NovelToon NovelToon

Saranjana

Prolog

Krasak-krusuk suara rumput liar setinggi bahu memenuhi telinga Jana, ketika ia menerobosnya dengan lari terbirit-birit. Menginjaki semak belukar tak berujung untuk menghindari serangan raja hutan yang hampir saja mencabik-cabik daging sampai organ-organ penting di dalam tubuhnya. Deru napasnya terdengar begitu jelas dengan getaran kepanikan di dalam setiap hembusannya. Jelas sekali, bahwa ia sangat merasa terancam saat ini.

Seekor singa jantan tampak terus memburu langkahnya. Meninting, mengejar, dan memasang insting pembunuh berdarah dinginnya lurus ke depan, ketika melihat tubuh seorang gadis mungil, yang sepertinya sangat lezat jika dijadikan santapan.

Oh, tidak!

Hendak lari kemanakah gadis itu?

Akankah ia selamat dari maut?

Beberapa detik kemudian, sang raja hutan tampak kelimpungan, saat menyadari bahwa buruannya tak lagi tampak di pelupuk mata. Ia terlihat berang dan tidak terima. Menggeram dan mengaung sehingga melakukan gerakan berputar-putar seperti orang yang sedang kebingungan. Mungkin menurutnya, tidak mungkin seorang manusia lemah bisa lolos begitu saja dari incarannya--mengenang diri adalah sang raja hutan.

...🌀🌀🌀...

Jana masih terus berusaha menemukan titik akhir dari semak-semak itu. Namun semakin ia berlari kencang, semakin pula semak belukar tersebut terasa begitu abadi di dalam pandangannya. Tetapi, bukan Jana namanya, jika ia menyerah dalam situasi terjepit sekalipun. Ia terus menambah langkah kakinya dengan pasti, karena ia yakin tidak ada yang abadi di dunia ini.

Setelah lebih dari tiga kilometer berlari tanpa henti, Jana mulai menyadari bahwa kedua tungkainya terasa sudah tak bertenaga lagi. Terhenti sendiri tanpa ia sadari. Seketika itu juga tubuhnya terjerembab ke tanah. Ia mengaduh kesakitan, lalu memijati lututnya yang terasa begitu lemas seraya menghitarkan pandangan pada suasana di sekitarnya.

SRAAAAAH

Tiba-tiba pandangannya menangkap sesuatu yang aneh, namun nyata di pelupuk mata. Gumpalan asap warna-warni berterbangan di hadapannya, kemudian menepi bak sebuah pintu gerbang yang sedang terbuka.

Samar-samar dalam pandangannya yang sedikit memburam, tampaklah sebuah anak sungai yang airnya berwarna biru terbentang horizontal, berjarak sekitar sepuluh meter dari posisinya saat ini.

Jana terperangah. Kedua matanya membulat dan sepasang bibirnya menganga. Belum pernah ia saksikan sebelumnya, sebuah sungai kecil dengan air yang begitu jernih, membiru dan ditumbuhi oleh bunga-bunga indah bermekaran di tepian. Karena selama ini yang ia tahu adalah ... hanya ada tiga unsur yang berwarna biru di dunia ini, yaitu langit, danau, dan lautan.

Sementara saat ini, kedua netranya sedang dimanjakan oleh pemandangan yang luar biasa langka, seperti halnya spesies hewan-hewan yang pernah hidup pada zaman purba. Yang keberadaannya saja, sudah sangat minim, bahkan hampir punah di buana.

Jana ingin sekali mendekat, namun kedua kakinya seolah begitu berat untuk diajak berkompromi karena kehabisan stok energi. Pandangannya mulai berkunang-kunang dan kepalanya pun terasa sangat nyeri sekali.

Ia sontak mendongak ke langit seolah ingin meminta kepada sang Penguasa Bumi, agar mau mengasihani. Mengirimkan bala bantuan untuk menyelamatkannya dari lobang kesekaratan. Namun, belum sempat sepasang bibir mungilnya melangitkan kalimat permohonan, tiba-tiba tubuh lemasnya terbaring di atas bumi dalam kondisi yang setengah sadar. Jana terus memijit kuat pelipisnya, menahan rasa sakit. Merintih dan meronta dengan suara parau yang amat memilukan hati.

"Tuhan ... apakah ini saatnya kumati?" erangnya dengan suara lirih. Ia khawatir, jika menjerit sekuat tenaga, si Raja Hutan akan menemukan keberadaannya. Lalu, menjadikannya sebagai menu utama dalam acara makan malamnya.

Di sela-sela ketidakberdayaan dan kemabukannya itu, samar-samar tampak sosok seorang pria menghampiri, dan berjongkok tepat di sampingnya. Seraya meneriaki dan menggoyang-goyangkan tubuhnya, pria itu meraih tubuh lemas Jana dan meletakkannya ke pangkuan.

"Hei ...! Hei ... kamu ...!" pekiknya seraya menepuk lembut pipi Jana, agar gadis yang berada di pangkuannya itu tersadar sempurna.

Awalnya Jana masih bisa mendengar suara pria tersebut, sementara pandangannya sudah tak bisa lagi fokus. Suara pria itu terdengar seperti suara seorang bidadara, yang baru saja turun dari surga. Bergema dan merdu sekali di rongga telinga Jana. Namun, sayang seribu sayang, perlahan kesadaran gadis itu langsung lenyap begitu saja, seolah sudah ditelan ombak di lautan tak bernoda.

...🌀🌀🌀...

Semilir angin malam memenuhi ruangan bernuansa serba putih. Bersambut suara gemericik air hujan, yang semakin lama semakin memanjakan pendengaran. Kain-kain panjang mirip selendang terlilit indah pada setiap sambungan kayu jati sebuah ranjang, yang beralaskan bulu angsa. Lembut, putih, dan menenangkan.

Kecupan-kecupan menggelora terjadi kian memanas memenuhi rongga telinga dua insan yang tampak seperti saling terpanah asmara. Tak ingin terlepas dari pagutan bibir masing-masing, bak seekor kumbang yang sedang menghisap madu dari bunga kesayangannya.

Selimut lembut yang tadinya menutupi tubuh polos keduanya, kini tak lagi betah di peraduan. Seolah sedang dilanda api cemburu karena tidak diperdulikan, selimut sutera itu pun mangkir begitu saja tanpa niat untuk berpamitan terlebih dahulu.

R-e-m-a-s-a-n dan pelintiran pada buah dada sang gadis pun terus dihadiahkan sang lelaki, agar menambah kenikmatan dari setiap sentuhan yang ia berikan. Tubuh bagian bawahnya terus bergoyang mengikuti irama d-e-s-a-h-a-n sang terkasih, yang semakin membuatnya mabuk kepayang. Seakan menyihirnya untuk terus menciptakan hentakan lembut, namun bertenaga dan juga menggairahkan.

Kekuatan lelaki itu, seakan tidak pernah terkuras walaupun sudah memasuki ronde kelima dari pertukaran kenikmatan surga dunia yang mereka ciptakan berdua. Hingga akhirnya, mereka mengerang indah bersama-sama, mencapai puncak tertinggi dari perjalanan surga di dunia mereka.

"Shara ... kau memang luar biasa!" tutur manja sang gadis diikuti d-e-s-a-h-a-n ringan agar lelakinya semakin terkesima saat mendengarnya.

"Kau juga tak kalah luar biasanya," pujinya balik, agar sang wanita tidak kecewa. Padahal, bagi Shara, gadis itu hanyalah sebentuk boneka pemuas, ketika birahinya menggelora.

PLETAAAK ... TAAAK ... TAAAK ....

Tiba-tiba terdengar seperti suara gelas kayu yang membentur lantai hingga berkali-kali.

Shara lantas mengecup kening wanitanya, kemudian melilitkan kain sutra di pinggangnya, lalu bangkit untuk menghampiri sumber suara.

"Hem ... kamu sudah sadar rupanya," ujar Shara dengan kedua alis bertautan. Pasalnya ia merasa bahwa lawan bicaranya saat ini, sudah menguping adegan ranjang yang baru saja ia lakukan.

"A-aku ... aku ... tadi mau minum, ta-tapi gelasnya tidak sengaja tersenggol tanganku, lalu jatuh. Ma-maaf, kalau aku sudah mengganggu aktifitasmu."

Tanpa menatap bentuk dan rupa dari pria yang sedang berdiri di hadapannya, gadis itu terus meringkuk dan menarik lututnya agar menempel sempurna pada tubuhnya. Pasalnya, saat ini ia masih duduk bersandar pada muka ranjang yang terdapat pada kamar sebelah.

Lelaki itu hanya mengulum senyuman, lalu mengambil gelas yang lainnya. Mengisinya dengan air dan menyerahkannya kepada gadis tersebut.

Karena merasa canggung, sang gadis hanya bisa menggulung ujung kakinya seraya menerima uluran tangan pria itu dengan wajah yang masih merunduk.

"Kamu yakin, tidak ingin mendongakkan pandanganmu?" tanya pria itu, setelah gelasnya berpindah tangan.

"A-aku ta-takut," jawab si gadis sembari memeluk gelas itu di depan dadanya.

Mendengar penuturan dan melihat pergerakan si gadis yang terlihat sangat tidak karuan, sepertinya memaksa Shara untuk meninggalkan ruangan tersebut. "Baiklah, agaknya kehadiranku membuatmu tidak nyaman."

Setelah mengatakan kalimat itu, Shara langsung berlalu dan si gadis pun bisa bernapas lega.

"Huuufffft ... untung saja aku tidak dilahapnya juga," lirih sang gadis dengan mengelus dadanya--sedikit merasa tenang. Ternyata, alasan dari rasa canggungnya itu hanya karena takut dimangsa sang pria di atas ranjang.

Episode 1

Kehidupan ini dimulai dengan terbitnya mentari pagi yang cahayanya begitu memanjakan mata hingga hati siapa pun yang menyaksikannya. Namun, tidak untuk seorang gadis manis nan tomboi satu ini. Baginya pagi adalah saatnya memejamkan mata dan bergelung dengan selimut tebalnya.

Oh, tidak!

Apakah itu sebuah kebiasaan baik bagi seorang gadis?

Eh, jangan cepat mengambil kesimpulan terlebih dahulu! Ada alasan di balik semua itu, karena ia harus melakukan semua aktifitasnya di malam hari. Ya, dia adalah seorang konten creator--yang pekerjaannya mengharuskan ia bekerja di malam hari. Sejak ayahnya meninggal dunia, dia harus mengusahakan semuanya sendiri--karena ia adalah tulang punggung keluarga. Sebagai seorang mahasiswi jurusan teknik, dia juga harus mencari uang untuk membiayai kuliah serta pendidikan adik tirinya.

Ya, dia adalah Jana Riani. Seorang yatim piatu dari kedua orang tua kandungnya sendiri, namun masih memiliki seorang ibu sambung yang baik hati. Takdir pahit dalam kehidupannya sedikit termaniskan dengan hadirnya seorang sosok wanita paruh baya yang begitu menyayanginya, walaupun ia bukanlah darah daging wanita tersebut.

Setelah mengetahui bahwa ibu kandungnya meninggal dunia, almarhum ayah Jana kembali menikahi seorang janda beranak satu. Niat hati ingin memberikan sosok ibu untuk putrinya, namun takdir hidupnya harus dicukupkan ketika itu juga. Beliau meninggal dunia saat Jana masih duduk di bangku sekolah dasar.

"Nduk ... bangun loh, ada yang nyariin kamu itu di depan," tutur lembut Bu Asri--ibu tiri Jana--seraya mengetuk pintu kamar sang putri.

Sementara di dalam kamar, Jana hanya menggeliatkan tubuhnya sekali. Hal seperti ini jarang sekali terjadi. Bu Asri sangat memahami putrinya tersebut, maka dari itu ia tidak pernah mengganggu waktu istirahat Jana, kecuali ada sesuatu yang penting seperti saat ini.

"Nduk ...!" Lagi-lagi, suara lembut itu menyerukan panggilan sayang untuk putri sulungnya. Namun, tetap saja, tidak ada jawaban dari dalam. "Julian sudah menunggu dari tadi loh, Nduk. Kasian dia."

Apa? Julian?

Setelah mendengar nama Julian, Jana langsung melanting dari kasurnya. Membuka pintu dan berlari ke ruang depan tanpa memperhatikan lagi penampilannya. "Aku udah siap kok, Jul." Dengan menyampir tas ransel kesayangannya, Jana tampak sibuk mengikat tali sepatu seraya duduk di sofa ruang tamu. Entah darimana sepatu itu ia dapatkan, yang jelas ukurannya berbeda sebelah.

Bu Asri hanya bisa menggelengkan kepala seraya menepuk keningnya, melihat tingkah semrawut sang putri yang tak pernah peduli dengan yang namanya penampilan. Sejak menjadi ibu sambung Jana, Bu Asri sudah paham betul dengan perangai dan karakter anak sambungnya itu.

"Nak Julian, tehnya diminum dulu, ya. Biarkan Jana mandi, dan bersiap-siap dengan benar," ucap Bu Asri seraya mengelus pundak Jana dan membawanya berdiri. Gadis itu tampak tak membantah. Ia mengikuti langkah sang ibu yang membawanya kembali masuk ke dalam kamar. Sepertinya kesadaran Jana belum kembali sempurna, karena efek bangun tidur. Sedangkan Julian, dia hanya bisa mengulas senyuman seraya menyesap manisnya teh hangat yang sudah disediakan oleh Bu Asri.

...🌀🌀🌀...

"Kamu udah kerjain outline-nya?" tanya Julian saat mereka tiba di depan gerbang kampus.

"Udah dong, Jul. Kamu pikir aku kesiangan kayak begini karena nonton drama telenoveli?" sungut Jana sembari membuka pintu mobil sahabat kecilnya itu. Julian hanya menggeleng pelan sebagai tanggapan. Dia memang kerapkali menjemput Jana jika hendak berangkat ke kampus, lalu mengantarnya pulang ketika gadis itu selesai kuliah.

"Jul, nanti kamu tidak perlu menjemputku!" tegas Jana ketika bibir Julian hampir saja menanyakan jam kepulangannya. Seolah paham dengan ekspresi tanya yang terlukis di wajah sahabatnya itu, Jana langsung memperjelas kalimatnya. "Mau ngerjain revisian sama temen di perpustakaan daerah." Setelah mengatakan hal itu, Jana langsung turun dari mobil dan menutup kembali pintunya.

Wajah Julian tampak sedikit kecewa, pasalnya Jana sudah melupakan satu hal. Namun, ekspresinya langsung berotasi seratus delapan puluh derajat, ketika gadis itu kembali berlari dan mengetuk pintu mobilnya. Pria tampan berkulit putih itu pun langsung menurunkan kaca mobilnya.

"Terima kasih Pangeran Kecilku yang baik hati." Setelah mencubit gemas kedua pipi Julian, Jana kembali berlari memasuki gerbang. Julian tersenyum senang.

"Selamat berjuang Kupu-kupu Kecilku, semoga semua mimpimu lekas menjadi nyata. Aku yakin tak lama lagi toga itu pasti akan bertengger di puncak kepalamu," lirih Julian sebelum akhirnya menginjak pedal dan melajukan mobil menuju ke kantornya dengan senyuman bangga.

Bagaimana tidak? Julian adalah sosok tunggal dan terdekat yang sudah menyaksikan sendiri bagaimana kegigihan Jana dalam menjalani berbagai ujian dalam kehidupannya. Selain jarang sekali mengeluh, gadis itu juga selalu saja terlihat ceria, walaupun sebenarnya ada banyak beban yang bertengger di kedua pundaknya.

Seringkali pria itu menawarkan bantuannya untuk mencukupi kebutuhan financial Jana, namun selalu saja ditolak. Jana tak ingin hidup dari belas kasihan orang lain. Sebagai manusia normal dan tidak cacat, dia masih mampu bekerja walaupun harus menukar waktu siang dan malamnya.

Namun, sebagai seorang sahabat, Julian juga tak ingin lepas tangan begitu saja. Berbagai cara ia lakukan untuk terus memantau kehidupan gadis itu agar senantiasa aman dan tidak kekurangan, walaupun harus menggunakan tangan orang lain. Pastinya, tanpa sepengetahuan Jana. Bukan niat untuk menjatuhkan mentalnya, namun lebih kepada peduli kepadanya. Selain memegang amanah dari almarhum ayah Jana, Julian juga sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu ada untuk gadis yang dijulukinya sebagai Kupu-kupu Kecil itu.

...🌀🌀🌀...

"Selamat pagi, Pak."

Sapaan rutin itu selalu diberikan kepada Julian oleh sekretaris pribadinya. "Pagi, Bari." Julian menyahuti, lalu masuk ke dalam ruangannya--diekori oleh Bari.

"Apa jadwal hari ini begitu padat?" tanya sang atasan setelah mendudukkan diri di atas kursi kebesarannya. Sebagai seorang Direktur Utama di perusahaannya, Julian tidak ingin kewajibannya menjaga Jana terabaikan karena pekerjaan.

Sebegitu berhargakah seorang Jana untuk Julian?

"Tidak, Pak. Hanya ada makan siang bersama perwakilan dari Perusahaan Adidaya, sekaligus penandatanganan kontrak kerjasama," papar Bari seraya memegang tablet pintar dalam genggamannya.

"Baik, kalau begitu, nanti siang kamu temani saya!" titah Julian, lalu meminta Bari kembali ke mejanya.

Sepeninggalan Bari, Julian langsung fokus pada beberapa berkas yang sudah tersusun rapi di atas mejanya. Seperti biasa, Bari sudah menyiapkan semua itu sebelum dirinya tiba di kantor. Berkas-berkas penting yang memerlukan tanda tangan seorang pimpinan itu, dibaca Julian dengan teliti sebelum membubuhkan tinta hitam sebagai tanda persetujuan darinya.

Di saat sedang berkonsentrasi dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponsel Julian berdering menandakan ada panggilan masuk. Diraihnya benda pipih yang sempat ia letakkan di atas meja tadi, lalu menggeser tombol hijaunya ke atas.

"Ada apa, Ma?" Dengan nada panik Julian bertanya. Pasalnya sang mama hanya terisak di saat pertama kali Julian menerima panggilan.

"Ma, halo?" Julian mulai berdiri dan terbawa suasana. Jantungnya langsung berdetak tak beraturan, karena wanita yang sudah melahirkannya itu tak juga mengatakan sepatah kata pun.

"Jul, sebaiknya kamu langsung ke rumah sakit sekarang! Penyakit oma kumat lagi," tutur papa Julian setelah berhasil mengambil alih ponsel istrinya.

"Oma? Baik, Pa. Aku langsung ke sana sekarang."

Dengan gerak cepat Julian langsung meninggalkan ruangannya, setelah memberitahu Bari duduk perkaranya.

Episode 2

Sesuai apa yang sudah dikatakannya pada Julian, saat ini Jana sedang berada di perpustakaan daerah bersama sahabat tempelnya. Dua gadis berbeda penampilan itu baru saja menjejakkan kedua tumitnya di pintu masuk gedung. Namun, seperti biasa penampilan si tomboi pasti selalu menarik perhatian orang-orang jika sedang berada di khalayak ramai.

"Jan ...!" seru Jelita seraya menyenggol lengan Jana. Sementara kedua bola matanya masih mengekori gelagat orang-orang di sekitar mereka. Jelita mulai berpikir bahwa kehadiran mereka berdua tidak diterima di sana.

"Santai, Jel. Udah biasa. Ini tempat umum kok, siapa pun boleh masuk," tutur Jana tanpa beban, kemudian menambah langkah menuju ruang baca.

Ya, pandangan mengintimidasi orang lain bukan lagi hal yang memusingkan bagi Jana. Dia yang selalu berpakaian bak preman pasar, dengan kaos oblong--lengannya dilinting ke atas--dan celana jeans sobek-sobek di bagian paha, sudah menjadi darah dagingnya. Rambut kuncir sanggul dengan model serampangan juga sudah menjadi ciri khasnya. Sepatu kets dan ransel bak seorang Dora The Explorer itu selalu setia menemaninya kemana pun ia bertualang. Lalu, bagaimana dengan make up? Ah, apa itu make up? Jana bahkan tak pernah mengenalnya.

Namun, di balik sisi kelaki-lakian yang selalu ia tonjolkan--tetap saja--jauh di dalam sana ada kelembutan seorang wanita, yang belum pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Ya, anggap saja, penampilan ala brandalan itu hanyalah tameng untuk melawan kejamnya terkaman dunia. Jika pun sisi lembut itu suatu saat naik ke permukaan, mungkin itu hanya karena bunga cintanya mulai bermekaran.

"Jan, kamu gak pingin jadi cewek tulen gitu?" seloroh Jelita ketika mereka berdua sudah duduk di salah satu kursi pengunjung.

Jana tampak memutar kedua bola matanya malas. "Jel, kita ke sini mau ngerevisi outline loh, bukan bahas penampilan aku." Tanpa ada tambahan kalimat lagi, Jelita langsung membungkam mulutnya sebelum Jana mengeluarkan jurus keras kepalanya.

Jelita sudah sering membahas hal ini bersama Jana, namun tetap saja jawaban sahabatnya itu tidak berubah. Itu semua sudah menjadi jati dirinya. Begitu katanya.

Sementara Jelita, dia adalah gadis feminim dengan tingkah manja dan selalu berpenampilan cetar membahana bak super model. Namun, entah mengapa ia malah memilih untuk bergaul dengan gadis tomboi seperti Jana. Padahal masih banyak gadis-gadis yang terlahir dari keluarga konglomerat yang notabennya satu spesies dengannya. Spesies cewek cantik anak sultan yang menjadi primadona cowok-cowok di kampus.

Bagi Jelita, Jana merupakan sosok ternyaman yang membuatnya betah untuk selalu berada di sisinya. Jana yang ceplas-ceplos dan Jana yang tak pernah bermuka dua. Intinya, ia hanya menginginkan satu hal dalam sebuah persahabatan, yaitu ketulusan. Dan itu hanya ia dapatkan dari Jana Riani--sahabat sejati.

...🌀🌀🌀...

Selang tiga puluh menit fokus pada laptop dan buku referensi masing-masing. Jelita tampak menyenggol sikut Jana yang saat itu duduk tepat di sampingnya. "Eh, besok anak-anak Mapala mau mendaki Gunung Paralayang loh. Kamu ikut gak?" bisik Jelita di telinga Jana. Karena sedang berada di perpustakaan, maka pastinya mereka dilarang untuk menciptakan kehebohan.

Sontak Jana menoleh setelah mendengar informasi yang sangat menarik perhatiannya. "Gunung Paralayang?" koreksi Jana sembari menatap kedua bola mata Jelita. Gadis itu mengangguk tegas, membuat senyuman di kedua sudut bibir Jana mengembang berkali lipat.

Wah kesempatan buat ngonten nih, batin Jana. Jelita pun sudah mengerti kemana arah pikiran sahabatnya itu. Sudah lama sekali ia mengenal Jana. Bukan Jana namanya, jika hadirnya sebuah kesempatan tidak ia gunakan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sebagai seorang konten creator tentang petualangan di dunia lain, sudah sepatutnya tempat seperti gunung, hutan, dan gedung-gedung lama yang tak berpenghuni akan menjadi destinasi favorit baginya.

"Berarti aku harus selesaikan revisian ini sekarang juga!" lirih Jana, dengan penuh semangat, kemudian kembali berkonsentrasi dengan outline-nya.

...🌀🌀🌀...

Keesokan harinya

Julian tampak mondar-mandir di lorong rumah sakit. Pasalnya, ini sudah kesepuluh kalinya ia menghubungi ponsel Jana, namun tak tersambung juga. Ada raut gelisah dan khawatir berpadu menjadi satu di wajah putihnya. Rahang tegas dan bibir tipis yang kemerahan itu tak henti-hentinya berkomat-kamit bak seorang dukun yang sedang membaca mantra. "Kamu kemana, sih, Jana? Oma lagi butuh kamu ini," lirihnya di sela-sela langkah yang tak juga terhenti.

"Kamu kenapa, Jul? Kok bolak-balik kayak setrikaan gitu?" Tiba-tiba terdengar suara sang mama yang baru saja tiba di rumah sakit. Tadi malam, Julian meminta pada kedua orang tuanya untuk beristirahat di rumah saja. Sedangkan dirinya tetap tinggal untuk menjaga sang nenek.

"Oma mau ketemu sama Jana, Ma." Seraya masih menempelkan ponsel di telinganya, Julian menjawab.

Mendengar penuturan putra semata wayangnya itu, wajah Bu Riris langsung berubah sinis. "Memang apa istimewanya gadis itu, Jul? Sehingga omamu mau ketemu sama dia." Seperti biasa Bu Riris paling tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan Jana.

Julian sudah bisa menebak ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan oleh mamanya. Sejak kecil, Bu Riris memang tidak suka jika putra tampan dan kayanya itu berteman dengan gadis yang berasal dari keluarga kalangan menengah seperti Jana. Sudah sering pemuda itu dikhotbahi oleh sang suri kediaman ketika baru saja pulang ke rumah sehabis bermain.

"Ma, tolong ... aku sedang tidak ingin berdebat. Keinginan Oma tetap yang utama untuk saat ini!" tegas Julian seolah tak bisa diganggu gugat. Bu Riris sontak melengos kemudian masuk ke ruang rawat ibu mertuanya itu.

"Ris, apa Jana sudah datang?" tanya sang ibu mertua dengan suara parau. Sebelum menjawab Bu Riris meletakkan sarapan bawaannya terlebih dahulu di atas nakas, lalu mendekati brankar sang mertua dengan senyuman cerah.

"Ibu ... Jana itu bukan siapa-siapa di keluarga kita. Kenapa ibu selalu menanyakannya ketika ibu sakit?" tanya balik Bu Riris tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Ris ... ibu tahu kamu tidak menyukai gadis yatim piatu itu, tapi coba kamu pikir lagi, apa salah gadis itu sehingga kamu membencinya?"

Telak! Bu Riris tak lagi bisa berontak dengan lisan. Dia yang hanya memandang Jana sebelah mata karena status sosial yang disandangnya, tak mungkin bisa mengelak lagi jika memang gadis itu adalah wanita yang mandiri dan baik. Malah bagi ibu mertuanya, Jana adalah sosok yang paling pas jika bisa menjadi pendamping hidup cucu kesayangannya.

"Tapi, Bu ... Jana itu, 'kan-"

"Apa? Tomboi? Dari keluarga sederhana?" Serobot Oma sehingga Bu Riris tak lagi bisa melanjutkan argumennya. "Jangan menilai orang dari luarnya apalagi status sosialnya, Ris. Jana itu gadis yang baik dan mandiri. Lagi pula, kamu tidak bisa melihat apa? Betapa besar cinta yang terpancar di mata Julian untuk gadis itu? Uhuk ... uhuk ...." Kali ini Oma tak lagi bisa menahan emosinya. Ia bahkan tak habis pikir jika menantunya tersebut sudah melupakan jati dirinya sendiri.

"Ehem ... ehem!" Suara bariton tersebut sukses membuat kedua wanita beda generasi itu menoleh.

"Sudah, Oma. Oma gak boleh emosi begitu, nanti jantung Oma kumat lagi." Tanpa disangka Julian menerobos masuk dan langsung memperingatkan sang nenek. Dia langsung mengambilkan air putih dan membantu Oma untuk meminumnya.

"Terima kasih, Sayang. Kamu memang cucu oma yang paling baik, semoga kebahagiaan selalu menyertaimu, Nak." Penuturan sang nenek hanya mendapatkan tanggapan senyuman dari Julian. Oma tidak tahu, jika tadi Julian sudah mendengar semua perdebatan yang terjadi antara menantu dan mertua itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!