Pukul enam pagi. Matahari bahkan masih malu-malu untuk menampakkan dirinya, namun Kalea sudah dibuat emosi sejak mendudukkan diri di ruang tengah beberapa menit yang lalu. Penyebabnya adalah agenda perjodohan yang sudah sering dibahas oleh kedua orang tuanya sejak beberapa bulan belakangan. Sebuah perjodohan konyol yang sama sekali tidak masuk di akal Kalea.
Papa masih terus mengoceh tentang laki-laki yang akan dijodohkan dengannya, sementara Mama tampak begitu antusias menanggapi setiap cerita Papa di saat Kalea hanya memandang keduanya tanpa minat. Sekarang ini, Papa dan Mama terlihat seperti orang tua laknat yang sedang merencakan untuk menjual anak semata wayang mereka kepada lelaki asing yang entah bagaimana bentuknya.
"Ini bukan demi perusahaan. Serius, ini demi hidup kamu," kata Papa untuk yang ke-sekian kalinya. Kalea hanya menanggapi dengan dengusan diiringi bola mata yang berputar jengah. Apanya yang bukan demi perusahaan? Jelas-jelas perjodohan ini diadakan demi kelangsungan perusahaan mereka. Agar perusahaan yang dirintis dengan susah payah oleh Papa bisa semakin berkembang dan dikenal banyak orang.
Well, walaupun tanpa perjodohan ini pun sebenarnya perusahaan Papa sudah cukup dikenal. KL Group bukanlah perusahaan sembarangan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, perusahaan yang semula hanya berupa agensi hiburan kecil itu telah menjelma menjadi perusahaan entertainment besar yang sukses mendebutkan banyak artis dan aktor hebat. Selain memiliki rumah produksi sendiri, KL Group juga telah melebarkan sayap ke dunia modeling. Ada beberapa model di bawah naungan KL Group yang berhasil dikontrak menjadi brand ambassador untuk merek pakaian terkenal dunia.
Tapi agaknya semua pencapaian itu masih belum cukup bagi Papa, sehingga pria tua itu masih saja berusaha membuatnya menikah dengan seorang laki-laki yang katanya merupakan pewaris tunggal MC Group, perusahaan penyiaran yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga perusahaan penyiaran terbesar di negeri ini.
Kalea sendiri tidak tahu seperti apa rupa laki-laki itu. Padahal Papa bilang namanya ada di mana-mana dan tampangnya sering muncul di berbagai media baik cetak maupun digital. Masalahnya, Kalea tidak tertarik dengan hal-hal semacam itu. Alih-alih menonton televisi yang isinya kebanyakan cuma sinetron dengan tema mainstream ataupun gosip perceraian artis, Kalea lebih suka menghabiskan waktu di studio kecil miliknya, berkutat dengan kuas dan cat untuk menghasilkan karya seni yang estetik.
"Anaknya ganteng loh, Kal." Itu suara Mama. Terdengar girang dan matanya berbinar seolah baru saja menemukan kotak harta karun yang isinya berlian senilai ratusan juta dolar.
Kalea menghela napas. Memangnya seganteng apa sih laki-laki itu? Lebih ganteng dari Lee Jeno, personil boyband NCT asal Korea Selatan yang sedang digandrungi banyak anak muda itu? Kalea rasa tidak. Seganteng-gantengnya laki-laki itu, paling juga tidak lebih ganteng dari aktor-aktor yang ada di bawah naungan KL Group. Di mana tidak ada satu pun yang berhasil menarik minat Kalea.
"Performanya di perusahaan juga bagus. Dia berhasil naikin nilai saham perusahaan sampai dua puluh persen cuma dengan kehadirannya di salah satu event yang diselenggarakan oleh perusahaannya. Nggak cuma ganteng, Kal, dia juga pintar," celoteh Papa begitu riangnya. Dari sorot matanya yang secerah matahari pagi di luar sana yang mulai berani menampakkan diri, Papa seolah ingin mengatakan kepada dunia betapa Papa mengagumi sosok pemuda yang sedang ia ceritakan itu. Lebih dari itu, Kalea merasa Papa seperti sedang membanggakan anak kandungnya sendiri.
"Kalea nggak mau." Kekeuh Kalea. Dia merasa umurnya masih terlalu muda untuk terjebak dalam perjodohan konyol ini. Daripada menghabiskan waktu bersama seseorang yang sama sekali tidak dikenal, Kalea lebih tertarik untuk menggoreskan lebih banyak tinta ke atas kanvas kosong yang berserakan di studionya.
"Coba untuk ketemu aja dulu, Kal. Kenalan pelan-pelan. Papa nggak minta kamu untuk langsung nikah sama dia besok, kok." Papa berujar santai, masih berusaha membujuk Kalea untuk menyetujui ide gila ini.
"Kal," Mama meraih tangan Kalea, membawanya ke dalam sebuah genggaman yang hangat. Mata Mama yang semula berbinar cerah mendadak berubah sendu, membuat Kalea kembali menghela napas entah untuk ke-berapa kalinya. "Pleaseeeeee... Mama nggak pernah minta apa-apa sama kamu, kan? Sekaliiii aja, Kal. Mama cuma mau kamu coba untuk kenal sama anak ini." Mama mulai menampakkan raut melasnya. Sial. Mama tahu betul kelemahan Kalea. Dia paling tidak bisa melihat wanita yang telah melahirkannya itu bersedih.
"Mama kenal baik sama ibunya, makanya Mama berani bahas soal perjodohan ini. Kal, Mama tahu kamu pasti mikir perjodohan ini semata-mata demi kepentingan perusahaan, tapi percaya deh sama Mama, nggak cuma itu alasannya."
Akhirnya, Kalea kalah juga. Walaupun sebenarnya dia masih punya seribu satu alasan untuk menolak permintaan Mama, tapi saat mata Mama semakin sendu dan raut wajahnya seperti orang yang sedang putus asa, Kalea tidak kuasa untuk tidak menganggukkan kepala.
"Oke, Kalea akan coba ketemu dulu sama dia," kata Kalea, yang sontak disambut sorak-sorai oleh kedua orang tuanya. Entah ke mana perginya tatapan sendu dan raut putus asa di wajah Mama, sebab kini wanita itu asyik memeluk Papa dan berteriak kegirangan.
"Besok kamu ketemu dia di Ballada Cafe, ya. Pas jam makan siang," ujar Papa dengan senyum semringah.
"Hmmm." Kalea hanya berdeham sebagai jawaban. Entah apa yang akan dia lakukan setelah ini, itu akan Kalea pikirkan nanti. Sekarang dia ikuti saja dulu kemauan orang tuanya, daripada dua orang tua itu berubah jadi reog. Kan nggak lucu.
"Kamu mau sarapan apa? Mama siapin sekarang." Mama tiba-tiba bangkit dari duduknya, berkata dengan semangat menggebu-gebu seperti baru saja menemukan kembali separuh nyawanya yang hilang.
"Terserah Mama aja, Kalea mau ke studio dulu. Panggil aja kalau sarapannya udah siap."
Tidak menunggu sampai Mama memberikan respons, Kalea ngeloyor begitu saja meninggalkan ruang tengah. Kaki-kaki kecilnya mengayun pelan menaiki tangga. Satu persatu anak tangga itu dia daki, sampai akhirnya dia tiba di lantai 3, tempat di mana studionya berada.
Tangan Kalea terangkat untuk membuka kenop pintu, tetapi urung dan malah berakhir duduk sembari memeluk lututnya sendiri di depan pintu studio.
Hela napas keluar begitu saja. Hela napas yang sarat akan keputusasaan yang entah berasal dari mana. Mungkin dari mimpi sederhana yang baru saja dipatahkan? Mimpi sederhana Kalea untuk bisa mengadakan pameran untuk lukisan-lukisan yang telah dia buat sebelum memutuskan untuk menikah. Kalea sudah menyimpan mimpi itu selama bertahun-tahun, tetapi mungkin mimpi itu tidak akan tercapai karena firasatnya mengatakan perjodohan ini akan tetap dilanjutkan apa pun yang terjadi.
Bahu Kalea yang semula tegak perlahan-lahan merosot. Kepalanya ditumpukan di atas lutut, menghadap ke samping, pada lorong lantai 3 yang di sepanjang dindingnya terpajang lukisan-lukisan miliknya yang diciptakan sedari dia masih sangat muda. Salah satu yang begitu menarik perhatiannya adalah sebuah lukisan yang menampakkan seorang anak laki-laki berlarian di tengah padang rumput hijau. Walau lukisan itu hanya menampakkan sisi belakang dari anak laki-laki itu, Kalea tetap bisa merasakan bahwa anak laki-laki itu sedang tersenyum.
"Hah... kamu di mana? Kalau sekarang ini kamu ada di sini sama aku, mungkin nggak kalau kamu bantu aku keluar dari semua kejadian menjengkelkan ini?" gumamnya seorang diri. Lalu tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari sudut mata sebelah kiri. Sungguh, Kalea merindukan anak laki-laki yang ada di dalam lukisan itu. Seorang teman masa kecil yang Kalea temui belasan tahun lalu. Entah ke mana perginya anak itu. Entah masih hidup atau bakan sudah meninggal dunia. Kalea masih terus berharap untuk bisa bertemu dengan anak itu lagi. Suatu hari nanti.
Bersambung...
Kalea punya teman baik, namanya Karel. Ayahnya seorang dokter bedah top dan ibunya merupakan mantan presenter olahraga. Umurnya hanya satu tahun lebih tua, tetapi anak itu mampu bersikap selayaknya seorang kakak bagi Kalea. Walaupun terkadang mereka akan menghabiskan waktu untuk berdebat tentang hal-hal tak penting, keduanya tetap saling menyayangi layaknya saudara kandung. Otak Karel yang kadang tidak waras nyatanya tidak menjadi masalah bagi Kalea, karena kalau boleh jujur, otak Kalea juga kadang sama tidak warasnya. Karel yang tengil dan Kalea yang emosian adalah perpaduan yang pas—meskipun orang-orang lebih sering mengeluhkan sakit telinga saat keduanya sedang bersama.
Biasanya, kalau suasana hatinya sedang buruk dan ada banyak kekhawatiran yang tidak bisa diungkapkan kepada siapa pun, Kalea akan mendatangi Karel. Kepada lelaki itu Kalea akan menceritakan semuanya. Hampir tidak ada rahasia yang Kalea simpan dari Karel. Bocah tengil itu bahkan menjadi orang pertama yang tahu saat Kalea pertama kali datang bulan di bangku kelas dua SMP. Waktu itu, sepulang sekolah, Karel dan Kalea menghabiskan waktu untuk bermain video game bersama di rumah Karel. Ibun dan Mama sedang pergi arisan sedangkan Ayah dan Papa tentu saja sibuk bekerja sehingga dua bocah itu hanya sendirian di rumah. Ada seorang asisten rumah tangga, tapi wanita paruh baya itu sedang pergi ke supermarket untuk membeli beberapa keperluan rumah tangga yang habis.
Setelah menghabiskan waktu bermain beberapa game, Kalea berniat untuk istirahat sebentar. Dia bangkit dari duduknya dan hendak pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Namun, saat bangkit, Kalea dibuat terkejut dengan teriakan Karel yang menggema memenuhi ruang tengah. Bocah itu berteriak histeris sembari menunjuk bokong Kalea. Katanya, "Kale, kamu kenapa? Bokong kamu berdarah!" yang membuat Kalea panik bukan main. Dia pikir bokongnya terluka karena tak sengaja menabrak sesuatu. Tapi anehnya Kalea sama sekali tidak merasakan sakit di bokongnya.
"Ih, Karel...ini gimana? Aku kenapa?" Kalea remaja yang masih polos tampak menahan tangis. Mengintip rok seragamnya yang sudah terkena noda darah lumayan banyak.
"Karel juga nggak tahu. Hikss... Kalea kenapa?" bukannya menenangkan, Karel remaja malah menangis duluan. Bocah itu terisak-isak seperti dialah yang baru saja terluka.
Karena sama-sama masih polos dan tidak tahu apa itu datang bulan, mereka akhirnya menangis berdua di ruang tengah. Meraung-raung bagai dua anak yang ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya. Mereka berpelukan. Menangis sesenggukan sampai akhirnya Ibun datang dengan raut wajah syok mendapati anak dan anak tetangganya menangis terisak bersama.
Sore itu kacau sekali. Mama harus menjelaskan kepada Kalea berkali-kali untuk membuat anak itu mengerti tentang apa itu datang bulan dan apa yang harus dilakukan saat hal itu datang menghampiri. Ibun juga tak kalah repot. Perempuan itu harus bekerja ekstra untuk menenangkan Karel yang masih terus menangis. Bocah itu terus berkata bahwa dia takut kalau Kalea terluka parah dan bisa saja mati. Karel tidak mau kehilangan teman, katanya. Drama sekali.
Kalea terkekeh saat ingatan konyol itu mampir di kepalanya. Membuat Karel yang sedang sibuk dengan espresso maker sontak menolehkan kepala dengan tatapan heran.
"Idih, ketawa sendiri. Kesambet lo?" Karel berjalan menghampiri Kalea yang duduk di salah satu meja dekat counter sembari membawa es americano di tangan. Siang ini cafe tampak lengang, hanya ada beberapa pengunjung yang lebih memilih meja di pojok untuk menikmati kopi dan dessert yang dipesan.
Tadi, setelah puas merenung di studionya tanpa melakukan apa-apa pada kanvas kosong yang rencananya akan dilukis, Kalea berlarian menuju rumah Karel. Ini hari Jumat, jadi Kalea pikir Karel sedang bermain game di kamarnya karena biasanya lelaki itu hanya akan datang ke cafe saat hari Selasa dan Kamis. Namun, sesampainya di sana, Kalea malah hanya bertemu dengan Mpok Nuriah, asisten rumah tangga yang cerewetnya sebelas duabelas dengan Karel. Kata Mpok Nuriah, Karel pergi ke cafe untuk menggantikan salah seorang karyawan yang izin sakit. Tanpa pikir panjang, Kalea langsung saja menyetir mobilnya menuju cafe ini—mengabaikan teriakan Mama yang berulang kali menyuruhnya makan siang (mengingat Kalea tak menyentuh sarapannya sama sekali).
"Lo kenapa? Mama maksa lo buat pergi ke gym lagi?" tanya Karel yang kini sudah duduk di seberang Kalea, menyedot es americano buatannya kemudian tersenyum jemawa setelah cairan pekat itu berhasil lolos dari tenggorokannya. Merasa bangga pada hasil karyanya sendiri.
"Lebih parah dari itu."
"What do you mean? Lebih parah dari maksa lo pergi ke gym? Emang ada ya yang lebih parah dari maksa seseorang berjiwa mager kayak lo buat olahraga?"
"Ada!" Kalea menggebrak meja, membuat Karel hampir menyemburkan es americano yang baru ia sedot.
"Bisa biasa aja nggak sih? Gue kaget anjir." Karel mencak-mencak. Untung saja dia tidak tersedak. Kan, tidak lucu kalau sampai tersedak es americano buatannya sendiri.
"Apa, sih? Kenapa? Mama nyuruh lo ngapain?" Karel meletakkan es americanonya di atas meja. Punggungnya ditegakkan dengan tangan yang menyilang di depan dada, sudah siap untuk mendengarkan keluhan Kalea.
"Aku mau dijodohin."
"Oh...dijodohin. Cuma —eh anjir!!! Dijodohin?!"
"Biasa aja dong ngomongnya! Kamu mau pelanggan pada kabur gara-gara owner cafenya berisik kayak kamu?" Kalea mendelik. Beberapa pelanggan di cafe tampak menoleh ke arah mereka karena suara teriakan Karel yang berisik bukan main.
Karel tersenyum kikuk pada beberapa pelanggan yang menatap mereka kesal, merasa terusik dengan teriakannya yang membahana. Setelah perhatian orang-orang itu tidak lagi berpusat kepada mereka, Karel memajukan kursinya. Dia mencondongkan tubuh ke arah Kalea, kemudian berbisik, "Serius lo mau dijodohin?" tanyanya. Berusaha memastikan bahwa telinganya masih berfungsi dengan baik.
"Iya."
"Sama siapa? Kok tiba-tiba banget?"
"Nggak tahu." Kalea mengendikkan bahu.
"Nggak tahu gimana, sih?"
"Ya nggak tahu! Mama sama Papa nggak kasih tahu siapa orangnya. Pokoknya aku besok disuruh ketemu sama dia di Ballada Cafe."
Karel terdiam. Tidak tahu harus merespons apa. Kabar perjodohan ini terlalu mengejutkan untuk bisa diterima. Padahal selama ini Mama dan Papa tampak santai saja membiarkan anak gadis semata wayang mereka ini melakukan apa yang diinginkan. Papa bahkan tidak pernah memaksa Kalea untuk ikut terjun dalam urusan perusahaan. Kenapa sekarang tiba-tiba ada perjodohan?
"Rellll...aku harus gimana?" Kalea merengek.
"Kita kabur aja gimana? Ke Korea? Siapa tahu lo bisa ketemu sama si Jono, kan?" Karel berucap enteng, hanya untuk membuat Kalea mendelik dan sebuah pukulan mendarat di kepalanya.
"Sakit!" Karel jelas meringis. Ia usap kepalanya yang ngilu akibat ulah Kalea.
"Yang bener kalau ngasih solusi! Lagian namanya Jeno, bukan Jono!" Kalea mencak-mencak, tidak terima nama idolanya diganti dengan seenak jidatnya oleh Karel.
"Beda satu huruf doang!"
"Beda huruf beda arti!"
"Emang artinya apaan, sih?"
"Nggak tau! Ini kenapa kita malah bahas soal nama Jeno, sih?"
"Lah, iya juga." Karel terkekeh.
Kemudian hening. Karel cuma bisa menghela napas panjang saat kepala Kalea terkulai lemah di atas meja.
"Aku nggak mau nikah dulu, Rel. Masih ada yang harus aku lakuin." Lirih Kalea sebelum hening kembali berlangsung jauh lebih lama. Hiruk-pikuk yang ada di sekitar mereka seolah tak berarti karena kini, keributan di kepala Karel dan Kalea berlangsung jauh lebih berisik.
...****************...
Pukul setengah tujuh malam. Karel berjalan keluar dari cafe setelah melambaikan tangan kepada Ardi, salah satu karyawan yang masih harus bekerja sampai jam 9.
Di luar cafe, Kalea sudah menunggu di dekat mobil. Tubuh kecil itu bersandar di body mobil. Kalea menunduk, menatapi sepasang sepatunya yang sesekali mengetuk-ngetuk aspal.
"Gue yang nyetir."
Kalea mendongak, hanya bisa mengangguk lemah saat Karel menengadahkan tangan untuk meminta kunci mobil. Setelah menyerahkan kunci mobil kepada Karel, Kalea menurut saja saat kepalanya ditekan oleh Karel agar masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan.
Setelah keduanya duduk di dalam mobil dan seatbelt sudah terpasang dengan benar, Karel segera melajukan mobilnya. Lelaki itu menyalakan radio dengan niat supaya hening tidak terlalu menguasai mereka berdua. Namun, seketika itu juga dia menyesali keputusannya karena lagu yang berputar di sana justru jenis lagu galau yang sebaiknya tidak diputar saat suasana hati sedang buruk. Karel ingin mematikan radio, tetapi urung karena perhatiannya tercuri oleh Kalea yang tiba-tiba menyandarkan kepala di bahunya.
"Aku udah terlanjur setuju buat ketemu dia, Rel. Nggak bisa mundur lagi," adu sang gadis. Suaranya lirih sekali, berbanding terbalik dengan nada suara yang biasa ia pakai sehari-hari. Yang cenderung cempreng dan berisik.
"Cuma ketemu aja, kan?" Karel berusaha tetap tenang dan fokus ke arah jalanan yang ramai.
"Iya, sih."
"Yaudah, nggak apa-apa. Anggep aja ketemu teman baru."
"Tapi, Rel..." Kalea mengangkat kepalanya dari bahu Karel, menatap lelaki yang sedang fokus menyetir itu lekat-lekat. "Aku takut Mama jadi berharap banyak."
Tepat ketika mobil berhenti karena lampu lalu lintas berganti merah, Karel menolehkan kepala, hanya untuk menemukan sepasang mata bulat milik Kalea yang menatapnya sendu.
"Mama kayaknya suka banget sama orang itu. Papa juga sama. Malah semangat banget waktu ceritain soal dia."
"Berarti dia orang baik."
"Relllll...."
"Listen to me, lo yang paling tahu segimana sayangnya Mama sama Papa ke lo, so I guess mereka cuma mau ngebantu lo untuk ketemu sama lebih banyak orang." Ada perih yang terasa saat Karel mengatakannya. Membayangkan Kalea bertemu dengan orang lain selain dirinya membuat sebagian dirinya merasa sedih. Ada sisi egois dari dirinya yang tak menginginkan Kalea dekat dengan siapa pun selain dirinya karena memang sudah seterbiasa itu mereka selama belasan tahun ini. Karel bahkan rela menjomlo di usianya yang sudah genap 26 tahun demi bisa tetap dekat dengan Kalea karena kapan pun ia memiliki kekasih, kekasihnya hanya akan merengek padanya untuk menjauhi Kalea. Karel tentu tidak bisa. Dia tidak akan melepaskan Kalea hanya demi mempertahankan status pacarannya dengan gadis mana pun.
"Buat apa ketemu banyak orang kalau sama kamu aja aku udah merasa cukup?"
Gue juga mikirnya gitu, Kal. Buat apa kita ketemu orang lain, kalau dengan kita bareng-bareng gini udah bikin kita nyaman dan bahagia? Tetapi Karel tidak punya nyali untuk mengatakannya. Jadi saat lampu lalu lintas berganti hijau, ia segera menginjak pedal gas dan membiarkan pertanyaan Kalea menggantung di udara, tak terjawab untuk waktu yang cukup lama.
Barulah saat mobil yang mereka tumpangi masuk ke kompleks perumahan, Karel berkata, "Everything's gonna be alright. Lo punya gue, jadi nggak ada yang perlu lo khawatirkan." Setelah menepikan mobil, ia menunggu Pak Dadang (satpam di rumah Kalea) untuk membukakan gerbang.
"Gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa. Anggap aja besok itu cuma pertemuan biasa sama temen baru yang lo kenal secara online. Tujuannya cuma buat menambah relasi, nggak lebih." Karel sempat menyapa Pak Dadang sekilas sebelum melajukan mobil menuju garasi.
Ketika mobil sudah terparkir rapi di garasi, Karel dan Kalea tidak kunjung bergerak dari posisi. Mereka sama-sama masih enggan untuk keluar. Kepala mereka sama-sama berisik. Sama-sama ricuh sampai tidak ada yang bisa membantu meredakan keadaannya yang keruh.
"Rel," panggil Kalea tiba-tiba, membuat Karel yang hendak melepaskan seatbelt mengurungkan niatnya.
"Besok bisa nggak anterin aku buat ketemu sama orang itu?"
"Sure." Karel mengangguk mantap. "Besok gue anterin lo." Kemudian seatbelt dilepas. Tak lupa Karel juga melepaskan seatbelt yang melilit tubuh Kalea sebelum akhirnya keluar dari mobil lebih dulu, untuk kemudian membukakan pintu di sisi Kalea.
Keduanya lantas berjalan beriringan menuju pintu depan. Sempat berbincang sebentar sebelum Karel mendorong tubuh kecil Kalea agar segera masuk ke dalam rumah. Sang gadis menurut saja, melangkah gontai sembari melambaikan tangan sebelum pintu besar itu tertutup kembali.
Setelah Kalea masuk ke dalam rumah, Karel berjalan meninggalkan rumah gadis itu untuk pulang ke rumahnya yang letaknya persis di sebelah rumah Kalea.
"Nggak mau ngopi dulu, Mas?" tawar Pak Dadang, ketika langkah Karel mencapai pos tempat pria itu berjaga.
"Tadi udah abis ngopi, Pak. Sampe tiga gelas malah. Makanya sekarang kembung." Karel bergurau sembari menepuk-nepuk pelan perutnya.
Pak Dadang terkekeh melihat kelakuan Karel. Kemudian basa-basi itu berakhir di sana. Karel kembali melanjutkan langkah dalam diam, berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang justru semakin ribut.
Bersambung...
Pagi-pagi sekali, Kalea sudah dibuat pusing karena Mama terus mengoceh tentang banyak hal. Mulai dari pakaian apa yang harus dia kenakan, sampai segala macam peringatan agar Kalea tidak melakukan yang aneh-aneh selama acara makan siang nanti. Mama jelas sudah paham kalau anaknya ini sedikit tidak waras dan terkadang suka melakukan hal-hal aneh yang bisa membuat orang lain menggeleng keheranan.
Pernah suatu waktu, Kalea tidak pulang ke rumah sehingga membuat Papa dan Mama kebingungan. Mereka bahkan sudah hampir lapor ke polisi karena berpikir Kalea mungkin diculik saat sedang dalam perjalanan pulang dari kampusnya. Tapi, tahu apa yang terjadi? Gadis itu pulang tepat tengah malam dengan seekor anak kucing tiga warna yang tubuhnya basah kuyup dan bau comberan. Ketika ditanya dari mana saja dirinya, anak itu menjawab santai kalau dia habis menguras energinya untuk membujuk anak kucing itu agar mau dibawa pulang.
Oke. Kalea akui dia memang kadang se-absurd itu, tapi Mama tidak perlu sampai mengoceh sepagi ini hanya untuk membuatnya tidak berulah, kan? Lagi pula, kenapa juga Kalea harus membuang-buang energi untuk berulah di depan orang yang tidak dia kenal? Untuk membuatnya illfeel dan menolak perjodohan ini? Oh, tentu tidak. Walaupun Kalea tidak menginginkan perjodohan ini, dia juga tidak ingin menjadi pihak yang ditolak. Dasar Kalea, masih sempat-sempatnya memikirkan soal harga diri!
"Nanti biar dianter sama Pak Amir aja, jangan nyetir sendiri," titah Mama sembari menempelkan sebuah dress warna hitam selutut ke badan Kalea. Entah itu sudah pakaian ke-berapa yang Mama coba cocokkan dengan tubuh Kalea. Dia bahkan tidak tahu dari mana Mama mendapatkan berbagai macam dress yang terlampau feminin itu. Karena tentu saja dress semacam itu bukanlah style-nya sama sekali.
"Aku dianter sama Karel," katanya.
"Ohhhh yaudah." Mama menganggukkan kepala paham. Tidak mau repot-repot membantah. Toh, perginya dengan Karel, bukan dengan orang lain.
"Mama ada nyiapin berapa baju, sih? Perasaan nggak habis-habis dari tadi." Kalea berdecak sebal. Kakinya sudah pegal karena Mama terus menyuruhnya untuk berdiri sejak tadi.
"Banyak. Belum ada yang cocok, nih. Nah, coba yang ini." Kali ini Mama menyodorkan sebuah dress biru laut yang panjangnya sedikit di bawah lutut. Sebuah dress berbahan satin, berlengan pendek dan polos tanpa aksen renda ataupun hiasan pinggang seperti dress lain yang Mama sodorkan sebelumnya.
Kalea meraih dress itu kemudian membawanya ke depan cermin besar di samping meja rias. Ia menempelkan dress itu di badan, kemudian menganggukkan kepala puas karena dirasa dress ini yang paling cocok dengan seleranya. Tapi tentu dia harus menunggu persetujuan Mama dulu. Maka, dia segera berbalik untuk meminta pendapat Mama.
Ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba, Mama juga menganggukkan kepala dengan senyum semringah. "Cocok."
"Oke. Kalea pakai ini. Sekarang Mama keluar," ujar Kalea sembari mendorong tubuh Mama keluar dari dalam kamarnya.
Sekarang baru jam setengah tujuh, masih ada beberapa jam sebelum makan siang, jadi Kalea berniat untuk melanjutkan tidurnya satu atau dua jam lagi.
Namun, setelah Mama keluar dari kamar, Kalea malah tak kunjung merealisasikan niatnya. Alih-alih kembali tidur, dia malah duduk di lantai dengan punggung yang bersandar di ranjang. Lagi-lagi merasa takut. Takut kalau mimpi sederhananya benar-benar tidak akan bisa terwujud kalau perjodohan ini ternyata memang berlanjut.
...****************...
"Makasih, Rel," ucap Kalea pada Karel yang baru saja membukakan pintu mobil untuknya. Pemuda itu hanya menanggapi dengan senyum manis madu. Jenis senyum akan mampu membuat lawan bicaranya terpesona bahkan pingsan di tempat saking manisnya.
"Nanti gue jemput jam berapa?" tanya Karel setelah Kalea keluar dari mobil dan menutup kembali pintunya.
"Nggak tahu. Nanti aku telepon kamu kalau udah selesai." Kalea menjawab sembari menunduk, merapikan dress biru laut di bawah lutut yang dia kenakan.
"Kale," panggil Karel pelan.
"Hm?" Kalea menolehkan kepala, hanya untuk menemukan Karel menatapnya dengan jenis tatapan yang sulit untuk diterjemahkan.
"Kenapa?" tanya Kalea lagi saat Karel tak kunjung mengatakan sesuatu.
"Kalau memang nggak suka, jangan dipaksa, ya?"
Kalea merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat. Masalahnya bukan pada apa yang barusan Karel katakan. Melainkan nada bicara Karel yang terasa asing di telinganya.
Sebagai informasi saja, Karel itu tipikal orang yang doyan bicara dan suaranya sangat berisik. Kalau ada penghargaan untuk kategori manusia paling berisik, Karel mungkin sudah menyimpan banyak piala dalam lemari di rumahnya. Jadi bukan hal aneh kalau Kalea merasa tidak terbiasa dengan nada suara lembut yang barusan dia dengar.
"Rel, kamu sakit?" alih-alih menjawab, Kalea malah menempelkan punggung tangannya di kening lelaki itu. Kemudian keningnya berkerut saat mendapati suhu tubuh Karel normal-normal saja. Tidak demam.
"Gue serius!" Karel berdecak, menepis tangan Kalea dari keningnya. Matanya melotot galak.
"Ya abis omongan kamu aneh. Bukan, bukan. Bukan omongannya sih yang aneh, tapi nada suaranya." Celoteh Kalea.
"Aneh gimana, sih?"
"Ya aneh. Kamu kan biasanya berisik banget, suka teriak-teriak. Terus tadi tiba-tiba ngomongnya pelan, lirih, mana ekspresi mukanya juga nggak banget lagi." Cibir Kalea yang sontak membuat Karel mencebik.
"Gue lagi berusaha jadi Abang yang baik buat lo, dodol!"
"Aw!!!" Kalea memekik saat Karel dengan semena-mena menyentil dahinya.
"Pokoknya, jangan paksain apapun. Inget kata-kata gue semalem, anggep aja lo kesini buat ketemu sama temen online lo, kalau nggak cocok tinggalin, nggak perlu ketemu lagi." Kata Karel, kali ini dengan nada suara yang normal. Khas Karel yang Kalea tahu.
"Iya, iya. Tapi ini jidat aku jadi sakit!" Kalea balik mengomel, dahinya terasa panas dan kepalanya jadi agak pening akibat ulah sembarangan Karel. Entah sekeras apa lelaki ini menyentil dahinya hingga efeknya bisa separah ini.
"Lebay! Merah juga enggak itu jidat. Udah sana buruan masuk, jangan bikin orang nunggu!"
Kalea pasrah saja saat tubuhnya dibalikkan dan punggungnya didorong oleh Karel. Lelaki itu mendorongnya benar-benar sampai di depan pintu. Kalau saja dari dalam tidak ada seorang pelayan yang stand by untuk membukakan pintu, Karel pasti yang akan melakukannya dan lelaki itu akan menyeret Kalea hingga duduk di meja yang sudah dipesan oleh Papa.
"Kalau manusia yang lo temuin nanti macem-macem sama lo, langsung cabut. Telepon gue saat itu juga biar langsung gue jemput." Kata Karel untuk terakhir kalinya sebelum berbalik pergi.
Kalea hanya bisa diam memandangi punggung Karel yang menjauh sampai akhirnya lelaki itu masuk ke dalam mobil dan mobil yang dikendarai menjauh dari pandangan. Kalea masih berdiri di depan pintu dengan pelayan yang menahan pintu agar tidak tertutup sampai mobil Karel benar-benar sudah tidak terlihat lagi.
Kemudian Kalea melangkah kakinya masuk ke dalam restoran, tersenyum sekilas pada pelayan laki-laki yang membukakan pintu. Lalu dia disambut oleh seorang pelayan lain-kali ini perempuan-yang mengkonfirmasi namanya dengan nada suara yang ramah. Setelah memastikan bahwa Kalea memanglah seseorang yang datang setelah melakukan reservasi, pelayan perempuan itu segera menuntun Kalea menuju meja yang dipesan.
Dari kejauhan, Kalea sudah bisa melihat seorang laki-laki yang duduk membelakanginya. Punggungnya tegap dan terlihat seksi dibalut jas warna hitam. Rambut hitamnya tertata rapi. Postur tubuhnya tampak bagus bahkan hanya dilihat dari belakang saja. Seiring langkahnya yang semakin dekat dengan laki-laki itu, Kalea mulai bertaruh dengan dirinya sendiri. Katanya, kalau wajah laki-laki ini sama tampannya dengan Lee Jeno NCT, dia akan mempertimbangkan untuk menerima perjodohan ini tanpa banyak komentar (Karena dia pikir itu adalah sesuatu yang mustahil). Kalea sudah yakin akan menang dalam pertaruhan yang dia buat sendiri, sampai saat pelayan mempersilahkannya duduk dan pamit undur diri, Kalea merasa separuh nyawanya ditarik pergi dan tenggorokannya terasa kering seolah sudah tidak minum selama berhari-hari.
Saat mata mereka bertemu, Kalea merasa tubuhnya membeku. Aliran oksigen ke paru-paru seolah tersumbat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Kepalanya mendadak terasa berat. Gila! Kalea pasti sudah gila! Mungkin ini efek karena terus menyebut nama Lee Jeno di dalam kepalanya sejak beberapa hari ke belakang. Makanya Kalea jadi melihat laki-laki di hadapannya ini seolah berwajah tampan seperti penyanyi idola itu.
"Halo?"
Kalea tersentak saat merasakan wajahnya diterpa angin. Saat sadar dari lamunannya dan kewarasannya berhasil dikembalikan, dia mendapati laki-laki di depannya menatapnya keheranan.
"Ah, maaf." Kalea tersenyum kikuk sebelum mendudukkan dirinya di hadapan lelaki itu.
"Saya Gavin." Yang laki-laki berucap pelan sembari mengulurkan tangan kepada Kalea yang masih bersusah payah mengatur degup jantungnya yang menggila.
"Kalea."
Keduanya berjabat tangan singkat. Kemudian sebelum percakapan berlanjut kemana-mana, dua orang pelayan datang membawakan makanan dan minuman.
"Thanks to your Papa karena udah menyiapkan semua ini dengan baik." Kata Gavin, tersenyum manis kepada Kalea setelah makanan tersaji di hadapan mereka dan pelayan tadi sudah pergi.
"Saya nggak tahu Papa punya waktu untuk menyiapkan semua ini." Kata Kalea. Dia tidak sedang merendah untuk meroket. Tapi ia benar-benar tidak menyangka Papa seniat ini untuk mengatur pertemuannya dengan laki-laki yang--mirip Jeno NCT ini.
"Untuk putri semata wayangnya, saya rasa hal seperti ini bukan sesuatu yang berlebihan." Kata Gavin, tatapannya masih tak beralih dari wajah ayu Kalea. Diam-diam mulai memindai satu persatu fitur yang ada di wajah gadis itu. Mulai dari alis tipisnya yang rapih, bulu mata lentik yang membingkai kelopak mata ganda dengan iris cokelat terang, hidung kecilnya yang bangir, sampai ke bibir tipisnya yang tampak cocok dipulas dengan lipstik warna pink. Rambut cokelatnya yang sepanjang punggung dan ikal di bagian ujung dibiarkan tergerai. Tidak ada aksesoris lain yang turut meramaikan penampilan gadis itu, hanya sepasang anting yang tersemat di telinga yang kini tampak sedikit memerah--entah karena apa.
Sementara itu, Kalea juga melakukan hal yang sama. Dia juga mulai memindai wajah Gavin. Hanya saja, tidak terlalu bisa berkonsentrasi sebab saat ini dia justru merasa sedang berhadapan dengan Jeno NCT--saking miripnya. Alis tebal, hidung tinggi, mata kelam juga bibir tebal alami milik Gavin benar-benar membuat Kalea teringat pada berondong kesayangannya itu.
"Silakan dimakan." Kata Gavin, menyodorkan sepiring steik daging sapi yang sudah dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil ke hadapan Kalea, menggantikan piring berisi steak yang masih utuh.
Kalea tentu tersentuh dengan perlakuan Gavin. Act of Service. Tipenya sekali. Ah, tidak boleh begini. Siapa yang sejak kemarin merengek pada Karel karena ogah menerima perjodohan ini? Kenapa sekarang dia tersentuh hanya karena perlakuan manis laki-laki ini? Kalea benar-benar tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Labil!
Menit-menit selanjutnya dihabiskan dengan keduanya yang diam menikmati makanan masing-masing. Sesekali melemparkan pujian untuk koki yang sudah berhasil menyajikan makanan dengan cita rasa yang pas di lidah keduanya.
Setelah menyantap habis makanan di piring dan meneguk air untuk melegakan tenggorokan, keduanya terdiam selama beberapa saat. Kalea sibuk mengalihkan pandangan ke segala arah karena tidak tahan melihat Gavin terus memandang ke arahnya. Kalea salah tingkah. Iya, benar. Kalea yang tidak pernah tertarik pada laki-laki manapun termasuk beberapa aktor dan model di perusahaannya itu salah tingkah karena seorang Mahesa Gavin Cakraditya.
"Saya nggak menarik, ya?" tanya Gavin tiba-tiba, membuat Kalea refleks menolehkan kepala.
"Eh... Enggak, bukan gitu." Kalea gelagapan, tapi Gavin malah terkekeh melihat respon Kalea yang demikian.
"Sumpah, bukan gitu."
"Terus?"
"Kita pulang aja, yuk?."
Gavin praktis tergelak atas ucapan Kalea yang tiba-tiba. Tanpa dijelaskan pun, dia tahu gadis itu sedang salah tingkah sekarang. Terbukti dari tatapan matanya yang berlarian ke sana ke mari juga belah pipinya yang semerah tomat matang.
"Kamu lucu kalau lagi salah tingkah." Kata Gavin setelah luas menertawakan betapa lucu ekspresi wajah Kalea.
"Saya nggak salah tingkah!" Kilah Kalea, malu karena tertangkap basah.
"Kamu iya."
"Saya enggak!"
"Iya."
"Enggak!"
Gavin terdiam. Bisa saja terus menimpali ucapan Kalea dan membiarkan perdebatan tidak jelas ini berlanjut sampai nanti. Tapi dia ingat ada hal yang lebih penting untuk dilakukan. Maka tanpa berniat menperpanjang perdebatan mereka, Gavin bangkit berdiri.
"Iya, kamu nggak salah tingkah." Katanya. "Ayo, saya antar pulang." Lanjutnya sembari mengulurkan tangan.
Kalea terdiam selama beberapa saat memandangi uluran tangan Gavin. Tidak menyangka lelaki itu akan mengalah padanya. Karena kalau itu Karel, perdebatan tidak penting tadi pasti akan berlangsung selama seharian penuh, tanpa henti.
"Kalea?"
"Saya bisa pulang sendiri. Teman saya yang tadi antar bakal jemput saya lagi." Kata Kalea. Tapi Gavin malah menggelengkan kepala.
"Membiarkan kamu datang ke sini sendiri aja udah salah banget, Kalea. Sebagai laki-laki, udah jadi keharusan bagi saya untuk memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat, betul?"
Telak. Kalea tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dengan tangan yang sedikit bergetar karena efek detak jantungnya yang kembali menggila, Kalea meraih uluran tangan Gavin.
Keduanya berjalan beriringan keluar dari cafe. Gavin dengan cepat membukakan pintu untuk Kalea, meletakkan tangan di atas kepala Kalea untuk memastikan kepala gadis itu tidak terkantuk pintu. Setelah memastikan Kalea duduk dengan aman dan nyaman, Gavin berjalan ke sisi mobil yang lain dan segera memosisikan diri di balik kemudi.
Di sepanjang perjalanan, sejak Gavin menginjak pedal gas hingga mobil yang mereka tumpangi telah berbaur dengan kendaraan lain, Kalea hanya bisa terdiam. Sesekali curi pandang pada Gavin yang tampak fokus pada jalanan di depan. Beruntung jalanan tidak sedang macet sehingga Kalea tidak perlu mendengar suara bising klakson yang bersahut-sahutan.
Karena mungkin tidak ingin membiarkan hening menguasai, Kalea melihat Gavin menyalakan radio. Dalam sekejap alunan musik mulai memenuhi seisi mobil yang semula senyap. Sebuah lagu dari band yang tak Kalea kenal mengudara. Musiknya terdengar asing, tapi liriknya terasa begitu dekat karena sedikit banyak menggambarkan suasana yang Kalea rasakan saat ini. Bagaimana jantungnya berdebar tiap kali matanya bersirobok dengan Gavin saat tertangkap basah sedang curi-curi pandang, napasnya yang kadang tiba-tiba berhenti karena tidak sanggup menangani aroma maskulin dari tubuh Gavin yang menabrak indra penciumannya, juga bagaimana tubuhnya terasa kaku hanya dengan senyum tipis yang tersungging di bibir tebal lelaki ini.
Dua puluh menit terlewati begitu saja. Saat sadar, mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan gerbang rumah Kalea.
"Udah sampai."
Kalea menoleh, hanya untuk mendapati Gavin sedang tersenyum padanya. Jantung Kalea seperti akan jatuh bergedebuk di tanah sewaktu Gavin tiba-tiba bergerak mendekat. Semakin dekat hingga Kalea bisa membaui aroma parfum lelaki itu dengan semakin jelas. Bahkan wajah Kalea terasa panas karena napas Gavin berembus mengenai wajahnya. Sedekat itu jarak mereka sekarang.
Normalnya, Kalea akan menampar pipi lelaki di hadapannya ini, atau bahkan menendang selangkangannya karena sudah bersikap kurang ajar kepada dirinya. Tapi entah kenapa, Kalea tidak bisa berbuat apa-apa. Dia menahan napas saat tangan Gavin terulur, lalu entah mengapa dia memejamkan mata.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Hingga detik ke delapan, tidak ada yang terjadi. Kalea tidak merasakan apa-apa di wajahnya. Bahkan embusan napas hangat Gavin pun sudah tidak terasa. Karena penasaran, Kalea mengintip, dan seketika itu juga dia menyumpahi dirinya sendiri yang sudah berpikir yang tidak-tidak kepada Gavin saat nyatanya laki-laki itu hanya membantunya melepaskan seatbelt.
"Kamu emang hobi melamun, ya?" tanya Gavin tiba-tiba.
Kalea sontak sadar dari lamunannya. Susah payah mengumpulkan kembali kewarasannya hanya untuk merasa malu karena lagi-lagi Gavin memergokinya sedang melamun.
Lagi-lagi Gavin terkekeh. Lelaki itu kemudian turun dari mobil, berjalan ke sisi satunya untuk membukakan pintu mobil.
Pintu sudah terbuka, tapi Kalea malah diam saja, memandangi Gavin yang berdiri menjulang di samping badan mobil, menahan pintu untuknya.
"Halo?" Gavin melongokkan kepala tiba-tiba, membuat Kalea yang hendak menurunkan satu kakinya dari mobil buru-buru mengurungkan niatnya.
"Kamu nggak mau turun?"
"Ini mau turun. Kamunya awas dulu coba, saya nggak bisa lewat kalau kamu berdiri di situ."
"Oh, I see. Maaf, ya." Gavin menggeser tubuhnya, memberikan ruang untuk Kalea.
"Makasih ya--Gavin?" Ucap Kalea setelah keluar dari mobil.
"My pleasure."
"Eung... ya udah, saya masuk, ya?" Pamit Kalea, sudah memutar tubuh hendak melangkah menuju gerbang rumahnya di mana Pak Dadang sudah siap untuk membukakan pintu.
Namun pergerakannya terhenti saat Gavin mencekal pergelangan tangannya.
"Kenapa?" Tanya Kalea bingung.
"Nomor hp. Kamu belum kasih saya nomor hp kamu."
"Ah... Untuk?"
"Berkomunikasi. This is not our first and last, is it?"
This is not our first and last, is it? Kalea mengulangi pertanyaan itu di dalam kepalanya. Mencoba mencerna sendiri maksud dari kalimat itu. Bukan yang pertama dan terakhir, apa itu artnya Gavin ingin ada pertemuan ke-dua, ke-tiga dan seterusnya?
"Halo? Kalea?" Gavin kembali terkekeh.
"Saya cuma..."
"Cuma?"
"Cuma nggak tahu kalau kamu berniat untuk ketemu saya lagi." Kalea meringis setelah mengatakannya. Bukankah dia terdengar menyedihkan? Seolah dia sedang putus asa karena tahu dialah satu-satunya yang ingin pertemuan ini terulang kembali.
Tapi keresahannya seketika menguap saat tawa renyah Gavin mengudara. Lelaki itu melepas tangannya. "Kenapa juga saya nggak mau ketemu kamu lagi? Kamu menyenangkan."
Sumpah demi seluruh koleksi album KPop miliknya, Kalea ingin menenggelamkan diri ke Samudra Pasifik sekarang juga. Seumur hidup, dia tidak pernah menerima pujian semacam ini. Apa yang dia dengar dari orang-orang tentang dirinya hanya sebatas bahwa dia cantik, bahwa otaknya cemerlang dan fakta bahwa dia adalah putri semata wayang dari seorang pengusaha sukses yang asetnya bertebaran di mana-mana. Kalea tidak pernah mendengar seseorang menyebutnya menyenangkan. Karena kalau boleh jujur, Kalea merasa dia memang tidak menyenangkan sama sekali. Sejak di bangku sekolah menengah pertama, dia sudah dikenal sebagai anak yang jutek dan galak. Tak banyak orang yang mau berteman dengannya karena dia lebih sering marah-marah dan jarang sekali bersikap ramah. Satu-satunya yang masih mau berteman dengan Kalea cuma Karel. Itu pun karena bocah itu kebetulan merupakan tetangga baru di samping rumah Kalea saat itu dan kebetulan juga otaknya agak tidak waras. Jadilah mereka klop hingga sekarang.
Mendengar dirinya disebut menyenangkan rupanya membuat koloni kupu-kupu yang ada di dalam perutnya terbangun dari tidur panjang. Makhluk itu bergerak, berterbangan ke sana kemari hingga menimbulkan sensasi menggelitik yang asing. Membuatnya kehilangan kemampuan mengolah kata sehingga saat Gavin menyodorkan ponsel ke hadapannya, Kalea hanya bisa bengong bagai orang paling tolol sedunia.
"May I have your number, Kalea Dimitria?"
Cukup. Bahkan cara lelaki itu menyebut nama lengkapnya semakin membuat Kalea kehilangan kendali. Si Mahesa Gavin ini benar-benar membuat Kalea kalang kabut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!