Sinar mentari pagi ini sepertinya sedang bersemangat, cahayanya sedari tadi sudah mulai menyeruak menyusup ke sela sela jendela kamar sang pemilik yang kini sedang sibuk berbenah diri.
Gadis di sana hari ini akan mulai memasuki sekolah barunya di Jakarta. Enah apa yang akan terjadi pagi ini tapi sudah cukup jalanin saja apapun itu akan berlalu bukan begitu?
"semoga hari ini berjalan dengan lancar" gumam seorang gadis dengan sepintas senyum di wajahnya. "Yup! Gue siap ke sekolah baru" ucap gadis tersebut setelah selesai menguncir rapih rambutnya.
Bukan benar-benar antusias pergi ke sekolah baru yang dia tunggu sebenarnya, tapi waktu untuk keluar dari penjara berbentuk rumah yang entah sejak kapan sudah mulai mengurung kebebasannya itu yang dia nanti.
"Maudy cepetan papa sudah telat ini" seru sebuah suara yang terdera dari lantai bawah. Suara yang terdengar samar namun tak dapat menipu ketegasan dan tergesa gesaan-nya.
"Iya pa" jawab Maudy seraya berlari menuruni anak tangga rumahnya. Sesaat Maudy menatap ayahnya dengan sekilas senyum.
Ini papa gue. Satu satunya pria yang akrab dengan kehidupan gue. Satu satunya pria yang gue sayang sekaligus gue benci. Dia membesarkan gue seorang diri, dan jadi alasan kenapa gue kehilangan sosok ibu.
"Hai baby." Sapa seorang wanita seraya menghampiri papa. Ia berdiri mengenakan high heels lumayan tinggi berwarna merah selaras dengan pakaian seksi ber-bahan bludru yang hanya setinggi lutut namun dengan sempurna membungkus tubuh indah itu. Menurutnya itu adalah pakaian resmi untuk menemui pacarnya, papa.
"Maudy sayang. Hari ini kamu masuk sekolah baru ya?" Tanyanya kepada Maudy seraya mengelus elus kasar rambut Maudy.
Yeak! Sayang? Panggilan sadis yang bikin gue jijik setengah mati. Gue tau, dia cuma pingin bikin sensasi di depan papa.cewek yang cuma mementingkan uang dan pingin morotin harta papa. setidaknya sampai sekarang itu yang gue yakini kenapa orang yang umurnya gak beda jauh dari gue itu selalu nempel kayak lem sama papa.
"Ehm...Ya" jawab Maudy sambil tersenyum paksa seraya menangkis tangan wanita seksi yang terus mengelus rambutnya itu.
"Loh, kok tangan Tante ditangkis sih?" Sindirnya menatap tajam mata Maudy.
"Maudy jangan kasar sama Tante Mila" tegas papa setengah membentak.
"Apa sih pa? Maudy diem aja kok pacar papa aja tuh yang lebai" ketus Maudy seraya membuang muka.
"Maudy!" pria pasruh baya itu meninggikan suara.
"Alah udah lah pa Maudy mau berangkat." Tukas gadis muda itu beranjak keluar rumah.
"Saya antar Maudy dulu ya" ucap papa pada Tante Mila kemudian mengikuti langkah Maudy dari belakang.
"Urusin aja terus anaknya" Tante Mila menggerutu sesaat setelah papa menjauh dari hadapannya, meninggalkan dia seorang diri yang di percaya pemiliknya untuk menjaga rumah selagi yang punya meninggalkannya.
"bbbrreeemmm" suara mesin mobil terdera, meninggalkan pekarangan rumah itu menjauh mengikuti arah jalan.
Kini selama perjalanan, suasana di dalam mobil itu hanya terisi dengan hawa dingin yang memenuhi ruangan dan diam yang menjadi tabu. Tak ada yang berniat memulai pembicaraan terlebih dahulu. Jalanan yang tak seberapa panjang itu terasa sangat lama untuk di tempuh, bahkan membuat pengendaranya fustasi sendiri di dalam hati.
Kadang kala keadaan memaksa kita untuk memilih pilihan yang sulit.
Saat itu terjadi tak ada yang dapat kita lakukan selain mengikuti alur.
Karena kita hanya akan mempunyai kesempatan memilih sekali dan sisanya hanyalah waktu untuk menyesali.
***
mohon dukungan pembaca untuk memberi semangat author kembali melanjutkan tulisannya😄😄😄 satu like dari anda sangat berarti bagi penulis😅😅😅
"SMA Nusa Bangsa." Gumam Maudy terbelalak menatap gerbang sekolah yang telah terbuka lebar. "Huh" helaan nafas itu membawanya melewati gerbang sekolah. berjalan di koridor menuju ruangan kepsek.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdera dari depan pintu ruang kepsek.
"Masuk"
"Permisi pak" ucap Maudy seraya memasuki ruangan. Maudy melirik seorang pria setengah baya yang tengah sibuk menandatangani beberapa surat di atas meja kerjanya.
"Silahkan duduk" ujar pria itu sembari membereskan berkas berkas yang berserakan diatas meja.
"Saya Maudy pak"
"Oh, siswa baru? Selamat datang. Perkenalkan nama saya..."
"Pak Handoko" sambar Maudy seakan menebak.
"Loh kok tau? Apa saya terlalu terkenal?"
"Itu pak" Maudy menunjuk name tag bertuliskan nama Handoko di atas dada pria itu.
"Ehm, ini seragam kamu. cepat ganti dan temui saya lagi. Saya akan menganta kamu kekelas" cela pak Handoko mengalihkan pembicaraan.
Maudy mengambil seragamnya kemudian pergi mencari ruang ganti. Di deretan koridor koridor yang berjejer sepanjang mata memandang serasa sulit bagi siswa baru mencari satu ruang ganti diantara sekian banyak ruangan yang ada.
"Ini gue mesti kemana coba?" Maudy semakin bingung. Seakan ia tersesat diantara keramaian. Ada banyak siswa yang ia lihat tapi mereka semua sedang berkutat dengan kesibukannya masing masing.
Tak berlangsung lama, seorang pria dengan earphone menggantung di kedua telinganya terlihat melintas dihadapan maudy. Maudy mengerjap menatap pria tinggi yang melewatinya begitu saja.
"Eh, kak tunggu" seru Maudy serentak menghentikan langkah pria tersebut. Ia terdiam. Maudy berlari kearahnya,menatap dengan seksama pria tersebut. "Kak mau tanya"
"Kak-kak. Lo kira gua kakak Lo?" celoteh pria tersebut dengan dinginnya.
"Biasa aja dong sayakan cuma mau nanya"
"Maaf lagi sibuk" jawab pria itu melangkah meninggalkan Maudy.
"Eh, entar dulu" cegah Maudy menarik lengan pria itu. "Gue mau nanya ruang ganti doang kok" ucap Maudy terlihat menahan amarah.
"Lo gak denger, atau gak nyambung? Gua bilang, gua lagi sibuk. Cari orang lain aja."
"Ya ampun. Ketimbang nunjukin ruangan aja pelit amat. Tolongin orang bentar ngapa?" Sindir Maudy menatap tajam.
Perlahan, pria tersebut melangkah mendekati Maudy. Ia membunuh satu persatu jarak diantara mereka dengan langkahnya yang ringan. Pria itu terdiam. Ia mengarahkan pandangan Maudy ke kedua bola matanya.
"BODOK!" Gerang pria tersebut sesaat kemudian. Lalu beranjak meninggalkan Maudy yang masih terdiam mematung di tempatnya.
"DASAR MEDIT!" Gerutu Maudy sesaat kemudian meneriaki pria yang telah meninggalkannya jauh di belakang.
***
"Perhatian!" Pekik pak Handoko menghentikan keriuhan di sebuah kelas. Seketika kelas yang tadinya ramai berubah tenang dengan seruan pak Handoko. "Seperti yang telah saya janjikan, hari ini kelas kalian akan kedatangan teman baru" ucap kepsek itu pada para siswa kelas 12 IPA 1 tersebut. Kemudian mempersialhkan Maudy untuk berbicara.
"Eng... Nama saya Maudy. Saya pindahan dari Bandung." Lirih Maudy sembari melirik kearah kelas barunya itu. Satu hal yang ia sadari, hanya ada satu bangku kosong di sana itu pun bersebelahan dengan seorang pria.
"Maudy kamu boleh duduk di samping richo" pak Handoko menunjuk ke arah seorang pria yang terus memperhatikan Maudy dengan senyum aneh di wajahnya.
"Em.... Pak saya gak bisa duduk sendiri aja ya?" Maudy berbisik pelan.
"Di sini tidak ada bangku kosong lagi. Jadi kamu harus terima bangku yang ada."
"Gini ya pak, bukannya saya gak mau terima. Tapi sayakan perempuan, dia laki laki, kan gak baik kalau deket deketan. Apalagi duduk sebangku."
"Iya juga ya, gini aja, Rehan kamu pindah ke samping richo." Seru pak Handoko pada pria yang duduk sendirian di ujung kelas.
Seakan tak perduli, pria berkacamata itu tetep sibuk memainkan ponselnya.
"Ehm" Maudy menggerang tepat di sebelah pria bernama Rehan tersebut. Pria itu menatap tajam kearah Maudy seakan mengisyaratkan jika ia sedang tak ingin diganggu. kemudian kembali memainkan ponselnya, melanjutkan sebuah pesan yang sedang ia ketik untuk seseorang.
"Lo kakak yang tadi kan?" Tukas Maudy meninggikan suara.
"Gua bukan kakak Lo!" Gerang Rehan beranjak ke arah bangku richo.
"Dih, ya kalik gue punya kakak kayak Lo. Bisa mati menggigil gue" umpat Maudy seraya mengambil posisi duduk di atas bangku Rehan.
\*\*\*
Mentari terus menghembuskan hawa panasnya. menjilat jilat dataran yang ia pendari. Maudy menggeret langkahnya kedalam rumah. Rumah yang selalu sepi sejak awal kepindahannya ke Jakarta. Tempat itu terasa amat baru baginya. Ia pun harus betah sendirian sampai sang ayah pulang dari kantor.
"Huh." Maudy menghela nafas sesaat. "Ya ampun panas banget" keluh Maudy dengan tatapan mengarah ke langit-langit kamarnya.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu bergema dari lantai bawah.
"Ya tunggu sebentar" ucap Maudy dengan lemasnya menuruni anak tangga. Mengusahakan tubuhnya untuk pergi ke arah pintu depan.
Maudy membuka pintu masuk dan mendapati seorang wanita tengah menunggu di depan pintu.
"Ada apa ya?" Tanya Maudy penuh selidik.
"Em... Mba Maudy ya?"
"Ya saya Maudy" jawab Maudy membenarkan.
"Maudy," lirih wanita itu berkaca kaca.
"Anda siapa ya?" Tanya Maudy yang heran dengan sikap wanita itu.
"Sss... Saya... Saya Inah. Saya... Asisten rumah tangga baru" jawab wanita itu gelagapan.
"Disuruh papa ya? Pas banget. Maudy capek nih bi, siapin makan ya" pinta Maudy membaringkan mengantar bisa Inah ke arah dapur.
"Iya non"
"...." Maudy terdiam sejenak. "Kok kayak ada yang aneh ya?" Ucap Maudy yang langsung menghentikan langkahnya.
Maudy berbalik memandang bi Inah.
Ia memperhatikan bi Inah dari atas kepala hingga ujung kaki. Wanita itu sama sekali tidak terkesan seperti asisten rumah tangga. Ia mengenakan make up serta aksesoris yang lengkap di tubuhnya.
"Bi Inah kok..... Gak bawa tas?" Tanya Maudy pada akhirnya.
"Rumah bibi di deket sini non"
"Oo. Berarti bibi gak tinggal di sini dong."
"Iya bibi pulangnya sorean" jawab bi Inah sembari menyiapkan makanan untuk Maudy.
"Tapi bibi kok gak kayak ATR biasanya ya? Lebih mirip kayak Tante Tante arisan. Ya.... Kayak Tante Mila gitu" celoteh Maudy serentak menghentikan bi Inah yang sedang bekerja. "Oh iya Maudy belum cerita ya? Tante Mila itu pacarnya papa"
"Cantik ya?"
"Cantikan juga Maudy" jawab Maudy sebal. Sambil terus melahap camilan di atas meja.
"Hhm" bi Inah bergumam sembari melanjutkan pekerjaannya.
"Tarat. Makanan sudah jadi" ucap bi Inah seraya menatap makanan yang telah ia siapkan sejak 30 menit yang lalu.
"Widih. Maudy cobain ya" Maudy mencicipi beberapa masakan yang telah bi Inah siapkan. "Masakan bi Inah enak juga ya. Ajarin Maudy masak dong."
"Iya nanti bibi ajarin"
"Eh, ini jam berapa ya? Biasanya papa udah pulang" ujar Maudy teringat akan ayahnya yang tak kunjung pulang.
"Em, non udah sore, bibi pulang dulu ya." Ujar bi Inah berpamitan.
"Loh, tapikan bibi belum ketemu sama papa. Tunggu aja dulu, paling bentar lagi papa pulang" cegah Maudy
"Aduh gimana ya non, bibi ada kerjaan"
"Ayolah bi temenin Maudy. Bosen nih"
"Eng... Bibi gak bisa non. Lagian sebentar lagi papanya non pulangkan"
"Iya sih tapi...."
"Maudy" sambar sebuah suara yang terdengar dari ruang tengah.
"Itu papa non udah pulang. Bibi pergi lewat pintu belakang ya" pamit bi Inah yang langsung beranjak pergi.
"Tapi kan..."
"Maudy kamu dari mana aja? Papa cariin dari tadi" tanya papa yang telah berdiri di belakang Maudy.
"Eh. Itu loh pa...."
"Tunggu dulu, kenapa kamu belum ganti seragam kamu?" Seru papa dengan tegas. Mengingatkan Maudy akan dirinya yang masih mengenakan seragam sekolah. "Cepat ganti!" Gerang papa memerintah.
"Iya pa" jawab Maudy berjalan pelan ke kamarnya dengan wajah masam.
***
Tap, tap, tap.
Maudy melangkah memasuki ruang kelas. Ia menarik langkahnya ke sebuah bangku di ujung kelas. Bangku yang seolah diam membisu, menyeka diri yang terabaikan diantara yang lain.
"Hem" Maudy bergumam. Duduk dengan kepala yang tersandar lemas di atas bangkunya. Sadar akan dirinya yang hanya duduk sendiri di kelas itu, perlahan Maudy menutup matanya untuk berehat sejenak.
PRAK!
Sontak sebuah gertakan membuka kembali mata Maudy.
"Pindah" seru Rehan dengan nada suara dinginnya.
Maudy mengerjap ke dua matanya ke arah Rehan dan menutupnya kembali.
"Gua bilang pindah dari bangku gua!" Gerang Rehan meninggikan suara.
"Pak Handoko bilang ini jadi bangku gue sekarang. Dan Lo kan sudah punya bangku lain" ucap Maudy masih memejamkan matanya. "Dan gue gak mau duduk sama cowok."
"Lo gak mau duduk sama cowok kan? Ok." Ucap Rehan meninggalkan Maudy.
Beberapa saat kemudian Rehan kembali memasuki kelas yang masih sepi itu. Dengan sebuah meja dan bangku yang ia letakkan di ujung kelas yang lain. "Pindah"
"Entar dulu ya, gue lagi gak enak badan nih" ungkap Maudy sembari menatap Rehan dengan wajah pucat pasi.
"Eh, gue capek ya. Gua gak minta Lo ngapa ngapain kok. Lo tinggal ngelangkah ke samping terus duduk. Nyusahin orang amat"
"Terus apa bedanya gue di sini atau di sana? Dan kenapa gak Lo aja yang duduk di sana? Masalah bangku aja kok repot amat" celoteh Maudy menyenderkan kembali kepalanya.
Rehan terperanjat melihat tanggapan Maudy. Tanpa pikir panjang, pria itu mendekat ke arah Maudy yang terperam lemas. Ia menatapnya sesaat, kemudian menarik tubuh ramping Maudy ke dalam dekapannya dan menggendong tubuh wanita itu.
"Eh, turunin gue Woi!" Pekik Maudy berusaha melepaskan tubuhnya dari gendongan Rehan.
"REHAN!" Pekik sebuah suara meronta. Serentak menghentikan langkah Rehan tepat selangkah sebelum mencapai bangku di ujung kelas.
Maudy yang terkejut langsung mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara. Terlihat seorang gadis tengah berdiri di ambang pintu. Gadis itu mendekat ke arah Rehan dan Maudy. Tatapannya penuh kekesalan dan rasa kecewa.
"Eren" sentak Rehan yang terkejut menatap wanita itu.
Prak!
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di wajah Maudy.
"Lo siapa?! Kenapa Lo deket deket dengan Rehan?!" Gerang gadis itu terus menunjuk nunjuk wajah Maudy.
"Kok Lo nyolot sih?! Lo udah nampar gue ngomong seenaknya lagi!" Jawab Maudy balik menggertak.
"Ya jelaslah gue marah! Lo pakek digendong cowok gue!"
"Lah, yang gendongan gue kan cowok Lo. Kenapa Lo ngamuknya sama gue?! Cewek kok gak punya otak!" Seru Maudy meluapkan semua amarahnya dalam sesaat.
"Gak punya otak? Lo... ah..." Eren menyeka nafas sambil terus memegangi dadanya. Tak berlangsung lama, tubuh wanita itu pun tumbang. Dengan sigap Rehan menahan tubuh Eren dalam dekapannya.
"Eren, Eren, bangun Eren." Panggilan Rehan terus mengguncang guncang tubuh Eren. Melihat Eren yang tak kunjung memberi tanggapan, Rehan langsung mengangkatnya berniat membawanya ke ruang UKS.
"Gue ikut" pinta Maudy.
"Gak usah! Lo cuma nambah kepusingan gue aja tau gak?!" Bentak Rehan mengejutkan Maudy yang langsung tertunduk lemas di depan Rehan yang perlahan pergi meninggalkan Maudy.
"Tapi gue kan gak salah" ucap Maudy sambil menyeka air matanya seorang diri.
"Hey, Lo kenapa?" Tanya seorang gadis lain menghampiri Maudy. Gadis dengan rambut bergradasi coklat oranye itu menatap Maudy dengan tatapan lembut.
"Enggak apa apa." Jawab Maudy menghapus air matanya.
"Lo yakin gak kenapa Napa? Apa mau gue anterin ke UKS?" Lirih gadis bernama Shila tersebut.
"Gak. Gue gak papa."
"Kalau ada masalah cerita aja kalik. Dari pada sakit di simpen sendiri, mendingan bagi bagi. Ya Siapa tau aja membantu" ucap Shila. Gadis yang penuh dengan kata kata bijak.
"Thank's mungkin nanti" jawab Maudy memasang segires senyum di wajahnya.
Suhu tubuh Maudy semakin panas seiring berjalannya waktu disiang itu. Suarannya bertambah parau di penghujung hari. Tanpa pikir panjang Maudy langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengingat kejadian tadi pagi tentang pertengkarannya dan Eren, Maudy memang langsung berinisiatif untuk segera pulang dengan alasan sakit. Sebenarnya ia tak sepenuhnya berbohong karena hari itu ia memang sedang tak enak badan.
"Non" sapa bi Inah menghampiri Maudy dengan segelas minuman di tangannya. "Ini bibi bawain jus buah untuk nurunin panasnya non" lirih bi Inah seraya menyodorkan minuman yang ia pegang.
Maudy melirik heran ke arah bi Inah."Kok gaya bibi berubah sih?" Tanya Maudy menatap curiga ke arah bi Inah yang merubah gaya berbusananya menjadi lebih simpel dengan hanya mengenakan pakaian sederhana dan makeup tipis.
"Eng... enggak kok non, bibi memang biasa kayak gini" jawab bi Inah gelagapan. "Ini minumannya" ia kembali menyodorkan gelas yang ia genggam.
"Hhm" Maudy bergumam mengambil jus dari tangan bi Inah.
"Gimana non? Udah enakan?"
"Sedikit. Oh iya bi, ajarin Maudy masak dong. Bibi kan udah janji mau ngajarin maudy" pinta Maudy mengalihkan pembicaraan.
"Tapi kan non masih sakit. Kita belajarnya kalau non udah sembuh aja ya"
"Tapi Maudy udah sehat kok bi. Ayolah Maudy pingin makan kue nih. Ya" bujuk Maudy dengan wajah memelasnya.
"Hhm" gumam bi Inah seraya melangkah pergi ke arah dapur. Maudy mengikuti langkah bi Inah dari belakang. Bi Inah mulai mengambil bahan bahan yang akan mereka masak dan mulai mengajari Maudy memasak beberapa resep kue.
"Maudy sayang" panggil sebuah suara serentak memudarkan mood Maudy untuk memasak. "Gimana keadaan kamu?" Tanya Tante Mila dengan nada manis.
"Ngapain kamu ke sini?" Maudy bertanya sinis.
"Tante dipinta papa kamu buat jagain kamu" jawab Tante Mila tak perduli dengan sikap sinis Maudy padanya.
"Gak perlu. Saya bisa jaga diri saya sendiri kok."
"Memang kamu pikir saya mau jagain kamu? Emangnya saya baby sister apa?"
"Ya udah, bagus. Pergi sana ganggu aja"
"Yakin kamu mau Tante pergi? Kalau papa kamu tau gimana ya?"
"Kamu ngancem saya?"
"Hey! Kalau kamu kenapa napa di rumah saya juga yang susah."
"Alah bilang aja kamu mau jagain saya biar punya alasan buat numpang makan iya kan?"
"Ini nih akibatnya kalau kamu terbiasa bergaul sama pembantu. Bahasanya jadi kurang ajar." Celoteh Tante Mila menatap tajam ke arah bi Inah. Bi Inah hanya merunduk membisukan suara.
"Tapi saya lebih bersyukur daripada saya harus bergaul dengan orang tukang peras seperti kamu!" Gerang Maudy pada akhirnya.
"Kamu...."
"Apa? Pergi sana!" Seru Maudy memerintah kasar.
"Ih!" Tante Mila langsung melengos pergi dengan wajah menggerutu kesal.
"Udah bi, gak usah didengerin apa yang dia bilang. Hidupnya aja gak jelas dari mana. Maudy juga heran kenapa papa mau sama dia." papar maudy. Bi Inah hanya tersenyum pasi penuh pikiran.
Siang semakin larut berganti dengan langit senja yang terbentang dari ufuk timur hingga ufuk barat. sore perlahan meniupkan angin sejuknya ke semua arah yang ia lewati.
"Papa" Maudy menyapa papa yang sedang sibuk dengan setumpuk berkas di atas meja kerjanya.
"Hhm?" Papa bergumam sembari melanjutkan pekerjaannya.
"Em... Pa, Maudy baru belajar masak nih, cobain ya" ucap Maudy menyodorkan sepotong kue pada papa.
"Iya taruh aja"
"Pa, bi Inah itu pinter masak loh, masakannya enak lagi. Tadi aja Maudy belajar masak sama dia" tukas Maudy. Papa hanya mengangguk anggukkan kepalanya. " Tapi pa, kok bisa kebetulan ya bi Inah rumahnya di sekitar sini? Emang papa cari agen ART di deket sini ya?" Tanya Maudy penasaran.
"ART apa? Siapa lagi bi Inah?"
"Itu, asisten rumah tangga baru kita."
"Asisten apa? Papa gak punya waktu buat nyari asisten rumah tangga."
"Tapi bi Inah...."
"Bi Inah apa lagi? Kamu gak liat papa lagi sibuk? Udah kamu belajar aja sana." Seru papa memerintah tegas putrinya tersebut. Maudy hanya merunduk menuruti perintah papa yang selalu tegas itu dan bergegas pergi meninggalkan ruang kerja sang ayah.
***
Sang Surya telah menyingsing di atas kepala. Menerpa setiap tempat yang ia pandang. Ia memancarkan cahayanya memasuki sela sela jendela gedung tinggi perkantoran.
"Baby" panggil Tante Mila lirih. Berjalan memasuki ruang kerja papa.
"Nanti kita bicara lagi" ucap papa pada beberapa orang lelaki berpakaian rapih lengkap dengan jas serta dasi yang menyelimuti tubuh mereka. Tepat setelah diperintahkan orang orang itu langsung beranjak meninggalkan ruang kerja papa.
"Sayang kamu kok biarin Maudy bergaul dengan pembantu sih? Dia jadi ngelawan aku gitu loh" tukas Tante Mila mengadukan pertengkarannya dengan Maudy kemarin.
"Pembantu? Maksudnya?"
"Ih! Asisten rumah tangga baru kamu itu loh"
"Asisten? Ngacok ah saya gak sedang memperkerjakan pembantu kok"
"Loh, jadi yang kemarin di rumah kamu itu siapa dong?"
"Maksud kamu?"
"Ya pembantu itu yang kemarin seharian sama Maudy. Jangan jangan dia punya niat gak bener" hasut Tante Mila semakin membuat papa panik.
Di sisi lain, jam sekolah telah usai. Maudy masih berusaha mengajak Rehan bicara. Namun sejak beberapa menit terakhir hanya ada rasa bungkam di antara mereka. Rehan pun hanya menunjukkan kesan muram di wajahnya seperti biasa.
"Eng... Raihan, giamana keadaan cewek yang kemaren?" Maudy membuka pembicaraan. "Gue gak enak sama Lo soal yang kemarin"
"Kenapa? Karena Lo udah buat Eren pingsan? Atau karena Lo udah buat gua kena masalah?"
"Enggak. Gue sama sekali gak ada pikiran kayak gitu kok. Gue cuma..."
"Cuma apa? Cuma buat Eren dirawat? Asal Lo tau ya, gua gak suka liat orang yang udah nyakitin Eren hidup dengan tenang. Apa lagi sampai buat dia sakit. Gua jamin hidup Lo bakal lebih sakit dari apa yang udah dia rasain."
"Tapi gue kan gak ngapa ngapain. Gue diem aja. Lo yang gendong gue"
"Lo pikir gue mau gendong Lo? Kalau Lo gak kekeh buat ngambil bangku gua dan kalau Lo mau pas gua suruh pindah, gua juga gak akan gendong Lo. Bukan itu aja, Lo juga udah bentak Eren. Dan sekarang Lo bilang Lo gak ngapa ngapain?! Lo gak ngerasa bersalah?!" Seru Rehan mulai membentak.
"Kok Lo nyolot sih?? Eh, gue gak kekeh mau ngambil bangku Lo ya. Gue bilang gue gak enak badan, dan gue bakal pindah tapi nanti. Dan soal cewek Lo, dia duluan yang bentak gue. Lo juga liat sendirikan, dia nampar gue. Tapi gue gak ngebales. Apa lagi? A! Cewek Lo pingsan. Mana gue tau dia bakalan pingsan. Gue juga lagi sakit kemarin, tapi gue gak pakek acara pingsan pingsanan kayak cewek Lo!"
"Jadi Lo nyalahin Eren? Dan Lo pikir dia pura-pura pingsan?!"
"Ya!"
Prak!
Sebuah tamparan kembali mendarat di wajah tirus Maudy.
"Jangan pernah Lo nyalahin Eren atas apa yang dia bilang dan apa yang dia lakukan! Lo ngerti?! Satu lagi, gua gak mau liat muka Lo. Kalau lo gak mau pergi biar gua yang pergi"
"Gak perlu" ucap Maudy menghentikan langkah Rehan. "Gue yang pergi" lanjutnya berjalan meninggalkan Rehan.
"Hiks hiks hiks" Maudy menumpahkan semua tangis yang telah ia tahan sejak tadi.
"Maudy" panggil sebuah suara menyadarkan Maudy.
"Shila?" Maudy menyeka air matanya sembarangan. Walau dihapus berkali kali tangis yang telah tumpah tetap akan meninggalkan bekas di wajah.
"Hhm... Mungkin Lo ngerasa aneh dengan sikap Rehan. Itu karena Lo baru kenal sama dia. Tapi menurut gue itu hal yang wajar kok"
"Jadi maksud Lo gue yang salah?"
"Gak, gue gak nyalahin Lo kok. Gue tau Lo gak bersalah di sini. Tapi Lo harus ngerti kenapa Rehan bersikap kayak gitu ke Lo"
"Emang salah gue apa coba? Dia yang.... Yang..."
"Gue ngerti, ini semua dia lakuin buat Eren. Dia sayang banget sama Eren. Dan dia gak bisa biarin Eren kenapa napa. Ya, siapa sih cowok yang mau liat ceweknya kenapa napa? Iya kan?"
"Tapi harusnya dia gak perlu pura pura pingsan gitu dong. Disini seakan akan gue yang bersalah" keluh Maudy kembali menyeka air mata.
"Dia gak pura pura pingsan. Dia pingsan beneran."
"Gak mungkin lah. Lo pikir aja, dia yang nampar gue dia yang pingsan"
Shila mengangguk setuju. "Lo mesti paham situasi disini. Eren punya jantung yang lemah, dan Rehan selalu mastiin kalau Eren gak kenapa napa. Dia gak akan biarin siapapun. Nyakitin Eren. Mau itu salah keadaan atau orang lain." Jelas Shila memaparkan situasi yang sedang Maudy alami.
"Tapi mereka gak perlu kayak gitu dong. Gue juga gak mau disalahin atas perbuatan yang sama sekali gak gue lakuin."
"Mungkin sebaiknya Lo gak perlu deket deket sama mereka" saran Shila mengucap lembut.
Hari itu hujan turun sangat deras. Seperti biasanya, sehabis pulang sekolah Maudy langsung bergegas pulang dengan taxi yang telah menunggunya di depan gerbang. Sampai di di halaman depan rumahnya, Maudy langsung mempercepat langkah menuju rumah. Meski telah melangkah secepat yang ia bisa, tetesan air hujan tetap membelai tubuh hangatnya.
Seketika, Maudy merasa seolah hujan telah menjauhi tubuhnya. Tak setetes air hujan pun merambat ke kepalanya. Maudy langsung membalikkan tubuh. Dan pandangannya pun langsung tertuju pada sepasang mata coklat milik seorang wanita yang sedari tadi telah memayungi kepalanya dari rembesan hujan.
"Bi Inah" lirih Maudy terkejut.
"Ujan non, biar bibi payungin" tukas bi Inah dengan sebuah senyum yang terlukis tulus dari wajahnya.
Maudy menyeimbangi langkahnya dengan langkah kaki bi Inah, Memasuki rumah yang masih kosong itu. Suasana begitu sunyi diantara mereka. Maudy teringat pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada bi Inah.
"Bi, kok kayaknya papa gak tau ya kalau bibi udah mulai kerja di sini" tanya Maudy memecah kesunyian.
"Em... Non"
"Ya?" Maudy beralih memandang bi Inah.
"Non gak punya foto mamanya non ya?" Tanya bi Inah dengan nada suara yang terdengar serak. maudy hanya menggeleng lemas, membungkam mulutnya rapat-rapat.
"Dan gak ingat wajahnya?"
"Mama pergi sebelum aku bisa ingat wajahnya. Yang aku ingat cuma perhatian mama dan keributan antara mama sama papa. Sampai akhirnya papa ngusir mama dari rumah dan mama gak pernah pulang atau nemuin Maudy" ucap Maudy dengan tatapan kosong. Meraba kembali masa lalu kelam yang ia alami.
"Ini" bi Inah menyodorkan sebuah foto pada Maudy. Terlihat seorang gadis kecil, seorang wanita, dan seorang pria yang tak lain adalah papanya dalam foto itu.
Maudy memperhatikan foto itu dengan seksama. " Ini papa kan?" Tanya Maudy beralih menatap bi Inah. Seakan tersentak, Maudy mengalihkan pandangannya kembali ke arah foto itu, lalu menatap bi Inah lagi dengan tatapan terkejut. Saat itu ia menyadari wanita yang sedang ia tatap adalah wanita yang berfoto bersamanya beberapa tahun silam. "Ini kan..."
"MAYA!" Panggil sebuah suara dengan terkaan keras dari belakang. suara papa mengejutkan kedua wanita itu. Ia menatap gusar dengan wajah berbaur emosi.
"Sini!" Papa menarik pergelangan tangan bi Inah sekuat tenaga dan membawanya ke luar rumah.
"Mas, mas, tanganku sakit mas" ucap bi Inah merintih kesakitan.
"Kenapa kamu di sini?! Mau kamu apakan anak saya?!" Tanya papa dengan emosi yang meronta ronta.
"Aku juga ibunya Maudy, aku punya hak atas dia. Kamu gak bisa larang larang aku." Tukas wanita itu serentak membuat Maudy terkejut.
"Kamu gak punya hak apa apa tentang Maudy"
"Apapun yang kamu bilang aku akan tetap bawa maudy pergi. Dia gak akan bahagia hidup sama kamu. Dia cuma akan dapat siksaan dari kamu. Seperti apa yang sudah kamu lakukan terhadap aku"
"Saya gak akan biarin kamu membawa anak saya pergi." Ucap papa seakan menampik ucapan lawan bicaranya tersebut. Kemudian ia kembali menarik tangan wanita itu dan menggeretnya di tengah pukulan hujan yang menerpa tubuh.
"Mas tanganku sakit" keluh bi Inah meronta berusaha melepaskan tangannya dari genggaman papa. Seakan tak mendengar keluhan bi Inah papa terus menggeret tubuh wanita itu ke tengah jalan. Hingga ia tak menyadari sebuah mobil sedang melaju kencang ke arah mereka.
"AWAS!" Pekik bi Inah mendorong tubuh papa dan menghalau mobil tersebut dengan tubuhnya.
Sesaat kemudian tetesan darah mulai mengalir bercampur dengan derai hujan mewarnai bibir jalan.
**Mengapa aku terlihat bodoh sekarang?
Serasa jantung terhenti di ujung waktu.
Aku merasa seperti boneka.
Diperebutkan, tapi tak jelas siapa pemiliknya.
Siapa aku?
Mungkin itu yang ingin aku pertanyakan.
Tak ada yang bertanya tentang apa yang aku inginkan.
Apa lagi perduli dengan apa yang aku rasakan**
\*\*\*
Malam semakin larut ditengah kelap dan kesunyiannya. Jam dinding berdentang menunjukkan pukul satu pagi. Namun segelintir orang tetap terjaga di beberapa bangsal rumah sakit di daerah Jakarta Selatan.
Terlihat seorang wanita berusaha membuka matanya dari keheningan sebuah mimpi panjang. Kedua mata coklatnya menangkap kehadiran seorang gadis yang sedang menatap kosong ke arahnya.
"Maudy" lirih wanita itu dengan suara parau.
"Saya harus apa sekarang? Saya harus panggil kamu apa?" Maudy bergumam menatap wanita yang terbujur kaku di hadapannya. "Kenapa kamu ngelakuin ini semua? Kenapa kamu gak jujur dari awal?" Tambah maudy. Tanpa ia sadari air mata mulai mengalir dari kelopak matanya.
"Maudy, mama gak bermaksud untuk membohongi kamu. Mama gak bisa terus terang ke kamu. Tapi mama juga gak bisa terus nahan perasaan mama buat ketemu sama kamu" timpal wanita yang kini harus Maudy panggil dengan sebutan mama itu.
"Terlambat. Mama terlambat. Kemana aja mama Selama ini? Bertahun tahun aku nunggu mama."
"Mama selalu berusaha untuk mencari kamu Maudy, mama berusaha nyari informasi tentang kamu. Tapi papa kamu selalu bawa kamu pergi sebelum mama berhasil nemuin kamu" tukas mama menggenggam erat kedua tangan Maudy.
"Kalau mama memang sayang sama aku, kenapa mama pergi tinggalin aku? Dan kenapa mama gak berusaha untuk memperjuangkan aku."
"Kamu harusnya tau, bukan mama yang mau pergi tinggalin kamu. Mama juga pingin selalu ada di dekat kamu. Tapi keadaan gak memungkinkan untuk mama memperjuangkan semuanya. Apalagi papa kamu sama sekali gak menyukai kehadiran mama."
"Gak mungkin. Pasti papa punya alasan kenapa papa benci sama mama. Aku tau papa orang yang tegas, tapi bukan berarti dia adalah orang yang jahat kan? Kalau mama bicara jujur sama papa pasti dia akan luluh. Ya, seenggaknya dia pasti akan ingat saat saat terbaik kalian. Mungkin papa masih punya rasa sama mama."
"Rasa?"
"Ya, Kalian pernah bersama. Bahkan kalian sudah berumah tangga dan mempunyai Maudy. Itu tandanya kalian mempunyai rasa suka satu sama lain ya kan?"
"Hhm. Mama memang pernah mempunyai rasa sama papa kamu. Tapi tidak sebaliknya"
"Mah, papa mau nikah dengan mama. Artinya papa pernah memperjuangkan perasaannya terhadap mama."
"Kami menikah bukan karena cinta Maudy. Pernikahan kami hanyalah kedok untuk meningkatkan popularitas perusahaan. Ini hanya perjodohan sementara, kami hanya terikat dalam pernikahan kontrak tidak lebih." lirih mama bertatap kosong.
"Jadi aku hadir bukan karena cinta?"
"Kamu adalah cintanya mama sayang. Terlepas kamu hadir dengan cinta papa atau tidak, tapi mama yakin papa sudah memberikan rasa sayang yang besar untuk kamu. Kamu hanya perlu percaya itu" ujar mama sambil mengusap-usap rambut Maudy. Kemudian memeluknya dengan perlahan. Maudy menenggelamkan wajahnya dalam pelukan mama. Berusaha menutupi kedua matanya yang telah memerah dipenuhi tangis.
***
Siang kembali singgah, birunya langit terasa berwarna dengan hadirnya Awan dan mentari orange yang menari nari di atas penat siang hari. Maudy terlihat memasuki gerbang sebuah rumah sakit dengan tubuh yang masih terbalut seragam sekolah.
Maudy menghentikan langkahnya sejenak. Seolah sesuatu telah menghambat kaki dan tubuhnya.
Maudy menyapu pandangannya pada dua orang pria yang menuju ke arahnya. Salah satu diantara mereka terasa tak asing bagi Maudy. Pria itu juga masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan ransel yang ia sematkan di bahu kanannya. Sedangkan yang lainnya mengenakan setelan casual ala mahasiswa.
Maudy benar benar terdiam. Matanya terbelalak menatap kedua pria yang dengan cepat melintas tepat di samping kanan dan kiri bahunya.
"Maudy" tegur papa menyadarkan Maudy dari lamunannya. "Kamu ngapain di sini?" Papa menatap heran ke arah putrinya yang masih terdiam di lorong rumah sakit itu.
"A? Aku mau jenguk mama. Papa ngapain di sini?"
"Papa juga"
"Em.... Kita tengok mama bareng yuk" ajak Maudy sedikit ragu. Papa hanya mengangguk setuju kemudian berjalan mengikuti Maudy. Melewati beberapa bangsal dan terhenti di depan sebuah ruang rawat inap.
Maudy memasuki pintu terlebih dahulu, membiarkan papa berjalan di belakangnya.
"Gimana ma? Udah enakan?" Tanya Maudy lirih.
"Hhm" mama bergumam setuju. "Kamu belum pulang?" mama melirik ke arah Maudy yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Maudy pingin langsung ke sini. Tapi Maudy bawa baju ganti kok."
Perlahan pintu terbuka. Papa memasuki ruangan dengan mulut terkunci rapat. Maudy mengalihkan pandangan ke arah papa, kemudian bangkit dari posisi duduknya.
"Maudy mau ganti baju dulu" lirih Maudy memberi alasan agar kedua orang tuanya dapat saling bicara satu sama lain.
Maudy mengganti pakaian dalam sepuluh menit. Lalu beranjak keluar dari kamar mandi. Ia berjalan beberapa langkah dan mendapati dua orang pria yang ia lihat tadi sedang menunggu sesuatu dari luar ruang operasi dengan raut wajah gelisah.
Suasana terasa amat tegang setelah seorang dokter keluar dari dalam ruang operasi. Dua orang pria itu tampak marah pada sang dokter karena masih belum diperbolehkan masuk. Dengan keringat dingin keduanya tetap menunggu di depan pintu ruangan.
Maudy yang penasaran mencoba menghampiri kedua pria itu sambil bertanya tanya di dalam hati.
"Raihan" panggil Maudy pada seorang pria berkacamata itu. namun Rehan masih terpaku serius menatap seorang gadis yang terkurai lemas di dalam ruang operasi.
Maudy melirik ke arah gadis tersebut. Gadis yang dengan kasar menampar wajahnya itu, kini tengah terbaring tak sadarkan diri di atas bangkar dengan tarikan nafas yang tak teratur.
"Apa ini salah gue?" Tanya Maudy lirih.
"Sebagian" jawab Rehan lesu. "Ngapain Lo di sini?" Tanya Rehan tersadar akan kehadiran Maudy.
"Gue...."
"Lo ngikutin gua ya?"
"Enggak. Gue...."
"Lo mau cari masalah lagi?!"
"Enggak. Gue cuma...."
"Atau jangan-jangan Lo..."
"Lo bisa gak sih dengerin gue bentar?! Belum juga gue jawab. Cowok kok mulutnya nyerocos amat" umpat Maudy melirik sebal.
"Lo ngatain gua apa?!"
"Lo nyerocos. Cerewet kayak bebek" tukas Maudy berbisik pelan.
"Apa Lo bilang?!"
"Eh, udah jangan ribut di sini. Kalian ngeganggu pasien yang lain" sambar mahasiswa yang datang bersama Rehan itu berusaha melerai Perselisihan antara Rehan dan Maudy. "Ayo ikut saya" sergah mahasiswa itu mengajak Maudy beralih ke sisi lain rumah sakit.
"Saya minta maaf soal prilaku Rehan tadi. Dia hanya terlalu frustasi dengan keadaan Eran." Ujar pria itu dengan bahasa yang sopan.
"Gak perlu minta maaf, itu keadaaan yang telah bisa!" Jawab Maudy ketus. "Eh, sorry kebawa suasana. Jadi marah sama Lo."
"Gak apa apa. Rehan juga emosi karena adik saya"
"Lo, kakaknya cewek itu?" Tanya Maudy yang dibalas anggukan oleh pria itu.
"Eng, kak gue ngapa ngapain adek Lo kok. Dia tiba-tiba aja pingsan di depan gue. Gue gak ngapa ngapain sumpah." Timpal Maudy mengangkat kedua jari tangan.
"Ini bukan salah Lo kok. Eren emang sakit. Dia punya masalah dengan jantungnya dan beberapa penyakit komplikasi" tukas pria itu.
"Tapi..."
"Gak apa apa kok. Gak usah dipikirin" ucap si pria, beranjak pergi sesaat kemudian.
"Hhm. Seenggaknya dia jauh lebih sopan dari adeknya"
Sebuah pandangan baru tertangkap oleh kedua mata Maudy. Ia meraba pandangannya dari pintu masuk ruangan hingga terhenti pada ujung tembok ruangan. Dilihatnya papa yang sedang duduk di samping mama. Kedua orangtuanya saling menatap Maudy dengan sedikit sekaan nafas. Rasa berat terlihat jelas dari raut wajah mereka.
Perlahan papa bangkit. Menggeret langkah kasarnya ke arah Maudy. Ia menepuk pelan bahu Maudy, kemudian beranjak pergi melewati pintu bangsal.
"Mama sama papa ngomongin apa aja barusan?" Tanya Maudy **** senyum.
"Hak asuh" jawab mama mengedipkan perlahan kedua matanya. Suara serak yang ia tunjukkan memperlihatkan rasa berat di hatinya.
"Maudy?"
"Hhm" mama bergumam dengan anggukan pelan. Maudy terdiam mematung. Haruskah ia memilih salah satu dari orang tuanya, dan berpisah dengan yang lain?
Angin perlahan menembus dinding. Membawa aroma dingin pada setiap sekat yang ia lewati. Dingin yang membuat sang hangat merajuk hingga bersembunyi jauh dari ketenangan.
**Kenapa perih selalu menghampiriku secara bertubi-tubi?
Aneh jika hanya aku yang merasakannya.
Aku juga manusia bukan?
Aku dapat berpikir ini tak adil.
Cobaan macam apa ini?
Kenapa hanya aku dan aku lagi yang menerimanya?
Apa ini akhir dari semua penderitaanku?
Atau apakah akan ada yang lebih perih dari ini**.
\*\*\*
halo semuanya. ini karya baruku mohon di like jika suka untuk membantu author dan menyemangati dalam proses pembuatan cerita😄
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!