Nafas Ainsley terengah-engah karena berlari kencang. Jarak dari halte bus ke cafe tempatnya bekerja memang biasanya tidak begitu jauh dari tempatnya tinggal. Biasanya ia hanya berjalan kaki. Tapi sekarang ia harus sesegera mungkin tiba di cafe itu.
Ainsley terburu-buru menyeberangi jalan itu. Cafe tempatnya bekerja terletak di seberangnya. Tiba-tiba suara rem yang berdecit kencang membuatnya memejamkan mata kuat-kuat. Ia merasa kaget dan panik. Ia pikir ia akan segera mati karena ditabrak, namun setelah lama memejamkan mata tidak terjadi apapun. Tak ada rasa sakit di badannya, bahkan dia tidak terguling-guling jatuh karena tertabrak atau apapun itu.
Perlahan-lahan Ainsley membuka matanya. Ia menatap kedepan dan melihat sebuah mobil hitam yang tampak mewah itu dekat sekali dengan tubuhnya. Hanya berjarak beberapa senti dari tubuhnya.
Pintu mobil terbuka, menampilkan seorang lelaki tampan bertubuh tinggi dengan rahang tegas dan wajah mengintimidasi itu turun dari balik kemudi. Lelaki itu tampak sangat marah.
"Dimana otakmu? Kau tidak peduli pada keselamatanmu dengan berjalan terburu-buru seperti itu?" sentak lelaki itu dengan nada tinggi. Pipi Ainsley memerah, ia merasa malu sekaligus gugup dimarahi didepan umum begitu. Cukup banyak orang yang melihat mereka saat melewati jalan itu.
"M..maaf." gumam Ainsley lemah, suaranya sedikit gemetar karena tak tahan dengan tatapan tajam lelaki itu.
Mata pria itu menelusuri seluruh tubuh mungil Ainsley, mencari-cari kalau ada ada yang terluka. Setelah itu ia mendengus kesal.
"Lain kali hati-hati!" ucapnya sinis lalu membalikan tubuhnya dan masuk kembali ke mobilnya, meninggalkan Ainsley yang mundur kembali ke trotoar sambil menatap mobil hitam itu melaju meninggalkannya hingga benar-benar menghilang dari hadapannya. Ainsley tersenyum sinis. Pria sombong, batinnya.
Gadis itu menyeberang lagi. Kali ini ia memutuskan untuk sangat berhati-hati supaya kejadian mengerikan dan memalukan tadi tidak terulang lagi. Lagipula dia sudah benar-benar terlambat sekarang.
Seperti yang Ainsley pikirkan, gadis itu dimarahi habis-habisan oleh sang manajer cafe dan memberinya hukuman mencuci piring sendirian, tanpa bantuan dari siapapun.
Mata Ainsley melebar ketika melihat seorang pria yang dikenalnya. Bukan, bukan kenal. Orang itu adalah orang asing tapi ia jelas ingat wajahnya. Lelaki yang hampir menabrak dan memarahinya tadi.
Gadis itu mundur ke dalam lagi dan mengintip dari balik tirai yang membatasi area dapur dengan bagian luar cafe. Lelaki itu tampak sangat misterius dan tak ada senyum sama sekali diwajahnya. Ainsley mendengus pelan, memangnya tersenyum itu mahal?"
"Mengintip apa?" tiba-tiba suara Sandra teman kerjanya terdengar dari belakangnya. Sandra ikut melirik dari balik tirai dan membuat Ainsley kaget setengah mati. Dia hampir memekik dan melompat lalu menatap Sandra jengkel.
"Bisa tidak jangan muncul tiba-tiba begitu?" gumam Ainsley setengah marah. Sebenarnya Sandra tidak bisa dibilang dekat dengannya. Hanya saja wanita itu yang paling sering mengajaknya ngobrol dibanding yang lain yang selalu melihatnya sebagai perempuan aneh. Memangnya apa yang aneh dari dirinya? Sampai sekarang dia masih tidak mengerti kenapa karyawan-karyawan cafe itu banyak yang tidak suka padanya.
Sandra terkekeh lalu menatap ke arah lelaki yang dilihat Ainsley tadi. Sandra ikut terpesona. Ia kenal lelaki itu. Lelaki yang selalu diberitakan oleh media-media terkenal. Lelaki itu memiliki wajah yang sangat tampan dan sorot mata tajam yang bisa mengintimidasi banyak orang namun membuat banyak wanita tergila-gila padanya. Tubuh jangkungnya, rahang tegas, kulit putih tanpa noda dan penampilan mahal membuatnya terlihat lebih menarik lagi. Ia pria yang sangat menawan di mata Sandra dan tentunya di mata perempuan-perempuan lain juga. Sandra menoleh ke Ainsley.
"Kenapa kau melirik pria itu sembunyi-sembunyi begitu? kau kenal?" tanya Sandra walaupun ia tidak percaya. Ainsley hanya seorang pelayan cafe, mana mungkin bisa kenal pria terhormat itu. Paling-paling gadis itu sama dengannya, terpesona dengan penampilan dan wajah tampannya.
Ainsley menggeleng kuat-kuat.
"Kalian berdua, kenapa hanya berdiri disitu! Bersihkan meja-meja kotor didepan sana cepat! suara pak Dino sang manajer cafe yang galak itu mengagetkan Ainsley dan Sandra. Mereka bergegas menuju area depan dan melaksanakan tugas. Padahal sudah tengah malam tapi Ainsley harus bertahan untuk tidak pulang. Ia memang mengambil shift malam karena paginya masih harus ke kampus mengikuti pelajaran di kelas sebagai mahasiswi.
Dengan ragu, Ainsley membersihkan meja kotor yang terletak di sudut, dekat dengan lelaki yang menabraknya tadi. Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari tablet dan menatap Ainsley.
Namanya Austin. Austin tentu masih ingat jelas wajah gadis itu, gadis yang tadi hampir ia tabrak karena kelalaian gadis itu sendiri.
"Kenapa gadis kecil sepertimu bekerja sampai tengah malam begini?" gumam Austin dengan suara datar, menatap Ainsley dengan saksama dari ujung kaki ke ujung rambutnya. Mereka berada cukup dekat karena meja yang dibersihkan oleh Ainsley ada di dekat meja tempat Austin duduk.
Ainsley merasa tidak nyaman dengan tatapan pria itu yang seolah menelanjanginya. Ia tidak menduga pria itu akan bicara padanya.
"I..ini memang jam kerjaku." jawabnya lalu cepat-cepat memalingkan wajah dari lelaki itu. Ia bisa merasakan lelaki itu terus menatapnya intens. Astaga, apakah lelaki ini adalah jenis lelaki mesum yang akan mengamati semua wanita dengan cara yang membuat canggung begitu? Ainsley cepat-cepat menyelesaikan tugasnya dan buru-buru masuk, meninggalkan Austin yang kini tersenyum menyeringai.
"Apa yang kau bicarakan dengan pria itu?" Sandra menatap Ainsley dengan tatapan menyelidik. Mereka berdua sudah kembali ke dapur. Sandra merasa heran karena tadi ia melihat pria itu bicara duluan pada Ainsley. Seorang Austin yang sangat terkenal, bicara pada pelayan cafe? Mungkin kalau bertanya tentang menu atau hal yang berhubungan dengan cafe itu hal yang wajar, tapi Sandra merasa dari gerakan kedua orang itu, mereka sedang membicarakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan cafe. Ia bahkan melihat Austin tidak berhenti menatap Ainsley dengan tatapan tertarik, dan entah kenapa ia merasa tidak suka. Sandra memang berteman dengan Ainsley, tapi ia hanya menganggapnya sebagai teman biasa dan akan merasa tersaingi kalau gadis itu berada lebih di atasnya.
"Tidak ada yang penting." jawab Ainsley sibuk mengatur piring-piring yang sudah bersih ke rak piring.
"Tapi aku lihat kalian ngobrol cukup lama." tambah Sandra lagi ingin mengorek lebih dalam. Ainsley meliriknya sebentar. Cukup lama? Jelas sekali pria itu hanya bicara satu kalimat pendek dan dia menjawab dengan satu kalimat yang pendek juga, dimana gadis itu menghitung waktu lamanya mereka bicara? Yang lama adalah tatapan pria itu yang membuatnya risih.
"San, ada pelanggan yang baru masuk tuh." ujar Ainsley menunjuk keluar ke beberapa pelanggan yang masuk. Sandra buru-buru keluar melayani mereka.
"Hufft." Ainsley bernafas lega. Untung ada pelanggan baru, ia jadi bisa menghindari pertanyaan Sandra yang pastinya tidak akan ada habisnya itu. Menurutnya Sandra adalah majalah gosip berjalan.
Sudah dua hari ini Austin menahan keinginannya untuk mendatangi cafe itu lagi. Perempuan yang bekerja di cafe itu, diluar dugaannya sangat menarik perhatiannya. Sejak pertemuan kedua kalinya di malam hari itu, ia jadi ingin melihatnya lagi. Ada sesuatu yang menarik dari perempuan itu di matanya. Gadis itu terlihat familiar di matanya.
Austin tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan pada gadis itu. Ia berhati dingin dan pembawaannya kejam, hingga ia tidak pernah peduli pada orang lain. Selama ini ia hanya peduli pada pekerjaannya dan bagaimana mengembangkan perusahaannya supaya lebih maju. Tetapi gadis bertubuh mungil namun sexy itu dengan wajah manis yang sulit dilupakan, juga ekspresi malu-malu yang terlihat lucu itu entah kenapa mendorongnya ingin lebih mengenalnya.
Dimana rumahnya? Apa dia selalu bekerja tengah malam begitu? Tiba-tiba Austin tersadar. Kenapa dia terus memikirkan gadis itu?
Drrtt...
Pandangan Austin berpindah ke ponselnya yang berdering. Nama sekretarisnya muncul dalam daftar panggilan, membuatnya cepat-cepat mengangkat.
"Bagaimana, kau berhasil menemukan keberadaannya?" tanyanya.
"Iya. Nama lengkapnya Ainsley putri. Umur dua puluh satu tahun, sekarang sedang berkuliah semester akhir di universitas Andara dan punya kerja sampingan di sebuah cafe yang bernama Cornerstone.
"Cornerstone?" gumam Austin mengulang perkataan terakhir sekretarisnya. Alisnya terangkat. Bukankah itu adalah cafe yang ia datangi dua hari lalu?
Ainsley? Ia kembali memikirkan gadis yang selalu ada dalam pikirannya dua hari ini. Apakah gadis itu yang selama ini dia cari? Ada rasa senang di hatinya. Kalau memang benar gadis itu, ini adalah kebetulan yang menyenangkan.
"Bagaimana? Kau berencana menemuinya?"
Austin mengetuk-ngetuk jari di meja.
"Kirim fotonya padaku." ia ingin memastikan dulu kalau benar memang gadis itu. Karena setahunya ada banyak pelayan perempuan juga di cafe itu. Bisa saja dia salah.
"Baiklah."
setelah melihat gambar yang di kirim oleh sekretarisnya pada layar ponselnya, Austin tersenyum menyeringai. Ia merasa seperti baru saja memenangkan lotre.
Bagaimana bisa gadis di cafe itu adalah perempuan yang di carinya selama ini. Gadis yang dijodohkan dengannya oleh almarhum kakeknya. Wajahnya cantik dan orangnya juga menarik. Kalau begitu ia tidak perlu berpikir panjang lagi untuk membatalkan pertunangan yang dilakukan oleh kakeknya. Ia tertarik pada gadis itu. Gadis yang ternyata adalah tunangannya.
"Kau akan segera jadi milikku, Ainsley." gumam pria tampan itu pasti. Sekalipun gadis itu menolak, ia akan mencari segala cara untuk mendapatkannya. Dengan begitu perempuan-perempuan yang mengejarnya tidak punya alasan lagi untuk mendekatinya.
***
Sementara itu, Ainsley bernafas lega dan senang ketika mendengar hari ini cafe tempatnya bekerja diliburkan. Katanya bosnya ada acara mendadak jadi semua karyawan libur. Ah, akhirnya ia punya waktu beristirahat dan kerjanya yang padat. Ia sudah buat janji berjalan-jalan dengan teman-teman kuliahnya nanti.
"Jadi, kita mau kemana?" tanya Ainsley menatap teman-temannya bergantian.
"Night club!" seru Fina semangat. Ainsley melotot. Night club? Yah ampun, kenapa harus ke tempat itu sih, ia tidak suka.
"Ke tempat lain saja gimana? tawarnya. Dara sih gadis bermata coklat yang paling dekat dengannya merangkul bahunya.
"Ayolah Ain, jarang-jarang kan kita berempat bersenang-senang kayak sekarang. Kau selalu sibuk bekerja, kali ini gunakan kesempatan ini baik-baik."
"Tapi,"
"Nggak ada tapi-tapi, pokoknya kau harus mau titik." giliran Mira yang bicara dan langsung menarik tangan Ainsley. Mau tak mau gadis itu ikut-ikut saja. Tak sampai satu jam mereka sudah sampai di salah satu night club terkenal di Jakarta. Mira punya relasi di tempat itu jadi mereka bisa mendapatkan bonus cukup besar plus lihat pria-pria tampan dan kaya. Siapa tahu ada yang dapat jodoh.
Suasana yang hangat bingar membuat Ainsley mengernyitkan matanya. Dia tidak suka suasana yang ramai dan menyesakkan seperti ini. Dia merindukan kamarnya yang tenang dan damai. Tempat yang biasanya menjadi surganya untuk bersantai-santai.
Musik yang keras itu hampir melampaui batas toleransinya. Rasanya ia ingin pergi dari tempat ini sekarang juga tapi tidak bisa. Teman-temannya terus menahannya.
Ainsley terus menarik rok merah pendeknya kebawa berulang kali. Astaga, kenapa tadi ia mau-mau saja di suruh pakai rok sexy begitu oleh ketiga temannya. Rok itu sangat tidak nyaman, apalagi bajunya. Baju yang dia pakai belahan dadanya begitu rendah hingga beberapa pria di dekat situ bersiul-siul menatapnya dengan mata nakal. Ainsley meringis. Ia merasa dirinya sekarang terlihat seperti perempuan murahan.
Tak lama kemudian, suara berisik dari pintu masuk mengalihkan perhatian Ainsley. Sosok pria berbadan tinggi dan proporsional itu membuat banyak orang menjadi heboh. Kebanyakan yang heboh sih para wanita. Ainsley yang penasaran menjinjitkan kakinya ingin melihat seperti apa rupa sosok yang di puja-puja itu.
"Eh, itu kan Austin Hugo" seru Fina heboh. Ainsley meliriknya.
"Siapa Austin Hugo?" tanpa sadar ia menyuarakan isi hatinya. Ketiga temannya itu sama-sama menatapnya heran.
"Kau tidak kenal Austin Hugo?" seru Fina membelalakkan mata. Ainsley mengernyit bingung. Memangnya dia harus tahu? Memangnya kenapa kalau tidak kenal? Memangnya siapa pria itu? Artis terkenal? Model? Penyanyi? Gadis itu mengangkat bahunya tidak peduli. Selama ini ia selalu menyibukkan dirinya untuk menyelesaikan pendidikannya sambil bekerja di cafe, jadi tidak punya waktu untuk mengenal orang yang tidak penting baginya.
"Dengar dan ingat baik-baik yah Ainsley." ujar Dara lalu mulai menjelaskan.
"Austin Hugo itu adalah salah satu pebisnis besar yang sangat sukses. Banyak perusahaan dari negara lain yang mau bekerja sama dengannya. Ia adalah raja dalam dunia bisnis dan tidak segan-segan menggilas siapapun yang menghalangi jalannya. Walaupun kejam, tapi sosoknya sangat tampan. Umurnya baru dua puluh sembilan tahun tapi perusahaannya sudah menjadi perusahaan nomor satu dalam negeri. Makanya banyak wanita yang berbondong-bondong ingin menjadi istrinya." jelas Dara panjang lebar. Ainsley hanya mengangguk-angguk tapi dalam hati ia merasa ngeri. Ia tidak suka dengan yang namanya lelaki berkuasa. Pasti lelaki seperti itu suka berbuat seenaknya.
"Bagaimana, sekarang kau tertarik dengan pria seperti itu?" Mira menggoda Ainsley. Gadis itu menggeleng ngeri. Jangan sampai ia bertemu pria mengerikan seperti itu, ia tidak tahan.
"Tapi kalau aku suka punya pacar seperti Austin." kata Fina dengan senyuman nakalnya.
"Aku tahu pikiran kotormu itu." timpal Mira. Fina senyum-senyum menatap mereka.
"Biasanya laki-laki beringas seperti itu sangat hebat di atas ranjang. Mereka bisa membuatmu kli maks berkali-kali. Coba bayangkan rasanya."
Ainsley hampir tersedak mendengar perkataan Fina. Ya ampun, mulut dan pikiran temannya yang satu ini memang sangat berbahaya. Apakah seperti itu gaya bicara perempuan yang sudah tidak perawan lagi? Ainsley tahu ketiga temannya itu sudah tidak perawan, mereka sendiri yang bercerita dengan antusias. Ainsley yang malu sendiri kalau mendengar mereka mulai membuka obrolan yang membuat telinganya tidak suci lagi itu.
Ketika Ainsley izin ke toilet, tangannya tiba-tiba di tarik paksa oleh seseorang. Entah siapa orang itu yang jelas membuat gadis itu kaget bukan main.
Austin merasa muram hari ini, entah kenapa. Ia tidak bisa bertemu dengan gadis itu. Gadis yang ternyata sudah menjadi tunangannya sejak kecil.
Tidak salah kan dia bilang tunangan? Dari kecil mereka memang sudah di jodohkan. Walau belum saling mengenal sama sekali, tapi mereka ada ikatan pernikahan. Dan Austin sendiri setuju menikahinya. Yah, dia akui dirinya tertarik pada gadis itu. Sosok cantik itu akan ia jadikan istri dalam waktu dekat ini. Ia sudah bertekad.
Pria itu masih merasa kesal karena cafe tempat Ainsley bekerja ternyata tutup. Austin sudah tidak melihatnya lagi hampir seminggu ini dan ketika mau pergi melihatnya, cafe itu tutup. Padahal baru jam tujuh malam. Ah sudahlah, mungkin pemiliknya lagi ada kesibukan lain.
Sebenarnya gampang saja bagi seorang Austin yang berkuasa untuk melacak posisi gadis itu, tapi ia tidak mau. Ia akan membiarkannya hari ini dulu dan menemuinya besok. Tidak mungkin kan cafe itu tutup dua hari berturut-turut, pikirnya.
Lelaki itu memutuskan untuk datang ke club. Bukan untuk bersenang-senang dengan meniduri wanita-wanita murahan itu, tetapi untuk melepaskan penat. Ia akan minum sedikit saja sambil memikirkan calon istrinya.
Pada saat Austin masuk, pemilik club sendiri yang menyambutnya. Tentu saja karena tahu betapa berkuasanya seorang Austin Hugo. Sang pemilik club berkepala botak itu cepat-cepat menggiring Austin ke ruangan VIP terbaik.
"Anda bisa memilih siapapun untuk menemani anda, tuan." kata pria berkepala botak itu.
Austin yang awalnya hendak menolak menghentikan pandangannya di ujung sana, pada sosok yang tidak bisa ia temui hari ini.
Brengsek,
pria itu menggeram kesal. Dia menatap lama keseluruhan penampilan gadis itu. Pakaian apa yang dipakainya itu. Dengan sekali lihat ia tahu gadis itu tampak tidak leluasa dengan pakaian di tubuhnya. Siapa yang berani memberinya baju minim bahan itu.
Tanpa aba-aba Austin berjalan ke arah Ainsley dan dengan gerakan cepat menarik gadis itu, membawanya masuk ke ruangan VIP yang ditunjuk oleh pemilik club tadi. Teman-teman Ainsley hanya melongo dengan ekspresi terheran-heran.
Ainsley sendiri merasa kaget bukan main. Tentu saja ia meronta-ronta dan menjerit minta dilepaskan. Dia pikir dirinya mau di culik.
Semakin gadis itu meronta semakin Austin tidak mau melepasnya. Pria itu tidak peduli. Ketika masuk ruangan kosong itu ia langsung melemparkan Ainsley ke sofa panjang dan mengunci pintu.
"Aku perlu bicara dengan calon istriku, jangan biarkan siapapun menerobos masuk kalau tidak ingin kuhabisi." perintahnya dengan nada mengancam ke sih pemilik club lalu membanting pintu dengan keras tak lupa menguncinya.
Teman-teman Ainsley berjalan cepat-cepat ingin masuk ke ruangan itu. Jujur mereka kaget melihat Ainsley tiba-tiba ditarik paksa oleh seorang Austin yang hebat itu namun juga ingin menolongnya.
Bisa saja pria itu berniat jahat. Namanya juga laki-laki, sehebat apapun mereka, kalau sudah bergairah untuk menyentuh wanita, mereka sama saja dengan binatang.
Ketiga gadis itu terhenti di depan pintu karena sih pria berkepala botak itu menahan mereka. Awalnya mereka bersikeras ingin masuk namun ketiganya terdiam saat mendengar pria itu berkata Austin Hugo tidak ingin ada yang mengganggu pembicaraannya dengan calon istrinya.
"Calon istri?" Mira, Fina dan Dara saling berpandangan dengan raut wajah heran seolah tak percaya.
"Sejak kapan Ainsley kenal Austin? Bukannya tadi gadis itu bertanya siapa Austin? Mereka bahkan akan menikah?" kata Fina seolah tidak percaya dengan yang baru di dengarnya.
Ketiganya masih terheran-heran. Pokoknya mereka akan meminta penjelasan nanti. Dara sendiri masih ingat Ainsley sok-sokan bertanya tentang siapa Austin Hugo tadi. Gadis itu tertawa. Awas saja kalau Ainsley tidak menjelaskan dengan baik nanti.
***
Di dalam ruangan tempat Austin dan Ainsley berada terjadi keheningan sebentar. Lampu ruangan itu agak remang-remang namun Ainsley masih bisa melihat wajah itu. Ia seperti mengingat wajah itu. Di mana yah?
Matanya melotot ketika mengingat di mana ia pernah bertemu pria itu. Itu adalah pria yang hampir menabraknya dan menatapnya dengan wajah mesum di cafe seminggu yang lalu.
"Kau," ucapnya tertahan.
"Sudah ingat, hm?"
Ainsley mendengus keras.
"Kenapa menarik-narik tanganku sembarangan dan membawaku ke.."
matanya mengitari seluruh ruangan yang terlihat asing itu.
"Dimana ini?" sentaknya menatap Austin marah. Pria itu tersenyum miring. Belum ada yang pernah membentaknya seperti itu. Gadis ini memang sangat berani. Austin menatap Ainsley lurus.
"Kenapa ke sini? Kau tahu ini tempat apa bukan?" bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, ia malah balas bertanya.
"Gadis kecil sepertimu tidak pantas berada disini." tambahnya terus menatap gadis itu.
Ainsley tersenyum sinis. Apa katanya? gadis kecil? Huh!
"Hellow sir, memangnya anda siapa, berhak mengatur-atur hidup saya!"
"Aku calon suami kamu, asal kau tahu." balas Austin tegas.
Ketika mendengar perkataan itu, Ainsley terdiam sesaat menatap pria itu lalu tertawa keras. Calon suami? Dia tidak salah dengarkan?
"Sinting," umpatnya dan kembali melanjutkan.
"Saya tidak kenal anda sama sekali dan anda berani bilang kalau anda calon suami saya? pria gila!" gadis itu mengumpat lagi. Ia ingin segera pergi dari situ tetapi sebelum sempat berdiri, Austin meraih jemarinya dan menariknya kencang, supaya terduduk lagi. Kali ini Austin membuatnya terduduk di pangkuannya.
"Apa..apaaan, mmph.."
suara Ainsley terhenti saat bibir yang keras dan dingin itu tiba-tiba mencium bibirnya. Ainsley memberontak ketika menyadari bahwa Austin memagut bibirnya dengan ciuman yang basah dan panas.
Ciuman itu tampak tak sopan karena bibir dingin Austin tanpa permisi langsung menyeruak masuk merasakan keseluruhan diri Ainsley, menghisapnya dan menikmatinya tanpa ampun.
Sekujur tubuh Ainsley terbakar, panas karena amarah dan gairah. Pria itu sudah jelas-jelas sangat ahli dalam mencumbu perempuan. Bahkan Ainsley yang tidak berpengalaman sama sekali sampai terbawa oleh gairahnya. Pasti telah banyak sekali perempuan yang sudah ditiduri pria ini.
Ketika Austin melepaskan ciuman panas itu, Ainsley mendorongnya menjauh dan menamparnya sekuat tenaga. Matanya berkilat-kilat penuh amarah dan bibirnya terasa membengkak.
Austin tersenyum senang menatap gadis itu. Kalau tidak ingat tempat dan menghormati gadis itu, ia pasti sudah meniduri Ainsley sekarang juga, di tempat ini.
Tapi ia tahu, gadis itu tetap akan menjadi miliknya. Ia akan mendapatkan gadis itu ketika gadis itu sudah benar-benar menjadi miliknya.
"Apa itu ciuman pertamamu?" godanya. Terlihat jelas gadis itu tak berpengalaman.
"Sialan, aku akan melaporkanmu karena melakukan pelecehan seksual!"
Austin tertawa keras.
"Aku hanya menciummu dan kau bilang itu pelecehan seksual? Kalau begitu aku akan menyetubuhimu di sini sekarang juga." balas pria itu masih mau menggoda Ainsley. Ada kesenangan tersendiri dalam hatinya saat melihat ekspresi yang berbeda-beda dari wajah gadis itu. Ia jadi makin tidak sabar melihat ekspresi Ainsley ketika tahu mereka sudah bertunangan sejak kecil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!