Hujan deras turun membasahi kota Pegunungan sejak tadi pagi, matahari pun seolah enggan menampakkan diri hari itu. Padahal ini baru pertengahan musim panas. Tapi entah kenapa justru hujan dengan deras. Hari itu seorang wanita duduk termenung sambil meminum secangkir coffelatte panas, sambil memandangi hujan dari balik kaca, tempat ia duduk, sebuah meja kecil dengan dua tempat duduk saling berhadapan, persis di sudut toko roti. Toko roti yang tidak terlalu besar, tapi cukup menampung sepuluh orang untuk duduk sambil menikmati berbagai sajian roti hangat buatan toko itu dan juga segelas minuman.
Toko roti itu terletak persis di pinggir jalan raya utama, dengan tempat parkir yang cukup luas. Di seberang jalan raya orang-orang bisa melihat pemandangan danau yang memiliki air berwarna hijau kebiruan. Sungguh sebuah pemandangan yang memanjakan mata, ditambah dengan latar pegunungan yang membentang hampir di sekeliling danau. Kota pegunungan akan ramai kedatangan turis turis lokal maupun mancanegara diawal dan pertengahan tahun. Yang mana membuat toko roti itu pun semakin ramai oleh pengunjung.
Ketika wanita itu semakin tenggelam dalam lamunannya, tiba-tiba suara lonceng di pintu terdengar, menandakan ada tamu yang datang. Seketika wanita itu menoleh ke arah sumber suara, melihat siapa orang yang nekat menerobos hujan dan masuk ke dalam toko rotinya. Saat ia tahu siapa yang datang senyumnya pun terkembang, "Halo nyonya Christine, ada yang bisa kubantu?"
Wanita yang disapa olehnya pun mengembangkan senyumnya dengan manis, "Hai Lizzy, tolong berikan aku secangkir coklat panas dan juga dua potong roti manis. Dan aku ingin memakan kudapanku disini." Setelah mengibaskan mantel dan melipat payungnya yang basah, wanita itu pun duduk di tempat yang juga menjadi tempat duduk Lizzy. "Baiklah nyonya, tolong tunggu sebentar, aku akan menyiapkan pesananmu." Ia dengan segera meracik coklat panas pesanan wanita yang menjadi pelanggan di toko roti miliknya. Sudah sejak toko roti itu buka, wanita itu menjadi pelanggan setia dan sekaligus teman dekat Lizzy. Usia mereka memang terpaut jauh bagaikan ibu dan anak. Tapi itu tak mengurangi keakraban mereka.
Lizzy berjalan sambil membawa nampan berisi secangkir coklat panas dan kudapan untuk tamunya, hari ini ia memakai pakaian dua potong, dengan atasan berkerah turtle neck berwarna putih, dan bawahan celana bahan sepanjang lutut berwarna navy. Rambutnya ia ikat tinggi seperti ekor kuda, sekilas penampilannya terlihat seperti anak remaja belasan tahun. Dengan wajah asia dan kulit putih gading.
Lizzy ( Elizabeth Stuart )
Ia meletakkan pesanan di atas meja, dan ikut duduk di hadapan wanita itu. "Kau tidak punya pekerjaan untuk diselesaikan bukan Lizzy? Karena aku ingin kau menemaniku mengobrol sejenak," Wanita itu bertanya.
"Tidak nyonya, pelanggan sedang sepi. Aku ada waktu untuk mengobrol denganmu," Lizzy tersenyum.
"Oh ayolah Lizzy, kau tahu dengan baik, aku tidak suka dipanggil nyonya, itu membuatku merasa sangat tua. Padahal anakku saja belum menikah. Kau bisa memanggilku bibi, atau bahkan ibu. Kau tahu bukan, aku selalu ingin punya anak perempuan," Wanita itu berkata dengan jengah sambil menatap Lizzy.
Lizzy hanya bisa tersenyum dan kemudian tertawa pelan." Baiklah aku akan memanggilmu bibi christine. Bagaimana?"
"Itu terdengar lebih menyenangkan, yah meskipun aku berharap kau memanggilku dengan sebutan ibu."
Lagi-lagi Lizzy tertawa pelan menanggapi komentar wanita paruh baya yang sekarang akan ia anggap sebagai bibinya. "Apa kau tau bibi, semakin hari aku semakin menyukaimu. Kau membuat hidupku tidak merasa sepi. Kau selalu datang, untuk membuatku tertawa bahagia. Sungguh bibi, aku bahagia bisa mengenalmu."
"Oh Lizzy, betapa bahagianya aku jika kau benar menjadi putriku."
"Kau bisa menganggapku sebagai anakmu bibi, aku akan senang bisa punya ibu sepertimu," Lizzy tersenyum sambil mengelus tangan wanita paruh baya dihadapannya.
"Sayangku, aku akan selalu ada untukmu, kau adalah putriku sekarang, aku harus tahu apapun yang terjadi padamu. Jadi jangan sungkan untuk bercerita apapun kepadaku sayang," Wanita itu balas menggenggam tangan Lizzy. "Dimana kedua cucuku Lizzy, aku tidak melihat mereka sejak tiba tadi?"
"Mereka ada diatas, sedang melakukan panggilan video dengan ayahnya."
"Kau tidak ikut mengobrol dengan mantan suamimu?"
"Tidak bibi, aku enggan berbicara dengannya. Entahlah, aku sudah memaafkan dia, tapi rasanya masih sulit untuk berdamai dan berteman seperti sebelum kami menikah dulu."
"Maaf Lizzy, tapi aku sungguh penasaran, apa kau tidak ingin kembali bersama dengan mantan suamimu?"
"Tidak bibi, bagiku dia hanya bagian dari masa laluku. Aku bukan tipe orang yang suka kembali ke masa lalu. Bagiku, masa lalu cukup untuk dijadikan pelajaran, dan tidak perlu ditarik dan dibawa ke masa depan. Dulu mungkin, aku sempat berharap dia akan meminta maaf dan memohon aku untuk kembali padanya, tapi kemudian aku sadar, hidupku harus tetap berjalan dan maju ke depan. Aku tidak akan mendapatkan apapun jika terus terjebak dengan masa lalu."
"Kau tahu Lizzy, terkadang aku bingung denganmu. Dengan usiamu yang masih terbilang sangat muda, pikiranmu terlalu dewasa, beban di pundakmu pun terlalu berat. Kau harus bisa berbagi dengan orang lain, carilah laki-laki baik, yang bisa membahagiakanmu dan anak-anak. Satu pria buruk, bukan berarti semuanya buruk. Kau hanya belum bertemu dengan pria itu. Kau lihat suamiku philip? Dia adalah salah satu contoh pria baik di dunia ini," Wanita paruh baya itu mengelus lengan Lizzy dengan sayang.
"Entahlah bibi, aku belum siap untuk memulai sebuah hubungan baru yang spesial. Aku hanya ingin memiliki banyak teman, pada saatnya nanti, jika aku bertemu dengan Mr. right ini, maka aku akan mengetahuinya saat aku melihatnya. Mungkin itu terdengar konyol, tapi begitulah aku. Itu semacam insting. Seperti aku denganmu bibi. Saat aku pertama kali melihatmu, aku tahu, kau akan membuatku bahagia," Lizzy memberikan seulas senyum tulus.
"Lizzy kau benar-benar harus menjadi keluargaku, menjadi putriku," Wanita paruh baya itu menggenggam tangan Lizzy dengan erat.
Ia pun hanya bisa tersenyum hangat, mendengar perkataan teman sekaligus keluarga barunya itu.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Suara hingar bingar terasa mengganggu telinganya. Malam ini entah mengapa, dia seperti merasa jenuh, dengan segala hiruk pikuk ini. Biasanya ia merasa senang sekaligus bergairah jika berada di club. Tapi tidak dengan malam ini. Pikirannya jauh melayang ke tempat lain, tempat ibu dan ayahnya tinggal. Sebuah kota kecil dengan hamparan luas pegunungan, tempat ia selalu merasa aman dan nyaman. Ia merindukan ibunya. Sangat. Dia memang seorang pria yang terlihat gagah, dan manly. Tapi ia tetaplah seorang anak dari seorang ibu.
Bertahun-tahun yang lalu orang tua nya memutuskan untuk membeli sebuah rumah di Kota kecil, dengan pemandangan alamnya yang luar biasa indah. Sedangkan ia memilih untuk tetap tinggal di tempatnya sekarang, meneruskan karirnya.
Dan menghabiskan malam yang kosong dari pekerjaan dengan duduk di club, sambil minum adalah salah satu rutinitasnya. Berganti wanita, adalah salah satu hobinya. Tapi itu dulu. Sekarang hatinya hanya terpaku pada satu wanita. Angeline. Wanita yang sempurna, cantik, terkenal, berpendidikan, dan memiliki attitude yang tinggi. Yang sekarang seolah sedang menghindarinya. Padahal mereka berjanji jika malam ini mereka akan menghabiskan malam bersama. Merayakan hari jadi mereka yang ketiga tahun. Dan malam ini pria itu berniat untuk melamarnya, memintanya untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya kelak.
Tapi entah kenapa seolah Angeline melupakan janji mereka dengan sengaja, dan membuatnya berakhir di club ini seorang diri. Dia minum banyak malam itu, berniat sedikit mabuk untuk melupakan kegundahan di hatinya.
Saat ia sedang meneguk gelasnya yang ketiga, pundaknya ditepuk oleh seseorang, "Hallo Daniel sayang, apa yang kau lakukan disini seorang diri?" Pria itu pun memutar kepalanya dan melihat siapa yang bicara dengannya. Seorang wanita dengan perawakan yang tinggi semampai, rambut coklat bergelombang, cantik, dan memakai gaun ketat selutut berwarna hitam dengan pundak terbuka. Penampilannya persis seperti wanitanya Angeline, yang selalu mengutamakan sisi feminisme dan sexy.
"Siapa kau?" Pria itu bertanya kepada si wanita.
"Astaga Daniel, kau melupakanku? Sungguh ironis. Aku adalah Rachel, sahabat Angeline," Wanita itu menjawab.
Seketika tubuh pria itu pun menegang ketika mendengar nama kekasihnya disebutkan. Ada apa ini sebenarnya? Aku menunggu Angeline, kenapa malah bertemu dengan wanita ini? Tunggu, apa terjadi sesuatu pada Angeline ku?, batin pria itu.
"Apakah terjadi sesuatu pada Angeline?" Ia bertanya pada sababat kekasihnya.
Dia memang tidak begitu mengenal lingkaran pertemanan Angeline, karena baginya itu tidaklah penting. Baginya, Angeline sendiri adalah ratunya. Hanya wanita itu yang perlu dia perhatikan, yang lainnya tidak. Apalagi jika itu menyangkut wanita lain.
Wanita itu mengerjapkan matanya karena terkejut. "Apa maksudmu dengan terjadi sesuatu pada Angeline? Bukankah kalian seharusnya bersama malam ini? Angeline tadi siang mengatakan padaku kalau kalian akan makan malam bersama. Dan kenapa kau malah di sini seorang sendiri dalam keadaan setengah mabuk?"
"Seharusnya kami memang bersama malam ini, tapi entah kenapa Angeline tidak datang ke tempat yang sudah kami tentukan. Dia bahkan tidak memberiku kabar. Telepon genggamnya pun tidak bisa dihubungi. Seolah dia sengaja melakukan semua ini."
Wanita itu terdiam mendengar penjelasan dr pria di hadapannya. Sejenak ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu, kemudian ia mengeluarkan telepon genggamnya, dan seperti mencari sesuatu. Setelah ia mendapatkan apa yang dicarinya, ia menunjukkannya pada pria itu. "Sepertinya dugaanku selama ini benar dia sudah mendapatkan mangsanya yang baru. Kau perhatikanlah foto ini, kau akan mendapatkan jawabannya."
Pria itu dengan cepat mengambil benda kotak pipih itu dan melihat foto yang ada di dalamnya. Foto seorang pria yang sedang mencium mesra seorang wanita di sebuah restoran yang mewah, mereka duduk saling bersisian, sehingga ia sedikit sulit mengenali wajah si wanita. Dia memperhatikan dengan seksama, dan seketika rahangnya mengeras, wanita itu adalah Angeline. Kekasihnya. "Apa maksudmu dengan foto ini? Siapa pria itu? Dan kenapa kau menunjukkannya padaku nona?" Ia bertanya dengan suara yang tertahan karena menahan emosi sekaligus nyeri di hatinya.
"Wow, satu-satu tuan. Sabarlah aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Ternyata benar apa kata orang, cinta membuat kita menjadi orang yang bodoh," Wanita itu tertawa geli saat mengetahui reaksi pria di hadapannya. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya "Dengarkan aku baik-baik, kami adalah para penambang emas. Kami pasti akan mencari pria-pria kaya untuk bisa membiayai hidup kami, dengan gaya kelas atas tanpa kami harus bekerja dengan keras. Dan ketika kami mendapatkan pria yang lebih kaya dari kekasih kami sebelumnya, maka kami akan meninggalkan kekasih kami dengan senang hati. Dan itu termasuk kau. Itu artinya kau tidak cukup kaya untuk Angeline. Kenapa aku menceritakan ini kepadamu? Karena mangsaku pernah diambil oleh wanitamu itu tuan. Kami semua pasti mengikuti setiap gerak gerik mangsa baru kami sebelum menggigitnya. Bisa dikatakan, kami mencari titik kelemahan kalian para pria kaya. Dan itu juga dilakukan oleh Angeline kepadamu dulu. Kurasa sampai disini kau paham maksudku Daniel."
Pria itu terlihat semakin emosi, tapi ia berusaha untuk menahannya. "Apa selama berhubungan denganku, dia juga berhubungan dengan pria lain?"
"Kurasa tidak, dia cukup totalitas ketika berhubungan dengan seorang pria, kecuali ketika dia sudah mendapatkan mangsa baru. Dia sepertinya baru dua bulan ini berhubungan dengan Alex, dan ya pria itu bernama Alexander Stuart. Kurasa kau pun mengenalnya. Foto itu dikirimkan oleh temanku yang juga mengincar Alex beberapa hari lalu. Kau tahu? Dia bukanlah wanita baik seperti apa yang kau pikirkan, karena dia juga selalu merebut calon mangsa teman-temannya."
"Apa kau tahu sekarang mereka ada dimana? Mengingat sekarang dia tidak bersamaku, maka kemungkinan mereka sedang bersama bukan?"
Wanita itu kembali terlihat sedang memikirkan sesuatu. Kali ini kau tidak akan lolos Angeline, meskipun pada akhirnya kau yang mendapatkan Alex tapi aku tidak akan membuat jalanmu mudah, dan kau Daniel kau cukup naif untuk ukuran playboy sekelasmu. Sekali tepuk, dua lalat akan mati di tanganku. Angeline, bersiaplah menerima amukan beruang di hadapanku. Dan kau Daniel, bersiaplah untuk hancur karena kau telah menyakiti hati adikku demi Angeline, batin wanita itu.
"Sebentar, aku akan bertanya pada temanku yang sedang mengawasi Alex," Kemudian wanita itu terlihat menghubungi seseorang. "Baiklah Kim, terima kasih untuk informasimu," Wanita itu pun berbalik menatap Daniel dengan sorot mata yang sulit untuk ditebak.
"Mereka sedang berada di rumah peristirahatan milik Alex, di sebelah utara kota, akan kuantar kau kesana."
Tanpa berkata apapun pria itu berdiri, setelah membayar tagihannya, dia menatap ke arah wanita itu "Kau membawa mobil bukan? Karena aku tidak berniat mengantarkanmu pulang nona."
"Tentu saja Daniel, aku membawa mobilku sendiri. Dan aku pun sudah ada janji temu dengan temanku malam ini."
Mereka pun berjalan keluar dari club menuju mobil masing-masing. Setelah berkendara selama tigapuluh menit, mereka pun sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah bergaya minimalis tropical tanpa pagar di tengah hutan, berdiri kokoh. Pemandangan di dalam rumah pun terlihat jelas dari luar karena kaca-kaca besar yang menjadi dindingnya tidak tertutup. Pria itu menatap bangunan di hadapannya dari dalam mobil, tatapannya mencari-cari petunjuk keberadaan wanitanya. Ketika tatapannya menangkap sosok seorang pria yang sedang berjalan keluar rumah sambil menggandeng tangan seorang wanita rahangnya mengeras, pegangan tangannya pada stir mobil pun mengencang, hingga membuat jari-jarinya memutih. Tanpa diduga, si pria pun berbalik memeluk dan mencium wanitanya dengan ganas, si wanita pun menyambut ciuman pria itu dengan meremas rambut si pria, hal yang selanjutnya terjadi sungguh membuat emosi pria yang sedang mengamati itu memuncak, pasangan itu beradegan panas di teras rumah dengan posisi tubuh wanita yang menempel pada dinding kaca. Mereka tidak sadar sedang diawasi.
Dengan emosi yang memuncak, pria itu keluar dari mobil dan berjalan menghampiri pasangan itu. Tangannya mengepal kuat. "Wow di sini kau rupanya sayang," Pria itu berkata dengan nada menyindir.
Pasangan itu pun terkejut dan si wanita refleks mendorong si pria, wajahnya seketika pucat pasi karena tertangkap basah. Pasangannya pun tak kalah terkejut mendengar suara pria lain di rumahnya.
Ia pun menatap pasangan itu dengan tatapan nanar, kemudian berkata. "Kurasa cukup sampai disini hubungan kita Angeline. Dan aku tidak mau melihat wajahmu lagi," Kemudian pria itu berbalik melangkah menuju mobilnya. Ia pun segera pergi dari tempat itu, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Hatinya remuk seketika. Dan egonya sebagai seorang lelaki jelas terluka. Disaat ia mencoba untuk hidup lebih baik, berhenti menjadi seorang pemain wanita dan hanya berhubungan dengan seorang wanita saja, justru ia mendapatkan luka yang menyakitkan. Cukup sudah aku dibodohi oleh seorang wanita, tidak akan ada kedua kalinya, batin pria itu.
Ia terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi yang tanpa dia sadari jalan yang ia ambil sudah tidak lagi mengarah ke rumahnya. Tetapi mengarah ke kota lain, kota tempat orang tuanya tinggal. Tempat ternyaman dalam hidupnya. Tempat dia untuk pulang dari segala perjalanan hidup yang melelahkan, seperti hari ini.
Pagi hari itu suasana toko roti milik Elizabeth terlihat ramai oleh pengunjung. Banyak diantara mereka yang memilih menikmati hidangan dengan duduk santai di dalam toko. Kota Pegunungan itu hanyalah sebuah kota kecil yang memiliki aktivitas tidak padat. Masyarakatnya hampir semuanya saling mengenal tak terkecuali Lizzy.
Namun saat musim liburan tiba, kota yang tenang itu akan berubah menjadi ramai oleh para turis dan aktivitas pun menjadi padat. Salah satunya adalah toko roti milik Elizabeth yang terkena imbasnya. Letak tokonya yang strategis, membuatnya menjadi salah satu toko makanan yang ramai dikunjungi para turis.
Hari ini, ia dibantu oleh asistennya yang bertugas melayani para pembeli didepan,sedangkan Lizzy lebih memilih untuk bekerja di dapur. Saat ia sedang ia sedang sibuk mengolesi roti-roti yang baru saja matang dengan madu, telepon toko rotinya berbunyi.
"Halo selamat pagi, toko roti Elizabeth di sini, ada yang bisa kubantu?" Lizzy menjawab dengan ramah.
"Hai Lizzy, ini aku bibimu christine. Aku ingin membeli beberapa roti manis dan gurih, terserah dengan topping apapun di atasnya. Tapi aku tidak bisa mengambil roti itu ke tempatmu, jadi bisa kah kau mengantarkannya ke tempatku? Atau jika kau dan Adelia sibuk, kau bisa menyuruh Clara dan David mengantarnya ke rumahku. Nanti biar aku yang akan mengantarkan mereka pulang. Bisakah? Maaf aku merepotkanmu Lizzy, aku sedang sibuk memasak sedangkan philip sedang mengurus pekerjaannya," Wanita itu setengah memohon kepada Lizzy.
"Tentu saja bibi, Clara dan David akan mengantarkan roti-roti itu untukmu sebentar lagi. Akan kusiapkan pesananmu terlebih dahulu."
"Baiklah, aku akan menunggu mereka. Terima kasih banyak sayang, maaf aku merepotkanmu."
"Tidak perlu sungkan bibi, bukankah sekarang kita keluarga?"
"Kau benar Lizzy, baiklah kalau begitu sampai jumpa. Dan katakan pada kedua cucuku agar mereka berhati-hati di jalan. Kututup teleponnya, sampai jumpa Lizzy."
"Sampai jumpa bibi."
Dengan segera ia melepaskan apron yang melekat di tubuhnya dan berjalan ke bagian tokonya. Ia memilih lima roti manis dan lima roti gurih dengan berbagai macam varian toping dan isian. Ia memasukkan kedalam kotak kue yang berkapasitas lima roti. Setelah membungkusnya menjadi dua kotak ia memasukkannya kedalam paper bag berlogo toko roti miliknya. Selesai dengan roti pesanannya ia memanggil anak-anaknya melalui telepon paralel ke atas tokonya yang menjadi tempat istirahat selama ia membuka toko kuenya disiang hari.
Tak lama kemudian, satu anak laki-laki dan satu anak perempuan turun. Usia mereka terpaut enam tahun. Clara, anak perempuannya berusia duabelas tahun, sedangkan David anak laki-lakinya berusia enam tahun. Mereka memakai celana jeans panjang dan kaos lengan panjang. Lizzy tak pernah mengizinkan anak perempuannya memakai dress ataupun bawahan rok jika tidak sedang bersamanya. Kota Pegunungan memang hanya kota kecil, tapi kewaspadaannya sebagai orang tua tetap ia berikan kepada anak-anaknya.
"Ini Clara, tolong kau antarkan pesanan roti ini untuk nenek christine. Adikmu akan menemanimu. Kalian jalan kaki saja tidak apa-apa kan? Nenek bilang beliau akan mengantarkan kalian pulang nanti. Dan kau David, jaga kakakmu dengan baik, jangan bertingkah yang membuat kakakmu menjadi susah. Di sana kalian harus jadi anak yang baik. Tidak baik jika kalian menyusahkan mereka nanti," Lizzy menyerahkan paper bag berlogo itu pada putrinya.
"Baik ibu, kami akan berhati-hati. Kami pergi dulu bu," Clara anak gadisnya berpamitan kemudian berjalan keluar toko diikuti oleh adiknya David. Lizzy menatap kedua buah hatinya yang menjauh, perasaan sedih menyelimutinya seketika. Kedua anaknya kini susah semakin besar, tapi mereka tetaplah anak-anak yang membutuhkan kasih sayang orang tua secara lengkap. Tapi apa mau dikata, takdir berkata lain.
Setelah berjalan kaki selama lima belas menit, mereka sampai didepan sebuah rumah dua lantai dengan pagar kayu, rumahnya pun sebagian besar berdinding kayu. Clara pun memencet bel merangkap intercom yang ada dipojok kiri dinding pagar,tak lama ada suara dari dalam sana "Halo, ada yang bisa aku bantu?"
"Halo nenek christine, ini aku Clara dan David. Aku ingin mengantarkan pesanan rotimu nek," Jawab Clara.
"Akhirnya cucuku datang, tunggu sebentar, aku akan menyuruh kakekmu untuk membuka gerbang."
Tak lama keluarlah seorang pria tua berjalan kearah pintu gerbang. Meskipun usianya sudah tidak lagi muda, tapi tubuhnya masih terlihat gagah. Dengan wajah yang ramah, dia menyapa kedua anak itu. "Halo cucu-cucuku sayang, bagaimana kabar kalian hari ini?" Pria itu berkata sambil memeluk Clara dan David bergantian.
"Kami berdua baik kakek, dan bagaimana kabar kakek?" Kali ini David yang bicara.
"Seperti yang kalian lihat, aku sehat bugar, apalagi hari ini aku bertemu kalian berdua, rasanya aku akan hidup puluhan tahun lagi," Pria itu menjawab dengan senyuman lebar. Ia jatuh hati pada kedua anak itu semenjak istrinya sering mengajaknya ke toko roti langganannya. Kedua anak itu memiliki attitude yang tinggi jika dibandingkan dengan anak lainnya yang seusia mereka. Mereka juga anak-anak yang penuh dengan kasih sayang.
"Ayo kita masuk kedalam, nenek kalian pasti akan memarahiku jika menahan kalian lebih lama lagi di luar."
Mereka berjalan bersisian menuju dapur di bagian belakang rumah. Clara sangat suka jika main ke rumah itu, rumahnya nyaman, dengan taman yang indah di belakangnya, ditambah sang pemilik rumah yang begitu hangat dan menyenangkan. Satu kata di dalam benaknya, sempurna.
Begitu tiba di dapur mereka berdua langsung dipeluk oleh wanita paruh baya, yang mereka panggil nenek. Sebuah pelukan yang hangat dan sarat akan kasih sayang. "Apa kabar cucu-cucuku yang manis? bagaimana dengan perjalanan kalian tadi?" Ia berkata sambil masih memeluk kedua anak itu.
"Aku tentu saja baik nek, apalagi setelah dipeluk nenek, rasanya tubuhku semakin terasa sehat," Jawab David sambil tersenyum lebar.
Mendengar jawaban yang dilontarkan oleh David, seketika pasangan suami istri itu tertawa dengan keras
"Lihatlah phil, ia semakin mirip saja denganmu. Semakin pandai merayu," Wanita paruh baya itu tertawa sambil menunjuk suaminya.
"Dan kau Clara, bagaimana dengan kabarmu sayang?" Wanita itu kembali bertanya.
"Aku baik nenek, bagaimana denganmu? Kukira hari ini kau akan datang ke toko untuk mengunjungi kami."
"Aku tadinya memang ingin mengunjungi kalian, tapi harus aku batalkan. Tiba-tiba saja paman kalian datang tadi malam, jadi aku harus menyiapkan masakan favoritnya," Ia menjelaskan dengan lembut kepada kedua anak di hadapannya itu.
Mereka berempat bercengkrama dengan akrab, sesekali terdengar suara kedua orang tua itu tertawa mendengar celotehan David yang polos dan apa adanya. Sejak lama kedua orang tua itu mengharapkan kehadiran cucu, agar rumah mereka terasa ramai. Namun sayang, putra semata wayang mereka sampai hari ini belum bersedia untuk mengakhiri masa lajangnya. Jangankan untuk menikah, berhubungan serius dengan seorang wanita saja sepertinya enggan.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya melalui celah gorden jendela, jatuh tepat di atas wajahnya. membuat matanya silau dan refleks mengerjap. Semalam ia tiba di rumah orang tuanya menjelang pagi, kepalanya sedikit pusing, mengingat semalam ia sedikit mabuk. Untungnya ia tak kehilangan kesadarannya selama perjalanan.
Perlahan ia bangun dan duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Ia sedang mengumpulkan kesadarannya saat terdengar suara ramai orang tertawa dari luar kamarnya. Pukul berapa sekarang?, batinnya. Dengan segera ia melirik jam di atas dinding tepat di hadapannya. Dan ternyata sudah pukul sebelas siang. Ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi. Ia hanya sekedar membersihkan wajahnya dan menyikat gigi.
Dengan hanya memakai setelan kaos tipis dan celana pendek bahan berpinggang karet, ia keluar menuju arah sumber suara. Dilihatnya kedua orang tuanya sedang asyik mengobrol dan bersenda gurau dengan dua anak kecil. Satu laki-laki dan satu perempuan. Ia otomatis tersenyum melihat ayah ibunya tertawa bahagia, sudah lama ia tidak melihat kedua orang tuanya tertawa dengan lepas seperti itu.
Ia pun berjalan menghampiri mereka didapur. "Selamat pagi ayah, bu," Ia menyapa kedua orang tuanya sambil, mengecup pipi mereka bergantian.
"Ini sudah siang paman, bukan pagi. Dan sepertinya paman bangun terlalu siang untuk mengucapkan selamat pagi," David refleks berkata pada pria itu.
Sontak kedua orang tuanya tertawa keras mendengar celotehan anak laki-laki itu, sedangkan pria yang disapa paman olehnya hanya memberengut.
"Benar apa yang dikatakan oleh David sayang, ini sudah terlalu siang untukmu mengucapkan selamat pagi," Ibunya menjawab sambil tertawa geli.
Pria itu melirik ayahnya untuk meminta dukungan, namun ayahnya hanya menatapnya sambil tertawa.
"Siapa mereka berdua? Baru kali ini aku melihat mereka, dan terutama kau pria muda, kenapa mulutmu tajam begitu?" Ia bertanya sambil berdiri bersandar pada island table dan melipat tangannya di dada.
"Mereka berdua adalah cucuku Daniel, pria muda itu bernama David. Dan yang perempuan itu adalah kakaknya bernama Clara. Bukankah mereka sangat lucu dan menggemaskan sayang?" Jawab ibunya.
Pria itu menatap ibunya dengan tatapan tak percaya, "Bagaimana bisa mereka menjadi cucumu bu? Bukankah anak ayah dan ibu hanya satu, dan itu aku. Bahkan aku pun belum menikah apalagi mempunyai anak."
Ayahnya yang sejak tadi hanya diam mengamati tiba-tiba tertawa lepas, "Tentu Daniel, anak kami hanya kau. Bisa kupastikan itu. Mereka adalah anak-anak dari pemilik toko roti di sisi jalan tepi danau sana. Ibunya dan ibumu bersahabat sejak toko itu buka tiga tahun yang lalu. Dan kami menganggapnya sebagai putri kami. Dan tentu saja anak-anaknya otomatis menjadi cucu kami sekarang. Benar begitu sayang?" Ayahnya memberikan penjelasan sambil menatap ibunya dengan penuh kebahagiaan.
"Benar Daniel, kami sekarang memiliki seorang putri dan dua orang cucu. Usia ibu mereka delapan tahun lebih muda darimu. Jadi ibu rasa ia bisa menjadi adik perempuanmu," Ibunya pun memberi penjelasan dengan rona bahagia pada wajahnya yang terlihat jelas.
"Halo paman, aku Clara. Dan ini adikku David. Salam kenal. Dan aku mohon, maafkan perkataan adikku yang tadi, dia memang seperti itu anaknya. Berbicara tanpa memikirkan dulu apa yang ia bicarakan. Usianya baru enam tahun, jadi yah begitulah, aku harap kau bisa memakluminya paman."
Daniel mengerjapkan matanya, terkejut dengan apa yang dikatakan oleh anak perempuan itu. Ia menaksir usia anak itu baru sekitar sebelas atau duabelas tahun. Tapi bicaranya seolah ia sudah sangat dewasa.
"Oh Clara, itu tadi sangat manis sayang. Pamanmu pasti paham, bahwa David tidak bermaksud lancang tadi. Ia pasti akan memakluminya, benarkan Daniel?" Ibunya memberikan pujian pada anak itu dan bertanya padanya.
Ia pun hanya bisa menganggukan kepala menyetujui pertanyaan ibunya. Wow, sepertinya ibu dan ayahku benar-benar jatuh cinta pada kedua anak ini. Aku jadi penasaran orang seperti apa ayah dan ibunya, pria itu membatin.
"Clara, David bagaimana kalau kalian makan siang bersama kami, setelah makan siang aku dan nenekmu akan mengantar kalian pulang ke toko. Atau kalian bisa bermain seharian di sini dan sore hari kami akan mengantar kalian pulang ke rumah."
"Maafkan aku kek, aku rasa kami tidak bisa ikut makan siang bersama kalian, aku dan kakak harus segera kembali ke toko. Kasihan ibu jika kami makan siang di sini, ia pasti akan makan siang sendirian. Karena saat jam makan siang Adelina pasti akan pulang untuk beristirahat. Dan selama Adelina belum datang, kami yang membantu ibu melayani pembeli," David menolak dengan halus.
Daniel, yang masih berdiri dengan posisi semula pun mengerutkan dahinya. Astaga, kenapa anak ini tua sekali bicaranya, padahal usianya baru enam tahun. Kemana ayah mereka? kenapa harus mereka yang membantu ibunya ditoko? kenapa bukan ayah mereka?. Lagi-lagi ia terpana dengan perkataan anak itu. Sepertinya ia tahu sekarang, kenapa ayah dan ibunya bisa jatuh cinta pada mereka berdua.
"Kalau begitu, biarkan kakek dan nenek mengantar kalian pulang, mungkin lain kali saat toko sedang tutup kita bisa makan siang bersama dengan ibu kalian, atau kita bisa makan malam bersama setelah toko tutup. Selagi paman kalian ada di sini. Bukankah keluarga harus saling mengenal?"
Wajah anak perempuan itu pun terlihat bersinar bahagia. Tanpa anak itu sadari, air matanya menetes.
"Terima kasih kakek, nenek dan juga kau paman. Terima kasih karena kalian mau menerima kami menjadi bagian dari keluarga kalian. Aku merasa sangat bahagia. Aku senang, akhirnya ibuku punya keluarga yang bisa menjaganya setelah sekian lama ia menjaga kami seorang diri." Anak perempuan itu tertawa disela isakan tangisnya.
Sepeninggal kedua orang tuanya yang sedang mengantarkan kedua anak itu, ia duduk termenung di meja makan sambil meminum kopi dan memakan roti manis yang disediakan oleh ibunya. Jadi mereka tidak punya ayah? kemana ayahnya? seperti apa ibunya? bagaimana cara wanita itu mendidik anak-anaknya sehingga mereka menjadi anak yang penuh dengan kasih sayang?. Pertanyaan bertubi-tubi datang dalam kepalanya. Sehingga tanpa ia sadari, ia melupakan masalahnya. Melupakan sosok Angeline yang telah menyakitinya dengan begitu dalam. Membuatnya merasa terhina sebagai seorang laki-laki.
Daniel Allan.
Ia pun semakin tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Menikmati kopi buatan ibunya tersayang, menghirup udara segar kota Pegunungan, dan menikmati pemandangan indah di luar sana, tepat di depan pintu dapur yang digeser, yang sengaja dibuka oleh ibunya saat siang hari. Ia menikmati ketenangan kota kecil itu sambil mengingat perkataan kedua anak tadi dan tawa bahagia dari kedua orang tuanya.
Seorang wanita terlihat sibuk menekan nomer telepon seseorang di telepon genggamnya. Wajahnya terlihat cemas. Ia merasa bersalah karena sengaja melupakan janjinya pada seseorang. Ia tahu, bahwa malam itu, kekasihnya berniat untuk melamarnya. Dan dia belum siap untuk menikah. Dan kalau pun nanti ia menikah sudah dipastikan bukan dengan kekasihnya itu. Ia akan mencari laki-laki super kaya, yang bisa memenuhi segala kegilaannya dalam berbelanja barang-barang mewah. Dan uang suaminya nanti tidak akan habis meskipun ia berbelanja setiap hari. Ia tidak pernah meletakkan hatinya pada satu orang pria, termasuk Daniel kekasihnya. Namun entah kenapa, semenjak kejadian kemarin ia tertangkap basah sedang bercumbu mesra dengan kekasih barunya, ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tiga tahun ia menjalin hubungan dengan Daniel Allan. Seorang aktor kelas menengah yang sedang naik daun. Ia berpikir, Daniel adalah salah satu batu loncatan untuknya dalam meraih laki-laki yang jauh lebih kaya dari Daniel.
Ia terus mencoba menghubungi kekasihnya itu. Ia merasa harus menjelaskan sesuatu. Kalau pun pada akhirnya hubungannya harus berakhir dengan Daniel, setidaknya dia lah yang harus mengakhiri, dan bukannya laki-laki itu. Tidak, aku tidak mau dicampakkan oleh siapa pun, meskipun kesalahan ada padaku, tapi tetap harus aku yang memutuskan hubungan. Bukan pria itu, batin wanita itu.
Ia duduk dengan gelisah, sambil terus berusaha menghubungi nomer kekasihnya. Di depannya terlihat ada dua cangkir kopi yang sudah habis, tiba-tiba wajahnya nampak shock. Astaga, apa yang terjadi padaku? kenapa aku begitu merasa bersalah pada pria itu? Bukankah ini bagus? karena artinya aku tidak perlu repot untuk mencari alasan supaya bisa meninggalkannya. Biarkan saja. Lebih baik aku fokus bagaimana aku menjelaskan pada Alex tentang kejadian kemarin lalu, batinnya.
Saat ia hendak beranjak pergi, seseorang menghampirinya. "Angeline, kau sudah mau pergi?" seorang wanita menyapanya dengan ragu, ia takut Angeline melihatnya saat kejadian tiga hari yang lalu.
Angeline Parker.
"Oh hai Rachel, iya aku baru saja akan pulang, apa yang kau lakukan di sini? Lama kita tidak berjumpa, padahal apartement kita bersebelahan."
Wanita yang ia panggil Rachel itu menghembuskan nafas lega secara perlahan. Bagus, ia tidak melihatku malam itu ternyata, ia berkata dalam hati.
Wanita itu berdeham mencoba menetralkan tenggorokannya untuk menghilangkan kegugupannya,
"Ayo temani aku minum kopi Angeline, kita sudah lama tidak mengobrol bukan? Aku akan mentraktirmu."
"Tidak Rachel, maafkan aku, kau lihat? Aku sudah meminum dua cangkir kopi. Aku tidak mungkin minum tiga cangkir. Aku akan menemanimu mengobrol tapi aku hanya akan memesan segelas air putih."
"Baiklah kau minum air putih dan aku akan memesan kopi," Kemudian wanita itu memanggil pelayan dan memesan secangkir kopi dan segelas air putih untuk Angeline. Dan dengan sangat perlahan, ia melakukan gerakan seperti menyentuh sesuatu di dalam tas, yang terletak di pangkuannya. "Bagaimana dengan makan malammu bersama Daniel, Angeline?" Wanita itu mencoba membuka pembicaraan.
"Kami melewatkan malam yang romantis Rachel, dia benar-benar terlihat mencintaiku. Tapi yang seperti kau tahu, aku tidak mungkin mencintainya karena dia tidak cukup kaya bagiku," Wanita itu berkata dengan pongah.
Sedangkan lawan bicaranya tersenyum dan menatapnya penuh arti setelah mendengar jawabannya. "Kau benar, dia memang tidak cukup kaya untuk kita. Kau harus mencari pria yang jauh lebih kaya dari dia. Ada banyak pria super kaya di luar sana. Dan dia hanya aktor kelas menengah dengan jumlah kekayaan yang masih bisa habis," Wanita mencoba untuk memberikan perhatiannya, meskipun dalam hati ia menggerutu. Kau sungguh tidak cocok dengan pria kaya manapun Angeline. Kau hanya pantas bersama pria yang tidak punya apa-apa. Dan akan kupastikan, kau tidak akan mendapatkan salah satu dari pria super kaya itu Angeline.
"Kau benar, aku akan mendapatkan salah satu dari mereka. Dan saat ini untuk sementara, aku akan menguras habis uang milik Daniel. Aku akan benar-benar memerasnya sampai habis tak bersisa. Ia benar-benar bodoh dan naif karena ia terlalu mencintaiku," Angeline berkata sambil tertawa geli.
Tak lama pesanan mereka pun datang. Mereka mengkahiri pembicaraan tentang Daniel. Dan memilih topik lain. Lagi-lagi dengan gerakan yang sangat pelan, Rachel menyentuh sesuatu di dalam tas nya. Aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan hari ini, sebentar lagi, kita lihat apa kau masih bisa tertawa dengan manis atau tidak Angeline, batin wanita itu.
Rachel.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Sore itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya di kota Pegunungan, membuat para warganya lebih cepat mengakhiri aktivitas mereka di luar rumah hari itu. Sama seperti halnya Lizzy, ia pun sudah memasang tanda tutup di pintu kaca milik tokonya. Ia memang sudah tiga tahun menetap di Kota kecil itu, namun entah kenapa ia tetap belum terbiasa dengan udara dingin di Kota itu, yang terkadang rasanya sampai menusuk tulang.
Tokonya sudah tutup dari setengah jam yang lalu, tapi ia belum juga beranjak pulang. Adelina asistennya sudah lebih dulu pulang, sedangkan kedua anaknya hari itu tidak datang ke toko. Ia masih asik membersihkan peralatan dapurnya, setelah itu ia pun masih harus mengerjakan laporan penjualan minggu itu. Ia memiliki prinsip, ketika di rumah, hanya anak-anak lah yang akan menjadi prioritasnya. Maka dari itu ia tak pernah membawa pekerjaan ditoko ke rumah. Semua ia selesaikan sebelum pulang.
Saat ia sedang asik mengerjakan laporan penjualan sambil meminum segelas coklat panas, tiba-tiba perasaanya menjadi gelisah tak menentu. Ia pun langsung mengangkat kepalanya dan mencoba menatap sekeliling, dan berakhir dengan menatap pintu tokonya. Dan benar saja, tak lama ia melihat ada sebuah mobil sedan yang berhenti diparkiran toko rotinya. Seorang pria. Ia dapat melihat sang peengendara mobil, karena pria itu mengendarai sebuah mobil sedan tanpa atap, atau bisa dikatakan sedang membuka atap mobilnya. Aku baru pertama kali melihat pria itu. siapa dia? apa dia seorang turis? Tapi kurasa tidak mungkin. Musim liburan baru dimulai minggu depan, Lizzy bertanya dalam hatinya.
Tak lama kemudian, pengendara mobil itu pun turun, dan berjalan menuju arah toko roti Lizzy, pria itu memakai jeans usang berwarna biru, atasan kaos tanpa kerah berwarna putih, dan sweater cardigan berwarna coklat susu. Badannya tinggi dan tegap, rambutnya hitam acak-acakkan karena tertiup angin, hidungnya mancung, tapi ia memiliki mata yang kecil, wajahnya perpaduan antara barat dan timur. Dan entah mengapa wajah itu terasa familiar di mata Lizzy.
Pria itu pun mengetuk pintu kaca toko roti milik Lizzy, dan wanita itupun mengerutkan keningnya karena terkejut. Apakah pria itu tidak bisa membaca tanda tutup pada pintu tokoku? Ingin rasanya ia mengusir pria itu, tapi rasanya ia tidak sekurang ajar itu. Akhirnya ia pun memilih untuk membukakan pintu untuk tamunya, "Selamat sore Tuan, apa ada yang bisa kubantu? Maaf sekali aku tidak bisa membiarkanmu masuk, karena tokoku sudah tutup."
Pria itu menatapnya dengan tatapan tak suka, "Bukankah tidak sopan nona, melarang pembelimu masuk ke toko? Lagipula ini masih sore, matahari pun belum tenggelam. Aku tahu tokomu sudah tutup, tapi setidaknya izinkan aku untuk masuk dan memesan sepotong roti manis buatan tokomu ini. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam padamu. Karena jika aku berani melakukan tindakan jahat padamu, ayah ibuku sudah pasti akan menebas leherku," Pria itu mencoba memaksa Lizzy untuk membukakan pintu untuknya.
Lizzy terdiam memandang pria di hadapannya "Memangnya siapa orang tuamu? Apakah aku mengenal mereka?" Ia bertanya dengan kening yang masih berkerut.
"Mereka adalah christine dan Philip Allan. Orang yang kau panggil paman dan bibi."
Pantas saja aku seperti familiar dengan wajah pria ini, ternyata dia adalah anak bibi Christine, batin Lizzy.
Otaknya menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja pada ucapan pria itu, tapi instingnya justru berkata lain. Dengan segera ia membuka pintu tokonya dengan lebar, dan mempersilahkan tamunya masuk.
"Kau mau pesan roti apa Tuan, kami di sini memiliki dua jenis pilihan roti, manis dan gurih dengan berbagai isian dan toping. Sedangkan untuk minumannya kami hanya memiliki orange juice, coklat, dan sedikit varian menu kopi," Lizzy telah berada di belakang etalase tokonya, siap melayani tamunya.
Pria itu terdiam sejenak sambil mengamati Lizzy yang berdiri di belakang etalase toko. "Aku ingin dua roti manis dengan isian yang sama seperti yang kemarin kau kirim ke rumah ibuku. Kalau tidak salah ada kayumanis dan coklat. Dan tolong buatkan aku secangkir kopi hitam tanpa gula dan creamer. Bolehkan jika aku makan dan duduk di sini?"
"Baiklah Tuan, aku akan menyiapkan pesananmu. Dan ya, kau boleh duduk di sini sambil menikmati kudapanmu."
Kemudian pria itu berjalan menuju salah satu meja di pinggir kaca, dan pria itu memilih meja yang bersebrangan dengan meja yang Lizzy pakai tadi untuk mengerjakan laporannya.
Pria itu duduk sambil bersandar pada kursi, menatap keindahan danau dan bentangan pegunungan yang mengelilinginya. Toko roti ini benar-benar memiliki tempat yang strategis. Dengan tempat parkir yang cukup luas dan pemandangan di seberang jalan yang sangat indah. Dengan rasa makanan yang jelas enak, sungguh perpaduan yang pas, ia bermonolog dalam hatinya.
Tak lama Lizzy datang membawakan pesananya, "Ini tuan pesanan anda, kuharap anda menikmatinya. Dan maaf jika aku tidak sopan, tapi kuharap kau berada di sini tidak lebih dari satu jam. Karena aku harus benar-benar menutup toko dan segera pulang. Anak-anakku sudah menungguku di rumah," Lizzy mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
"Jadi kau adalah ibu dari kedua anak yang beberapa hari lalu mengantar roti ke rumah ibuku?"
"Iya tuan, aku adalah ibu mereka. Ada apa?"
"Tidak ada, hanya saja kupikir kau lah yang bernama Adelina sang asisten," Pria itu mengamati Lizzy dengan lebih seksama. Sedangkan Lizzy hanya mengangkat bahunya acuh, mencoba mengabaikan perasaan yang sedari tadi mengganggunya. Perasaan yang sama saat ia pertama kali bertemu dengan mantan suaminya dulu.
"Baiklah tuan, silahkan menikmati hidangannya. Aku akan melanjutkan pekerjaanku," Tanpa menunggu respon pria itu, ia berjalan menuju meja yang tadi, tempat ia mengerjakan laporannya.
Tak lama, mereka pun tenggelam dalam pikiran masing-masing. Pria itu pun mengambil telepon genggamnya dari saku celananya, dan mengaktifkannya. Sudah beberapa hari semenjak kejadian itu, ia mematikan ponselnya, setelah ia meminta tim manajemennya untuk mengosongkan waktunya selama dua minggu kedepan. Ia butuh waktu. Ia masih tidak habis pikir dengan perlakuan yang ia dapatkan dari kekasihnya, tidak! salah, tapi mantan kekasih! batinnya. Tiga tahun mereka bersama, segala perhatian, cinta, dan kasih sayangnya ia curahkan pada wanita itu. Ia yang semula senang berganti wanita pun berubah, berhenti melakukan itu semua dan menyerahkan hatinya sepenuhnya untuk wanita itu, Angeline.
Untungnya, ia belum sempat membawa wanita itu ke hadapan kedua orang tuanya. Sehingga orang tuanya tidak perlu ikut merasakan apa yang dia rasakan. Ketika ponselnya menyala, ia mengerutkan keningnya bingung. Ada banyak panggilan masuk dari Angeline, dan beberapa pesan yang juga berasal dari wanita itu. Isi pesannya memohon ia untuk menjawab panggilannya dan mengajaknya bertemu. Dengan alasan wanita itu ingin menjelaskan semua yang terjadi pada malam itu.
Ia hanya tersenyum kecut. Apalagi yang coba kau jelaskan Angeline, semuanya sudah jelas di mataku. Kau sengaja melupakan janji kita dan memilih menghabiskan malam bersama pria lain. Kau benar-benar tidak tahu malu, pria itu menggeram menahan marah dalam hatinya.
Seandainya wanita itu hanya menganggapnya sebagai tambang emas pun, ia tak masalah. Asalkan wanita itu tidak berselingkuh dengan pria lain dan tetap bersamanya, karena ia begitu mencintai wanita itu. Ia pun bersedia bekerja lebih keras untuk menambah pundi-pundi kekayaannya demi membahagiakan wanita itu, agar wanita itu tidak meninggalkannya. Sayangnya takdir berkata lain. Wanita itu berselingkuh di belakangnya.
Lizzy mengerjakan laporannya sambil sesekali melirik pria di seberang mejanya. Wajah pria itu sesaat terlihat sendu, dan seketika berubah menjadi seperti menahan marah. Ia pun menggelengkan kepalanya, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya sore itu. Ia harus segera menyelesaikannya dan pulang. Anak-anaknya telah menunggunya di rumah.
Waktu telah menunjukan pukul enam. Dan matahari pun mulai tenggelam di ufuk barat. Lizzy pun telah menyelesaikan laporannya. Ia bergegas merapihkan meja dan gelas kosong miliknya, setelah ia selesai menyelesaikan bagiannya, ia menghampiri pria itu. "Maaf tuan, ini sudah satu jam dan matahari sudah tenggelam. Aku ingin menagih janjimu yang bersedia pergi setelah satu jam, maaf aku tidak bermaksud tidak sopan padamu, tapi aku benar-benar harus segera pulang dan menyiapkan makan malam untuk kedua anakku."
Pria itu pun tersadar dari lamunannya. Dan menatap wajah Lizzy, "Baiklah nona, aku akan pergi. Terima kasih karena kau telah mengizinkanku untuk duduk disini meskipun hanya sebentar," Pria itu segera membayar tagihannya dan beranjak keluar dari toko roti milik Lizzy.
Dari dalam toko Lizzy memperhatikan kepergian pria itu. Entah mengapa ia merasakan gelenyar aneh dalam hatinya semenjak kedatangan pria itu. Padahal mereka baru saja bertemu. Entahlah ia pun tak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. Semuanya terasa dè javu. Perasaan yang sama saat dulu ia bertemu mantan suaminya untuk pertama kali, kini terulang lagi.
Tapi ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi, jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Perlahan ia menghembuskan nafasnya dengan lelah. Ia segera membersihkan meja yang baru saja ditempati oleh pria itu.
Di rumah, ia segera tenggelam dalam kesibukannya menyiapkan makan malam untuk kedua anaknya. Menemani mereka belajar, dan kemudian menemani mereka bermain sejenak sebelum pergi tidur.
Rutinitasnya sehari-hari membuatnya hanya memiliki sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Tapi ia tak pernah merasa keberatan apalagi mengeluh. Semua dijalaninya dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Setelah memastikan anak-anaknya sudah tidur nyenyak di kamar masing-masing, ia pun beranjak menuju kamar tidurnya di bagian depan rumah. Ia membersihkan diri sebelum mengganti pakaiannya dengan gaun tidur panjang. Setelah selesai membersihkan diri, ia naik ke atas ranjangnya lalu berbaring. Matanya sulit untuk dipejamkan. Pikirannya berkelana entah kemana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!