesiangan, ya gue ikut aja, dia yang nawarin," tuturnya memberi penjelasan.

 

 

Maya berbisik. "Lain kali jangan mau, Rin. Lo nggak takut sama gengnya Ratu, Dewa kan gebetan dia, tiati."

 

 

Karin berdecak, " yaelah orang dibonceng doang, takut amat."

 

 

Perbincangan keduanya teralihkan dengan kedatangan tiga kakak kelas berpenampilan menor masuk dan berdiri di hadapan Karin.

 

 

Seorang gadis yang Karin tahu bernama Ratu menggebrak meja, alih-alih kaget, Karin malah takjub, nggak sakit aja itu tangan, pikirnya. Maya mengkeret di kursinya, tidak beranjak pergi, setia kawan menemani Karin takut diapa-apain.

 

 

"Udah ngerasa cantik lo mau dibonceng sama Dewa?" Tanya Ratu, nada suaranya tampak sewot.

 

 

Karin mengerutkan dahi, sejak kapan ada peraturan harus cantik kalo mau dibonceng ketua osis, Karin belum baca. "Maksud kakak?" Tanyanya.

 

 

Ratu tampak berdecak kesal, melipat tangannya di dada," sekali lagi gue ngeliat lo dibonceng Dewa, lo berurusan sama gue," ucapnya kemudian mengajak teman-temannya untuk pergi.

 

 

"Kan gue bilang juga apa, Rin. Lo jangan deket-deket Dewa deh kalo mau selamet." Maya mengingatkan dengan sungguh-sungguh, merasa khawatir.

 

 

"Lo pernah liat Kak Dewa bonceng si Ratu belum May?" Karin malah bertanya.

 

 

Maya mengerutkan dahi, mengingat-ingat. "Belom sih," jawabnya, masih bingung dengan pertanyaan teman barunya itu.

 

 

"Berarti dia juga belum ngerasa cantik, nggak berani dibonceng, Dewa," komentar Karin yang membuat Maya melongo tidak percaya, "kantin yuk, laper nih," ajaknya, kemudian beranjak berdiri.

 

 

"Santuy amat lo abis dilabrak." Maya berkomentar, ikut berdiri.

 

 

Karin menoleh, "kalo nggak salah kenapa harus takut," ucapnya. Maya jadi berpikir, Karin memang tidak salah, Dewa sendiri yang mengajak naik ke motornya. Namun kalimat karin berikutnya membuatnya ingin sekali menjitak kepala anak itu.

 

 

"Gue emang cantik kok, udah pantes lah dibonceng Dewa."

 

 

Wah, setengah ni anak. Keluh Maya dalam hati, baru tau, teman barunya ternyata segila ini.

NGGAK PEKA

Ardi tengah duduk sendirian di kantin, saat notif grup chat membuatnya merogoh saku jaket untuk mengambil hp.

 

 

Buronan mitoha.

 

 

Pemuda itu sontak mendengus saat membaca nama grup yang entah sejak kapan sudah berganti lagi.

 

 

Edoardo d'caprio: gue otw kantin, sama Nadia, jangan pada sok ganteng lu pada. Awas ya.

 

 

Ardi mengerutkan dahi, grup chat yang hanya dihuni oleh empat orang itu seketika menjadi ramai.

 

 

Irfani azis: sory ya, gw udah ganteng, nggak bisa diganggu gugat, kegantengan gue udah paten.

 

 

Agung nugroho: jan salahin gw kalo gebetan lo berpaling sama gw.

 

 

Ardi ikut mengetikkan balasan.

 

 

Ardian R : buruan lo pada, gw di kantin sendirian, takut diculik ini.

 

 

Edoardo d'caprio : terutama buat lo, Ar. Mukanya biasa aja.

 

 

Membaca pesan temannya itu, Ardi jadi berdecak.

 

 

Ardi R: sory, bukan tipe gw.

 

 

Agung nugroho : gebet aja Ar, biar si Edo kebakaran jenglot.

 

 

Irfani azis : jenggot woy, jangan horor lah gw lagi di kamar mandi ini sepi bet sumpah.

 

 

Edoardo d'caprio: idih najis lo.

 

 

Agung nugroho: berapa potong Pang, siasin gw.

 

 

Irfani azis: tinggal sepotong lagi, ntar gw bungkusin.

 

 

Ardi R : mati aja lo pada, kantin gw ratain. Lama banget kaya cewek.

 

 

Saat chat semakin ngelantur, Ardi memilih mengbaikannya, menoleh saat seseorang menepuk pundaknya, kemudian duduk di sebelah pemuda itu.

 

 

"Si Edo parah amat, kalo nggak mau ngenalin mah nggak usah dibawa lah." Agung datang-datang langsung mengoceh, Ardi menanggapi dengan tawa kecil.

 

 

"Dia sahabatan dari orok katanya ya." Ardi berkomentar.

 

 

"Ya kali, lama amat sahabatan mulu nggak ada kemajuan."

 

 

Ardi menyikut lengan Agung saat dari kejauhan Edo menghampiri meja mereka dengan seorang gadis mengikutinya dari belakang. Cantik, wajar lah diumpetin terus pikir Ardi yang kemudian mendapat notif wa di hpnya.

 

 

Karin: Bang Ar, duit Karin ketinggalan, nggak bisa jajan nih.

 

 

Ardi R: mati aja lo.

 

 

"Hay, gue Nadia."

 

 

Ardi mendongak saat gadis yang mendudukan diri di sebelah Edo mengulurkan tangan pada pemuda itu, "Ardi," sebutnya, menjabat tangan sekilas, kemudian menoleh pada Agung di sebelahnya. "Gue cabut ya."

 

 

"Njiir, gue jadi obat nyamuk sendirian ini." Agung yang protes membuat gadis bernama Nadia tertawa kecil.

 

 

"Ntar ditemenin sam Ipang," ucap Ardi beranjak berdiri dan merapikan barang-barangnya di atas meja.

 

 

"Lo mau kemana si?" Edo bertanya.

 

 

"Si Karin minta diomelin, udah ya." Ardi beranjak pergi setelah menepuk pundak temannya satu-satu, untuk Nadia, pemuda itu mengangguk sopan dan mengangkat tangannya sekilas.

 

 

"Siapa Karin, pacarnya?" Nadia bertanya pada Edo.

 

 

"Bukan, adeknya."

 

 

"Oh," ucap gadis itu, diam-diam merasa lega, teman sahabat kecilnya ini ganteng juga. Begitu pikirnya.

 

 

Di perjalanan keluar kantin, Ardi berpapasan dengan Ipang, namun pemuda itu tidak menyadari, fokus dengan hp di tangannya.

 

 

"Woy, lo mau kemana dah, ceweknya si Edo udah dateng."

 

 

Ardi jadi mendongak, menghentikan langkah kemudian menyimpan benda di tangannya ke saku celana. "Udah, beuh cantik banget, jan macem-macem lo kalo nggak mau baku hantam sama si Edo." Ardi menjawabnya dengan candaan.

 

 

"Njiir segitunya."

 

 

"Yaudah, gue kesekolahan dulu, absenin kalo nanti gue telat." Belum sempat Ipang menjawab, Ardi sudah kabur keluar kantin.

 

 

"Ngatain temennya budak cinta, dia sendiri sama bucinnya, begonya nggak nyadar lagi." Ipang jadi menggerutu sendiri.

 

 

***

 

 

Karin berlari keluar menuju gerbang sekolah saat mendapat pesan dari Ardi yang katanya tidak mau menunggunya lama-lama.

 

 

Jam istirahat yang sisa sebentar membuat halaman di depan sekolahnya sedikit sepi, namun dua orang gadis yang meliriknya tidak suka tampak menghadang kemudian menjulurkan kaki saat Karin berlari.

 

 

Karin jatuh, lututnya yang membentur jalanan berbatu jadi perih, berdarah, gadis itu kemudian mendongak, "Kak Ratu, salah aku apa?" Tanyanya kesal, dia tahu kakak kelasnya itu pasti sengaja.

 

 

"Ups, sory ya Karin, gue nggak sengaja," ucap Ratu diselingi tawa.

 

 

Teman yang sedari tadi ikut tertawa di sebelahnya juga ikut mencibir. namun dari arah belakang, seseorang membenturkan dua kepala di hadapannya itu dengan keras hingga keduanya mengaduh.

 

 

Ratu yang kesakitan memegangi kepalanya berbalik badan dan terkejut, temannya yang juga ikut terkejut reflek bersuara.

 

 

"Kak Ardi, kok ada di sini?" Tanya teman Ratu.

 

 

Bukannya menjawab, Ardi malah membentak, "minta maaf nggak lo."

 

 

Ratu melangkah maju, "gue nggak salah, ngapain minta maaf."

 

 

Ardi tidak berkata apa-apa, tatapannya tajam, membuat gadis bernama Ratu beringsrut mundur ketakutan, "iya, iya, gue minta maaf," ucapnya, kemudian berlari pergi dengan temannya.

 

 

Karin yang masih terduduk di bawah terperangah tidak percaya, "udah gitu doang. Dan mereka kabur?" Ucapnya.

 

 

"Terus lo maunya gue jambakin mereka satu-satu." Ardi setengah membungkuk, membantu gadis itu berdiri. "Lemah amat, bangun sendiri aja nggak mampu," ucapnya yang mendapat tabokan di lengan.

 

 

"Sakit banget tau, Bang. Berdarah nih,"

 

 

"Bisa jalan nggak?"

 

 

"Gendong, Bang."

 

 

"Idih, nggak tau diri." Ardi mengomel, tapi berjongkok juga, menggendong gadis itu di punggung, dan membawa ke warung depan sekolah yang paling dekat jaraknya.

 

 

Dalam perjalanan, Karin tersenyum sendiri, "nggak nyangka, kurus begini abang kuat juga," komentarnya yang membuat Ardi berdecak sebal.

 

 

"Gue juga nggak nyangka, kecil-kecil lo berat juga, kebanyakan dosa lo ya."

 

 

"Enak aja, wajar lah berat Bang, soalnya Karin menanggung rasa ini sendirian, abang nggak peka."

 

 

"Terserah. Gue lepasin juga nih beo, ngoceh mulu."

 

 

"Jatoh dong Karinnya."

 

 

Ardi mendudukan gadis itu di bangku warung, membuka air mineral dan menyiramkannya pada luka di lutut Karin, membuat gadis itu meringis perih.

 

 

"Ini, Mas. betadin sama kain kasanya, emang kenapa bisa jatoh gitu si eneng?" Kang Edi si pemilik warung bertanya.

 

 

"Main kejar-kejaran dia Kang, namanya juga bocah."

 

 

Karin mendelikkan matanya, pada Ardi yang dengan telaten mengobati luka di lutut gadis itu.

 

 

Kang Edi menggelengkan kepala. "Kenapa main kejar-kejaran atuh Neng, kaya nggak ada kerjaan aja," celotehnya kemudian kembali merapikan barang dagangan.

 

 

"Yang dikejar nggak peka sih, Kang. Lari terus, susah nangkepnya. Jatoh deh." Karin menjawab asal.

 

 

Ardi mengangkat sebelah alisnya, namun kembali bersikap tidak peduli dengan sindiran gadis itu.

 

 

"Lo kalo dibully, lawan. Jangan diem aja," ucap Ardi setelah selesai menutup luka di lutut Karin, kemudian duduk berhadapan dengan gadis itu.

 

 

"Siapa yang dibully?"

 

 

"Tadi itu lo dibully, oneng."

 

 

"Oh, masalah kecil, si Ratu kesel gara-gara tadi pagi Karin dibonceng Dewa dari gerbang."

 

 

"Makanya lo nya jangan ganjen jadi cewek." Perkataan pedasnya itu berhasil membuat Karin bungkam, tatapannya berubah sendu. Ardi yang menyadari itu jadi merasa bersalah. "Maksud gue, em," melirik gadis yang duduk di hadapannya diam saja, dia semakin merutuki mulut pedasnya. "Maaf," ucapnya lirih.

 

 

Senyum Karin merekah, "Abang cemburu nih sama Karin."

 

 

Mampusin ajalah gue sekalian, Ardi mengumpat dalam hati, memang salah besar jika menganggap seorang Karin bisa tersinggung.

 

 

"Denger ya, Karina Larashati—"

 

 

"Larasati, Bang. Bukan hati," ralat Karin.

 

 

Ardi berdecak, "terserah, mau hati kek mau jantung, terserah."

 

 

Mendengar itu, Karin jadi tertawa, "buruan eh, abang mau ngomong apaan udah bel tuh, mana sini duitnya buat bayar utang sama temen Karin."

 

 

Ardi menyerahkan uang limapuluhan yang ia ambil dari saku kemeja, menyerahkan pada gadis itu.

 

 

"Abang mau ngomong apa tadi yang Karin suruh denger." Karin mengingatkan.

 

 

Entah kenpa Ardi jadi sedikit ragu, menelan ludah kemudian berucap. "Gue nggak peduli lo mau deket sama siapa, gue nggak bakalan cemburu juga."

 

 

Karin terdiam, tatapannya ia alihkan, 'oh," jawabnya lirih. "Yaudah Karin masuk kelas dulu," tambahnya kemudian berdiri dan pergi dengan berlari.

 

 

Ardi ikut berdiri, alih-alih mengkhawatirkan ucapannya yang mungkin menyakiti gadis itu, dia malah mengumpat.

 

 

"Sialaan, tadi aja ngakunya nggak bisa jalan, tapi larinya cepet banget kek kancil, ketipu gue sama tu anak."

 

 

Di tempat berbeda, Karin yang terus berlari mengabaikan luka yang terasa perih di lututnya, dia terus mengeluarkan air mata, sakit.

 

 

Maya yang terkejut melihat temannya terduduk sambil menangis jadi khawatir. "Lo kenapa dah?"

 

 

"Tadi kan lutut gue luka, eh gue pake lari takut guru keburu dateng, sakit banget luka gue May."

 

 

Tangis Karin malah semakin tersedu, membuat beberapa murid lain jadi menoleh.

 

 

Maya menatapnya jadi bingung, "Rin, yang sakit lutut lo kan ya?" Tanyanya yang membuat Karin mengangguk, tangisnya mulai mereda. "Kenapa dari tadi lo malah megangin dada?"

 

 

Karin terdiam, melirik tangannya yang memang sedari tadi ia taruh di dada. "Eh, iya juga ya."

 

 

***iklan***

 

 

Netizen: susah ya thor, anak muda mah nggak bisa peka

 

 

Author: gengsi kali.

 

 

Netizen; jadi Karin yang gombalin Ardi tiap hari itu maksudnya apa thor.

 

 

Author; cuman buat seru-seruan kali, eh baper beneran, tapi dia juga nggak nyadar.

 

 

Netizen: kaya author ya, nggak nyadar udah baper sama gue.

 

 

Author; idih, najis tralala.

 

 

Netizen; jan gitu thor.

 

 

Author; bodo amat.

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!