Air mata Adara menitik saat hakim menggambil keputusan final dan mengetuk palu sebanyak tiga kali menjadi sah nya Adara menyandang status janda di usianya yang tergolong muda, dua puluh lima tahun.
Dadanya terasa sesak, ia tidak menduga hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya.
"Kau harus kuat, ini yang kau inginkan bukan?" Lidia ibunya mengelus pundak putrinya. Ya, benar. Perceraian ini Adara yang menginginkannya. Ia ingin bercerai dari pria yang sudah bersamanya selama tujuh tahun.
Adara mengangguk, tidak ingin terlihat lemah, ia menyeka air matanya sekaligus menarik napas panjang lalu menghembuskanya kasar.
"Ayo pulang," ujarnya, keluar dari bangkunya dan berbalik melihat ruangan itu sudah kosong hanya menyisahkan satu orang yang masih duduk menunduk tampak lelah.
Rion Emirat, mantan suaminya terhitung dari hari ini.
"Kau ingin mengatakan sesuatu padanya?" Tanya Lidia, Adara menggelengkan kepala lalu berjalan melewati Rion.
"Dara," suara itu menghentika langkah Adara. pria itu bangun dari duduknya dan menghampiri.
"Mama tunggu di parkiran," Lidia mengelus lengan Adara memberi waktu buat pasangan yang baru saja bercerai itu berbincang.
Sebelum Lidia keluar ia tersenyum simpul pada Rion dan begitupun dengan mantan menantunya itu.
"Maafkan aku jika selama kita menikah aku membuatmu kecewa," ujar Rion, pria itu terlihat kurus dengan lingkaran mata menghitam.
Adara tersenyum menggelengkan kepala."Tidak aku selalu bahagia kok bersamamu." Demi Tuhan alasan apa itu? jika Adara bahagia kenapa perceraian itu terjadi.
Hanya saja aku harus mengakhiri hubungan kita Rion, akulah yang telah mengecewakanmu. Batinya menahan perih dalam hati.
Rion menggelengkan kepala, "selama menikah denganmu tidak ada kata mengecewakan darimu, Adara. Akulah penyebab hubungan kita berakhir begini." Rion menunduk.
Saling menyalahkan diri masing-masing, tapi apa itu penting sekarang? Tidak! keputusan yang mereka ambil sudah final meski sakit mencekik hati keduanya.
Ruangan itu hening sejenak, tanpa Adara sadari bongkahan air mata sudah siap meluap dari netranya yang indah.
"Setelah ini apa rencanamu?" Adara menggeleng lalu terkekeh ringan. Ia bahkan belum memikirkan kehidupannya kedepan.
"Entahlah, mungkin aku akan mengambil alih kafe yang kau berikan padaku," katanya berusaha tegar.
"Apa aku bisa datang kesana?" Rion terkekeh " maksudku sebagai pelanggan." Tambahnya canggung.
"Tentu, kau akan menjadi tamu special di sana." Mereka saling tertawa kecil lalu kemudian raut sedih tersirat pada keduanya.
"Terima kasih, Adara." gumam Rion. Menggigit bibir bawanya, menahan supaya tidak bergetar saat mengucapkan kata-katanya.
"Adara, semoga hidupmu bahagia dan kau harus bahagia. Oke!" katanya dengan nada memerintah.
"Jangan berkencan dengan pria sembarangan. Tapi berkencanlah pada pria yang rela melakukan apapun untukmu." Ucapnya tidak dapat lagi menahan air matanya. Hatinya sangat sakit cintanya masih sangat besar untuk Adara.
Adara mengangguk, "Kau juga harus hidup bahagia Rion, aku mendoakan yang terbaik untukmu." Adara menyeka air matanya.
"Pelukan terakhir, aku mohon ...," Rion menatap Adara dan mantan istrinya itu ragu-ragu sebelum kemudian mengangguk. Rion melangkah dan langsung memeluk Adara erat, menagis di bahu Adara. Adara membalas pelukan itu. Aroma tubuh dan kehangatan Rion masih sama saat pria itu menjadi suaminya. Dia teramat merindukan lelaki itu.
🍁🍁🍁🍁
Bangunlah dari kesedihanmu, anggkat kepalamu kembali seperti sedia kala. Jangan menenggelamkan dirimu terlalu dalam pada kesedihan itu. begitu banyak nasihat yang diterima Adara setelah resmi bercerai, terutama dari Lidia. Tapi percayalah saat kita sibuk pada kesedihan. Nasihat itu akan terdengar sangat menjengkelkan.
Adara menyibukkan diri bekerja di kafe yang diberikan Rion kepadanya, dua tahun yang lalu sebagai hadiah pernikahan dari Rion.
Ini kali pertama Adara keluar dari rumah setelah mengurung diri di dalam rumahnya. Menghabiskan air matanya meratapi betapa malangnya dirinya.
Adara memberinya di kelola teman dekatnya, Jie. Dan sekarang Adara mengambil alih tapi tetap memperkerjakan Jie disana.
"Dara, cukup kau sudah melap itu tiga kali," kata Jie, melihat Adara ngelap meja berulang kali.
Perempuan itu menjengkelkan seolah ingin membunuh diri sendiri dengan cara bekerja tanpa henti.
"Benarkah?" Tanyanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jie bersidekap sembari menggeleng- ngelengkan kepalanya.
"Kau masih merindukannya?" tebak Jie dan secepat kilat Adara menggelengkan kepala lalu duduk di salah satu bangku dan menangis.
"Dara ...," Jie memeluk Adara, membiarkan temannya itu menangis di bahunya. "Baiklah, kau bisa menangis sebelum kita menutup kafe ini." Jie mengelus pundak Adara lembut.
"Aku merindukannya, Jie. Aku sangat merindukannya. Aku harus bagaimana? Hiks ...." Isaknya memeluk erat Jie. Tiga bulan perpisahan itu dan wajah Rion masih membayanginya.
Rion memasuki kamarnya, masih sama seperti biasa. Dekorasi yang terang, photo pernikahannya masih terpajang rapi di dinding. Sudah tiga bulan setelah perceraian itu terjadi ia belum bisa melupakan Adara.
Rion menyibak tirai, membuka balkon menatap langit yang gelap tanpa bintang. Hatinya hampa tanpa cintanya di kamar ini. Ia rindu kehangatan yang dulu.
Rion melihat bangku di balkon. Disanalah mereka sering memadu kasih. Adara membaca novel dan Rion iseng menggoda, berbaring berbantalkan paha istrinya. Kadang juga di balkon ini mereka bertengkar hanya karena masalah kecil dan berakhir mesra di tempat tidur. Ribuan kenangan indah tercipta di balkon dan kamar itu.
Adara aku merindukanmu ....
"Rion kau pulang, Nak?" Begitu mengetahui Rion pulang dari pelayan di rumah itu. Hana langsung menuju kamar Rion. Membuka pintu dan menghampiri putranya itu yang kini berdiri menatap potret pernikahannya dengan Adara.
"Mmm," gumam Rion menolehkan kepala lalu kembali menatap potret di sana. Hana menghela napas panjang. Melihat betapa Rion masih mencintai Adara dan masih belum bisa melupakan mantan istrinya itu.
"Kau belum bisa melupakannya?" Tanya Hana memecah keheningan melihat isi kamar yang tidak berubah setelah mereka bercerai.
Rion tersenyum menyembunyikan rasa sedihnya. "Masih mencoba, Ma."
"Mama juga merindukannya, tapi ... aah ya ampun." Hana menghela napas panjang, hatinya sakit. Jujur dalam hati wanita empat puluh lima tahun itu masih sangat menginginkan Adara tetap bersama putranya ini.
"Dia menantu yang baik kan, Ma?" Hana mengangguk setuju.
"Akhir-akhir ini mama merasa kesepian tinggal di rumah ini, Rion." Hana menepuk pelan bahu Rion sembari berjalan, duduk si tepian ranjang. Rion masih berdiri menatap potret itu.
"Kapan kau membawa Calista kesini," tanyanya hati-hati menatap Rion yang sudah melihatnya.
"Dengar, mama juga tidak terlalu menyukai Calista, tapi mama tetap akan menerimanya sebagai menantu kan, Ion?" Hana memejamkan matanya sekejab. " Dia mengandung bayimu, darah dagingmu, kau tidak boleh melupakan itu," Tambahnya diakhiri helaan napas panjang.
Rion tampak berpikir, menimbang apa yang di katakan Hana. "Baiklah, aku akan membawanya ke rumah." gumam Rion.
Hana sedikit kaget mendengarnya. karena setelah menikahi Calista pria itu tidak berniat membawanya pulang dan lebih memilih membeli sebuah apartemen di tengah kota untuknya dan Calista. Rion pulang hanya sesekali dan langsung masuk kedalam kamarnya kemudian pulang ke Apartemen.
Pria berparas tampan itu keluar dari kamar, menuruni anak tangga ke ruang tamu.
"Lulu ...," Panggilnya memanggil pelayan di rumah itu.
"Iya tuan," Lulu menghampiri cepat meninggalkan pekerjaanya di dapur.
"Tolong rapikan kamar itu," unjuk Rion pada salah satu kamar yang ada di lantai atas. "Dekor seperti biasa dan usahakan selesai secepatnya, kamar itu akan di tempati." pelayan itu mengangguk mengiyakan, mengerutkan dahi, bertanya -tanya dalam hati siapa yang akan menempati kamar itu.
Begitupun dengan Hana yang menyaksikan dari atas saat keluar kamar Rion, "untuk apa Rion membersihkan kamar itu?" tanya Hana pada dirinya sendiri, menatap punggung Rion keluar dari ruang keluarga.
Bersambung ...
Jie mengantar Adara pulang ke rumahnya, wanita melajang itu tengah mabuk. Jie sudah berusaha melarangnya tapi Adara mengabaikan hingga menegak dan membiarkan minuman keras itu membakar tenggorokannya.
Ting.
Jie menekan bel dan beberapa menit menunggu Lidia membukakan pintu.
"Dara," gumam Lidia membantu menopang tubuh Adara yang sempoyongan. "Maaf sudah merepotkanmu, Jie." kata Lidia, seraya menahan tubuh Adara dalam dekapannya.
"Tidak apa -apa Bibi sudah tanggung jawabku sebagai temannya." Lidia mengangguk. "Aku pulang ya," tambahnya mengembalikan kunci mobil Adara.
"Bawa saja mobilnya, kau mau jalan kaki? Taksi di jam segini juga sulit." Benar malam sudah tua, bahkan bisa di katakan sudah dini hari.
"Baiklah Bibi, besok aku akan kesini menjemput Dara." Lidia mengangguk dan gadis itu meninggalkan tempat itu.
"Si sialan ini, menyusahkan saja. Kau mau mati? Mau mati? Ah ...!" Teriak Lidia begitu menutup pintu.
"Mama, jangan teriak di telingaku. Kau bisa menambah cacat pada diriku nanti."
"Apa? Dasar! Dasar anak sialan!" Lidia mendorong tubuh Adara hingga terjatuh ke lantai. "Kalau kau ingin mati kenapa tidak mati di rumah mantan suamimu itu, hah! Jangan di rumahku Dara!" Teriaknya kesal. " Kau! Setiap hari mabuk dan menyiksa dirimu, kau benar-benar membuatku kesal, seolah tidak ada masa depan!"
Adara tertawa menggema di ruang tamu itu. "Masa depan? Masa depan apa yang mama bicarakan? Aku sudah kehilangan itu sejak hari itu dan tidak ada masa depan lagi."
"Astaga ...." Lidia berkacak pinggang menahan emosinya yang membuncah.
"Yang kau hadapi adalah perceraian bukan kematian, Dara. Dijaman sekarang bercerai bukan lagi aib. Jangan membunuh dirimu hanya karena masalah itu." Perkataan yang lugas tapi sulit untuk memenuhinya.
"Bercerai sama halnya dengan kematian bagiku, Ma. Andai saja hanya perceraian itu yang kuhadapi. Ta~pi kenyataan pahit malah menghampiriku," Tiba-tiba saja Adara terisak, duduk memeluk kedua kakinya merapat ke dada. Lidia turut sedih melihatnya.
"Ayo, mama bantu kau ke kamarmu." katanya, membantu Adara bangun dan menopang membawanya menaiki anak tangga.
"Tidurlah," guman Lidia setelah berhasil membantu Adara berbaring di ranjang. Air mata Lidia menitik, orang tua mana yang tidak hancur melihat kehidupan putrinya yang yaris sempurna hancur seketika.
Lidia hanya berpura-pura buta dan juga menulikan telinganya mendengar pergunjingan mengenai putrinya itu. Hatinya tetap hancur tak terperih.
🍁🍁🍁🍁
Enam bulan yang lalu ...
Rion menyugar rambutnya gusar, pikirannya tidak fokus semenjak kedatangan Calista dan menemuinya di kantornya dan membuatnya tercengang atas pengakuan gadis itu.
Calista sengaja datang setelah mendapatkan alamat kantornya lewat website perusahaannya, padahal Rion sudah berusaha mengabaikannya telpon dan pesan yang dikirim Calista padanya.
"Bukannya kau di Shanghai? Kapan kau datang?" tanya Rion, rautnya pucat kedatangan Calista yang mendadak.
"Rion, kau tidak mengangkat telponku itulah sebabnya aku di negara ini," ujar Calista, menatap Rion dengan jengkel. Masuk dan langsung menempatkan diri di sofa yang ada di ruang kerja Rion.
"Sorry, aku rasa tidak ada alasan untukku mengangkat telponmu. Lagipula kita tidak punya hubungan apa-apa jadi sah-sah saja jika aku mengabaikannya," Calista kecewa mendengarnya.
Ya benar! Mereka tidak punya hubungan selain hubungan satu malam yang tidak di sengaja, dan malam itupun mereka mengakhiri dengan baik.
Calista ingat dan sangat ingat kejadian tiga bulan yang lalu saat Rion berada di Shanghai perjalanan bisnis dan tidak sengaja bertemu dengan Calista.
Malam itu di Shanghai.
"Ma-maafkan aku Calista, i-ini tidak benar. Kita tidak melakukan apapun kan?" Rion panik saat terbangun tanpa sehelai benang di tubuhnya dan Calista tengah menangis sesegukan di sampingnya.
"Maafkan aku ...," pinta Rion seraya mengenakan pakaiannya. Calista menggelengkan kepala kemudian menyeka air matanya. Perawannya telah ia berikan pada pria itu.
"Ini bukan cuma salahmu, aku juga turut disalahkan karena tidak bisa menjaga diri," ucap Calista membungkus tubuhnya dengan selimut dan berjalan ke kamar mandi.
Rion menampar dirinya sendiri, kenapa bisa kehilangan kendali dan berakhir merusak kesucian orang. Senyum Adara terbayang olehnya dan membuatnya semakin merasa bersalah. Rion menonjok dinding hingga tangannya terluka.
Melihat bagaimana Rion menyakiti dirinya, Calista memutuskan untuk tidak mengungkit kejadian ini.
"Cukup, tanganmu bisa patah." Calista menghampiri Rion yang masih melampiaskan kebodohanya pada dinding kamar. Tatapan Rion tersirat kemarahan tapi bukan untuk Calista melainkan pada dirinya sendiri.
"Anggap saja kita tidak pernah bertemu dan masalah ini tidak pernah terjadi." kata Calista, katakanlah gadis itu bodoh tapi kejadian ini juga hanya sebuah kecelakaan. Rion juga teramat mencintai Adara, pria itu tak berhenti membanggakan Adara pada Calista.
"Apa maksudmu?" Rion menoleh pada Calista yang tengah duduk di tepian ranjang.
"Jadikan ini rahasia diantara kita." Calista tersenyum tapi dalam hatinya ia merasa seperti orang terbodoh di dunia ini. Menyerahkan dirinya gratis dan malah meminta untuk melupakan kejadian besar seperti ini. Bukankah seharusnya ini kesempatannya, mendapatkan hati Rion yang tidak pernah ia jangkau di masa lalu? Calista begitu bodoh, melepas medali yang sudah di genggamannya.
Kesepakatan terjalin. Rion kembali ke negara ini dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Tapi sekarang? Lihatlah wanita itu datang dan menemuinya di kantornya sekarang dengan kabar mengejutkan.
"Apa?" tanya Rion dan tidak sengaja ponselnya terlepas dari tangan dan terbanting ke lantai. "kau bilang apa?" tanyanya lagi berharap ia salah dengar.
"Aku hamil," Rion terkekeh lututnya gemetar, ia memilih duduk di meja kerjanya. Menatap Calista seperti orang bodoh.
"Bagaimana bisa?" Rion shock mendengarnya hingga membuat otaknya lupa berpikir bagaimana cara membuat anak.
"Rion. Aku rasa kau belum melupakan kejadian malam itu kan?" Calista mengingatkan.
"Kau yakin Calista?"
"Yakin. Aku sudah berulang melakukan tes dan hasilnya semua sama dua garis merah." Calista mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya.
"Dan untuk memastikannya, aku melakukan tes medis. Dan hasilnya positif jalan tiga bulan." Tambahnya, bangun dari duduknya dan menyerahkan kertas itu pada Rion.
Rion membacanya sekilas. Hasil tes kehamilan yang Calista lakukan di Shanghai. Kepala Rion berdenyut sakit. Ia bingung harus bagaimana.
"Ki-kita hanya sekali melakukannya Calista, apa kau yakin itu darahku?" Calista terkekeh, ia sudah mempersiapkan hatinya untuk itu. Penolakan dan ketidakpercayaan pasti akan ia terima.
"Apa kau pikir aku wanita murahan?" tanya Calista menatap Rion, "Iya mungkin kau menganggap demikian karena begitu mudah mendapatkan perawanku saat itu kan, Rion?" Calista menahan air matanya yang sudah mengumpul di pelupuk matanya. Ia harus tegar.
"Maafkan aku tapi—"
"Rion, a-andai saja aku tidak hamil aku tidak akan pernah disini, aku tidak akan pernah menemuimu seperti janji kita. Tapi saat ini ada darahmu di tubuhku, aku ingin kau mengetahui itu dan jika kau tidak menginginkannya aku bisa menggugurkannya." ucap Calista menekan di kata 'menggugurkannya' seraya meremas tali tasnya dan bangun dari duduknya hendak keluar.
"Pikirkan baik-baik, jika sudah ada jalan keluarnya hubungi aku." Kata Calista keluar dari ruangan itu. Rion diam membisu di meja kerjanya.
🍁🍁🍁🍁
"Honey ..., Sepenting apa hidupku untukmu?" Malam itu Rion bertaya pada Adara yang sedang duduk dipangkuannya.
"Kenapa kau bertanya?" Adara membelai rahang Rion, sengaja menggoda suaminya itu.
"Aku hanya ingin tahu," Adara terkekeh, mendekatkan wajahnya pada wajah Rion.
"Dalam hidupku kau adalah napasku. Kau tahu seseorang tidak akan hidup tanpa napasnya. Sebesar itulah pentingnya dirimu untukku sayang." Hembusan napas Adara yang hangat membuatnya menengan. Meski pikirannya sedikit terganggu karena pengakuan Calista, tapi hasratnya mengalahkan semuanya saat ini.
Rion menangkup dagu Adara dan menatap istrinya itu lembut. Melabuhkan ciuman hangat di bibir itu, Adara juga membalasnya.
Rion membawa istrinya ke ranjang tanpa melepaskan ciuman itu, membaringkanya pelan. "Aku sangat mencintaimu, Dara." gumam Rion dengan mata berkabut dipenuhi hasrat.
Setelah menyelesaikan urusan ranjang mereka, Rion mendekap Adara dalam pelukannya. Membelai rambut istrinya itu hingga terlelap.
Rion mengingat kembali perkataan Calista.
Jika kau tidak menginginkannya aku bisa menggugurkannya.
Rion terpejam, menahan napas. Perlahan menarik lengannya yang dijadikan bantalan Adara. Mencium lembut kening Adara. maafkan aku Honey batinnya dan istrinya itu berbalik meringkuk. Rion turun dari ranjangnya mengambil piyama serupa jubah dan mengenakannya. Menyibak tirai menatap keluar rumah.
"Apa yang harus aku lakukan? Jika Adara tahu masalah ini habislah hidupku. Tapi bayi itu ...." Rion memejamkan matanya, gelisah dan rasanya ingin berteriak melepas beban dari pikirannya.
Bersambung ....
"Rion sudah berangkat kerja, Dara?" Hana ibu mertuanya bertanya menghampiri Adara yang sedang menyiram tanaman di depan rumah.
"Sudah ma, kenapa?" Hana menggelengkan kepala, Adara kembali menyibukkan diri dengan bunga-bunganya.
"Dara," panggil Hana mengalihkan perhatian Adara lagi. "Apa kita bisa bicara sebentar sayang?" Dari nada bicaranya sepertinya Hana ingin membicarakan sesuatu yang penting. Adara mengangguk, meletakkan selang dan berjalan mematikan airnya. Kemudian mengikuti langkah mertuanya itu ke kamarnya.
"Duduklah," ujar Hana sembari menempatkan diri di sofa.
"Mama ingin mengatakan sesuatu?" tanya Adara dan di angguki ibu mertuanya.
"Dara, bagaimana kalau kita cari ...," Hana merasa ragu, membawa tangannya memijit pangkal hidungnya, mengumpulkan keberaniannya lalu berujar, "penyewa rahim." Gumamnya, melihat Adara.
Menantunya itu bergeming, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.
"Maaf ini terdengar konyol tapi kita bisa mencobanya kan, Dara?" Adara menggigit bibirnya, dadanya terasa penuh.
"Apa ..., mama merasa kalau aku tidak bisa mengandung anakku sendiri?" tanya Adara berusaha menatap Hana tenang.
"Tapi Dara, kita sudah menungga lama untuk itu," Adara tersenyum, merasakan getir dalam hatinya.
"Yah, mama benar tapi rekam medis ku mengatakan kalau aku baik-baik saja. Lalu kenapa aku harus menyewa rahim untuk tempat tinggal bayiku?"
Hana menghela napas panjang, tujuh tahun pernikahan Adara dengan Rion putranya belum juga di hadiahi keturunan. Adara benar, rekam medis kesehatan menantu dan putranya itu tidak ada masalah mengenai kesuburan.
Dua tahun yang lalu mereka melakukan tes kesuburan dan hasilnya memang bagus.
"Maafkan mama Dara, hanya saja mama merasa semakin tua dan ingin segera menimang cucu," katanya seolah perkataanya tadi hanya lelucon yang bisa di hilangkan secara otomatis dari memori otak Adara.
Dara tahu, mama menginginkan seorang cucu yang akan meneruskan keturunan Emirat. Dara juga merindukan itu mama ...tapi bukankah berlebihan menyewa rahim orang lain. Rahimku baik-baik saja, Mama.
Adara terpejam seraya mengangguk, "Dara mohon supaya mama bersabar. Jika dalam tahun ini Dara belum juga hamil, kami akan lakukan Metode tabung." ujar Adara.
Hana merasa bersalah, ia bangun dari duduknya dan menghampiri Adara. Mengambil tangan menantunya itu lalu mengelusnya lembut.
"Mama minta maaf, mama tidak bermaksud menyakiti perasaanmu." Hana menggelengkan kepalanya. Betapa bodohnya dirinya setelah kemarin ia membaca mengenai penyewa rahim dalam sebuah artikel dalam ponselnya dan berpikir ingin menggunakan cara itu untuk Adara.
Bodohnya diriku, Dara tidak bermasalah pada rahimnya kenapa juga aku mengatakan hal semacam ini. Hana mengutuk dirinya sendiri.
"Baiklah, mama akan menunggunya." katanya membelai rambut Adara mengambil hati menantunya kembali.
______________________________________________
"Kau sudah makan siang?" Rion yang sedang melamun di meja kerjanya di kejutkan kedatangan Adara.
"Honey kau datang? Belum, kau membawakan makan siangku?" Rion menarik tangan Adara dan menempatkannya dalam pangkuanya.
"Sayang jangan begini, ini kantor bukan kamarmu. Bagaimana kalau stafmu datang?" Protes Adara tetapi ia sendiri melingkarkan tangannya di leher suaminya itu. Kelakuan sama perkataan tidak sejalan. Rion terkekeh mencubit hidung mancung Adara.
"Mana makan siangku?" Biasanya Adara jika berkunjung di jam makan siang selalu membawakan makanan untuk suaminya itu tapi kali ini tangan wanitanya itu kosong.
"Apa kau tidak merasa bosan dengan masakanku?" Adara berbisik lima inci di depan wajah Rion.
Rion menggelang, "tidak sama sekali, Muah." Rion mengecup pucuk kepala istrinya mesra.
"Ayolah, kita makan siang di luar aku ingin makan makanan mahal."
Rion terkekeh, "siapa yang membuatmu kesal?" Rion sangat mengenal istrinya itu dan salah satu kebiasanya jika kesal ia akan memesan makanan yang paling mahal di satu restoran mewah dan hanya menatapnya tanpa memakannya. Cukup aneh. Tapi begitulah cara Adara meluapkan emosinya.
"Kau tidak perlu tahu," bisik Adara membelai rahang Rion lembut.
Adara tidak ingin mengatakan kalau ia kesal kepada mertuanya itu, "Ayo ...," ajaknya manja turun dari pangkuan Rion.
"Baiklah, kita jalan." Rion bangkit dari dudunya seraya mengantongi ponselnya.
______________________________________________
Calista tidak pernah lepas dari ponselnya, ia sangat berharap Rion menghubunginya dan mengambil keputusan yang tidak menyakiti hatinya. Pelan ia mengusap perutnya yang masih datar.
"Bagaimana kalau dia tidak menginginkanmu?" Tanyanya melihat perutnya itu. Ia menghela napas tanpa sadar ait matanya menitik.
"Apa yang harus aku lakukan padamu?" Tertawa menertawakan dirinya yang bodoh.
Kenapa kau tumbuh, kau hanya sebuah kesalahan. batinya menyatukan kedua kakinya dan memeluknya erat meratapi nasibnya.
Calista tinggal di sebuah kamar yang ia sewa untuk sementara. Calista bahkan tidak mengatakan kepulangannya pada kedua orang tuanya. Calista tidak punya alasan untuk itu. Ia juga tidak mungkin mengatakan kalau dirinya hamil. Bisa murka kedua orang tuanya yang di kenal sebagai orang taat beragama di lingkungan mereka. Calista tidak ingin mempermalukan orang tuanya yang sudah susah payah membesarkannya.
_____________________________________________
Adara refleks mengelus perutnya saat melihat wanita hamil, duduk di samping meja makan mereka. Rasa sedih tersirat di mata wanita itu, kenapa hingga saat ini mereka belum juga di karunia anak.
Rion menyadari hal itu, dan mengakhiri makan siangnya, menyedot air minumnya kemudian menggenggam satu tangan Adara yang ada di atas meja. Adara yang sibuk dengan pikirannya merasa terkejut.
"Kita pulang?" tanya Rion, ia tahu Adara pasti iri pada wanita hamil yang tak jauh dari tempat mereka makan.
"Kau sudah selesai?" Adara mengerutkan kening setengah makan siang Rion masih tersisa. "Apa makanannya tidak enak?"
"Aku sudah kenyang Honey, tadi di kantor sempat minum kopi." Rion berasalan.
Adara melihat makananya sendiri yang belum tersentuh, Rion berdecak "dasar kau ini," ujar Rion menarik tangan Adara keluar dari meja makan.
Saat Adara dan Rion berada di parkiran ada sepasang kekasih yang bertengkar tepat di depan mobil mereka.
"Aku bilang ayo kita putus!" Teriak gadis berambut keunguan itu pada pria dihadapannya.
"Jangan begini, lalu bagaimana dengan bayi ini," pria itu mencoba menangkan sembari menatap perut sang pacar.
"Kau khawatir? Kalau begitu nikahi aku brengkse dan ceraikan istrimu." Teriak gadis itu menangis memeluk kekasihnya.
Spontan Rion mengeratkan genggaman tangannya pada Adara, membuat istrinya itu meringis sakit. Ada rasa gundah menyergap dalam hatinya. Memposisikan dirinya pada pria yang tengah merayu kekasihnya itu. Lalu dalam pikiran Rion.
Apa yang terjadi selanjutnya? Mungkinkah pria itu menyanggupi permintaan pacarnya? Tidak! aku tidak sama dengan pria itu, hubunganku dengan Calista hanya satu malam dan sialanya perempuan itu hamil.
"Sayang sakit," Adara mengaduh, sembari menepuk lengan Rion membuat pria itu terkesiap.
"Sorry honey ...," Adara mengerutkan keningnya melihat suaminya itu, yang masih melihat kearah pasangan yang sudah berdamai di depan mobil mereka. Adara menghembuskan napas panjang.
"Sayang ..., sampai kapan kita berdiri disini?" Adara menarik tangan Rion mendekati mobilnya setelah pasangan bertengkar itu pergi.
"Dasar pria brengsek," gumam Adara seraya membuka pintu mobilnya dan masuk.
"Sudah tahu punya istri masih saja lirik wanita lain." gerutu Adara.
"Mak- maksudnya siapa sayang?" Rion yang belum fokus dan kebingungan saat Adara mengerutu.
"Siapa lagi? Pria tadi! Tega-teganya ia selingkuh sampai menghamili anak orang. Kalau aku istrinya? Akan kutenggelamkan ke laut biar mati sekalian." Rion melihat Adara yang berapi-api seolah kejadian itu menimpa dirinya.
"Mmm, jangan marah begitu." gumam Rion menjalankan mobilnya.
"Aku bersyukur punya suami seperti kamu. Sayang kau janji ya jangan pernah melakukan hal memalukan seperti itu." Adara menempelkan telapak tangannya di sisi wajah Rion dan pria itu mengangguk seraya menelan salivanya susah payah.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!