"Maaaa, mamaaaa jangan tinggalin Nana... Maaaa, mama nggak boleh pergi kaya gini. Mama belum liat Nana pakai baju pengantin punya mama. Maaaa, bangun"
Tangis itu pecah. Teriakan itu menggema di seluruh ruangan. Wajah manis menenangkan miliknya kini pucat pasi. Senyum manis pelipur lelah itu kini takkan bisa terukir indah disana lagi.
"Maaaa..." Aku masih tida percaya. Mama orang yang paling aku sayangi di dunia ini, pergi tanpa memikirkan aku yang di tinggalkannya. Tanpa peduli padaku yang belum pernah berpisah dengannya sekalipun.
Kini wajah pucat pasi itu sudah tidak bisa aku lihat. Kini tersisa kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Nana masih belum bisa bahagiain mama. Maafin Nana yaaa." Ku kuatkan diriku sendiri. Pelukan erat Tante Anisa menguatkanku.
Tapi air mata ini tak bisa berhenti bahkan sedetik saja semenjak aku mengetahui kepergian mama.
Pelukan Tante Anisa ku rasa sama rapuhnya seperti hatiku yang sudah hancur. Semuanya hilang begitu saja. Tujuan hidupku hilang...
00
Hari ini aku mengemaskan semua barang barangku. Belum genap sebulan mama meninggal, papaku sudah menjual rumah yang penuh kenangan ini.
Laki laki yang sejak kecil menjadi kebangganku. Laki laki yang ku kira bisa mengayomi aku, kini aku tau jika laki laki itu. Papaku, bukanlah orang baik.
Bermain perempuan, judi, selalu meminta uang dari mama tanpa pernah bekerja. Dia papaku kini menjual satu satunya kenangan ku dengan mama.
Bodohnya aku yang hanya bisa menangisi segalanya. Sebentar lagi, rumah ini, tempat aku di besarkan dan tempat yang penuh kenangan dengan mama akan di jual.
Aku tidak akan bisa merasakan kehangatan mama lagi di rumah ini. Aku harus pergi.
Aku benci papa, aku benci takdir ini. Aku benci pada diriku sendiri yang bahkan tidak bisa berbuat apa apa.
00
Makelar rumahku sudah datang, baju bajuku sudah ku kemasi semua. Foto fotoku dan mama sudah ada di dalam koper semua. Kini aku bersiap pergi dengan perasaan berat hati.
"Nana." Seseorang menyentuh bahuku.
Aku mengusap air mataku dan menoleh ke arah suara yang memanggilku.
"Nana kamu yang kuat yaaa." Wanita paruh baya ini memelukku erat.
"Kamu inget Tante kaaan? Tante sahabat mama kamu. Dulu Tante tinggal di sebelah rumah kamu waktu kamu masih kecil. Nana inget Tante kan?" Tanya Tante di depanku.
Aku mencoba berpikir keras sampai dia menyebut namanya.
"Ini tante Vera sayang. Nana inget kan?" Wanita di depanku mengelus rambutku sayang.
"Ia Tante. Nana inget. Tante mau ke rumah Nana?" Aku bertanya pada Tante Vera yang ada di depanku.
"Kamu mau kemana kok bawa koper gini?" Tante Vera menatap ke arahku lalu menatap ke arah rumahku yang sudah di beri tanda di jual.
"Rumah Nana di jual Tante, karna kita udah nggak bisa masuk ke rumah lagi. Gimana kalo Tante ikut Nana aja ke toko Nana. Tempatnya Deket kok." Jelasku padanya yang seakan menatap tak percaya rumahku.
"Eh ia boleh. Karna ada hal penting yang harus Tante bicarakan sama kamu." Aku mengangguk dan menggandeng tangan Tante Vera menuju mobilku.
00
Kini kami sudah sampai di toko kue milikku. Hari ini toko kue buka seperti biasa jadi aku mengajak Tante Vera duduk di tempat duduk dekat pintu yang jarang di tempati oleh pelanggan.
"Maaf ya Tante jadi harus ke toko, pasti Tante datang jauh jauh ya. Biar Nana ambilkan minum dulu ya." Mendapat jawaban anggukan dari Tante Vera aku menuju dapur untuk mengambil minuman dan beberapa potongan kue.
"Silahkan di minum, Ada apa Tante?" Tanyaku yang sudah sedikit nyaman duduk di kursiku.
"Ini tante mau tunjukin surat ini sama Nana." Tante Vera mengeluarkan surat dari dalam tasnya.
"Kamu ingat Keenan kan?" Tanya Tante Vera padaku.
Lagi lagi aku mencoba mengingat nama Keenan di kepalaku. Tapi aku tidak menemukan nama itu dalam memoriku.
Tante Vera dan keluarganya pindah rumah saat usiaku 14 tahun. Berarti itu sudah 10 tahun yang lalu aku tidak bertemu dengan beliau.
Aku menggelengkan kepalaku pelan sebagai jawaban. Lalu Tante Vera bertanya lagi.
"Kalau kintan kamu ingat nggak nak?" Tanya Tante Vera lagi masih semangat.
"Ia Nana ingat. kak kintan pernah datang ke toko sebelum mama meninggal juga datang saat pemakaman mama." Jelasku pada Tante Vera.
"Kamu pasti tau kalau kintan punya kembaran kan, dulu kalian teman dekat. Coba ingat lagi."
Aku mencoba mengingat lagi. Namun lagi lagi nihil. Tidak bisa ku temukan wajah anak laki laki bernama Keenan dalam memori otakku.
"Nana bener bener nggak ingat Tante, maaf." Jawab ku jujur.
"Biskuit coklat kesukaan mu ingat? Ada anak laki laki yang selalu membawakan biskuit coklat untukmu."
Flashback
"Kakak benar benar nggak suka sama Nana ya?" Tanya Nana kecil polos. Yang berhenti menuntun sepedanya.
"Kamu masih kecil aku nggak suka." Balas Keenan pada anak kecil di depannya yang baru berusia 8 tahun.
"Huwaaaaa... Kak Ken jahaaat." Teriak Nana pada Keenan. Nana menjatuhkan sepedanya dan berlari pulang menuju rumahnya.
"Nanaa, sepeda muuu." Teriak Keenan yang tidak di hiraukan oleh Nana.
Karena tau Nana marah padanya, Keenan menuntun sepeda pink milik Nana pulang ke rumahnya. Mengambil biskuit coklat dan mengembalikan sepeda milik Nana, ke rumah Nana yang tepat berada di sebelah rumahnya.
"Nanaaaa..." panggil Keenan di depan rumah Nana.
"Nana marah sama kak Ken." Jawab Nana yang mengintip dari balik jendela.
"Ini kakak bawa biskuit coklat kesukaan kamu."
Mendengar kata biskuit coklat, Nana langsung keluar dari rumahnya. Berhenti di depan pintu untuk menatap Keenan dengan mata sembabnya.
"Ini." Ucap Keenan sambil menyodorkan biskuit coklat itu.
Nana mendekat dan mengambil sebungkus biskuit coklat dari tangan Keenan.
"Lain kali jangan tinggalkan sepeda kamu di jalan sembarangan ya." Omel Keenan yang sudah berusia 13 tahun pada Nana dengan nada pelan.
"Terimakasih kak Ken. Maaf Nana buat kakak repot membawa sepeda Nana." Jawab Nana kecil dengan menundukkan wajahnya.
"Sini aku bukain biskuitnya." Keenan segera membuka kemasan biskuit coklat yang tadi di bawanya dan memberikan pada Nana.
"Terimakasih kak ken. Ku tarik kata Kata Ku jika kakak jahat. Kakak adalah orang terbaik yang pernah ada di hidupku setelah mama." Kini Nana tersenyum riang di depan Keenan yang menatapnya dengan senyuman kecil yang tak mudah di sadari, sambil mengunyah biskuit nya.
Flashback off
"Biskuit coklat, ia Nana ingat Tante. Ada anak laki laki bernama Ken yang selalu kasih Nana biskuit coklat setiap Nana nangis. Terus apa hubungannya orang itu sama surat ini Tante?" Kataku setelah mengingat sedikit kejadian masa kecilku.
00
29.04.2020
"Biskuit coklat, ia Nana ingat Tante. Ada anak laki laki bernama Ken yang selalu kasih Nana biskuit coklat setiap Nana nangis. Terus apa hubungannya orang itu sama surat ini Tante?" Kataku setelah mengingat sedikit kejadian masa kecilku.
"Kamu boleh baca sendiri surat nya sayang." Ujar tante Vera.
Aku segera membuka surat tadi dan membacanya dalam hati.
Surat ini di tulis oleh mamaku dengan tangannya sendiri. Bahkan ada tanda tangan dan tanggal pada surat yang ku baca ini.
Ada satu kalimat yang sangat menggangu perhatianku disini.
Mama tau sekarang kamu sendirian. Maafin mama yang nggak bisa temenin Nana lebih lama lagi. Maafin mama yang belum bisa bantu Nana wajudkan mimpi Nana. Maaf karna mama harus ninggalin Nana sama papa. Kita kau papa bukan orang yang baik, tapi juga bukan orang jahat. Jadi, mama mau Nana tetap menghargai papa ya. Mama ingin kamu menikah dengan anak sahabat mama. Mama nggak mau kamu sendirian menghadapi papamu, jadi menikah lah dengan keenan anak sahabat mama. Keenan juga sahabatmu sejak kecil.
Jangan merasa sendiri, mama ada di hatimu menjagamu menemanimu.
Mama sayang Nana.
Tak kuasa aku meneteskan air mata. Ma, maafin Nana yang belum bisa bahagiain mama yaaa. Maaf karna selama hidup mama, mungkin hati mama tersiksa karna papa. Karna Nana juga.
Aku menatap Tante Vera di depanku. Dia menatapku iba tapi masih ada kasih sayang disana.
"Nggak papa ya, kita harus ikhlas kan. Nana bisa kok anggep Tante sebagai mama kamu sendiri. Ya." Tante Vera menggenggam tanganku menguatkan.
"Makasih Tante, makasih udah jaga surat ini, makasih sudah kuatin Nana." Aku tau masih ada orang yang sayang padaku.
Triiing...
Suara bell cafe berbunyi. Menandakan ada orang datang. Aku melihat sekilas ke arah orang itu, dia berjalan menuju ke arah ku.
Sekilas wajahnya tidak asing. Tapi aku tidak mengenalinya, hingga dia sampai di sebelah meja kami.
"Ma." Laki laki tadi memanggil Tante Vera di depan ku dengan panggilan ma.
"Ah kamu sudah datang nak. Sini duduk di sebelah mama." Tante Vera berpindah duduk memberikan tempat tempat untuk seseorang yang baru saja di panggilnya nak.
"Nana ini anak Tante. Namanya Keenan." Ucap Tante Vera memperkenalkan.
Aku melihatnya, mengingat dimana aku menemukan nama Keenan. Ah itu di surat wasiat mama. Jadi ini Keenan , dia tampak dingin dan tidak bersahabat. Kenapa mama ingin dia jadi suamiku.
Ekhm...
Aku tersadar dari lamunanku begitu mendengar Keenan berdeham. Dan ternyata dia sudah mengulurkan tangan kanannya padaku.
"Keenan." Katanya dingin.
"Nana." Kataku meraih tangannya untuk berjabat tangan. Setelah mendengar namaku Keenan langsung melepas tanganku begitu saja.
"Nah ini Keenan anak Tante. Selagi Keenan disini, biar mama jelaskan yaaa. Jadi, mama dan almarhum mamanya Nana sudah berencana menjodohkan kalian sejak kalian masih kecil." Jelas Tante Vera yang mendapat tatapan datar dari putranya.
Aku masih menyimak dengan hati hati apa yang di katakan oleh Tante Vera. Takut ada yang terlewat atau ada yang tidak aku pahami.
"Sekarang setelah kepergian sahabat mama, mama mau kalian segera menikah. Tapi tentu mama nggak akan terlalu memaksa. Jadi mama beri kalian waktu untuk mengobrol ya. Sekarang mama mau pergi Kinan sudah di depan." Jelas Tante Vera yang malah berdiri dan beranjak.
"Tante, tunggu dulu." Aku menahan Tante Vera dengan menggenggam tangannya.
"Kenapa sayang?" Tanya Tante Vera bingung.
"Eeeem, itu, ini apa tidak terlalu cepat? Aku yakin penjelasan Tante tadi masih kurang lengkap." Kataku sedikit kikuk.
Tante Vera hanya menaikkan alisnya bingung. Dan tersenyum ramah padaku.
"Kamu tenang aja ya. Keenan sudah tau semuanya jadi kalian bisa mengobrol membicarakan semuanya." Jelas Tante Vera.
Mendapat anggukan dariku Tante Vera segera pergi.
Suasana saat ini sangat dingin. Aku bahkan dapan merasakan ujung jari tangan dan kakiku menjadi sangat dingin.
"Jadi kamu Nana?" Tanya Keenan membuka percakapan.
Aku menatapnya dan menganggukkan kepala bingung juga malu.
"Langsung saja ke inti permasalahannya. Kamu mau menikah?" Tanya Keenan tepat mengunci mataku seakan menghipnotis untuk menjawab tanpa lama berfikir.
"Ini keinginan mamaku. Mana bisa aku mengabaikan nya begitu saja." Kataku sedikit bergetar.
"Tapi sepertinya kamu belum yakin." Katanya lagi.
"Aku memang masih kaget dengan semua kejadian yang sangat cepat ini. Tapi...."
"Kamu belum yakin. Harusnya seseorang yang sudah yakin pada dirinya tidak akan mengatakan kata tapi. Coba tatap orang yang sedang bicara di depanmu." Aku yang sejak tadi menunduk jadi sedikit kesal dan langsung menatap mata Keenan yang tajam.
"Pikirkan lagi ku beri waktu 1 Minggu. Jika kamu sudah dapatkan jawabannya. Katakan padaku." Keenan tampak berhenti bicara dan menatapku dari atas hingga ke bawah.
"Kita mungkin akan segera menikah. Jadi aku sampaikan sekarang saja. Aku sebenernya punya pacar. Tapi itu bukan masalah besar. Aku akan membereskan nya setelah kita menikah. Jadi pikirkan baik baik, ini kartu namaku. Kamu bisa hubungi nomer disitu." Jelas Keenan panjang lebar dengan nada menindas dan sangat dingin
Aku nggak tau kalo kata kata orang bahkan bisa begitu mengintimidasi ya.
"Aku akan datang kesini Minggu depan di jam yang sama di hari yang sama, jika kamu nggak menghubungi ku. Apa kamu mengerti?" Tanyanya dengan nada seperti tukang palak.
"Ia aku mengerti. Tapi apa kamu ngga terpaksa untuk menikah denganku?" Tanyaku pelan takut menghancurkan harga dirinya.
"Aku memang terpaksa tapi, apapun akan aku lakukan untuk mamaku." Jelas Keenan padaku.
Aku hanya menganggukkan kepalaku tanda mengerti. Dan baru Ter ingat sesuatu dia belum memesan apapun sejak tadi.
"oh, Mau pesan sesuatu nggk?" Tanyaku pelan seperti mencicit.
"Boleh." Katanya yang tak ku sangka malah menjawab boleh.
"Padahal aku tanya gitu cuma buat basa basi. Kenapa dia jawab boleh. Dasar aneh." Batinku sedikit kesal.
Walau masih kesal aku memanggil seorang pelayan yang segera menghampiri kami.
"Ini menunya." Pelayan tadi memberikan buku menu padaku dan Keenan.
Selesai memesan dan mengembalikan buku menu pada pelayan Keenan menatap jam tangannya lalu menatapku.
"Kamu tinggal dimana?" Tanya Keenan dengan nada yang masih dingin
"Ah dasar kulkas berjalan." Batinku sedikit gondok.
"Mulai hari ini aku tinggal di sini. Di atas di ruang kerjaku." Jawab ku singkat.
Keenan menatap sekeliling cafe ku lalu menatapku lagi.
"Bangunan ini milikmu atau sewa?" Tanya nya lagi masih dengan nada dingin.
"Bangunan sendiri." Jawabku sekenanya.
"Lumayan juga karna ini di kawasan ramai." Jelasnya dan tak lama makanan yang di pesan olehnya dan aku datang.
Dia tampak menikmati makanan yang di sajikan dan menanyakan beberapa hal padamu...
.
.
.
.
.
To be continue
Nadiapuma
27.05.2020
Hari ini dan 2 hari yang lalu, caffe sangat ramai. Aku yang sedang sibuk untuk mengeluarkan produk makanan yang bisa di jual online pun sampai harus ikut membantu para karyawan mengantarkan minuman juga makanan pada pelanggan.
Sekarang sudah jam 8 malam. Karyawan tukang masak sudah menyajikan menu baru untuk di nikmati di malam hari.
Beberapa kali Abang Abang ojek online berseliweran mengambil pesanan. Aku masih sibuk mengerjakan projek baru yang akan segera launching 2 hari lagi.
Brak...
Aku yang duduk di ruangan ku mendengar suara meja di pukul dengan kuat. Aku segera keluar dan menatap tak percaya papaku.
Seakan membabi buta papa ku menjatuhkan beberapa kursi dan menggebrak meja di caffe ku.
Pembeli yang datang ketakutan. Lalu 2 pegawai laki laki di tempatku langsung memegangi papaku.
"Nanaaaaa.." teriaknya yang aku yakin sepertinya sedang mabuk.
Aku segera menghampiri papaku, menatapnya bingung. Penampilan nya berantakan, bau alkohol tercium pekat di hidungku.
Jalannya sudah sempoyongan tapi tetap menunjuk nunjuk ke arahku.
"Kamu anak kurang ajar yaaa." Katanya yang mencoba melepas genggaman pegawai ku pada tubuhnya.
"Kurang ajar kamu yaaaa. anak nggak tau di untung! HA!!" Papa berteriak di hadapanku.
"Kenapa papa kesini?" Tanyaku padanya yang setengah sadar.
"Papa tau kamu dapat warisan dari mama mu kaan. Wanita tak tau diri itu, mati bahkan tanpa memberiku sepeserpun uang. Kalian sama saja." Ucapnya dengan nada keras.
Pegawaiku menatapku tapi tetap memegangi Papa agar tidak menyerangku.
"Sekarang papa minta uang. MANA!! Uang. Sini kasih ke papa. Kamu jangan pelit." Teriaknya dan menolak di pegangi lagi.
"Ini pa. baru ada segini." tangan ku bergetar hebat namun Aku segera mengeluarkan uang dari saku celanaku.
"Bohong kamu!! Mana ada uang segini!! Mama kamu sudah kasih kamu warisan kan. Ngaku kamu anak durhaka." Lagi lagi papa berteriak di hadapanku.
Aku kaget, saat dia mengatakan aku anak durhaka. Aku menangis, kakiku melemas aku seakan nggak bisa menopang kakiku lagi.
"Papa tenang dulu ya. Tunggu sini Nana ambilkan uangnya." Aku segera berlari ke lantai atas dan mengambil uang 3 juta. Hanya itu uang yang ada di caffe karna sisanya ada di bank.
Sampai di bawah papaku masih di pegangi oleh 2 pegawai ku yang tadi. Tapi sekarang sudah bertambah jadi 4 orang yang memegangi papaku.
"Ini pa. Uangnya." Kataku memberikan uang itu pada papa ku.
"Uang apa ini cuma segini. Gila kamu ya!!" Lagi lagi papa memakiku setelah mengambil uang dariku.
Aku segera mencari pegangan di dekatku. Aku memegang erat meja agar tidak jatuh.
"Papa mau berapa? Nana cuma punya itu pa." Jelasku perlahan pada papaku.
Baru 2 hari dari penjualan rumah ku, pasti papa punya banyak uang dari hasil penjualan rumah tapi, dia tetap datang kesini dan meminta uang padaku.
"Lepas!!" Papaku melepaskan pegangan dari pegawaiku segera mendekati kasir dan menakuti pegawai yang menunggu kasir dengan mengangkat gelas kaca, lalu memecahkan sedikit sehingga menjadi pecahan yang lancip.
Aku mendekati papaku menahannya agar tidak mengambil uang dari kasir. Tapi aku gagal. Papa mendorongku hingga terjatuh.
Dia membuka mesin kasir dan mengambil semua uang yang ada di sana.
"Pa, jangan papaaa." Kataku berusaha berdiri dan memegangi papaku. Beberapa pegawai ku juga memeganginya agar tidak pergi. Tapi papa malah melukai satu pegawaiku yang membuat pegawai lainnya tidak berani mendekat.
"Pa jangan paaa. Jangan di bawa semua nanti Nana gimana jualan nya. Paaa." Aku memeluk lengan papa agar tidak berjalan menjauh tapi dengan tenaganya aku di dorong dan terlempar lagi hingga mengenai kursi.
Caffeku sudah berantakan. Uangnya di ambil papa. Apa yang harus aku lakukan. Aku mengusap kepalaku yang terasa nyeri dan menatap tanganku yang ternyata basah karna darah.
Aku menangis. Aku bingung. Aku harus gimana.
"Paaa, jangan pergi paaaaa. Papaaaaa." Aku menangis menatap papaku yang sudah menjauh dan tak nampak lagi.
"Nana harus gimana." Aku menangis sejadi jadinya. Gajian bulan depan tinggal 3 hari lagi. Gimana aku mau bayar gaji mereka.
"Mamaaaa, tolong Nana. Nana harus gimana maaaa... Mama kenapa tinggalin Nana. Nana kangen mama." Aku menangis lagi, dua orang karyawan ku memelukku dari belakang.
"Mba Nana sabar yaaaa." Mereka juga menangis menatapku. Mereka memelukku menguatkanku.
"Maafin aku yaaa." Kataku yang menatap mereka lalu teringat jika satu pegawaiku terluka.
Dengan sisa kekuatanku aku berdiri menghampiri Neno yang terluka karna pecahan gelas kaca.
"Ayo kita ke rumah sakit Neno. Tangan kamu ini lumayan lebar lukanya. Ayo ayo, ke rumah sakit." aku memberikan kunci mobil pada Adam dan menatap pegawaiku yang lain.
"Yang lain boleh pulang yaaa. Maaf kalian ngalamin insiden kaya gini." aku segera menghampiri pelanggan yang masih ada di caffeku.
"Kepada semua pengunjung yang sudah datang dan harus melihat kejadian yang tidak menyenangkan tadi saya mohon maaf sedalam dalamnya. Saya benar benar minta maaf karna membuat kalian harus melihat hal hal tidak menyenangkan.
Jika ada yang terluka boleh mari biar kita sama sama ke rumah sakit." Kataku pada pembeli yang tampaknya masih terkejut mengenai kejadian ini.
Aku segera ke dapur meminta beberapa pegawaiku untuk memberi air pada beberapa pengunjung.
Wajahku masih penuh air mata, tanganku masih bergetar karna hal itu. Kakiku seakan berjalan tanpa bisa ku rasakan.
"Mba Nana, mba juga harus ke rumah sakit. Kepala mba berdarah. Ayo mba." Riska menggandengku keluar caffe.
Aku masuk ke mobil yang sudah berisi Neno dan Adam.
"Ayo kita berangkat sekarang." Ucap Riska pada Adam yang duduk di kursi kemudi.
00
Keesokan harinya...
Pagi pagi sekali sebelum caffe buka aku mengumpulkan semua pegawaiku sebelum caffe buka.
"Selamat pagi semuanya." Aku menarik nafas panjang lalu menghembus kan nya perlahan.
"Pagi mba Nana." Jawab mereka bersemangat.
"Terimakasih banyak saya ucapkan pada kalian semua yang masih mau datang ke sini. Saya mau minta maaf karna kejadian tidak menyenangkan kemarin. Terimakasih banyak karna sudah susun cafe ini dengan rapih sebelum pulang kemarin. Jujur saja aku masih belum ada tenaga untuk buka cafe hari ini. Rasanya aku masih takut kalau tiba tiba papaku datang lagi. Jadi, hari ini aku liburkan kalian besok juga. Jadi datang lagi lusa. Aku tau gimana perasaan kalian kemaren. Aku juga ketakutan. Jadi aku mau kalian istirahat dulu tenang kan pikiran biar pas kita buka lagi kalian sudah fresh." Aku menatap semua pegawai ku.
"Terus semalam aku sudah transfer gaji kalian untuk bulan depan. Jadi aku mau pas masuk lagi kalian sudah bahagia. Sekali lagi aku ucapkan maaf dan terima kasih sebesar besarnya karna kalian masih membantu aku sampai sekarang. Jadi sekarang kalian boleh pulang." Kataku pada mereka dan membungkukkan badan lalu tersenyum pada mereka.
.
.
.
.
.
To be continued....
Nadiapuma
04.06.2020
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!