Tolong.. tolong....
Aku terus berteriak meski suaraku tak bisa keluar lagi. Dadaku sesak, rasanya susah sekali untuk bernafas. Yang bisa kulihat hanya air. Ya, semuanya penuh dengan air. Mata ku pedas dan hidungku terasa sakit karena kemasukan air. Dengan sisa tenanga dan skill renang yang mumpuni, aku mencoba meraih tepi pantai. Tapi terlalu jauh, tenagaku sudah habis. Rasanya tubuhku lemah dan hanya bisa terombang ambing oleh ombak.
Ya Tuhan....ampunilah dosa dosaku jika ini akhir dari hidupku. Jika aku boleh meminta, aku masih ingin hidup. Aku berjanji akan hidup lebih baik lagi.
Tolong..tolong....
Aku terus berteriak meski dalam hati.
Lama lama semua menggelap. Aku sudah tidak kuat lagi..
...----------------...
"Sadar, dia sadar."
Samar samar, aku bisa mendengar suara. Kepalaku terasa berat. Tubuhku terasa lemas. Matanya susah sekali untuk dibuka. Tapi aku tetap berusaha untuk membuka mata.
"Kamu sudah sadar?"
"Alhamdulilah."
Akhirnya mataku bisa terbuka meski hanya setengah. Beberapa kali aku menyipitkan mata karena silau dengan cahaya. Dan yang pertama aku lihat, adalah sesosok pria tampan bak malaikat. Tatapannya teduh, dan senyumnya semanis gula kristal yang jika aku konsumsi terus menerus akan membuatku deabetes. Apakah ini surga?
"Akhirnya kamu sadar juga."
Oh Tuhan....ternyata selain wajahnya yang rupawan, suaranya juga sangat merdu. Benar benar perpaduan yang sangat sempurna dan tiada cela. Ternyata malaikat bersayap itu hanya mitos, buktinya malaikat didepanku ini tanpa sayap.
"Kamu Malik?" tanyaku lirih.
Malaikat tampan itu mengerutkan dahinya. Tapi percayalah, ketampanannya tak berkurang satu persenpun.
"Malik?" Dia mengulang kata kataku.
"Kamu malaikat Malik, penjaga surga?"
Tiba tiba aku merasakan lenganku ditepuk tepuk dari arah berlawanan, yakni disebelah kiriku.
"Ridwan nak. Yang menjaga surga itu malaikat Ridwan."
Mendengar suara itu serta tepukan dilengan, membuatku beralih menoleh ke arah Kiri.
Oh my god...hampir saja aku berteriak saking terkejutnya. Makhluk jelek dan dekil seperti tak mandi bertahun tahun berdiri disebelah kiri ranjangku. Seketika, muncul pertanyaan dikepalaku. Bukankah katanya semua yang disurga itu indah? Lalu kenapa ada yang seperti ini?
Kepalaku kembali pusing. Tubuhku sedikit gemetaran. Apa mungkin saat ini aku sedang berada diantara surga dan neraka. Jangan jangan, aku sedang menunggu amalku ditimbang? Aku jarang beribadah semasa hidup. Apakah aku akan masuk neraka? Enggak, aku gak mau.
"Huaaaa....." Aku seketika menangis histeris. Rasanya benar benar takut membayangkan akan masuk neraka bersama makhluk dekil disebelah kiriku. Aku pernah melihat buku yang judulnya siksa neraka. Sangat mengerikan, aku gak mau masuk neraka, enggak.
"Kamu kenapa?" Malaikat tampan bertanya padaku.
"Hai...kamu kenapa?"
Aku yang masih ketakutan menunggu keputusan antara surga dan neraka tak menghiraukannya sama sekali. Aku terus saja menangis.
"Namamu siapa?" Si dekil bertanya. Seingatku dulu saat pelajaran agama di sekolah, pertanyaan pertama yang akan ditanya, adalah siapa Tuhanmu. Lalu ini, kenapa namaku yang pertama ditanya? Karena bingung sekaligus takut, aku tak menjawab pertanyaannya.
"Jangan jangan..." si dekil bersuara.
"Jangan jangan apa?" sahut si malaikat tampan.
"Dia anemia."
"Anemia?"
"Iya, anemia atau amenisa. Pak De lupa. Itu hilang ingatan."
"Amnesia maksud Pak De?"
Aku menangis sambil menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Sama sekali tak menghiraukan obrolan mereka berdua.
"Ya, ya, itu yang pak de maksud. Am, am , am apa tadi?"
"Amnesia Pak De."
"Ya itu. Sepertinya dia amnesia. Buktinya dia tak ingat nama malaikat beserta tugasnya. Galang saja yang masih TK sudah hafal diluar kepala. Dan satu lagi. Saat ditanya nama, dia malah nangis. Dia pasti sedih karena tak ingat namanya. Kasihan sekali, cantik cantik tapi amnesia."
"Pak De yakin dia amnesia?"
Eh tunggu tunggu. Kenapa mereka malah bahas amnesia? Dan apa tadi? dia bilang aku gak hafal nama malaikat, kalah sama anak TK? Disaat aku masih bingung mencerna ucapan mereka, terdengar suara derap langkah yang sepertinya memakai sepatu pantofel
"Haaa...itu dia bu bidan datang." suara si dekil terdengar lega.
Mendengar kata bu bidan, aku berhenti menangis lalu menurunkan tanganku yang menutupi wajah. Tampak seorang wanita muda yang lumayan cantik, tapi masih kalah jauh sama aku, memakai jas berwarna putih.
"Bu Bidan, kayaknya dia am.....hilang ingatan." Kata si dekil.
"Hilang ingatan!" Bidan itu tampak terkejut.
Aku lebih terkejut lagi. Dia bilang aku hilang ingatan. Apa aku belum mati?
Tunggu tunggu, aku mengamati sekeliling. Tembok bercat putih, ranjang yang seperti brankar rumah sakit, dan....oh tidak, aku mencium aroma obat obatan. Jangan..jangan....ini bukan akhirat, tapi...
"Jangan takut mbak. Mbaknya selamat. Dan sekarang ada di puskesmas."
Glodak
Mataku membulat sempurna. Jadi ini puskesmas. Jadi aku masih di dunia, bukan di akhirat? Seketika aku bernafas lega. Ketakutanku akan masuk neraka berlahan hilang. Aku kembali menangis saking bahagianya. Ternyata Tuhan masih menyayangiku. Dia masih mengijinkan aku hidup didunia ini setelah kejadian menakutkan yang aku pikir akan membuatku kehilangan nyawa.
"Mbak nya tidak apa apa? Ada keluhan, apa yang sakit?" Bidan itu terlihat cemas melihatku menangis.
"Biar saya periksa detak jantungnya."
Wanita yang dipanggil bidan itu membernarkan letak stetoskopnya lalu memeriksa detak jantungku. Saat itu, aku hanya bisa diam saja sambil menurut.
Apa di puskesmas ini tak asa dokter? kenapa aku diperiksa bidan? emangnya aku mau melahirkan?
"Kasihan sekali sampai menangis seperti itu. Dia pasti sedih karena tak ingat apa apa." Ujar si dekil sambil mengelus dada. "Benarkan bu, dia hilang ingatan?" Lagi lagi dia bilang aku hilang ingatan. Entah apa yang ada diotaknya, kenapa dia terus saja bilang aku amnesia.
"Alhamdulilah detak jantungnya normal. Untuk masalah amnesia, saya tidak bisa memastikan. Harus dibawa kerumah sakit besar untuk mengetahui apakah ada masalah pada otaknya. Di puskesmas tidak ada alat seperti itu."
"Ini berapa?" Si dekil tiba tiba mengacungkan dua jarinya. Apa apaan ini, memang aku anak tk gak tahu itu berapa? Aku menyeka air mata dan menyusut hidung sampai terdengar suara sroottt......Baru saja aku mau membuka mulut untuk menjawab pertanyaanny, si dekil udah keburu berbicara.
"Tuh kan Bu, dia gak tahu. Dia hilang ingatan."
"Kamu ingat siapa nama kamu?" Tanya Bu Bidan.
"Ca_"
"Dia tidak ingat Bu." Lagi lagi si dekil memotong ucapanku. Entah punya dendam apa dia padaku, sejak tadi terus saja memfitnahku hilang ingatan. Mungkinkah dia adalah salah satu penggemarku yang aku tolak cintanya?
"Kamu tidak ingat apa apa?" Suara merdu malaikat tampan membuatku menoleh kearahnya. Pesonanya sungguh membuatku seperti terhipnotis. Ternyata di dunia ini, masih ada makhluk yang luar biasa tampan seperti dia. Kulitnya yang eksotis dengan garis wajah yang tegas, sungguh membuatku terpesona.
"Aku menemukanmu terdampar di bibir pantai."
Jadi...dia yang telah menolongku. Selain wajahnya yang tampan, ternyata dia juga orang yang baik.
"Kamu tak ingat, kenapa bisa sampai tenggelam dilaut?"
Aku terdiam, mencoba mengingat lagi kejadian yang membuatku terombang ambing dilautan dan hampir mati di karena tenggelam.
"Ck, dia amnesia Ru, mana mungkin dia ingat. Nama saja dia tak ingat." Cih, sok tahu sekali si dekil ini.
Akuu ingat, aku ingat semuanya karena aku tak amnesia.
"Pokoknya Cal gak mau Tan. Cal gak mau nikah sama aki aki itu." Seruku karena habis kesabaran. Bisa bisanya tante Sofi dan Om Kamal memaksaku menikah dengan Pak Joko, tua bangka kaya raya yang usianya sekitar 70th.
Jadi ini maksud mereka memanggilku pulang? Aku yang sedang sibuk kuliah di Jepang dipaksa pulang dengan alasan gak jelas. Tiba tiba diajak jalan jalan naik kapal pesiar dan ini akhirnya. Aku dijebak, aku malah dipaksa menikah dengan bandot tua bau tanah.
"Tutup mulutmu Cal. Jangan sampai dia dengar dan tersinggung dengan ucapanmu. Perusahaan hampir bangkrut, hanya Pak Joko yang bisa menolong kita. Jadi jangan pikirkan apapun lagi. Menikahlah dengan Pak Joko sekarang juga."
Rasanya aku mau gila. Mereka bilang perusahaan orang tuaku hampir bangkrut. Rasanya mustahil mengingat betapa kokohnya pondasi perusahaan yang dibangun alm papaku. Tak hanya itu, aset papa sangatlah banyak, tanah, vila dan lainnya, rasanya tak akan habis dimakan tujuh turunan. Tak ada angin tak ada hujan, kenapa tiba tiba bangkrut?
Bodohnya aku yang tak pernah ikut campur dengan urusan perusahaan. Aku hanya sibuk kuliah dan menikmati masa muda di Jepang. Perusahaan, rumah dan lainnya, semua dibawah kuasa Om Kamal dan tante Sofi sebagai waliku. Harta warisan akan benar benar jatuh ke tanganku setelah aku berusia 21 tahun sesuai di surat wasiat.
"Ayo cepat, pak penghulu sudah menungu untuk menikahkan kalian. Kamu tinggal ganti baju sama make up sedikit." Ujar tante Sofi.
Gila! Mereka ternyata sudah merencanakan semua ini dengan matang. Sampai sampai sudah ada penghulu dan MUA di kapal pesiar ini.
Bagaimanapun juga, aku gak mau menikah dengan aki aki yang tit*t nya mungkin sudah enggan untuk bangun. Bisa bisa karena ngenes aku yang mati duluan daripada dia.
"Gak, aku gak mau. Kenapa bukan Kania saja yang menikah dengan pak tua itu?" Protesku pada mereka. Kania adalah anak tante Sofi dan Om Kamal.
"Kenapa Kania? Perusahaan itu atas nama kamu. Nanti juga akan jadi milik kamu. Kalau ada apa apa, ya kamu yang harus menyelamatkannya. Kania tak ada urusan disini." Bantah tante Sofi.
Cih, dia bilang Kania gak ada urusan. Kania makan, sekolah dan jajan pakai uang alm papa aku. Mereka semua juga tinggal dirumah aku. Kalau enak, semua orang menikmati. Kalau susah, kenapa aku yang jadi tumbal? Geram sekali rasanya aku pada mereka.
"Cepat Cal, jangan sampai Pak Joko marah karena terlalu lama menunggu." Tante Sofi menarik paksa tanganku masuk kedalam kamar untuk ganti baju.
"Enggak mau." Aku menarik kasar tanganku dari cekalan tante Sofi lalu berjalan cepat keluar dan berdiri dipinggiran kapal. Tanpa pikir panjang, aku menaikkan kakiku ke pagar pembatas bagian tengah. Dan tanganku berpegangan pada bagian teratas pagar pembatas.
"Kalau tante dan Om maksa, aku akan bunuh diri." Aku pura pura mengancam mereka. Ya kali aku mau bunuh diri beneran. Hidupku terlalu indah untuk diakhiri dengan cara konyol seperti ini.
"Turun Cal, jangan nekat kamu. Kita berada ditengah lautan sekarang." Seru Om Kamal dengan wajah panik. Dalam hati aku tersenyum senang. Aku yakin mereka tak akan memaksaku lagi kalau sudah begini. Bagaimanapun, mereka yang merawatku sejak umur 13 tahun saat kedua orang tuaku meninggal. Mereka menyayangiku seperti mereka menyayangi kedua anaknya. Jadi mereka pasti luluh jika sudah diancam seperti ini.
"Calista, turun sayang." Pinta tante Sofi sambil berjalan mendekatiku. "Kita bicarakan ini baik baik."
"Enggak, Cal gak mau turun sebelum kalian setuju membatalkan pernikahan ini."
"Jangan seperti itu Cal. Tolong jangan buat tante dan Om dalam posisi sulit."
Aku memutar kedua bola mataku malas. Perasaan mereka yang meletakkanku di posisi sulit. Kenapa jadi memutar balik fakta seperti ini.
"Pokoknya Cal gak mau nikah sama aki aki itu." Kekehku.
Aku melihat wajah geram mereka berdua. Ternyata susah juga membujuk mereka. Disaat aku sedang memikirkan cara lain untuk membatalkan pernikahan, tiba tiba kapal seperti berbelok cepat dan sedikit oleng hingga aku kehilangan keseimbangan dan.
BYURR
Aku benar benar tercebur kelaut. Untunglah aku jago berenang jadi tidak terlalu panik.
"Tolong Om, tante." Teriakku sambil melambaikan tangan agar mereka menjatuhkan pelampung. Aku melihat mereka menatapku dari atas. Tapi bukannya cepat cepat memberikan pertolongan, mereka malah diam saja dan tampak tersenyum. Beberapa saat kemudian, aku merasakan kejanggalan. Kapal itu melesat cepat meninggalkan aku. Sudah tentu aku tak bisa berenang untuk mengejar kapal itu.
Oh my God, apa apaan ini. Mereka meninggalkanku. Mereka sama sekali tak berusaha menolongku. Padahal sangat mudah untuk menolongku kembali naik keatas.
"Kamu ingat sesuatu?" pertanyaan bu bidan menyadarkanku dari lamunan. "Apa benar kamu tak ingat apa apa?"
"Aku....."
Enggak, aku gak boleh langsung pulang. Aku harus mencari tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi. Apa benar perusahaan papa bangkrut? Dan yang lebih utama, aku ingin tahu sifat asli mereka, keluarga bibiku. Akankah mereka tulus menyayangiku selama ini, ataukah mereka hanya mengincar hartaku? Karena aku melihat jelas seringainya saat aku terjebur ke laut.
"Ini dimana?" Aku malah balik bertanya.
"Ini didesa alam permai."
"Dimana itu?" Kenapa terdengar aneh. Rasanya tak pernah aku mendengar nama itu.
"Dipesisir pantai...."
Dia menyebutkan nama pantai yang tidak begitu familiar. Yang pasti, ini jauh dari kota, karena seingatku, kami pelesiran didaerah yang lumayan jauh dari kota kami tinggal.
"Kamu ingat sesuatu? nama kamu misalnya?"
Aku menggeleng pelan. Entah ini benar atau salah, aku pura pura amnesia agar bisa bertahan ditempat ini. Setidaknya, sampai usiaku 21 tahun dan bisa mengambil alih semua harta kedua orang tuaku. Bukankah itu tak lama lagi, 5 bulan lagi, usiaku genap 21 tahun. Dan saat itulah, aku akan kembali dan mengambil hakku.
"Tuh....benerkan dia amnesia." si dekil tampak begitu bersemangat karena merasa dugaannya sangat tepat. Padahal dia salah total.
"Bu bidan , bu bidan." Tiba tiba terdengar teriakan dari luar. Dan beberapa saat kemudian, seseorag berseragam seperti perawat memasuki ruangan tempat kami berada.
"Ada orang mau melahirkan. Sepertinya sebentar lagi karena dia sudah teriak teriak kesakitan." Ujarnya dengan nafas ngos ngosan.
"Baiklah saya akan segera kesana."
Setelah bu bidan itu pergi, tinggallah aku dengan kedua pria yang wajahnya sangat berbanding terbalik itu.
"Kamu beneran tak ingat apa apa?" tanya si tampan.
"Enggak." Jawabku sambil menggeleng. Tentu saja itu mode pura pura. Beruntung saat SMA aku ikut ektra teater, jadi akting sudah menjadi hak biasa bagiku.
"Waduh...gawat ini Ru. Sekarang kita harus bagaimana? kemana kita harus mengantarnya pulang?" Si dekil mulai cemas.
Si tampan yang dipanggil Ru itu mengedikkan bahunya. Sepertinya dia juga bingung harus berbuat apa.
"Apa kita antar ke kantor polisi saja biar mereka yang ngurusi."
"Jangan." Teriakku cepat. Bisa gawat kalau aku diantar ke kantor polisi. Gimana kalau mereka menyebarkan fotoku untuk mencari keluargaku? tidak, ini tidak boleh terjadi.
"Kenapa?" Tanya si tampan.
"Aku..aku...aku takut." Aku membuat ekspresi semenyedihkan mungkin agar mereka iba.
"Takut? sama polisi kok takut." Sahut si dekil.
"Masalahnya..." Aku jadi bingung mencari alasan.
"Masalahnya apa?"
"Aku takut ada yang jahat sama aku. Bisa saja aku tenggelam dilaut karena ada yang berniat membunuhku. Aku tak mau mereka tahu aku masih hidup. Aku takut mereka akan kembali berusaha membunuhku. Bisakah aku disini saja sampai ingatanku pulih?"
Kulihat mereka berdua saling pandang. Sepertinya mereka juga bingung harus berbuat apa. Tapi menampung gadis cantik sepertiku jelas bukan hal yang merugikan.
Tak ada pilihan lain. Aku harus pura pura amnesia demi bisa bertahan ditempat ini. Selanjutnya, aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika memang terbukti keluarga tante Sofi main curang dan mengincar hartaku, akan kupastikan mereka membayar mahal apa yang mereka perbuat.
Aku melihat si tampan dan si dekil saling tatap. Mereka sepertinya bingung harus berbuat apa.
"Apa dia tinggal_"
"Enggak, dia gak boleh tinggal dirumah pak De." si Dekil memotong ucapan si tampan, seolah olah dia tahu apa yang pria itu pikirkan.
"Kamu tahu sendiri Bu De mu itu cemburuan. Bisa bisa Pak De dicurigai macam macam kalau bawa perempuan pulang. Belum lagi si Gani. Sepupumu itu mata keranjang. Bisa perang dunia setiap hari si Gani sama Santi nanti. Kasihan Galang kalau kedua orang tuanya cek cok mulu tiap hari."
Si tampan tampak menghela nafas lalu menatap kearahku. Kesempatan itu jelas tak kusia siakan. Dengan ekspresi puppy eyes, aku mencoba mengiba.
"Tapi gimana kalau warga tanya Pak De? Aku tinggal bersama perempuan tak dikenal. Itu jelas akan jadi masalah besar."
"Biar nanti pak de yang bantu ngomong jika warga tanya. Lebih baik, kita bawa pulang dulu dia. Jangan lama lama disini, nanti bayarnya mahal. Emang kamu punya duit?"
Aku mengatupkan tangan kearah sitampan. Memohon melalui tatapan mata agar dia membawaku pulang bersamanya.
"Baiklah."
Yes, akhirnya aku bisa bernafas lega. Akhirnya si tampan mau juga menampungku meski wajahnya tampak terpaksa. Dan beruntungnya, aku tak harus tinggal dengan si dekil. Tapi gimana kalau si tampan ternyata sudah menikah dan bininya galak? Semoga saja dia belum menikah.
...****************...
Aku memasuki rumah yang sangat amat sederhana sekali. Kenapa aku menyebutnya seperti itu? Karena luasnya kira kira sama dengan ruang tamu dirumahku. Tapi yang aku suka dari rumah ini, meskipun kecil tapi bersih dan rapi.
"Kok sepi?" Tanyaku sambil memperhatikan interior rumah yang setiap mata memandang tak kutemukan barang mewah satupun.
"Iyalah sepi. Kalau mau ramai, sana ke tempat pelelangan ikan."
Aku mengernyit mendengar jawabannya. Apa maksudnya, dia ngusir aku?
"Becanda, hehehe."
Aku seketika nyengir. Tak kusangka jika pria tampan yang tampak dingin itu ternyata bisa juga becanda.
"Aku tinggal berdua saja." Jawabnya sambil masuk kedalam sebuah ruangan.
Harapanku seketika pupus saat dia bilang tinggal berdua. Pasti itu istrinya. Pandai juga istrinya merawat rumah. Rapi dan bersih.
"Lisa.....Lisa sayang..."
Makin hancur lebur aja hati ini mendengar dia memanggil istrinya sayang. Seperti apa sih si Lisa itu. Apakah dia cantik? Kira kira cantik mana sama aku? Dan kira kira, bagaimana tanggapannya nanti saat tahu suaminya pulang bawa wanita tak dikenal.
"Kayaknya dia lagi keluar." Dia menjawab sendiri pertanyaannya.
"Oh...." Aku hanya ber oh ria dan pura pura bersikap biasa. Padahal kecewa sekali hati ini mengetahui fakta jika dia sudah menikah.
Aku mengamati dinding yang berisi banyak foto. Tapi tak satupun aku melihat foto si Lisa. Yang ada hanya foto dia dan kedua orang paruh baya yang mungkin orang tuanya.
"Nama kamu siapa?" Tanyaku sambil melihat foto dia yang sedang memegang medali yang betuliskan juara olimpiade matematika. Pintar juga, batinku dalam hati.
"Biru. Sagara Biru."
"Nama yang bagus," pujiku. Sesuai dengan orangnya yang good looking. Tentu saja aku hanya memuji dalam hati.
"Alm bapakku bilang, dia bingung cari nama waktu aku lahir. Karena dia tiap hari di laut, tiba tiba saja terpikirkan nama itu."
"Oh...jadi bapak kamu pelaut?"
"Nelayan."
"Oh.....untung kamu dikasih nama Biru bukan pattrik."
"Kenapa patrik?"
"Patrik kan bintang laut. Kali aja bapakmu suka bintang laut terus terinspirasi memberimu nama itu, hehehe." Jawabku sambil tertawa ringan.
"Ish...bisa aja kamu." Ujarnya sambil tersenyum. Masyaallah, lama lama beneran deabetes aku kalau disenyumin dia mulu. Andai aja kamu belum nikah maseh...udah aku ajak ke KUA.
"Aku bingung harus panggil kamu apa." Kata Biru sambil menyodorkan segelas air yang baru saja dia ambil dari dapur. Tahu saja dia kalau aku lagi haus. Sungguh pemuda yang limited edition. Tampan, gagah, baik, dan perhatian. Sayangnya, dia udah nikah. Apa aku harus menjadi pelakor?
Gila gila gila...aku segera membuang jauh pikiran itu. Aku wanita bermartabat, mana mungkin menjadi pelakor. Cih, najis, kayak dunia ini kehabisan stok laki aja. Tapi dia terlalu tampan, gimana ini.....
Berdoa saja kali ya. Semoja saja dia cepat cepat menduda. Heis, jelek sekali doaku. Ada istilah, doa yang buruk akan kembali pada yang mendoakan. Tapi kali ini, aku tak takut mendoakannya segera menjadi duda. Karena doa itu tak mungkin berbalik padaku. Aku wanita, mana mungkin jadi duda, wkwkwk.
"Panggil aja Ca_" Ish, hampir aja aku keceplosan sebut namaku. "Panggil aja terserah."
"Apa ya enaknya?" Biru bersandar di dinding sambil garuk garuk kepala. Ya elah, kalau orang good looking, mau garuk kepala, garuk badan, garuk apapun, tetep aja enak dilihat. Coba kalau orang jelek garuk garuk kepala, auto dibulli kutuan.
Aku juga tak ada ide sama sekali. Tapi begitu mata ini tak sengaja menatap almari plastik bergambar frozen, aku langsung kepikiran sebuah nama.
"Elsa, panggil aja Elsa."
"Elsa?" Biru mengerutkan keningnya.
"Iya, Elsa. Kayak itu." Aku menunjuk almari bertuliskan elsa frozen. "Elsa kan warna gaunnya biru, biar sama kayak nama kamu." Ujarku bersemangat. Tapi entah kenapa, Biru kembali mengerutkan kening sambil menatapku curiga.
"Darimana kamu tahu kalau yang baju biru itu namanya Elsa? Digambar itu kan ada dua tokoh kartun?"
Sial...benar juga apa yang dia katakan. Disana ada Elsa dan Ana. Jadi bagaimana aku tahu kalau elsa itu yang biru. Pura pura amnesia ternyata gak gampang.
"Dan tadi, kamu juga ingat patrik. Patrik itu temannya spongebob kan? Tapi, kenapa kamu gak ingat nama sendiri."
Mati aku....Bodoh sekali kamu Cal.
"Emmm....karena bajunya kayak es gitu. Jadi aku yakin kalau dia yang namanya elsa frozen."
"Betul juga." Sahut Biru sambil manggut manggut.
Syukurlah dia percaya.
"Oh iya, badanku lengket. Bisa aku numpang mandi?" Aku berusaha mengalihkan topik agar dia tak lagi membahas aku yang ingat patrik dan spongebob.
"Tentu saja."
"Sekalian pinjami aku baju."
"Akan aku ambilkan."
Meong.....Meong..
Suara kucing menghentikan langkah Biru yang hendak mengambilkanku baju. Seekor kucing gembul dengan bulu berwarna putih. Dari penampakannya, seperti kucing lokal.
Biru berbalik lalu melangkah mendekati kucing yang berjalan kearahnya itu. Dia kemudian berjongkok dan mengangkat kucing itu kedalam gendongannya. Kucing itu tampak nyaman sekali dalam gendongan Biru. Sama sekali tak berontak. Sepertinya mereka sudah lama bersama. Aah...jadi pengen dipeluk juga akuh.
"Hallo sayang..." Ucap Biru sambil mengelus bulu kucing itu.
Melihat kucing menggemaskan itu, akupun berinisiatif ikut mengelusnya.
Meonggg
"Aawww." Teriakku reflek saat kucing sialan itu tiba tiba melompat dari gendongan Biru dan mencakarku. Meski reflekku sangat bagus. Kucing sialan itu berhasil mencakar lenganku hingga sedikit mengeluarkan darah. Untung saja kucing, kalau orang, udah ku tuntut kamu.
"Kamu gak papa?" Biru tampak ikutan kaget. Dia lalu sigap menarik lenganku dan melihat lukanya.
"Maaf." Dia tampak merasa bersalah akibat ulah kucing sialannya itu. "Biasanya Lisa gak pernah gitu. Mungkin karena gak pernah lihat kamu aja, jadinya dia merasa terancam."
"Li...Sa!" Aku tak salah dengarkan? Biru menyebut Lisa tadi. Jangan jangan....Lisa? Nama kucing itu Lisa.
"Kucing tadi namanya Lisa."
Gludak
Jadi Lisa itu kucing, bukan istrinya Biru? Astaga... bodoh sekali aku ini karena telah menduga duga sembarangan.
"Kamu.....tinggal berdua dengan kucing itu saja?"
"Iya. Sejak kedua orang tuaku meninggal. Aku hanya tinggal berdua dengan Lisa."
"Kamu belum menikah?"
"Belum."
Saking girangnya, hampir saja aku teriak yess sekencang kencangnya. Itu artinya, peluangku untuk mendapatkannya masih terbuka lebar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!