"Diam! Aku nggak butuh penjelasan kamu dasar murahan!"
Dengan wajah dan mata yang merah Rafan menghardik Alexi-tunangannya. Air mata Alexi luruh begitu saja. Hati gadis itu sakit melihat sisi lain dari tunangannya yang selama ini selalu lembut padanya.
"Maaf Sayang aku,-"
"Jangan pernah lagi panggil aku sayang."
Rafan membuang muka seraya mendengus tidak suka. Tidak pernah dia sangka selama ini Alexi sudah mengkhianatinya.
"Maaf."
Hanya kata itu yang bisa Alexi ucapkan di sela-sela tangisnya yang semakin tersedu pilu. Rafan menjambak rambutnya frustasi seraya menumpukan kepala di setir mobil.
Napasnya masih naik turun menahan emosi yang terasa mendidih hingga ke ubun-ubun. Bukan hanya hati yang sakit tapi harga dirinya pun terkoyak mengetahui sang tunangan sudah berselingkuh dengan sepupunya sendiri.
"Sejak kapan?" tanya Rafan lirih tanpa mengangkat kepala.
"Sudah tiga bulan," jawab Alexi lirih.
Rafan menghela napas dalam, berusaha menghilangkan sesak yang semakin menghimpit dada mendengar jawaban Alexi barusan.
"Jadi sikapmu yang selalu menghindar dan tidak pernah lagi memberi kabar itu karena kamu sedang sibuk dengan Rangga?" Suara Rafan masih terdengar tenang. Alexi kali ini memilih diam enggan menjawab.
"Baiklah, mulai sekarang lupakan rencana pernikahan kita, dan tunggu saja aku akan menghancurkan kamu dan keluargamu sampai ke bagian terkecil."
Rafan mengangkat kepala mengucapkan kalimat ancaman yang membuat Alexi mulai ketar ketir. Alexi tahu kalau Rafan bisa dengan mudah mewujudkan apa yang dia ucapkan dengan kekuasaan dan kekayaan yang pria itu punya. Kepala gadis itu menggeleng cepat, air mata semakin mengalir dengan deras.
"Jangan Rafan, aku mohon jangan! aku... aku... Minta maaf tapi... di sini bukan hanya aku yang bersalah tapi Rangga juga, dan... kami tidak sengaja melakuannnya,-"
"Cukup."
Rafan tidak membiarkan Alexi menyelesaikan kalimatnya yang tersendat-sendat berlomba dengan isakan. Pria itu keluar dari mobil meninggalkan Alexi dengan penyesalan yang mendalam.
Rafan berjalan dengan pikiran kalut hingga menyebrang jalan tanpa memperhatikan sekitar, sampai ada sebuah truk besar yang sedang melaju dengan kencang menabrak tubuhnya.
"Bruk!"
"Rafannn!"
Alexi melihat kejadian itu dengan jelas karena terjadi tepat beberapa meter di depannya. Awalnya gadis itu ingin mengejar Rafan dan meminta maaf kembali, namun langkahnya terhenti saat melihat tubuh Rafan terpental jauh karena tertabrak truk yang melaju dengan kencang.
"Ra-rafan."
Suara Alexi bergetar seraya melangkah perlahan mendekat ke arah tubuh Rafan yang tergeletak mengenaskan dengan beberapa luka dan darah segar yang menetes. Jalanan ternyata sedang sepi dan tidak ada mobil yang melintas, sementara truk yang tadi menabrak Rafan sudah melarikan diri sejak tadi.
"Le-lex-i."
Dengan terbata Rafan mengeja nama tunangannya, tangan yang berlumuran darah terulur sebagai isyarat meminta pertolonggan.
Tangan Alexi terulur perlahan berniat menyambut tangan Rafan yang ada di hadapannya, tapi kemudian berhenti di udara saat mengingat ancaman Rafan beberapa saat yang lalu. Tatapan Alexi yang semula khawatir berubah menjadi dingin.
Otak Alexi berjalan dengan cepat, gadis itu menarik kembali tangannya dan menguatkan tekad mengambil keputusan yang baru terlintas di fikirannya. Mata Rafan sayu dan menutup secara perlahan.
"Lebih baik kamu mati Rafan."
Sebelum kesadaran Rafan hilang, pemuda itu sempat mendengar ucapan lirih dan tatapan dingin dari Alexi. Setelah mengetahui Rafan tidak sadarkan diri, Alexi mengedarkan pandangan ke sekitar memastikan tidak ada kendaraan atau orang yang memperhatikan.
Dengan segera berlari masuk ke dalam mobil lalu melajukannya pelan, berhenti tepat di depan tubuh Rafan yang sudah tidak berdaya. Sekali lagi memperhatikan sekitar lalu mengangkat tubuh Rafan dengan tangan gemetar dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
Alexi melajukan mobil dengan tangan yang masih gemetar, seharusnya dia menolong Rafan dan menyelamatkan nyawa pria yang masih dia cintai. Tapi mengingat ancaman tentang keluarganya--yang akan pria itu hancurkan akibat perselingkuhannya--membuat Alexi nekat melakukan hal di luar batas.
Alexi berhenti di bahu jalan dengan penerangan yang minim dan sepi. Gadis itu kembali memperhatikan sekitar dengan dada berdebar kencang. Menelan ludah dengan berat lalu mulai mengeluarkan tubuh Rafan dari dalam bagasi mobil. Dengan tenaga yang tidak banyak ditambah tangan yang gemetar, secara perlahan Alexi meletakkan tubuh Rafan di sebuah bak sampah di pinggir jalan yang gelap.
Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan aksinya, gadis itu melajukan mobil secara perlahan dengan hati yang gelisah.
"Lebih baik kamu mati Rafan," gumam Alexi lirih berusaha menenangkan diri dan membenarkan tindakannya terhadap Rafan.
***
Beberapa jam sebelum kejadian...
"Apa kamu sudah siap Fan?" tanya seorang pria paruh baya dengan pakaian rapih berwarna gelap, dia menoleh menatap pemuda--seumuran dengan putra sulungnya--yang berdiri tepat di sampinya.
"Apa aku bisa mengelak lagi Paman?"
Pria paruh baya itu terbahak, tangannya menepuk-nepuk pundak keponakannya dengan gemas.
"Rangga sudah menantikan kehadiranmu sejak lama." ucap pria paruh baya itu seraya tersenyum. Tangannya dengan telaten merapihkan pakaian yang dia kenakan.
Rafan tidak langsung menanggapi, sorot matanya menggambarkan ketidaksetujuan dengan ucapan paman yang baru didengarnya.
"Baiklah, paman harus kembali ke kantor. Segeralah datang dan tempati posisi yang memang sejak lama milikmu."
Berlalu dengan tenang meninggalkan Rafan dengan beban pikiran yang selalu membuatnya tidak tenang.
"Rangga tidak pernah menantikan kedatanganku Paman."
Rafan menggoyangkan gelas kristal yang sejak tadi dia pegang dengan tangan kiri. Lalu menegak semua isinya sampai habis. Meletakkan gelas dengan cukup keras di atas meja kaca hingga menimbulkan bunyi dentingan.
Tangannya merapihkan jubah mandi yang dia kenakan, matanya menerawang jauh ke balik jendela kaca lantai tiga rumah. Pikirannya sedang merancang untaian kata manis sebagai sapaan indah untuk sepupu tercinta. Bibirnya tersenyum miring menyiratkan rangkaian kata itu sudah tersusun dengan apik.
"Baiklah, sudah cukup main-mainnya Rafan. Sekarang waktunya unjuk gigi, let's show begin!"
Melangkah pasti masuk ke dalam ruangan wardrobe pribadinya, berencana mengganti pakaian untuk membuat kejutan memukau di depan orang-orang yang selama ini meremehkannya.
***
"Kruyuk!"
Alsava mengelus lembut perut yang sejak tadi mengeluarkan bunyi familiar bagi pendengarannya.
"Ah elah, udah diisiin hampir setengah isi galon. Kok masih aja bunyi sih?" kesalnya seraya cemberut.
"Ngapa? Laper?"
Alsava menoleh ke sumber suara yang berasa dari pemuda sebayanya dengan seragam kerja yang sama. Pemuda itu mendekat lalu duduk di sebrang Alsava dengan meja bundar sebagai penghallang.
"Serius nanya?" sindir Alsava ketus.
Pemuda itu malah terbahak. Dia menyodorkan kantong kresek hitam ke arah Alsava. Dengan segera membuka kantong kresek yang sudah tahu apa isinya. Seketika bibir Alsava melengkungkan senyum lebar.
"Makasih Sep!" ucap Alsava tulus dengan mata berbinar.
Pemuda yang Alsava sebut Asep itu ikut tersenyum lebar. Alsava mengeluarkan dua bungkus roti dari dalam kantong kresek lalu memakannya dengan tergesa.
"Nggak akan aku minta balik. Makannya santai aja kali," ujar Asep seraya terkekeh.
Alsava tidak menanggapi, hanya tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat.
"SINGKONG!"
"Uhuk!"
Alsava tersedak roti yang sedang dia telan, terkejut mendengar teriakan melengking dari luar pantry. Asep menepuk pelan tengkuk Alsava seraya menyodorkan segelas air putih. Belum juga bibir Alsava menyentuh bibir gelas dia sudah terkejut dengan teriakan seseorang di ambang pintu pantry.
"Singkong!"
"Ah elah, nggak enak banget sih didengernya!"
Pak Wiryo--supervisor cleaning servis--sedang berdiri bertolak pinggang di ambang pintu. Napasnya naik turun, wajahnya merah padam menahan kesal luar biasa. Menatap Alsava penuh perhitungan. Menghela napas dalam seraya menutup kelopak mata.
"Alsava," ucapnya pelan.
Kelopak matanya terbuka perlahan menatap gadis malang yang dia temukan dua tahun lalu di sebuah warteg dengan pakaian lusuh dan wajah yang kotor. Mendengar kisah hidup Alsava yang menyedihkan, kabur dari rumah dan hampir jadi korban pelecehan preman terminal membuat pak Wiryo iba dan mengajak Alsava bekerja di tempatnya bekerja.
Tapi pilihan yang dia ambil atas rasa kemanusiaan, ternyata merenggut sebagian ketenangan hidupnya terutama dalam bekerja.
"Pak Bos," cengir Alsava tanpa dosa. Tangannya masih memegang roti yang baru dia makan sebagian.
Pak Wiryo menatap wajah polos Alsava sengit. Napas pria paruh baya itu masih saja pendek-pendek. Rupanya amarah masih belum reda meski Alsava sudah menunjukkan wajah polos tanpa dosa yang sejauh ini berhasil membuat pak Wiryo luluh dan memberi maaf atas semua ulahnya yang unik.
Alsava menelan salivannya dengan berat. Pak Wiryo benar-benar marah kali ini. Gadis itu berdiri perlahan lalu meletakkan roti yang dia pegang di atas meja. Asep yang melihat aura mengerikan dari supervisornya itu pun ikut merasa takut dan tegang secara bersamaan. Pemuda itu pun bangkit mensejajari Alsava.
Alsava menunduk dengan jari tangan saling meremas, bersiap menerima kemarahan sang atasan yang sudah tidak terelakan.
"Kenapa selalu bikin masalah?" tanya Pak Wiryo dengan nada pelan namun penuh penekanan.
Alsava menunduk semakin dalam, tidak mampu menjawab bahkan menatap pak Wiryo--orang baik yang sudah dia anggap pengganti ayahnya sendiri.
"Maaf," cicitnya dengan takut.
"Kontrak kerjamu yang akan di putus dua hari lagi mungkin tidak akan diperpanjang."
Kepala Alsava mendongak, menatap lurus pak Wiryo dengan kaget. Bola matanya berkaca-kaca saat melihat raut kekecewaan di wajah pak Wiryo yang begitu ketara.
"Maaf Pak, aku hanya mau bantu Mbak Irna,-"
"Dengan mempersulit hidupmu yang sudah sulit?" pak Wiryo tidak membiarkan Alsava menyelesaikan kalimatnya.
Alsava menunduk kembali, kini isakan mulai terdengar. Tangisnya pecah kala membayangkan akan diberhentikan dua hari lagi. Lalu bagaimana dengan hutang dan biaya hidup keluarga yang selama ini dia tanggung? Apa dia harus kembali ngemis dan ngamen dengan resiko akan dilecehkan oleh para preman? Tidak, Alsava tidak akan memilih jalan mengerikan itu lagi.
Alsava menggeleng pelan, mengangkat wajah menatap pak Wiryo dengan derai air mata. Asep yang tahu kekhawatiran apa yang temannya rasa, mengelus pelan lengan Alsava mencoba menenangkan.
"Kali ini aku tidak bisa bantu, karena masalahnya sudah sampai HRD perusahaan."
"Sava minta maaf Pak, sava mohon!" pinta Alsava memelas, menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Isakan semakin keras dan air mata tidak berhenti menetes.
"Maaf Va, kalau HRD sudah mengambil keputusan, bapak nggak bisa bantu banyak. Datanglah ke rumah sesekali, ibu pasti bisa hibur kamu." kata pak Wiryo sebelum beranjak meninggalkan Alsava begitu saja.
Hatinya pun begitu sakit melihat air mata dan tatapan putus asa dari Alsava. Tapi dia harus tegas, agar Alsava mengerti untuk tidak selalu membuat masalah dan mempersulit hidupnya sendiri.
Alsava terduduk lemas di kursi yang tadi dia duduki. Matanya melirik roti yang Asep berikan, tidak lagi berselera makan meski masih sangat lapar karena belum makan dari tadi malam. Melihat kondisi Alsava, Asep mengelus kembali lengan gadis itu dengan lembut. Hatinya ikut sesak melihat kondisi Alsava yang seperti ini. Dia satu-satunya saksi hidup setelah pak Wiryo yang mengetahui kisah sulit Alsava.
"Kali ini kamu bikin masalah apa?" tanya Asep hati-hati.
Alsava mengangkat kepala menatap temannya dengan penuh protes. Asep tidak terpengaruh malah terus menatap Alsava lurus menuntut jawaban. Alsava kalah, memilih menundukkan kepalanya dalam.
"Suami mbak Irna yang security itu selingkuh sama resepsionis baru, aku neror dia dengan menakut-nakuti akan melapor ke pihak HRD. Ternyata dia lebih pintar, aku pikir dia akan kapok dan berhenti ganggu suaminya mbak Irna. Nyatanya,-"
Alsava tidak bisa melanjutkan kalimatnya, dan menunduk dalam. Air mata yang tadi mengering kini menetes kembali. Asep menatap Alsava dengan iba, pemuda itu menghela napas pelan tidak mampu berkata-kata.
"Padahal cuma dikasih cepe sama mbak Irna. Tahu bakal jadi pengangguran, aku peras aja ketiganya sampai puas." Alsava berucap gemas, wajah yang menyedihkan kini berubah bringas seperti pihak antagonis dalam sinetron yang sering Asep lihat bersama ibu pemilik kontrakan. Asep beringsut mundur lalu bangkit dan bergegas meninggalkan Alsava sendiri. Pemuda itu bergidik ngeri melihat perubahan ekspresi wajah Alsava yang mengerikan.
"Ngeri banget, untung bukan pacar."
Asep melenggang dengan senyuman tipis di wajah, merasa konyol dengan ucapannya barusan. Sejak kapan dia mengharapkan Alsava--gadis pembuat huru hara--sebagai pacar? Sudah eror kali otaknya ini.
***
"Aku kira, kamu masih betah bermain-main Fan," sindir Rangga dengan senyuman miring di wajahnya.
Pemuda itu berucap santai tanpa meninggalkan singga sangananya. Rafan tidak menanggapi hanya menatap Rangga dingin. Dia semakin yakin kalau sepupunya itu memang tidak pernah mengharapkan Rafan kembali.
"Sudah dua tahun, paman bilang aku harus bersiap menempati posisi yang sejak dulu sudah aku miliki."
Rangga terkekeh mendengar ucapan Rafan barusan, pemuda itu bangkit berdiri lalu melangkah mendekat ke arah Rafan berdiri.
"Dan kamu percaya begitu saja dengan ucapan papa ku?"
Tangan Rangga mengelus pelan jas Rafan lalu merapihkannya, bertindak mengintimidasi Rafan dengan halus.
"Ck, kalau diingat dari dulu papa ku memang selalu lebih mengutamakan kamu dari pada putranya sendiri. Jadi, tidak heran kalau kamu percaya."
Rangga tersenyum miring lalu menjatuhkan badannya dengan santai di sofa di ruangan itu. Mengendurkan ikatan dasi berwarna navy yang dia kenakan, menengadahkan kepala menatap langit-langit ruangan. Sementara Rafan masih diam, berdiri tegak tidak terpengaruh. Menatap sepupunya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kalau kamu mampu, silahkan duduk di tempat yang seharusnya kamu tempati dua tahun lalu," ucap Rangga lagi tanpa merubah posisinya. Suaranya pelan namun Rafan bisa merasakan ketidak relaan di sana.
"Dua tahun bukan waktu sebentar sampai kamu bisa percaya diri kalau situasinya sama seperti dulu, saat kamu memutuskan pergi."
Rangga bangkit lalu duduk kembali di kursi kebesarannya. Kursi yang sudah merubah hidupnya selama dua tahun terakhir. Rafan menunduk, dia kalah telak. Merasa malu dengan tindakannya yang gegabah dan tidak bertanggung jawab.
"Seharusnya kamu sadar posisimu di sini hanya sementara."
Bukannya meminta maaf karena merasa bersalah, Rafan malah menyulut sumbu permusuhan.
"Baiklah, kalau itu mau mu. Datanglah di rapat direksi dua hari lagi, kamu akan tahu kalau dunia sudah tidak lagi berpihak pada anak manja seperti mu."
"Rangga! Ingat batasan mu!" bentak Rafan marah.
Rangga mengangkat bahu tidak peduli. Tangannya terulur menunjuk pintu, mengusir Raffan dengan isyarat. Raffan mengepalkan tangan, dadanya naik turun menahan amarah yang membuat dadanya sesak. Berbalik dan melangkah keluar dari ruangan CEO perusahaan yang seharusnya sudah jadi miliknya sejak dua tahun lalu.
Dengan langkah panjang Rafan masuk ke dalam lift. Alih-alih memencet tombol lantai dasar, Rafan malah memilih naik ke atas menuju atap gedung. Sesampainya di atap, dia termenung menatap pemandangan kota besar yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit. Menghela nafas kasar lalu berteriak dengan kencang.
Mengendurkan ikatan dasi lalu menendang udara dengan kesal. Sekali lagi berteriak berharap sesak di dadanya berkurang. Merogoh saku celana, mengeluarkan kotak roko dan pematik. Mengambil satu batang lalu melemparkan sisanya ke sembarang arah. Menyulut rokok dan menghisapnya dalam. Air mata jatuh tanpa dia sadari sejak tadi.
Ingatan dua tahun lalu berkelebatan di kelopak mata. Pemuda berbadan tegap itu luruh ke lantai dengan terisak. Rokok yang diapit oleh dua jari tangan kanannya jatuh begitu saja di lantai. Asap putih dari rokok masih saja mengepul meski tak lagi Rafan raih.
Dua tahun lalu, hidupnya yang serba nyaman tiba-tiba tergoncang karena sang ayah meninggal dunia secara mendadak. Rafan yang memang terbiasa hidup serba mudah tidak siap dilimpahi tanggung jawab besar memimpin perusahaan dan malah melarikan diri ke luar negeri. Itulah kenapa posisinya sekarang malah ditempati sang sepupu.
"Hidup memang sesulit itu, tapi tidak ada alasan kuat sampai harus bunuh diri." Rafan terkejut, mendongakkan kepala menatap seseorang yang sedang berdiri di sampingnya. Seorang gadis dengan mata bengkak dan rambut berantakan.
"Jika kamu berfikir kamu yang paling menderita di dunia, kamu salah besar. Di luar sana masih banyak orang malang yang jauh lebih menderita, karena harus berjuang hanya untuk mengenyangkan perut." Setelah mengatakan kalimat panjang yang tidak Rafan mengerti, gadis itu berlalu begitu saja tanpa menoleh ke arahnya. Mata Rafan mengikuti gerakan gadis itu dengan bingung.
"Siapa yang mau bunuh diri?" gumam Rafan pelan.
Alsava pulang ke rumah kontrakannya dengan mata sembab dan rambut yang berantakan. Bahkan supir angkot kira Alsava adalah gelandangan atau orang yang memiliki gangguan jiwa. Begitu pun ibu-ibu tetangga kontrakan Alsava yang mengira gadis itu habis kecopetan atau terjadi hal yang mengerikan menimpanya. Akan jadi pengangguran dalam waktu dua hari memang hal yang mengerikan bagi Alsava.
Alsava menghela napas, duduk selonjoran di kontrakan tiga petak bersandar ranjang. Menengadah menatap langit-langit kamar merenungi kejadian hari ini. Dia menyesal, tentu saja. Berniat membantu teman, tapi malah mempersulit hidupnya yang sudah sulit. Benar apa yang dikatakan pak Wiryo, hidupnya sudah sulit tapi Alsava selalu saja membuat masalah yang menambah kesulitah hidupnya.
Gadis itu sekali lagi menghela napas dalam, pikirannya menerawang ke kejadian sore tadi.
"Mbak Irna, aku minta tanggung jawab. Gara-gara bantuin Mbak, kontrak kerjaku terancam tidak diperpanjang." Alsava berucap dengan emosi tertahan.
"Maaf Va, aku nggak bisa bantu. Suamiku mengancam akan menceraikanku kalau memperpanjang masalah ini." Mbak Irna menunduk dan langsung pergi begitu saja.
Alsava terbengong, tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar barusan. Ternyata teman yang begitu dia bela malah meninggalkannya di masa sulit dan membutuhkan uluran tangan. Kesal, marah dan kecewa menjadi satu.
Hati Alsava bergemuruh menahan semua perasaan negatif yang tidak bisa dia luapkan. Berlari ke atap gedung lalu menangis sekenjang-kencangnya. Saat Alsava menangis dengan keras, meratapi nasib dan menganggap paling menderita di dunia. Pintu terbuka dengan munculnya seorang pemuda berbadan tegap, pakaiannya rapih dengan rambut yang hitam mengkilap.
Tangisan Alsava seketika berhenti, melangkah mundur dan bersembunyi di balik tembok.
Siapa?
Alsava mengerutkan dahinya dalam. Merasa tidak pernah melihat orang yang sedang membelakanginya itu. Melihat tindakan dan mendengar teriakan pilu orang itu, hati Alsava yang sesak sedikit berkurang.
Ternyata bukan hanya aku yang menderita di dunia ini.
Merasa lega melihat orang lain juga menderita, setidaknya dia merasa memiliki teman sependeritaan meski masalah mereka berbeda. Diam-diam dia merasa lega karena tidak hanya dirinya yang sedang terpuruk sekarang.
"Hidup memang sesulit itu, tapi tidak ada alasan kuat sampai harus bunuh diri." Alsava maju mendekat ke orang itu, berdiri mensejajari tanpa menoleh ke arahnya.
"Jika kamu berfikir kamu yang paling menderita di dunia, kamu salah besar. Di luar sana masih banyak orang malang yang jauh lebih menderita, karena harus berjuang hanya untuk mengenyangkan perut." Alsava berbalik dengan senyuman di wajah, langkahnya ringan merasa sudah jadi pahlawan yang menyelamatkan nyawa orang lain.
"Orang tadi siapa ya?" gumam Alsava pelan, menghela napas lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur yang tidak begitu empuk itu.
"Dia kayaknya orang yang mapan secara ekonomi."
Bola mata Alsava bergulir ke atas berusaha mengingat penampilan pemuda yang dia temui tadi di atap gedung.
"Ck, kukira permasalahan terberat di dunia ini hanya karena uang. Nyatanya orang kaya juga punya masalahnya sendiri," lanjut Alsava lagi.
Matanya sudah mulai terkantuk dan menutup secara perlahan. Tidak butuh waktu lama dia pun jatuh tertidur dengan lelap.
***
"Apa kita bisa bertemu?" tanya Rafan dengan nada lembut pasa seseorang yang berada di sebrang sana. Tangan kanan menempelkan ponsel berwarna hitam di telinga kanannya. Matanya menatap lurus pemandangan di balik jendela kamar pribadinya.
Tangan kirinya sedang menenteng cangkir keramik putih berisi kopi yang masih mengepulkan asap. Rafan dengan tenang mendengarkan respon orang dari pertanyannya barusan seraya menyeruput kopinya dengan hati-hati.
Kening Rafan berkerut kala mendengarkan jawaban seseorang yang sangat ingin dia temui sejak kembali ke indonesia. Jawaban yang sama sekali tidak dia harapkan terlontar hingga membuat hatinya kecewa.
"Kenapa?"
Rafan menghela napas lalu meletakkan cangkir--yang dia pegang--di atas meja kaca yang berada di sampingnya. Mendadak merasa kesal karena selalu mendapatkan alasan yang dia rasa terlalu dibuat-buat.
"Kamu nggak mau ketemu aku Hon?" tanyanya dingin. Matanya masih menatap lurus pemandangan dibalik jendela.
"Hum.. Oke, aku ngerti."
Rafan berucap datar sebelum memutus sambungan telepon tanpa membiarkan orang disebrang sana menyelesaikan kalimatnya.
"Apa waktu dua tahun sudah merubahnya juga?" gumam Rafan bertanya pada diirinya sendiri.
Kini Rafan benar-benar menyesali keputusannya dua tahun lalu. Meninggalkan tunangan yang sangat dia cintai demi lari dari sebuah tanggung jawab. Awalnya hubungan Rafan bersama Lexi--sang tunangan--masih berjalan baik meski harus terpisah jarak. Komunikasi mereka masih berjalan baik walau hanya melalui sambungan video. Lexi juga pernah beberapa kali mengunjungi Rafan di luar negeri sekaligus liburan.
Tapi, beberapa bulan terakhir Rafan merasa Lexi berubah. Gadis pujaannya itu seolah menghindarinya. Jarang mengangkat telepon, selalu menolak saat diajak melakukan panggilan video. Bahkan jarang sekali berbalas pesan seperti kebiasaan mereka dulu.
"Pasti ada yang Lexi sembunyikan."
Rafan yakin sang tunangan sudah berubah karena sebuah alasan. Mengingat hubungan mereka merenggang beberapa bulan terakhir. Bahkan Lexi seolah enggan menemuinya yang sudah berada di indonesia.
Bukannya Rafan tidak berusaha menemui dan menghibungi, tapi saat Rafan datang ke rumah keluarganya Lexi, dia tidak disambut dengan ramah seperti sebelumnya. Dia hanya dapat informasi kalau Lexi sudah pindah tinggal di apartemen beberapa bulan yang lalu.
Berbekal alamat yang diberikan asisten rumah tangga keluarga Lexi, Rafan melajukan mobilnya menuju sebuah apartemen mewah yang merupakan tempat tinggal Lexi sekarang.
Setelah sampai di bassment apartemen Lexi, Rafan tidak langsung turun dari mobilnya. Dia menimbang-nimbang apakah tindakannya kali ini akan memperbaiki hubungannya dengan Lexi atau malah sebaliknya.
Menghela napas dalam, membuka sabuk pengaman lalu turun dari mobil dengan dada yang berdebar. Masuk ke dalam lift menuju lantai 15, di dalam lift ternyata tidak hanya ada dirinya tapi juga seorang pemuda berjaket warna hijau bertuliskan logo ojek online.
Pemuda itu menoleh ke arahnya seraya tersenyum. Rafan hanya mengangguk saja tanpa ikut tersenyum. Keheningan diantara keduanya terpecah karena ponsel pemuda berjaket hijau itu memekik dengan nada yang cukup tinggi membuat Rafan ikut menoleh dan memperhatikan.
"Iya sebetar ya, abang kirim dulu orderan. Sebentar lagi abang pulang, iya.. Iya.. "
Tanpa disadari Rafan terus memperhatikan pemuda itu, merasa diperhatikan ia menoleh lalu tersenyum dan mengangguk.
"Maaf ya Pak, maklum istri sudah cerewet saja padahal baru jam 9. Takut suaminya ngayap kemana aja."
Tanpa diminta pemuda itu menjelaskan seraya tersenyum malu-malu. Rafan hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan.
"Pesanannya untuk lantai berapa?" Rafan berbasa basi memulai obrolan.
"Lantai 15."
Rafan mengangguk dan kembali diam, tidak tertarik melanjutkan obrolan meski mereka menuju lantai yang sama. Setelah pintu Lift terbuka di lantai 15, pemuda berjaket hijau itu keluar lebih dulu lalu berjalan dengan cepat mencari unit apartemen tujuannya.
Sementara Rafan melangkah pelan mencari unit apartemen milik Lexi. Rafan mengerutkan dahinya karena sejak tadi dia seperti mengekori langkah pemuda berjaket hijau itu.
Apa Lexi yang pesan makanan?
Betul saja, karena pemuda berjaket hijau itu mengetuk pintu unit milik Lexi. Tidak lama pintu terbuka meski tidak lebar.
"Dengan pesanan atas nama Mbak Lexi?" tanya pemuda berjaket hijah ramah.
"Iya."
Dada Rafan berdetak lebih cepat kala mendengar jawaban 'iya' berasal dari suara yang sangat dia kenal. Melangkah mendekat berusaha melihat orang yang sedang berada di ambang pintu yang sedikit terhalang oleh badan pemuda berjaket hijau.
Semakin dekat jarak Rafan dengan pemuda berjaket hijau yang sedang menunggu pembayaran, maka semakin jelas penglihatannya memastikan orang yang berada diambang pintu itu adalah orang yang dia kenal. Dada Rafan bergemuruh, tangannya mengepal dengan napas yang memburu.
"Terima kasih, jangan lupa bintang limanya."
Setelah menerima pembayaran pemuda berjaket hijau itu pergi. Tubuh Rafan yang terhalang punggung pemuda berjaket hijau langsung terlihat jelas oleh orang yang masih berdiri di ambang pintu.
"Rafan."
Ekspresi terkejut sangat terlihat jelas saat dia melihat Rafan yang berdiri di hadapannya.
"Kamu,-"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!