NovelToon NovelToon

101 Days To Be Your Partner

Bab 1

Senyum Quin terus mengembang di wajah. Gadis berparas cantik dan manis itu, terus melangkah menuju pintu unit apartemen Angga sang tunangan.

Quin sengaja tak memberitahu Angga, jika ia akan ke apartemen semata-mata ingin memberikan kejutan.

Setelah menekan password pintu, ia pun masuk ke ruangan mewah itu. Menapaki anak tangga menuju kamar Angga.

Namun, langkahnya mulai melambat ketika ia mendengar suara khas orang sedang bercinta yang saling bersahutan.

Quin mengernyit tak ingin berprasangka buruk. Semakin kakinya melangkah naik, suara itu semakin jelas terdengar di telinga.

Dadanya mulai berdebar kencang saat langkah kakinya berhenti tepat di ambang pintu kamar Angga yang tidak tertutup rapat.

Lagi-lagi Quin mengernyit. Dengan perasaan ragu, ia mendorong pelan pintu kamar.

Sepasang mata gadis itu langsung membulat sempurna. Tubuhnya gemetar hebat menahan amarah. Membekap mulut dengan kedua tangan disertai buliran bening yang ikut berjatuhan.

Niat hati ingin memberi kejutan pada Angga. Namun, justru dialah yang mendapat kejutan tak terduga bahkan menyakitkan.

Bagaimana tidak, saat ini ia sedang menyaksikan tunangannya itu sedang menggagahi Kinara yang tak lain adalah saudara tirinya sendiri.

Keduanya tidak menyadari jika Quin sedang menyaksikan perbuatan terlarang mereka.

Shock ....

Hancur ....

Kecewa ....

Terkhianati ....

Semua menjadi satu. Quin melangkah mundur lalu menuruni anak tangga dengan hati-hati. Memilih meninggalkan apartemen itu dengan perasaan terluka. Hatinya seperti dihunus ribuan belati, sakit tak berdarah bahkan tak terlukiskan.

Sesaat setelah berada di dalam mobil, ia menarik nafas dalam-dalam demi memenuhi pasokan oksigen ke dalam paru-paru. Quin tersenyum miris, apakah ini hanya mimpi? Ataukah benar kenyataan?

Quin terisak menumpahkan semua rasa sakit di hati. Setelah merasa cukup tenang, ia pun meninggalkan basemen apartemen.

Di sepanjang perjalanan, ia merasa tak habis pikir dengan Kinara dan Angga. Quin bertanya-tanya, jika memang Angga sudah tak menginginkannya lagi kenapa pria itu tak berterus terang saja.

Jika memang Angga menyukai Kinara, maka ia akan melepasnya dengan lapang dada. Kenapa harus menikamnya dari belakang.

"Ya Tuhan ... kuatkan aku," ucapnya dengan lirih.

Tak lama berselang, ia pun tiba di tempat tujuan. Taman kota yang sering ia singgahi ketika pulang bekerja.

Seperti biasa, ia akan membeli dua cup es boba coklat favoritnya yang akan ia berikan pada siapa pun yang ditemui secara random.

"Mang ... es boba seperti biasa, ya."

"Siap, Neng."

Sambil menunggu, ia memperhatikan taman itu yang terlihat mulai ramai. Hingga arah matanya terarah ke salah satu bangku di mana seorang pria brewokan, gondrong juga berkacamata sedang duduk di kursi roda.

"Neng, ini es bobanya," kata Mamang.

"Iya, Mang, ini duitnya kembaliannya buat Mamang saja," balas Quin.

"Makasih ya, Neng."

"Sama-sama, Mang, aku tinggal, ya."

Si Mamang hanya mengangguk. Quin kembali melangkah kecil menghampiri pria itu yang tampak melamun.

"Maaf ... apa aku boleh duduk di sini?" tanya Quin dengan seulas senyum meski hatinya dalam kondisi tak baik-baik saja bahkan matanya pun masih terlihat sembab.

Pria itu menoleh seraya mengangguk pelan.

"Maaf, mengganggu ketenanganmu," ucap Quin lalu duduk saling berdampingan dengan kursi roda pria itu. "Oh ya, ini untuk kamu." Quin menyodorkan cup es boba pada pria itu dengan senyum tulus.

Pria itu melirik sembari menatap cup es boba yang masih dipegang Quin.

Quin tersenyum. "Jangan khawatir, aku nggak menaruh apa-apa kok di es boba ini."

Pria itu tersenyum tipis kemudian mengambil cup es boba itu. "Thanks.”

Quin mengangguk lalu mulai menyedot minumannya itu.

Hening sejenak ...

Pria itu kembali menatapnya lalu bergumam dalam hati, "Sepertinya dia gadis yang baik, ramah dan sopan pula."

Quin menoleh lalu tersenyum. "Maaf, boleh aku bertanya? Tapi, aku nggak bermaksud menyinggung. Kalau boleh tahu kakinya kenapa?"

Pria itu tersenyum miris mendengar pertanyaan Quin sambil menghela nafas pelan.

"Seperti yang kamu lihat, aku lumpuh akibat kecelakaan dua tahun yang lalu."

"Maaf, apa kakinya masih bisa digerakkan?" tanya Quin lagi.

"Hmm," sahut pria itu dengan lirih.

"Kamu harus semangat. Jika kedua kakimu masih bisa digerakkan, itu tandanya kamu masih punya harapan untuk bisa berjalan lagi. Caranya tentu saja rutin ikut terapi dengan dokter spesialis. Aku yakin kamu pasti bisa, semangat ya." Quin mengangkat kedua tangan menyimbolkan semangat.

Pria itu menatapnya lekat sekaligus tertegun. Senyum tipis kembali terbit di sudut bibir. Tak lama berselang seorang pria menyapa

"Tu ...." Pria itu memberi kode.

"Maaf, kami harus segera pulang," pamit pria itu.

"Baiklah, maaf sudah mengganggu waktunya. Oh ya, kamu harus tetap semangat untuk sembuh," kata Quin menyemangati pria itu.

Kedua pria itu mengangguk lalu meninggalkan Quin. Sepeninggal kedua pria tadi, Quin menyandarkan punggung di sandaran bangku. Menghela nafas seraya menengadahkan wajah menatap langit yang mulai berubah warna.

Sementara dari kejauhan di balik jendela mobil, pria tadi masih memperhatikannya.

"Tuan ...."

"Hmm ...."

"Apa Anda mengenali gadis itu?" tanya Adrian sang asisten.

"Nggak, dia tiba-tiba menyapa lalu mengajakku mengobrol. Sepertinya dia gadis yang baik," jawab Damar tanpa mengalihkan pandangan.

"Adrian, besok sore antar aku kembali ke taman ini." Damar tersenyum penuh arti.

"Baik, Tuan."

...****************...

Bab 2

Damar kembali tersenyum menatap cup es boba coklat pemberian dari Quin. Ia pun menyedot minuman itu.

"Ternyata enak juga," gumamnya.

"Tuan, apa sekarang kita bisa pulang?"

"Sebentar lagi." Damar kembali mengarahkan pandangan ke arah Quin. Gadis itu masih betah duduk di bangku dengan sesekali menyeka air mata.

Damar mengerutkan kening. "Ada apa dengannya? Perasaan, tadi dia baik-baik saja."

"Tuan ...." Adrian kembali memanggil sekaligus mengalihkan pandangan pria tampan berdarah indo dan timur tengah itu.

"Ya, Adrian," sahut Damar.

"Apa Anda ingin kembali ke sana?"

"Nggak usah, sebaiknya kita pulang sekarang!" perintah Damar.

"Baik, Tuan."

Sementara Quin, ia masih betah duduk di bangku memikirkan nasibnya.

"Masih ada waktu untuk memikirkan cara. Ya Tuhan ... ini sangat menyakitkan."

Tak lama berselang, ponselnya bergetar. Ia meraih benda pipih itu dari dalam tas. Saat tahu siapa yang memanggil, Quin menghela nafas kasar.

"Ya hallo, Angga." Quin memutar bola mata malas.

"Sayang, kamu lagi di mana?" tanya Angga tanpa dosa.

"Maaf, aku ada urusan mendadak. Saat ini aku sedang di luar kota," jelas Quin berbohong.

Seketika raut wajah Angga berubah sekaligus menyiratkan kekecewaan.

"Sayang, apa kamu lupa jika hari ini ulang tahunku?" tanya Angga dengan perasaan kecewa. Tidak seperti biasanya Quin lupa hari istimewanya itu.

"Astaga!!!" Quin pura-pura kaget. "Ini tanggal berapa, sih?" tanyanya seraya mengatupkan bibir.

"Jadi, kamu benar-benar lupa jika hari ini ulang tahunku, Sayang?" tanya Angga lagi.

"Maaf Angga, aku benar-benar lupa apalagi tadi, mendadak ada klien yang memintaku menemuinya di luar kota."

‘Bukan lupa Angga. Tapi, kejadian hari ini yang membuat aku sengaja melupakan hari spesialmu itu, Tadinya, justru aku yang ingin memberimu kejutan. Tapi nyatanya, justru kamu yang memberiku kejutan, menjijikkan,’ batin Quin lalu meremas tasnya.

"Sayang, ada apa denganmu? Nggak biasanya kamu lupa seperti ini?" tanya Angga sedikit kesal. Ia juga heran karena Quin tak memanggilnya dengan sebutan Sayang.

"Angga, aku nggak bisa hadir di pesta ulang tahunmu nanti malam!” tegas Quin.

"Nggak bisa! Aku akan menjemputmu sekarang! Beritahu aku, kamu di daerah mana?" desak Angga.

Quin bungkam sekaligus memutar otak untuk menghindari sang tunangan. Sedetik kemudian, ia sengaja membuat panggilannya seperti terganggu.

"Hallo ... hallo Angga ... apa kamu bisa mendengarku? Hallo ... hallo ... hallo!" Begitu seterusnya sehingga Quin mematikan ponselnya lalu mengalihkan ke mode pesawat.

Angga merasa sangat kesal ketika sambungan telepon terputus. Saat ia kembali menghubungi nomor Quin, ponsel gadis itu sudah tak aktif.

Ia mengusap wajah dengan kasar. Untuk pertama kalinya Angga merayakan ulang tahunnya tanpa Quin. Gadis yang sudah menjadi tunangannya sejak tiga tahun terakhir dan akan menikah tahun ini.

Suara lembut disertai sebuah pelukan dari belakang, seketika membuat Angga tersadar. Ia melepas kedua tangan yang melingkar di perutnya.

"Kinara, sebaiknya kamu pulang. Aku ada urusan mendadak," pinta Angga.

Kinara mengerutkan kening. "Urusan mendadak? Tapi, ini sudah hampir malam. Apa karena Quin!" Kinara merasa jengkel mengingat saudara tirinya itu.

"Please, tolong mengertilah."

Hening sejenak ....

"Angga, apa kamu nggak takut jika Quin tahu kita selingkuh!" tanya Kinara dengan sinis.

"Quin nggak akan percaya, Kinar. Lagian, bukan aku yang memulai permainan ini, tapi kamu. Kamu yang terus-terusan menggodaku," sindir Angga.

"Jika kamu laki-laki setia, kamu nggak bakal tergoda dengan wanita mana pun!"

"Ada istilah, kurang lebih bunyinya seperti ini, ‘Kucing kalau dikasih ikan pasti nggak bakal menolak'," sindir Angga lagi. "Lagian, kamu juga sudah bukan perawan. Aku merasa kamu sudah sering melakukanya dengan pria lain."

Kinara langsung mengepalkan kedua tangan seolah tak terima.

"Angga, aku mencintaimu," kata Kinara.

"Tapi aku nggak mencintaimu, Kinar. Aku hanya mencintai Quin!" Tekan Angga lalu meninggalkan Kinara menuju kamar mandi.

"Quin!! Lagi-lagi dia yang selalu menjadi penghalang. Sial!! Angga hanya menginginkan tubuhku sebagai pelampiasan hasratnya," gerutu Kinara dengan kesal.

Setelah itu, ia pun meninggalkan tempat itu dengan perasaan dongkol.

Sementara itu, Angga yang berada di dalam kamar mandi, merasakan ada yang aneh dengan sikap Quin.

"Apa yang sudah aku lakukan? Jika Quin tahu aku berselingkuh dengan Kinara, dia pasti akan membatalkan pernikahan kami. Sayang, aku nggak mau kehilanganmu, maafkan aku. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi."

Setelah membersihkan diri, Angga segera mengenakan setelan jas yang telah disiapkan Quin sejak tiga hari yang lalu.

Merasa sudah tak ada lagi yang dilupa, Angga segera meninggalkan unit apartement-nya. Tujuannya kini tentu saja ke tempat Quin.

.

.

.

Setibanya di apartement Quin, Angga langsung menekan password lalu membuka pintu. Namun, ia kembali harus kecewa karena ruangan itu gelap yang menandakan jika Quim ada di tempat itu.

Angga menutup pintu lalu kembali ke lift. Tujuan selanjutnya adalah butik gadis itu. Sesampainya di butik, ia kembali harus merasakan kecewa.

Tak patah arang, Angga kembali menghubungi Quin. Sayangnya benda pipih gadis itu tetap berada di luar jangkauan.

"Sayang, nggak biasanya kamu seperti ini," gumam Angga merasa frustasi.

Di tempat yang berbeda tepatnya di sebuah villa, Quin menatap langit-langit kamar. Air matanya kembali menetes mengingat perbuatan terlarang Angga dan Kinara.

Ia tak menyangka jika Angga dan saudara tirinya tega mengkhianatinya.

"Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?" gumam Quin disertai air mata yang jatuh berderai.

.

.

.

Jauh dari villa tempat Quin berada, Damar tampak termenung di teras balkon kamar.

Ia kembali terbayang wajah Quin. Suara gadis itu seolah kembali terngiang di telinganya. Ucapan bernada lembut penuh ketulusan, sukses membuat sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan.

"Tuan, Anda ada undangan dari Tuan Haidar Anggara Wibowo di Hotel xxx," jelas Adrian.

"Baiklah, apa jas ku sudah di antar tadi siang?" tanya damar.

"Sudah, Tuan."

Beberapa menit berlalu ...

Damar sudah terlihat rapi. Ia pun mulai menggerakkan tuas kursi roda listrik ke arah lift khusus rumahnya.

Sesaat setelah berada di lantai bawah, Damar mengarahkan kursi rodanya menuju mobil.

Di sepanjang perjalanan, Damar hanya diam sekaligus merasa miris dengan kondisi tubuhnya kini.

Jika sebelumnya, ia bebas bergerak ke mana pun tanpa bantuan, kini justru sebaliknya. Semua aktifitasnya terbatas. Bahkan, sang kekasih tega meninggalkan dirinya karena lumpuh.

Damar tersenyum miris, merasa hidupnya seperti sudah tak berarti. Namun, dorongan, nasehat serta kasih sayang dari kedua orang adiknya lah yang membuatnya kuat hingga saat ini.

Lamunannya membuyar ketika Adrian menegurnya. "Tuan, kita sudah sampai."

"Hmm."

Dengan sigap Adrian kembali menyiapkan kursi roda Damar. Tak lama berselang, Sofia sang adik menghampiri keduanya.

"Kak, Adrian kalian lama banget sih?!" kesal Sofia. "Ini lagi ... brewoknya kenapa nggak dicukur? Mana kacamatanya gak di lepas, padahal mata kakak nggak mines," omel Sofia lagi.

Damar dan Adrian hanya terkekeh mendengar omelan gadis cantik itu.

"Sudah selesai ngomelnya? Kalau sudah ... ayo kita masuk ke dalam," ajak Damar.

Sofia berdecak kesal sembari mengekori sang kakak yang terlihat sudah menjauh bersama Adrian. Ia pun berlari kecil menghampirinya dan Adrian.

...----------------...

Bab 3

Sesaat setelah ketiganya berada di dalam ballroom, mereka pun menghampiri Angga yang sedang mengobrol dengan temannya.

Pria itu tersenyum saat melihat Damar bersama Adrian juga Sofia semakin mendekatinya.

"Pak Damar, terima kasih sudah mau hadir," ucap Angga sekaligus mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Damar.

"Sama-sama, jangan formal begitu panggil Damar saja," sahut Damar.

Angga mengulas senyum sambil mengangguk. Ia mengarahkan pandangan ke tempat lain seolah mencari sosok Quin.

"Oh ya, aku tinggal sebentar ya," izin Angga.

Pria itu, sedikit menjauh dari keramaian lalu menghubungi Quin. Namun, perasaan kecewa seketika menyelimuti dirinya karena ponsel Quin tetap tak aktif.

"Quin!" Angga merasa sedikit kesal.

"Bro, ada apa? Kok wajahmu kusut begitu? Harusnya kamu bahagia, dong," tanya Dennis yang tiba-tiba muncul

"Bagaimana mau bahagia jika Quin nggak bisa hadir. Dia lagi di luar kota," jelas Angga dengan hela nafas kasar.

"What?!! Impossible. Tadi sore aku masih melihatnya berada di taman kota."

"Apa kamu yakin?"

"Hmm."

Angga terdiam dan tampak merenung. Sedetik kemudian ia melirik Dennis. Entah, ia harus percaya atau tidak. Apalagi Dennis sering menjahilinya.

"Ayolah Angga, kali ini aku nggak berbohong. Aku berani bersumpah," kata Dennis dengan raut wajah meyakinkan seraya membentuk V dua jarinya.

Tak lama berselang, Kinara menghampiri keduanya seraya menyapa.

"Dennis, Angga."

Angga terlihat cuek sedangkan Dennis menatap gadis itu dengan tatapan lapar.

"Oh ya, aku tinggal sebentar," pamit Angga kemudian meninggalkan keduanya begitu saja.

Sementara Damar dan Adrian sedang mengobrol santai bersama Sofia.

"Aku dengar-dengar, Angga akan menikah tahun ini. Kalau nggak salah tunangannya seorang desainer," celetuk Sofia tiba-tiba.

"Benarkah, kok aku baru tahu? Apa kamu mengenal tunangannya itu?" tanya Damar.

"Nggak terlalu sih, Kak. Setahuku orangnya baik, ramah dan berparas cantik tentunya. Kalau aku nggak salah, dia juga bekerjasama dengan beberapa perusahan yang bergerak di bidang fashion," jelas Sofia dengan semangat.

Damar hanya mencermati ucapan Sofia sambil mengelus brewoknya.

Tak lama berselang puncak acara pun di mulai. Mau tidak mau Angga merayakan pesta ulang tahunnya tanpa kehadiran Quin. Raut wajah kecewa jelas tampak pada pria berwajah oriental itu. Bahkan ia seolah tak bersemangat.

Belum lagi para kolega bisnisnya yang sejak tadi menanyakan keberadaan Quin.

Desas desus tentang isu hubungan keduanya yang mulai renggang seketika mengusiknya. Akibatnya, Angga merasa tak nyaman sekaligus merasa getir.

.

.

.

Jauh dari keramaian pesta, Quin malah asik menggambar ditemani dengan secangkir teh hangat.

Setelah selesai menggambar, ia pun menghampiri kolam renan. Ia duduk di salah satu kursi santai, sembari memandangi langit yang bertabur bintang.

"Mama, seandainya mama masih ada, ingin rasanya ku menangis dalam pelukanmu," ucap Quin dengan lirih disertai air mata yang ikut menetes.

Dalam keheningan malam, benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.

"Apa selama ini Angga dan Kinara diam-diam menjalin hubungan di belakangku? Ya Tuhan, jika itu benar mereka tega banget."

"Quin, lupakan, ngapain kamu harus berlarut-larut memikirkan orang yang sudah mengkhianatimu," ucapnya pada dirinya sendiri.

.

.

.

Malam semakin larut, pesta meriah itu, seolah tak ada artinya bagi Angga tanpa kehadiran Quin. Ia merasa tetap ada yang kurang.

"Angga, sejak tadi aku nggak melihat Quin?" tanya Kinara sembari menyeringai.

Angga mundur beberapa langkah kemudian berkata, "Bisa nggak sih, kamu menjaga jarak. Memangnya kenapa jika Quin nggak terlihat? Dia ada urusan mendadak di luar kota!"

Kinara malah tersenyum puas. "Bagus dong, jadi kita bisa menghabiskan malam ini berdua saja di apartement," bisik Kinara dengan nada sensual.

Angga tersenyum sinis. "Sepertinya di sini bukan aku yang maniak tapi dirimu," sindir Angga.

"Tapi, kamu sangat menikmati permainan panasku bukan?" Kinara balik menyindirnya. "Pasti Quin nggak pernah melakukan hal yang sering kita lakukan berdua."

"Karena Quin wanita yang sangat menjaga kehormatannya. Dia nggak seperti dirimu yang rela menyerahkan diri pada pria lain hanya untuk memuaskan hasrat sesaat," sahut Angga dengan seringai mengejek.

Ucapan menohok Angga seketika membuat Kinara geram. Rahangnya mengetat lalu mengepalkan kedua tangan.

Kedekatan keduanya justru memancing spekulasi jika hubungan Angga dan Quin memang sedang bermasalah.

"Sofia, apa itu wanita yang akan dinikahi oleh Angga?" tanya Damar.

"Bukan, Kak. Itu Kinara seorang model sekaligus temannya Angga," jelas Sofia. "Aku juga heran sejak tadi tunangannya nggak kelihatan."

"Kepo banget sih, kamu," sahut Adrian.

"Emang kenapa? Sewot!" kesal Sofia lalu menjulurkan lidah.

Damar tersenyum sembari geleng-geleng kepala melihat adik dan asistennya itu berdebat.

"Adrian, Sofia, sebaiknya kita pulang. Yuk, kita pamit dulu sama Angga," cetus Damar

Ke-tiganya pun menghampiri Angga juga Kinara yang masih mengobrol.

"Angga, terima kasih atas undangannya. Semoga kedepannya kita bisa menjalin kerjasama," kata Damar.

"Sama-sama, Damar. Satu kehormatan bagiku bisa menjalin kerjasama denganmu nanti," balas Angga.

Damar mengangguk pelan. Setelah itu, ia, Adrian juga Sofia meninggalkan ballroom hotel.

Kinara memandangi Damar yang kini sudah menjauh. Heran sekaligus bertanya-tanya, siapa sebenarnya pria berkursi roda itu?

"Angga, siapa dia? Sepertinya dia bukan orang sembarangan," tanya Kinara penasaran.

"Dia anaknya pak Alatas. Damar Khalid Alatas. CEO Alatas Grup. Kamu pasti tahu Alatas Corp dan Alatas Grup."

"What?! Bukankah dia CEO yang mengalami kecelakaan di arena balap saat melakoni balapan mobil kala itu?"

"Ya."

Kinara seakan tak percaya. Pria tampan yang dulunya dikenal dengan sejuta pesona serta digilai banyak wanita juga gemar hura-hura itu, kini tampak jauh berbeda, bahkan nyaris tak dikenali.

"Kenapa dia baru muncul sekarang?"

"Dia menjalani perawatan medis di luar negeri," jelas Angga.

Sejenak Kinara terdiam. Ingatannya kembali berputar beberapa tahun yang lalu. Masih jelas terekam di memorinya waktu itu, ketika ia berada di satu bar yang sama dengan Damar.

"Kinara, sebaiknya kamu pulang. Ini sudah larut. Nanti orang tuamu khawatir," saran Angga lalu meninggalkan gadis itu begitu saja.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!