Jam sudah lewat tengah malam. Di tempat yang sepi terdengar suara, suara tawa dan juga erangan yang terdengar begitu menyiksa.
Di dalam sebuah gedung terbengkalai segerombolan orang tengah memukuli seseorang secara bergantian. Suara gelak tawa mereka menggema di seluruh ruangan, terdengar menakutkan. Mereka menertawakan seorang laki-laki yang sudah tersungkur di lantai dengan luka hampir di sekujur tubuhnya.
"Tinggalkan dia! Biarkan dia mati secara perlahan di sini," ucap salah satu pria di tempat itu.
"Ayo," imbuh yang lainnya.
Puas menyiksa, segerombolan pria itu pergi tanpa belas kasih meninggalkan si pria begitu saja. Bukan hanya itu saja, mereka tak segan-segan membuang air ludah di dekat si pria yang sudah tidak berdaya.
"Sial! Awas saja aku tidak akan memaafkan kalian. Kini aku memang kalah tapi lain kali aku akan membuat perhitungan dengan kalian," batin pria itu.
Ruangan terasa sunyi, pria itu merasa itu adalah kesempatannya untuk kabur. Setelah memastikan tidak ada orang, pria itu mencoba berdiri. Dengan sisa tenaganya pria itu berusaha berdiri sambil menahan rasa sakit yang luar biasa di tubuhnya.
Pria itu berjalan dengan menyeret kakinya mencoba keluar dari tempat itu. Namun, ketika ia berhasil keluar salah satu dari orang yang menyiksanya melihatnya. Mata pria itu membulat, sontak ia memutar arah mencari jalan lain untuk melarikan diri.
"Dia kabur," seru salah seorang pria pengeroyok.
"Ayo kita kejar! Jangan biarkan dia pergi," ucap pria yang lainnya.
Mereka pun berlari mengejarnya. Pria itu berlari terpincang-pincang dengan darah mengalir dari pelipisnya. Namun akhirnya ia bisa sampai di jalan raya. Pria itu bersembunyi di balik dinding sebuah mini market, matanya terpejam sambil menarik napas panjang menetralkan napasnya yang tersengal-sengal.
"Semoga mereka tidak menemukanku. Aku tidak ingin mati sebelum aku menghabisi mereka," harapnya.
Setelah beristirahat sejenak pria itu menoleh kesana kemari, orang-orang itu tidak terlihat sepertinya mereka tertinggal jauh.
"Aku harus segera pergi dari sini. Sebelum mereka menemukanku lagi," ucapnya
Setelah napasnya mulai normal, pria itu kembali berjalan dengan sisa tenaganya. Pria itu berjalan berharap bertemu seseorang yang bisa membantunya. Doanya terkabul, tidak jauh di hadapannya ia melihat seseorang. Matanya menyipit untuk mempertajam penglihatannya, ternyata seorang wanita.
"Aku harus segera meminta bantuannya." Dengan semua sisa tenaganya, pria itu berlari menghampiri seorang wanita yang sedang membuka pintu mobilnya. "Tolong, tolong selamatkan aku," pinta pria itu.
Situasi yang gelap dan sunyi, tiba-tiba ada seseorang datang dengan wajah yang tertutupi oleh darah. Wanita itu langsung menjerit.
"Aaaa! Siapa kau?" jerit wanita itu.
Wanitai itu berteriak, ia merasa ketakutan melihat keadaan orang itu.
"Sttt, diamlah!" Si pria menaruh jari telunjuk di bibirnya meminta si wanita untuk diam.
Si wanita mengecilkan volume suaranya sambil menatap si pria dengan rasa takut bercampur rasa bingung.
"Tolong bawa aku pergi!" pinta si pria sekali lagi.
"Katakan dulu kau siapa?" tanya wanita itu lagi.
Wanita itu tidak mendapatkan jawaban justru terkejut mendengar teriakan seseorang. Wanita itu menoleh ke asal suara, dari kejauhan segerombolan orang datang dan berlari ke arah mereka. Mata si wanita membulat, ada ketakutan di sorot matanya. Bersyukur isi kepalanya tidak berhenti bekerja, si wanita membantu si pria yang terluka itu ke dalam mobilnya lalu dengan cepat si wanita masuk ke mobil dan segera menguncinya. Pergerakan wanita itu sangat cepat, terlambat sedikit saja sudah dipastikan dia akan terkena masalah.
Brak
"Buka pintunya!" Pria yang berjumlah lebih dari lima orang menggedor-gedor kaca mobil dan juga memaksa untuk membuka pintu mobil. Dengan sigap wanita itu menyalakan mobilnya lalu menginjak pedal gas, mobil melesat jauh seketika. Wanita itu memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, beruntung saat itu jalanan dalam keadaan kosong.
"Ya Tuhan siapa orang-orang tadi? Mereka begitu menakutkan," gumamnya.
Merasa sudah jauh dan aman, wanita itu mengurangi kecepatan laju mobilnya sebelum akhirnya mobil itu berhenti melaju. Ia menoleh ke belakang melihat apakah orang-orang tadi masih mengejar.
"Akhirnya lolos juga!" Si wanita menarik napas lega melihat tidak ada lagi yang mengejar.
Pandangan wanita itu mengarah pada kaca spion di depannya melihat kondisi pria di kursi belakang. Ada banyak pertanyaan di benaknya.
Siapa pria itu?
Kenapa dia sampai seperti itu?
Bagaimana jika dia itu seorang penjahat?
Dan segudang pertanyaan lainnya.
Wanita itu kembali melajukan mobilnya sambil sesekali melihat keadaan pria itu dari kaca spion di hadapannya
"Hai, siapa namamu? Kenapa kau bisa sampai dikejar oleh orang-orang tadi? Apa kau penjahat? Apa kau melakukan sesuatu yang membuat mereka marah?" tanya si wanita.
Tidak ada jawaban. Si wanita pun mencoba bertanya pertanyaan lain.
"Di mana rumahmu?" tanyanya.
Lagi-lagi tak ada respon dari pria itu, hanya erangan yang didengarnya. Wanita itu melihat kembali ke kaca spion mobilnya kondisi pria itu terlihat lemah tak berdaya. Wanita itu berpikir untuk membawanya ke rumah sakit saja. Ia takut jika pria itu mati di dalam mobilnya.
Si wanita kembali duduk dengan posisi siap untuk mengemudi. Mobil itu kembali melaju menuju rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit wanita itu langsung membawanya ke ruang UGD sebelum akhirnya dibawa masuk ke ruang operasi. Ia merasa ngeri melihat banyak luka di badan dan wajah pria itu, benar-benar menyakitkan.
Waktu sudah menujukkan pukul 1 malam, wanita itu masih setia menunggu di depan ruang operasi sampai waktu operasi selesai. Ia berjalan mondar-mandir dengan kecemasan tergambar jelas di wajahnya.
"Bagaimana jika dia mati? Apa nanti aku yang akan disalahkan?" batinnya.
Selang dua jam kemudian pintu ruangan operasi dibuka dari dalam, memunculkan Dokter dari balik pintu. Wanita itu langsung menghampiri sang Dokter.
"Dokter, bagaimana keadaan pria itu? Dia baik-baik saja, 'kan?" tanya sang wanita.
"Operasinya berjalan dengan lancar, kondisinya masih belum stabil. Saat ini dia masih belum sadarkan diri karena pengaruh obat," jawab Dokter.
"Baguslah!" ucap wanita itu seraya menghembuskan napas lega.
"Nona, sepertinya kita harus memanggil polisi. Ini sudah masuk tindakan kriminal," saran Dokter yang membuat mata wanita itu membulat.
"Tidak, tunggu dulu! Saya tidak mengenal pria itu. Sebaiknya Anda hubungi keluarganya dulu," kata wanita itu gugup.
"Lalu Anda siapa? Kenapa Anda bisa bersama laki-laki itu?" tanya Dokter.
"Saya Stefani Angelina. Saya tidak mengenal pria itu. Saya bertemu dengan dia di jalan dalam kondisi sudah seperti tadi," jawab Stefani. "Sebaiknya periksa barang-barangnya, mungkin ada identitasnya," ucap Stefani.
"Baiklah, saya akan menyuruh perawat untuk memeriksa barang-barangnya," ucap Dokter. "Saya tinggal dulu," ucap Dokter.
"Tunggu, Dok! Boleh saya melihat kondisinya?" tanya Stefani.
"Tentu, tapi setelah kami memindahkannya ke ruang perawatan," jawab Dokter disambut anggukkan Stefani.
Stefani masih menunggu di depan ruang operasi. Ia duduk di kursi tunggu yang ada di sana. Selang beberapa menit ruangan itu kembali terbuka, beberapa perawat mendorong brankar sepertinya akan memindahkan pria itu ke ruang perawatan.
Salah seorang perawat menghampirinya dan memberikan beberapa barang-barang pria itu, sebuah dompet kulit berwarna cokelat.
Dibukanya dompet itu, ada foto dan juga kartu nama bertuliskan Mattew Alexander Alden.
"Nama yang bagus," gumam Stefani.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi Stefani masih setia menunggui pria yang tidak dikenalnya. Pria itu masih memejamkan matanya dengan perban melingkar di kepalanya. Stefani duduk sambil sesekali melihat ke tempat tidur.
"Dia tidur dengan nyenyak sedangkan aku duduk sambil menahan rasa kantuk. Bodohnya aku," gerutu Stefani.
Bisa saja Stefani tidur di sofa yang sedang ia duduki, tetapi ia sudah membayangkan rasa tidak nyaman.
"Ke mana keluarganya kenapa lama sekali datangnya? Apa rumahanya begitu jauh?" batin Stefani.
Mata Stefani yang terjaga perlahan mulai redup hampir saja tertutup jika tidak ada yang masuk ke ruangan itu. Awalnya Stefani mengira orang yang baru saja masuk adalah keluarga pria yang memiliki nama Alexander itu tetapi ternyata perawat. Niatnya untuk mengomel Stefani urungkan.
"Permisi, saya akan memeriksa pasien," ucap sang perawat.
"Silahkan saja," ucap Stefani seraya menguap.
Stefani duduk sambil menyangga kepalanya dengan tangan sambil memerhatikan perawat.
"Apa keluarganya belum datang?" tanya Stefani tanpa mengubah posisinya.
"Tadi kami sudah menghubungi keluarganya kembali. Mereka mengatakan sedang dalam perjalanan ke sini," jawab sang perawat.
"Baiklah...." Stefani berdiri sambil menyampirkan tas ke pundak kirinya.
"Maaf Anda mau ke mana?" tanya sang perawat.
"Saya harus pulang. Besok saya harus kuliah," jawab Stefani.
"Tapi Anda tidak bisa meninggalkan pasien sendiri," cegah perawat.
"Ada petugas rumah sakit, bukan! Lagipula kau mengatakan keluarganya sebentar lagi akan tiba," ucap Stefani.
"Tapi —" Belum selesai sang perawat bicara Stefani sudah lebih dulu memotongnya.
"Stttt!" Stefani menaruh jari telunjuknya di depan bibir. "Aku titip dia." Setelah mengatakan kalimat itu Stefani meninggalkan ruangan itu tanpa peduli perawat yang mencoba mencegahnya.
Setelah bertemu dengan peristiwa yang tidak terduga membuat Stefani merasa lelah, matanya sudah tidak bisa lagi menahan kantuk. Ia pun memutuskan untuk tidak pulang ke rumahnya, melainkan ke rumah yang disewa oleh sahabatnya, Olivia. Kebetulan tempat itu tidak jauh dari rumah sakit.
Sekitar sepuluh menit Stefani sampai di tempat yang ia tuju. Sambil menguap Stefani keluar dari mobil dan berjalan masuk ke sebuah apartemen yang tidak terlalu besar. Tidak lama langkah Stefani berhenti di depan sebuah pintu.
Sudah berulang kali Stefani menakan bel, tetapi tidak ada yang membukakan pintu. Stefani menggerutu kesal padahal ia sudah sangat mengantuk, tetapi sahabatnya tidak juga membukakan pintu. Sambil bersandar ke dinding Stefani menekan bel berulang-ulang berharap sahabatnya akan membukakan pintu. Harapannya terkabul, tidak berselang lama pintu berwarna abu-abu terbuka dari dalam.
"Siapa?" tanya Olivia seraya mengucek mata menggunakan punggung tangannya.
"Olivia ini aku Stefi," ucap Stefani.
"Stefi? Itu kau?" tanya Olivia seraya mengedip-ngedipkan matanya.
"Iya ini aku," jawab Stefi.
"Ya Tuhan, Stefi ... apa yang kau lakukan malam-malam di sini?" tanya Olivia.
"Besok akan aku ceritakan. Aku mengantuk sekali dan sudah tidak kuat untuk mengemudi. Izinkan aku tidur di sini," jawab Stefi.
Stefani menerobos masuk dan langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dalam sekejap Stefani tertidur bahkan tanpa melepas sepatunya. Olivia yang melihat itu dibuat heranheran.
"Astaga, Stefi ...." Olivia menggelengkan kepalanya pelan.
Setelah itu Olivia berjalan ke dekat Stefani dan menjatuhkan tubuhnya tepat di samping sahabatnya.
*****
Keesokkan harinya
"Stefi bangun!" Olivia membangunkan Stefani dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya, tetapi tidak ada respon dari Stefani. Sahabatnya itu hanya menggeliat dan mengubah posisi tidurnya.
"Stefi, bangunlah!" Olivia memanggil ulang Stefani lebih keras lagi.
"Ada apa, Olivia? Kenapa kau berisik sekali? Aku masih mengantuk." Stefani menolak untuk bangun, ia mengubah posisi tidurnya menjadi membelakangi Olivia.
"Ayolah Stefi, ini sudah pagi. Hari ini kita ada kelas pagi dan Dosen kita sangat galak. Kau tentu tahu Pak Samuel, 'kan?" ucap Olivia.
Mendengar nama Samuel rasa kantuk yang Stefani rasakan tiba-tiba hilang. Matanya membulat sempurna, ia langsung beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Melihat tingkah sangat sahabat membuat senyuman tergambar di bibir Olivia.
Selang beberapa detik Stefani keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sama, dengan wajahnya yang nampak basah.
"Apa kau tidak mandi?" tanya Olivia.
"Tidak ada waktu untuk mandi," jawab Stefani tanpa menoleh ke arah Olivia.
"Iuh, jorok," ucap Olivia.
"Lebih baik begitu daripada aku terkena masalah di kampus nanti." Stefani menyemprotkan parfum sebanyak-banyaknya lalu menyapukan make-up ke wajahnya, dan menyisir rambutnya untuk sentuhan terakhir. "Aku sudah selesai, ayo berangkat."
"Tunggu, Stefi. Kau boleh tidak mandi, tapi setidaknya ganti pakaianmu. Itu akan lebih baik," suruh Olivia.
"Baiklah, aku juga merasa tubuhku gatal," ucap Stefani.
Stefani dan Olivia berangkat ke kampus setelah Stefani mengganti pakaiannya. Dengan cepat Stefani melajukan mobilnya membuat mereka tiba di kampus tepat waktu. Setibanya di kampus keduanya berlari di koridor menuju kelas mereka. Namun ternyata dosen mereka tidak datang dan kelas mereka dibatalkan.
"Ya Tuhan, jika tahu akan seperti ini aku memilih untuk tidur," gerutu Stefani.
"Jadi kita ke mana sekarang?" tanya Olivia.
"Bagaimana kalau kita sarapan di kantin setelah itu kita belanja," usul Stefani.
"Setuju," sahut Olivia.
Keduanya berjalan menuju kantin sambil mengobrol. Stefani menceritakan apa yang ia alami. Setelah itu obrolan mereka merembet kepada pria yang merupakan kekasih Stefani yaitu Marco. Olivia merasa tidak suka kepada Marco, ia berpikir Marco bukan pria baik dan hanya memanfaatkan sang sahabat.
"Stefi, aku harap kau jangan terlalu percaya dengan kekasihmu itu. Aku merasa dia tidak tulus mencintaimu, dia terlihat hanya memanfaatkanmu," ucap Olivia.
"Olivia, tolong berhentilah mengintimidasiku! Aku yakin dia pria yang baik," ucap Stefani.
"Kenapa kau tidak mau mendengarkan aku?" keluh Olivia.
Stefani menghentikan langkahnya dan berdiri di hadapan Olivia. Ia menggenggam tangan sang sahabat seraya menunjukkan senyumnya.
"Coba kau lebih dekatnya, kau akan tahu jika dia pria yang baik," ucap Stefani.
Olivia tidak merespon apapun, ia justru memerhatikan raut wajah Olivia. Ia melihat kebahagiaan di wajah Stefani dan itu yang membuat Olivia mengubur pemikiran buruk tentang Marco.
"Baiklah terserah kau saja. Tapi aku harap kau tidak mengabaikan kata-kataku," ucap Olivia.
"Thank you, kau memang sahabat terbaikku." Stefani memeluk Olivia yang sedang memaksakan diri untuk tersenyum.
"Stefi!"
Stefi dan Olivia menoleh bersamaan ke asal suara. Ada pria berkulit putih dengan rambut berwarna pirang, dan bola mata berwarna biru. Dia adalah Marco, kekasih Stefani.
"Sayang, kau di sini?" tanya Stefi.
"Aku ingin memberimu kejutan." Marco mengeluarkan buket bunga mawar merah dari balik punggungnya.
Stefani terpana melihat bunga itu. Dengan wajah yang merona, ia mengambil bunga itu. "Thank you."
"Oh iya aku ingin minta maaf karena semalam aku membiarkanmu pulang sendiri," ucap Marco.
"Tidak apa-apa," ucap Stefani.
"Untuk menebusnya aku ingin mengajakmu makan malam. Kamu mau, 'kan?" tanya Marco.
"Tentu saja aku mau. Kau datang ke sini hanya untuk ini?" tanya Stefani dibalas anggukkan kepala Marco.
"Baiklah, aku harus bekerja. Sampai jumpa nanti malam," ucap Marco.
"Sampai jumpa," balas Stefani.
Marco pun pergi setelah mengecup kening Stefani.
"Kau lihat, 'kan? Dia pria yang baik dan juga romantis," ucap Stefani.
"Aku tetap tidak yakin," ucap Olivia.
Stefani mengemudi sambil melanjutkan cerita tentang apa yang dialaminya malam itu. Ketakutan muncul di wajahnya mengingat kondisi pria yang ditolongnya juga orang-orang yang mengejarnya.
"Kau beruntung masih bisa lolos, Stefi," ucap Olivia.
"Aku tahu aku sangat beruntung. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku tertangkap oleh mereka," ucap Stefani.
"Jika terjadi sesuatu denganmu, aku tidak akan memaafkan Marco. Bagaimana bisa dia tega membiarkanmu pulang sendiri malam-malam," ucap Olivia.
"Ayolah —" Stefani belum selesai bicara, tetapi Olivia lebih dulu memotongnya.
"Berhentilah untuk membelanya," potong Olivia.
Stefani mengela napas, percuma saja berdebat dengan Olivia, sahabatnya itu akan tetap pada pendiriannya.
"Oliv ... aku mau melihat kondisi pria itu. Kau mau ikut?" tanya Stefani sedikit ragu.
"Baiklah, aku juga ingin melihatnya," jawab Olivia.
Setelah mendengar jawaban dari sang sahabat, Stefani segera memacu mobilnya. Setibanya di rumah sakit Stefani menanyakan kepada petugas di sana, pihak rumah sakit memberitahukan jika pria itu baik-baik saja dan sudah dibawa pulang oleh keluarganya. Hal itu membuat Stefani merasa lega.
"Syukurlah kalau dia sudah baik-baik saja," ucap Stefani.
"Maaf, Anda nona Stefani Angelina, bukan?" tanya petugas rumah sakit.
"Iya, benar," jawab Stefani.
"Ada titipan untuk Anda dari keluarga tuan Alex." Petugas rumah sakit itu memberikan selembar kertas yang merupakan kertas cek dengan nominal yang tidak sedikit.
Mata Stefani dan Olivia dibuat melotot. Olivia mengambil cek di tangan Stefani. Olivia ingin memastikan jika penglihatannya tidak salah.
"Stefi, siapa sebenarnya yang kau tolong?" tanya Olivia.
"Tunggu sebentar aku akan mengingat-ingat." Stefani diam seraya mengingat-ingat nama pria yang sudah ia tolong. "Kalau tidak salah ... namanya ... Mathew Alexander Alden," ucap Stefani lirih, tetapi masih bisa di dengar oleh Olivia.
"Mathew Alexander Alden? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu." Olivia mengingat-ingat, ia yakin nama itu tidak asing. "Aku ingat, dia itu adik dari pemilik perusahaan Alden corporation, Antonio Marcello Alden.
"Hah, siapa lagi dia?" tanya Stefani.
"Ya Tuhan, Stefi. Dia adalah pemilik dari jaringan hotel mewah di berbagai negara," jelas Olivia.
"Oh," sahut Stefani singkat.
"Ada satu lagi yang mereka titipkan, Nona." Petugas rumah sakit itu kembali memberikan sebuah benda yang merupakan sebuah kartu nama. Ada nama Antoni Marcello Alden di atasnya.
Stefani memerhatikan sekilas kartu nama tersebut lalu pergi dari rumah sakit.
"Stefi! Kau mau ke mana?" Olivia mengejar Stefani yang pergi dengan terburu-buru.
"Aku harus bertemu dengan orang yang namanya ada di kartu nama ini," jawab Stefani.
"Untuk apa?" tanya Olivia.
"Tentu saja untuk mengembalikan uang ini," jawab Stefani tanpa menghentikan langkahnya.
Tidak ada percakapan lagi, keduanya masuk ke satu mobil yang sama. Stefani memacu mobilnya menuju alamat yang tertera di kartu nama yang ada di tanganya.
Stefy berhenti di depan gedung pencakar langit di pusat kota. Ia mencocokan alamat di yang ada di kartu nama yang dia pegang. Stefani yakin Antoni itu bukan orang sembarangan seperti yang dikatakan oleh Olivia sebelumnya.
Stefani turun dari mobil disusul oleh Olivia. Mereka berjalan memasuki gedung itu. Tanpa berpikir panjang lagi Stefani bertanya kepada receptions.
"Saya ingin bertemu dengan orang yang namanya ada di dalam kartu nama ini," ucap Stefani.
"Apa Nona sudah punya janji dengan Tuan Antoni?" tanya receptions.
Stefani merasa jengah saat di hadang pertanyaan begitu banyak.
"Belum. Tapi saya ingin tetap bertemu dengannya. Detik ini juga," jawab Stefy.
"Maaf, Nona tapi Anda tidak bisa bertemu dengan tuan Antoni jika belum memiliki janji," larang resepsionis.
"Sudahlah, Stefi. Jangan memaksa. Kita pulang saja," ajak Olivia.
"Tidak, Olivia. Pokoknya aku harus bertemu dengannya," kekeh Stefani.
Merasa percuma jika terus di tempat itu, Stefani memilih untuk bertanya kepada yang lainnya. Saat Stefani beranjak pergi dari meja resepsionis, seorang pria menghampirinya. Pria itu ternyata sudah memperhatikannya cukup lama.
"Maaf, Nona. Saya dengar Anda menyebut nama tuan Antoni. Ada perlu apa Anda mencari beliau?" tanya pria itu.
"Anda siapa?" tanya Stefani.
"Saya Nicholas, asisten pribadi tuan Antoni," jawab Nicholas.
"Kebetulan sekali." Stefani merogoh tas-nya. "Petugas ruman sakit memberiku ini." Stefani menunjukan cek di tangannya. "Tolong kembalikan ini padanya."
Nicholas melihat cek yang ditunjukkan oleh Stefani sambil membenahi kacamatanya. Tiba-tiba keningnya mengerut dan ekspresi wajahnya juga tidak bisa dibaca oleh Stefani.
"Maaf, Nona. Saya tidak bisa menerima ini. Anda berikan saja sendiri kepada beliau. Saya akan mengantar Anda ke ruangan tuan Antoni," ajak Nicholas.
"Baiklah, ayo." Stefani dan Olivia berjalan mengikuti Nicholas.
Ketiganya masuk ke lift khusus yang diperuntukkan untuk para petinggi perusahaan. Lampu menunjukkan angka 15 setelah itu pintu lift terbuka. Ketiganya pun keluar dari lift dan berjalan menyusuri koridor.
Stefani maupun Olivia terpana melihat desain interior gedung itu. Sungguh megah gedung itu. Stefani merasa penasaran dengan sosok Antoni, pemilik dari perusahaan besar itu.
Langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat. Nicholas mengetuk pintu sebelum membuka pintu besar.
"Silahkan, Nona," ucap Nicholas.
Stefani memerhatikan pintu yang sudah terbuka. Ada rasa ragu untuk masuk, tetapi tekadnya untuk mengembalikan cek itu sudah bulat.
"Ayo, Olivia," ajak Stefani.
Stefani dan Olivia berjalan seolah menghitung langkah mereka di belakang Nicholas. Stefani maupun Olivia kembali dibuat terperangah melihat betapa besar dan indahnya ruangan itu.
"Permisi, Tuan Antoni. Ada yang ingin bertemu dengan Anda." Nicholas bicara kepada seseorang di ruangan itu.
Kursi di balik meja berputar menampakan pria berparas tampan sedang menelpon seseorang. Pria tersebut mengangkat tangannya mengisyaratkan untuk menunggu. Setelah selesai dengan telponnya pria menaruh ponselnya ke atas meja lalu menatap Stefani, Nicholas, dan juga Olivia secara bergantian.
"Maaf jika saya mengganggu, Tuan. Wanita ini yang sudah menolong adik Anda. Dia memaksa untuk bertemu dengan Anda," jelas Nicholas.
"Ada apa kau ingin menemuiku?" tanya Antoni dengan suaranya yang dingin.
"Aku ingin memberikan cek ini." Stefani maju dan meletakkan cek di hadapan Antoni.
"Kenapa? Apa jumlah yang saya berikan ini kurang?" tanya Antoni.
Stefani tersenyum sinis, perkataan Antoni terkesan sedang meledeknya.
"Tidak. Ini sudah lebih dari cukup," jawab Stefani.
"Lalu kenapa kau ingin mengembalikannya?" tanya Antoni.
"Sebaiknya Anda memberikan cek ini kepada orang yang lebih membutuhkan," ucap Stefani.
"Aku tidak suka berhutang budi kepada seseorang," ucap Antoni.
"Sepertinya rumor kalau tuan Antoni pengusaha kaya raya itu sombong, angkuh dan dingin itu benar," gumanya Stefani dalam hati.
"Saya harus pergi. Permisi." Stefani berbalik lalu menarik tangan Olivia membawanya keluar dari ruangan itu.
Belum sampai pintu suara dingin Antoni menghentikan langkah mereka.
"Apa maumu?" tanya Antoni.
"Cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih," jawab Stefani.
"Baiklah, terima kasih banyak karena sudah menolong adikku," ucap Antoni. "Kau boleh datang padaku lagi jika kau dalam kesulitan," imbuh Antoni.
"Akan aku ingat itu. Terima kasih sebelumnya. Saya permisi dulu," pamit Stefani. "Ayo Olivia."
"Nicholas, tolong antarkan mereka. Jangan membuat mereka kesulitan di sini," perintah Antoni.
"Baik, Tuan." Nicholas membungkukan tubuhnya sebelum pergi dari ruangan itu.
Antoni memerhatikan Stefani dengan mengurai senyum di bibirnya. "Menarik."
Stefani dan Olivia melangkah ke tempat parkir mobil. Sepanjang perjalanan Olivia tidak berhenti bicara, ia masih belum bisa percaya jika sudah bertatap muka secara langsung dengan pemilik dari Alden corporation. Berbeda dengan Olivia yang sangat antusias membicarakan mengenai Antoni, Stefani merasa biasa saja bahkan terkesan tidak peduli.
"Berhentilah bicara, Olivia. Jangan membuat dia semakin besar kepala," ucap Stefani.
Olivia memutar bola matanya merasa heran pada temannya. Kenapa sang sahabat nampak biasa saja ketika bertemu dengan orang besar seperti Antoni.
"Ayo masuk! Aku akan mengantarmu pulang. Aku tidak ingin terlambat untuk berkencan dengan kekasihku," ucap Stefani.
Rasa khawatir datang di dalam diri Olivia ketika Stefani menyebut tentang kekasihnya. Olivia merasa yakin jika Marco memiliki niat terselubung. Pikiran negatif Olivia bukan tanpa alasan. Sudah sering kali Stefani bercerita jika Marco sering meminta uang dengan dalih meminjam kepada Stefani.
"Stefi, batalkan niatmu untuk pergi berkencan. Dan sedikit menjauh dari Marco," ucap Olivia.
"Olivia ... tolonglah! Jangan mulai lagi," pinta Stefani.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!