Jantungnya seperti di peras tanpa tersisa, bagaikan parutan kelapa yang tak lagi ada air putihnya. Hidupnya dalam sedetik hancur lebur. Dia di hadapkan oleh kenyataan pahit di mana ia harus mendengarkan seorang wanita mengaku wanita masa lalu suaminya dan memiliki anak.
Dia menatap anak itu, wajahnya memang sama persis. Sudah cukup baginya lima tahun ini dia mengabdikan cinta seluruhnya untuk suaminya. Sekalipun suaminya tidak pernah menatapnya, ia percaya kalau suaminya akan mencintainya. Tapi sayang, kehadiran anaknya pun hanya kesalahan satu malam. Kini anaknya berumur 2 tahun. Dia di karuniai seorang anak laki-laki.
"Maaf, aku datang bukan untuk menghancurkan pernikahan kalian. Tapi aku sadar, putra ku juga membutuhkan ayahnya. Selama ini aku bersembunyi demi nama baik putra ku."
"Kenapa anda baru datang sekarang? kenapa anda tidak datang sebelum pernikahan saya dan suami saya terjadi?"
Wanita memakai dress selutut itu pun mengusap pucuk kepala anaknya. "Aku tidak ingin menghancurkan rumah tangga kalian."
Dadanya naik turun menahan emosi, hatinya di luluh lantahkan dalam sekejap. Kehidupan yang ia idam-idamkan kini hancur seketika. Seluruhnya tubuhnya terasa panas dingin, hati yang hancur itu bagaikan sengatan listrik menarik semua urat-uratnya.
"Lalu anda sekarang datang dan menurut anda semua ini tidak menghancurkan?"
Binar menatap nanar ke arah wanita itu. Tidak ada seorang wanita yang ingin melihat suaminya bersama wanita lain, sekarang ia benar-benar hancur.
"Kalau anda tidak percaya, anda bisa membuktikannya. Anda boleh melakukan tes DNA."
Iya benar, untuk membuktikannya, ia harus membuat suaminya test DNA, tapi ia ragu, wajahnya sangat mirip dengan wajah suaminya.
"Aku tidak peduli, ini urusan anda dengan suami saya."
Binar beranjak, dia pun lelah dan tidak kuat lagi melanjutkan pembicaraannya.
"Tunggu, apa anda tidak mencintai Adam?"
Seketika langkah Binar berhenti, mencintai? hanya dirinya yang mencintai suaminya dan cintanya bertepuk sebelah tangan. Kini ia mengerti, suaminya begitu dingin karena masa lalunya.
Binar pun memutar tubuhnya. Dia mengepalkan kedua tangannya. "Kau ingin tahu pernikahan ku? pernikahan apa yang aku jalani selama ini? demi seorang wanita yang sangat mencintai adik-adik ku."
"Aku, Clarissa Binar mencintai suami yang tidak mencintai ku, mengabdi untuk suami ku. Hingga aku di karunia anak, dia tetap tidak mencintai ku dan anak itu, menurutnya adalah kesalahan."
Kedua penglihatannya mulai meremang, air matanya siap meluncur bebas. "Karena kau sudah datang, aku menyerah. Aku kembalikan dia pada mu."
Binar berbalik dan bersamaan dengan air matanya yang mengalir deras. Ia menahan tangisnya agar tidak pecah dalam sekejap, ia memegang ujung pembatas tangga itu. Kedua kakinya bergetar saat ingin menaiki anak tangga itu.
Dia pun memaksa langkahnya, tanpa ia sadari kakinya keseleo. Dia menggenggam erat pagar pembatas tangga itu, mencoba untuk kuat dan berdiri.
Dia memikirkan senyuman anaknya Abra, kini mereka benar-benar akan tersingkir tanpa sisa. Dia pun membuka pintu kamarnya, terlihat anaknya yang tidur sangat pulas dalam keadaan terlentang. Dia duduk di tepi ranjang itu, tangis yang ia tahan kini pecah.
Dia meremas dadanya yang terasa perih, sakit, nyilu dan sesak itu yang kini bercampur aduk. Ia menangis sejadi-jadinya dan menahan isaknya agar tidak membangunkan putranya.
Tangannya gemetar mengusap wajah putra semata wayangnya itu, ia tidak tahu lagi pada akhirnya. Haruskan ia bertahan atau justru melangkah pergi?
Suara deruan mobil memasuki pekarangan rumah, Adam membuka pintu mobilnya, dia pun melangkah dengan lelah yang di pikulnya. Merenteng tas kerjanya sambil menghembuskan nafas kasarnya.
Dia pun membuka pintu kokoh bercat putih itu, setiap malam pasti istrinya akan menyambutnya dan akan menanyakan apa saja, hal itulah yang membuatnya bosan. Istrinya sangat cerewet dan membuat telinganya berdengung.
Krek
"Aku sudah makan," ucap Adam tanpa menatap siapa wanita di hadapannya.
Wanita itu mengepalkan kedua tangannya, air matanya mengalir deras, ia sangat merindukan pria di hadapannya, tanpa berpikir panjang ia langsung memeluk erat pria yang ia tangisi setiap malamnya.
Adam membeku, ia kenal dengan wangi tubuh ini. Wanita yang selalu ia rindukan setiap saat.
"Adam,"
Jantungnya berdebar-debar, kedua mata Adam mengembum. Ingatan demi ingatan bagaikan kaset yang berputar dalam pikirannya. Untuk saat ini, tubuhnya bagaikan es batu, tenggorokannya terasa kering.
"Aku merindukan mu, Adam."
"Ay,"
Wanita yang di sapa Ayu itu mengurai pelukannya, dia mengangkat wajahnya, merangkup wajah Adam. Wajah yang selalu ia rindukan setiap malamnya. "Ini aku," lirihnya.
Cup
Ayu sedikit berjinjit, mengecup singkat bibir Adam, tidak ada penolakan dari Adam, ia cukup senang dan kembali memeluk Adam.
Adam mengurai pelukannya, dia memundurkan langkahnya. "Kenapa kau kesini?" tanya Adam dengan mata memerah. Sebisa mungkin dia menahan emosinya.
"Adam, maafkan aku, aku mohon. dengarkan penjelasan ku dulu." Ayu meraih tangan Adam, namun pria itu langsung menepis tangan Ayu.
Wanita itu tidak menyerah, ia yakin Adam masih mencintainya sama sepertinya. "Lihat,"
Dia menunjuk ke arah sofa, putranya dan putra Adam. "Dia putra kita,"
Jeder
Bagaikan di sambar petir, Adam menganga, ia tidak percaya kalau dirinya memiliki anak dengan masa lalunya.
"Saat itu, saat aku pergi, dia tumbuh di rahim ku." Ayu mengelus perutnya. "Aku kesini ingin mempertemukan mu dengannya," imbuhnya.
Adam mengusap kepalanya dan tidak percaya apa yang di katakan oleh wanita di depannya. "Jangan merancau, aku tidak percaya," ucap Adam dengan dingin. Rahangnya mengeras, giginya bergemelatuk. "Dia pasti anak orang lain kan?"
Ayu menggeleng, anaknya murni dari Adam, pria yang ia cintai. "Kau tidak percaya?" Hatinya sangat sakit saat Adam menuduhnya yang tidak-tidak. "Kalau kau tidak percaya, kau bisa membuktikannya, kau bisa test DNA."
"Emm ... "
Bocah itu terbangun dari tidur pulasnya, dia merasa terganggu dengan suara keributan. "Mama,"
Bocah itu menatap Ayu, kemudian beralih pada pria di depannya yang tampak shok. Dia pun tersenyum dan langsung turun dari sofa itu, berlari memeluk kaki Adam.
"Papa," ucapnya sambil memeluk erat. Dia ingat, wajahnya persis dengan foto yang selalu di ceritakan oleh ibunya. "Andra rindu Papa," imbuhnya lagi.
Bertahun-tahun ia merindukan sosok ayah, selalu menanti sang ayah akan menemui dan berharap seperti keluarga lainnya yang utuh, ia ingin bermain dengan ayahnya seperti teman-temannya yang lain.
Adam seakan hilang arah, ia terkejut dengan suami hadiah ini. Apa yang selama ini mantan kekasihnya sembunyikan?
"Aku akan menceritakan semuanya, kau jangan marah."
Adam menyerah, benar, ia memang menunggu alasan wanitanya pergi. Dia ingin mendengarkan langsung.
***
Andra terus menempeli Adam, Ayu mengajaknya jangan mendekati Adam yang masih shoc. Namun bocah itu tidak mau, ia meminta duduk dekat adam sambil bergelanyut manja di lengannya.
"Ibu mu yang melakukan semua ini?"
Adam mengepalkan kedua tangannya. "Jangan berbicara omong kosong!" bentak Adam tidak terima.
Ayu tersenyum miris. Ia masih ingat beberapa tahun lalu. Seorang wanita datang padanya dan menawarkan beberapa uang.
"Maafkan aku, tapi ini kenyataannya. Aku tahu ini menyakitkan, pada saat itu aku butuh uang untuk pengobatan ayah ku."
"Ibu mu menawarkannya, membiyayai pengobatan ayah, dengan syarat aku berpisah dengan mu, meninggalkan mu."
Deg
Hati Adam begitu nyeri, dia tidak percaya apa yang di katakan oleh wanita di depannya. Ibunya penyayang, bahkan dengan Binar saja menjadikan menantu kesayangannya.
"Tanyakan pada kedua orang tua mu, tanyakan pada mereka. Tetapi yang aku lakukan semuanya sia-sia, ayah ku tidak bisa di selamatkan."
Dada Adam naik turun, jantungnya seakan berhenti. Dia pun bangkit tanpa memperdulikan bocah di sampingnya.
"Inilah kenyataannya, aku menyembunyikannya karena aku takut kau akan kesakitan."
Adam menggeleng, dia melangkah pergi tidak perduli dengan bocah yang memanggilnya. Hatinya seakan di hantam oleh tombak es, di bekukan lalu di hancurkan. Satu kenyataan ini membuat hidupnya seakan runtuh dalam sekejap.
Sedangkan Ayu, dia menangis terisak sambil memeluk putranya. Sangat sakit, perpisahan itu hampir membuatnya tidak bertahan hidup, tapi kemudian anugerah terindah datang padanya. Iya, putranya Andra, dialah penyemangat hidupnya.
Derasnya air hujan dan cahaya yang membelah langit menyertai hati ketiga orang itu. Malam semakin dingin, namun hati ketiga orang itu semakin panas.
Dalam hidup ini, Binar tidak pernah merasakan hatinya seremuk ini, sesakit ini, bertahun-tahun mengharapkan cinta suami, saat ingin menyerah. Abra datang padanya, seakan menjadi semangat untuk meraih cinta suaminya, tapi perjalanannya masih jauh. Kedatangan Abra tidak membawa dampak, suaminya masih berkata dingin dan hampir tidak pernah menjawab semua pertanyaannya dan perkataannya.
Binar menoleh pada sosok anak kecil yang sedang tertidur pulas dengan tangan terentang, wajah yang sama persis dengan suaminya. Wajah yang selalu cintai.
"Kau ingin bunda seperti apa sayang? haruskah kita bertahan? tapi sepertinya kita tidak memiliki ruang."
Binar mengusap kedua belah pipinya yang selalu basah karena derasnya air matanya.
Ia sudah memikirkan matang-matang, kalau ia bertahan dan Adam tidak mencintai Abra, maka putranya akan ikut sakit.
"Maafkan bunda kalau akhirnya harus memisahkan mu dengan ayah mu."
"Percayalah, bunda melakukan semua ini untuk Abra." Binar mengelus tangan lembut Abra dengan jari telunjuknya. Tangan yang sangat empuk dan lembut.
***
Sedangkan Adam, pria itu memukul dinding, air matanya dan keringat di dahinya bercucuran, rambutnya acak-acakan, kemejanya dasinya pun kusut. Kenyataan ini bagaikan tamparan padanya, bagaimana bisa orang tuanya melakukan ini padanya.
Padahal Ayu sangat baik, dia gadis yang sederhana dan murah tersenyum.
Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya kalau semuanya benar, orang tuanya terlibat dalam hubungannya dan Andra adalah putranya.
***
Sedangkan Ayu, dia menangis sesegukan di kamar sempit, duduk sambil memeluk bantal dan mengingat semua kenangannya bersama Adam. Ia memberanikan diri karena ingin bahagia, apa lagi Andra butuh Adam. Ia merasa kasihan pada Andra saat anak lainnya mengatainya anak haram. Ia tidak bisa diam saja.
Lagi pula, ia yakin kekuatan cinta mereka bisa meluluhkan hati kedua orang tua Adam, apa lagi sekarang ada Andra.
"Aku sangat mencintai mu, Adam."
Ayu menoleh, menatap sebuah foto di sampingnya. Sebuah kenangan yang tak pernah ia lupakan.
Ketiga orang itu pun hanyut dalam pikiran masing-masing dan kini waktu telah berganti. Sinar matahari mulai meninggi, sebuah ketukan pintu membuat lamunan Binar sadar.
"Nyonya," sapa seorang Art. "Sarapannya sudah siap?"
Binar mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke arah dinding. Waktu menunjuk pukul 07.30, ternyata sudah pagi, karena hanyut dalam pikirannya. Dia tidak menyadari kalau malam telah tergantikan waktu pagi.
"Iya, aku nanti turun."
"Nyonya," seorang Art lainnya pun datang, terlihat dia terburu-buru menghampirinya. "Di ruang tamu ada Nyonya dan Tuan."
"Apa Adam yang menghubungi mereka?"
"Yuni, kau jaga Abra. Aku akan menemui mereka," ucap Binar. Ia harus kuat, ia harus lemah. Hatinya masih sakit, tapi demi putranya ia akan melakukan apa saja, termasuk menguatkan diri yang saat ini dirinya berada di titik terendah.
Binar melangkah dengan cepat, dia pun sampai di ruang tamu dan menyalami kedua mertuanya dengan sopan. Sejenak dia melihat Adam yang menunduk, tangannya mengepal seperti menahan amarah.
"Karena Binar sudah datang, aku ingin menanyakan sesuatu pada Mama dan Papa?" Adam mengangkat wajahnya, memaksakan hatinya yang begitu sakit menatap orang yang membuatnya terluka. "Apa perpisahan ku dengan Ayu ada hubungan dengan Mama dan Papa?" tanya Adam.
Papa Ardey dan Mama Mahira saling adu pandang. Mereka sama-sama terdiam memikirkan sesuatu.
"Kenapa kau menanyakan itu? Ayu meninggalkan mu kan? jadi apa hubungannya dengan kami?" tanya Mama Mahira setenang mungkin.
"Ayu datang kesini dan membawa seorang anak, dia mirip dengan ku."
Mama Mahira dan Papa Ardey terkejut, mereka tidak menyangka kalau Ayu akan datang. Namun, mereka tidak percaya tentang adanya anak. Mereka masih mengingat kenangan pahit itu. Kenangan yang membuat mereka kehilangan putra pertama mereka.
"Aku akan melakukan test DNA," ucap Adam.
Papa Ardey meraih tangan istrinya, dia menguatkan istrinya yang sedang rapuh. Bertahun-tahun dia menyembunyikan selama ini.
"Kami memang terlibat, kami membenci Ayu," ucap Mama Mahira di iringi air mata yang langsung mengalir.
Deg
Adam semakin mengepalkan kedua tangannya. Ia menahan amarah di dadanya, ternyata orang yang dia cintai menghancurkannya. "Kenapa Mama melakukan ini?"
"Kau ingin tau? kau ingin mengungkit luka itu?" tanya Mama Mahira.
"Adam hentikan," ucap Papa Ardey yang tampak khawatir. Istrinya pernah mengalami depresi akibat kejadian pahit itu. Ia tidak ingin membuat istrinya sedih kembali, kejadian yang sudah terkubur sangat lama.
"Tidak Pa, aku butuh penjelasan." Adam tak ingin kalah, selama ini dia menyalahkan Ayu, wanita yang ia cintai. "Dan kalian memaksa ku menikahi Binar, yang jelas aku tidak mencintainya."
Binar meremas dressnya, jantungnya seakan berhenti berdetak. Jantungnya seakan di bakar hidup-hidup. Cukup sampai di sini, tidak akan ada tangisan lagi dan lagi.
"Adam!"
Papa Ardey berteriak, anaknya sangat keterlaluan sampai membentak ibunya sendiri.
"Cukup Mas, aku akan mengatakan." Cegah Mama Mahira sambil menggenggam erat lengan suaminya yang seakan ingin menghajar Adam.
"Kau memiliki seorang kakak,"
"Kakak?" tanya Adam. Selama ini tidak ada yang mengungkit kakak, jadi ia merasa sebagai anak tunggal dan anak satu-satunya.
"Iya, kau memiliki saudara, tapi dia sudah meninggal dan kau tahu siap yang membunuhnya, ayahnya Ayu, dia menculik kakak mu dan kejadian naas itu."
Mama Mahira memejamkan kedua matanya, ia tidak bisa melanjutkan perkataannya lagi. Dia tidak kuat mengingat kejadian anaknya yang tertabrak di depannya.
"Kecelakaan itu yang membuat kami kehilangan kakak mu, seandainya bukan karena ayah dari kekasih mu itu, kami tidak akan kehilangan anak pertama kami."
Binar tak bisa mengatakan apa pun, dia juga merasa tertekan di tambah kenyataan ini. Ia merasa kasihan pada kedua mertuanya. Ternyata kehidupan mereka sepahit ini, mencoba tetap tersenyum walau di masa lalu rasa pahit itu akan tetap ada.
"Ma, Pa, Mas Adam, Binar juga ingin mengatakan sesuatu." Meskipun bukan waktu yang tepat, tapi ia tidak ingin menundanya lagi.
Ketiga orang itu menoleh pada Binar yang tersenyum.
"Aku ingin bercerai dengan Mas Adam."
"Apa?!"
Mama Mahira sangat syok, dia langsung pingsan di sofa itu dan membuat semua orang panik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!