NovelToon NovelToon

Perjaka Kesayanganku

Diceraikan tiba-tiba.

Semua orang tahu aku sempurna, kaya, cantik dan seksi. Sayangnya semua kata sempurna itu harus tersandung kata mandul yang terus membayangi kelamnya biduk rumah tanggaku bersama papi Narendra.

Sudah lima tahun kami bersama-sama tapi tak kunjung alat tes kehamilan ku bergaris merah, cukup dua garis merah samar-samar pun tak apa itu sudah melegakan hati kami berdua. Sayangnya keinginan untuk memiliki buah hati itu tak kunjung membuahkan hasil meski setiap malam kami sudah mencoba segala posisi.

Tidak hanya cara paling alami yang bisa kami lakukan setiap malam panas di atas ranjang. Berbagai cara sudah kami lakukan, dari minum jamu tradisional dari resep kerajaan yang fenomenal ‘Jamu macan kerah’ sampai mengikuti program bayi tabung. Tapi entahlah, dokter bilang kecebong papi Narendra kurang gesit, kurang semangat. Beda sekali dengan orangnya yang suka buru-buru dan tidak sabaran.

Entah siapa yang salah aku atau papi Narendra, aku sama sekali tidak ingin berspekulasi sendiri siapa yang tidak subur. Tapi dokter sudah mengatakan bahwa kami memang perlu sedikit bersama sambil terus melakukan pengobatan dan hidup sehat.

Aku mendengus. Pikiranku kadang keruh memikirkan hal itu. Sudah ruwet selama lima tahun harus mencoba cara yang mana. Aku juga tak lupa berdoa. Sudah aku tanya-tanya juga teman yang punya anak banyak gaya apa yang wajib dilakukan setiap bercinta.

Gaya apa saja mereka bilang, pokoknya yang penting sampai dalam Bella, usahakan sampai dalam!

Juga sudah aku coba sampai dalam meski tidak sampai lambung. Itu juga tidak jadi.

Kadang aku berpikir, apa mungkin adopsi anak saja atau terus mengikuti jejak Zaskia Sungkar dan Irwansyah yang tetap bertahan di era gempuran ombak kata-kata yang tidak enak di dengar dan menyakiti perasaan?

Aku mendongak sewaktu pintu kamar terbuka di jam setengah sebelas malam.

"Papi, baru pulang?" tanyaku sambil bergegas menyambutnya.

"Tanda tangan surat cerai sekarang juga, Bella! Aku sudah muak mama dan papa terus menanyakan kehamilanmu yang tidak kunjung berhasil!" maki Narendra Wicaksono sambil melemparkan berkas surat-surat perceraian di atas ranjang.

"Kok gitu, pih? Bukannya kita udah sepakat untuk usaha lagi, setahun lagi, baru kita bisa memutuskan mau gimana hubungan kita kedepannya." protesku sambil berkacak pinggang.

Narendra menangkis tanganku yang hendak meraih lengannya.

"Papih, mami kan nggak salah apa-apa. Kenapa papi jadi kasar gini sih!" omelku jengkel, "Kita udah bicara kan kemarin kalo kita usaha lagi setahun ini. Apa papi lupa, papi khilaf minta cerai?" ucapku lagi mengingatkannya.

Papi Narendra melepas dasinya dengan makian “mandul” yang langsung menyiksa batinku.

Aku bergeming dengan napas tercekat dan muka terhina sambil menatap suamiku yang berwajah lesu dan muram.

"Papi kenapa sih, papi ada masalah perusahaan? Mau aku bantu, atau papi mau aku servis?" kataku menawarkan, biasanya Narendra akan terhibur dengan tawarku itu tapi dia tetap muram malah sambil mengeluarkan baju-bajunya dari lemari.

"Pih, ayolah. Aku nggak mau cerai!" kataku mengiba sambil mencampakkan baju-baju yang ia ambil kembali ke lemari. Aku benar-benar tidak mau cerai, aku masih mau bertahan. Aku masih mau jadi kesayangan papi Narendra.

"Pih, maaf, maaf kalo mami banyak kurangnya. Maafin mami, pih. Mami nggak lagi-lagi deh boros, mami bakal servis papi setiap papi mau. Mami nggak akan nolak, tapi plis kita jangan cerai dadakan gini, Pih. Toh kita kemarin sudah bicara, kita bertahan setahun lagi."

"Tapi aku tetap mau cerai, Bella!" bentak Narendra sambil mengibaskan bahunya seakan-akan dia jijik dan tidak mau aku sentuh lagi.

"Aku mau kita udahan, Bella. Udah cukup buang-buang waktu selama lima tahun ini. Lagian apa lagi usaha yang harus kita lakukan untuk mendapatkan keturunan? Aku capek, malu terus-terusan program bayi yang nggak ada hasilnya dan cuma buang-buang uang!" urainya dengan nada tinggi.

Aku menunduk, dadaku rasanya sakit sekali diceraikan secara mendadak, bahkan kecepatannya mengalahkan tahu bulat yang di goreng dadakan di pangkalan ojek di depan gapura perumahan. Tapi sekarang aku memutuskan memiliki pikiran sendiri.

Narendra berdiri di depanku setelah ku tahu dia meraih berkas perceraian kami di atas ranjang.

"Aku sudah berjanji kepada mama dan papa untuk memberikan mereka cucu di usiaku yang nggak muda lagi Bella dan secara pribadi aku menyerah dengan pernikahan ini. Aku mau kita bercerai!" pungkas Narendra dengan nada final.

"Papi yakin mau cerai sama Bella, papi udah nggak sayang lagi sama Bella?" tanyaku sambil menahan isakkan.

Narendra mengangguk dengan ragu-ragu. "Maaf Bella! Segera saja tanda tangan surat cerai kita dan kamu tetap akan mendapatkan setengah dari uang bulananmu seperti biasanya." ucapnya dengan enteng.

Aku mendekat sambil merentangkan kedua tanganku. Minta peluk, tapi sampai jeda yang tidak menyenangkan berakhir. Narendra sama sekali tidak membalas pelukanku.

Aku menurunkan tanganku dengan berat hati. Papi Narendra berubah.

"Aku lebih butuh papi, aku sendiri di sini, papi. Aku nggak punya orang tua lagi. Cuma papi yang ada, sekarang papi minta cerai. Papi kenapa sih nggak bisa berjuang sebentar lagi sama mami. Pap–"

Aku berontak sewaktu Narendra membekap mulutku.

"Cerai sekarang atau nanti sama saja, Bella. Segera tanda tangan atau perlu pakai kekerasan?"

Aku mengangguk dengan terpaksa. Dalam hati aku yakin, lima tahun hidup dengan papi, aku yakin papi pasti punya wanita idaman lain. Aku bakal cari sendiri informasi itu!

Dengan napas berat akhirnya aku tanda tangani surat cerai kami.

"Semoga papi menyesal udah minta cerai!"

Narendra menatapku seraya mengambil tas dan menyampirkannya di bahu.

"Terserah kamu, Bella. Aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusanku sendiri, kamu tahu itu!"

Sialan, semudah itu Narendra pergi dari rumah ini, semudah itu dia meninggalkan aku disini sendiri hanya dengan bibi Marni. Argh, aku mengeram. Jangan-jangan papi punya wanita idaman lain dan ini tidak bisa di biarkan. Papi selingkuh!

•••

Selamat membaca kisah nyonya Bella. Jangan lupa untuk komentar, vote, hadiah, kalo mau ngasih kasih sayangnya Vivi juga terima.

Salam sayang. Skavivi 💚

Club.

Sejenak yang begitu menyiksa batin dan jasmani. Aku terkulai lemas menyaksikan kamarku bersama papi Narendra seperti ada duri-duri tajam tak kasat mata yang menusuk-nusukku, membuatku tak nyaman berada di kamar yang telah menjadi saksi percintaan kami, perdebatan kami.

Dan ketika aku lelah dan penat bahkan muak dengan pikiranku sendiri. Setengah jam kemudian, pukul dua belas malam aku mengendarai mobil matic silver peninggalan papi Narendra keluar rumah, keluar dari rumah menuju club mencari hiburan. Namun ketika ingatan akan lara datang membersamai perjalanan ini, tangisku berderai-derai.

Aku memukul stir mobil. Tidak ada yang sia-sia saat aku bertaruh di atas segalanya. Aku bahkan sudah mengenyahkan rasa malu, cacian, kata-kata tidak beradab demi mendapatkan buah hati.

Tapi papi, papi Narendra menyerah begitu saja. Papi cemen. Papi tidak tangguh, papi cuma mau enaknya saja. Sama aku juga iya, tapi aku masih mau bertahan.

"Papi datang terus minta cerai dengan mudahnya. Apa dia nggak sadar semua perilakunya tadi menghujam nalarku. Rasanya aku di buang gitu aja, di lepeh, udah nggak enak!" gumamku sambil berjalan dengan lemas ke dalam club.

Di tengah keramaian irama lagu yang di putar disc jockey, di antara remang-remang keadaan, dan euforia pesta di lantai dansa. Aku mencari keberadaan Sisca. Partner bisnis sekaligus teman sesama anggota arisan itu tidak pernah absen membawa satu pria muda setiap kali ingin berpesta.

"Bella, sini."

Mataku langsung tertuju pada wanita semampai yang hanya mengenakan tangtop putih dan rok mini hitamnya memamerkan kakinya yang mengagumkan bak model kelas menengah ke atas. Ya-ya-ya, Sisca, si molek itu slalu memamerkan keindahan tubuhnya baik dengan orang dekat ataupun orang asing.

"Aku yakin banget Sis, kehidupan Narendra setelah cerai dengan ku sama saja. Dia tetap akan kesusahan memiliki anak, mungkin akan seperti ku juga. Tapi Narendra kejam, Narendra tau-tau minta cerai tiba-tiba, padahal kemarin kita masih anget-anget saja." uraiku tanpa sabar sambil menghentakkan gelas sloki di meja bartender.

"Tuang yang baru dong kak, yang enak. Jangan yang pait, hidupku udah pait." pintaku kepada bartender. Laki-laki bertato dengan paras lumayan nakal itu kemudian menuangkan satu gelas anggur merah ke dalam gelas sloki.

"Lagi–sampai isi botolnya habis!" kataku sambil menghentakkan gelas ku di meja. Rasa hangat yang mengaliri kerongkonganku sama sekali tidak menghangatkan tubuhku yang mulai dingin akan sepi kehilangan papi Narendra.

"Sini kak!"

Sisca meraih botol yang hendak bartender itu tuangkan ke dalam gelas ku. Ia nampak menghela napas sambil menyodorkan botol merlot ke tanganku.

"Elo kalo susah jangan ngajak-ngajak orang susah lah, Bell. Kasian tuh bartendernya ngeri lihat elo begitu."

Aku mendesah sambil melihat diriku sendiri di cermin. Menyedihkan, wajahku mencerminkan rasa kekhawatiran dan ketakutan akan perpisahan dengan papi Narendra.

Selama lima tahun ini semuanya papi Narendra berikan, semuanya. Kasih sayang, kehidupan yang layak dan bagi aku yang sudah sebatang kara di negera zamrud khatulistiwa ini di putuskan secara sepihak oleh papi Narendra rasanya patah. Tak semangat.

Lagipula menenggak langsung anggur merah dari botol itu tidak elegan. Papi bilang tidak cantik. Jadinya aku cuma menaruhnya lagi ke meja bening yang sanggup mempertontonkan deretan botol-botol minuman keras dengan segala merek di club ini.

"Menurutmu papi punya wanita idaman lain nggak, Sis? Soalnya aku curiga papi tiba-tiba nyerah karena punya gandengan baru." keluhku masih sadar meski kepalaku rasanya pening.

"Aku curiga papi main serong sama Debora, sekertarisnya itu! Kemana-mana mereka berdua, kalo aku mau ikut ke luar kota, Debora bilang mami Bella ini kerja, bukan main jadi di rumah aja! Ish...," Aku mendesis jengkel sambil menghentakkan botol merlot ke meja sampai memicu perhatian dari orang-orang sekitar.

Debora itu sok-sokan berkuasa. Sok-sokan menguasai papi Narendra kalau urusan kerjaan. Padahal tetap aku yang nomer satu karena aku yang di pilih papi untuk jadi istrinya. Tapi paling-paling sekarang Debora di atas angin tahu papi resmi menalak aku sambil marah-marah.

"Mending elo selidiki aja deh Bell kalo emang elo curiga sama Debora. Gue nggak jamin bos sama sekertaris cantik nggak ada main, tapi gue nggak akan jadi kompor sekarang. Gue mau elo nggak perlu sia-sia apalagi patah hati sampai berlarut-larut." Sisca tersenyum iba sambil mengelus rambutku.

"Elo move on, bales dendam sama tuh papi mu yang udah ngatain elo mandul. Mulutnya jahat banget itu, kalo gue jadi elo tadi udah gue gampar dulu sebelum tanda tangan surat cerai!"

"Sisca," omelku, "aku nggak seberani kamu! Lagian papi Narendra kalau marah menakutkan. Bisa-bisa tadi aku cuma tinggal nama kalo nolak keinginannya." keluhku dengan takut.

"Ya udah, sekarang mau apa lagi? Narendra nggak peduli kamu mau mabuk sekarang. Dia gak akan peduli lagi dengan kamu, Bell. Narendra cuma mau cerai sama kamu dengan tujuan untuk menikah dengan perempuan lain dan punya anak! Ngerti kamu?" sentak Sisca.

Jantungku melonjak, sontak aku meneguk langsung anggur merah dari botolnya, persetan dengan kata papi kalau aku tidak cantik lagi karena minum langsung dari botolnya. Tapi logika Sisca yang nggak masuk akal sehat membuatku ragu sendiri untuk balas dendam atau tidak.

Balas dendam dengan mengenyahkan kata mandul itu sama aja aku harus menikah lagi atau minimal mempunyai pria waras untuk mendonorkan sperm*anya. Tapi perkaranya nggak semudah itu Bella, hari gini banyak yang mau mendonorkan sperm*anya cuma-cuma. Tapi untuk menantang kehebatan papi Narendra siapa yang berani?

Aku meneguk lagi sisa anggur merah ini sampai habis, sampai beberapa tegukan yang tidak muat di mulutku mengalir ke leherku dan membasahi blouse yang aku kenakan.

"Bayarin dulu ya, Sis. Aku mau balik dulu. Aku pusing." kataku sambil berdiri, sempoyongan kesana-kemari dan menubruk tubuh seseorang. Seseorang itu berbalik dan menatapku jengkel ketika segelas minuman yang ia pegang tumpah ke badan seseorang lainnya.

"Maaf kakak!" kataku sambil cengengesan. "Maaf ya."

"Gue anter balik!" timpal Sisca sambil meraih bahuku dan memapahnya.

"Nggak usah, Sis. Aku bisa balik sendiri, kasian tuh gigolomu kamu tinggal, cuma tolong anterin ke parkiran yach. Aku capek banget kayak habis keliling kampung halaman."

Sisca mengembuskan napas sambil berseru, "Dimas, mami tinggal sebentar!"

"Siap, mami Sisca."

Aku memutar bola mataku malas. Sisca-sisca, mentang-mentang punya duit banyak punya simpenan nggak tanggung-tanggung.

"Yakin nggak mau gue anter pulang?"

"Nggak usah, gue ngantuk, tidur bentar ntar juga sadar lagi."

Sisca tidak menjawab, dia menutup pintu mobil ku seraya berlalu.

"Bales dendam, ya, bales dendam! Papi bakal nyesel cerai sama aku!"

Bertemu Abimanyu.

Terkadang kita perlu merasakan sedih untuk tahu rasanya bahagia, kita perlu kebisingan untuk mengenal keheningan, dan kita perlu kehilangan untuk lebih menghargai kehadiran.

Beberapa telah aku pahami, aku kehilangan dua pilar terbaik dalam hidupku dua tahun yang lalu setelah mereka direnggut oleh maut di jalanan, kini aku mengenal keheningan setelah kebisingan club yang membuatku masih berada di parkiran mobil. Terkulai lemas, hilang sadar sampai pukul tujuh pagi.

Aku mengangguk sewaktu seseorang berpakaian satpam memintaku untuk pulang.

"Iya-iya ini pulang om, jangan galak-galak. Hatiku sedang hancur. Tambah hancur kalo om usir dengan paksa." racauku sambil merenggangkan tubuh, sial, badanku remuk semua tidur di dalam mobil. Rasanya kaku-kaku, tapi aku harap bukan karena faktor u. Ini cuma faktor tidur dengan posisi yang tidak tepat saja.

"Ati-ati Tante!" ucapnya sambil menepuk-nepuk badan mobil.

"Tante-tante, masih muda aku ini! Enak aja bilang aku tante-tante."

Terkutuk sudah satpam itu, aku kasih tanda bintang satu dia bukan satpam yang ramah karena sudah bikin aku tambah keruh.

Si satpam meringis geli sewaktu aku memberi klakson mobil berkali-kali.

"Kasih jalan oyyy!" teriakku lewat celah jendela mobil.

"Pokoknya hati-hati Tante, sein kiri belok kiri, jangan belok kanan!" teriaknya sambil membantuku menyebrang jalan.

Sialan, masih berani anak muda itu godain tante-tante. Aku mendesis sambil memfokuskan pandanganku pada jalanan yang mulai padat merayap.

Apa kabar papi Narendra hari ini? Apa papi sudah sarapan?

Aku mengembuskan napas kasar.

Pagi-pagi begini biasanya kami sedang menikmati sarapan berdua di meja makan, papi minum kopi aku minum susu diet setelah kami mandi bersama sambil manja-manja sebelum pekerjaan memisahkan kami selama berjam-jam lamanya.

"Rasanya kemarin pagi masih utuh, tapi sekarang semuanya tinggal separuh. Nggak banget rasanya, kayak ada yang hilang." kataku sambil memutar stir mobil ke arah rumah. Aku harus menemui kenangan, mandi, sebelum menghadapi kenyataan bahwa aku janda.

"Pokoknya kalo sampai papi jalan sama Debora, aku benar-benar akan balas dendam!"

Buku-buku jari ku memutih saat aku ingat bagaimana mereka bersama, mereka begitu solid dan kompak. Sangat serasi saat berjalan berdampingan. Pokoknya kalau aku ikut mereka jalan, aku malah seperti benalu rusuh yang gangguin mereka.

Lucu kan, enggak lah. Tapi kenyataannya begitu, aku slalu merasa tidak mudah menjangkau papi Narendra. Menjangkau kredibilitasnya. Tapi papi mewarnai hidupku dengan santai dan bagus, makanya aku sayang banget sama papi.

Lima tahun kita sudah menjalani semuanya, aku tahu jika pada akhirnya akan berakhir karena kekurangan kami. Hidupku tanpa papi pasti hambar rasanya, tapi bagaimanapun aku harus bertahan dan membalas perkataan papi dengan bukti.

Aku rela berpisah untuk menjemput bahagia yang baru, terlebih bunyi klakson yang memekak telinga itu menyadarkan aku bahwa mati karena melamun sambil mengemudi itu sangat berbahaya. Tapi konyol adanya.

Aku menginjak rem dengan cepat, si pengemudi motor sport yang melaju kencang dari arah berlawanan oleng ke kiri, meliuk-liuk begitu jauh dan ambruk.

"Aduhhh, mati aku. Anak orang jatuh gara-gara aku."

Dengan gugup aku terpogoh-pogoh mendorong pintu mobil untuk menghampiri anak SMA yang memekik kesakitan itu. Tapi sewaktu aku menginjakkan kaki di aspal rasanya jalanan yang aku lewati ikut bergoyang-goyang dan seketika membuatku ambruk di dekat anak SMA itu.

Aku terkekeh malu dengan posisi tengkurap. Rasanya aku malu banget, udah bikin anak orang celaka, niat mau bantuin tapi malah memalukan diri sendiri akhirnya.

"Adek gak papa? Apanya yang sakit? Tante anter ke rumah sakit yuk." tanyaku sambil mati-matian berusaha beranjak. Nggak enak banget di lihat dari segi manapun. Tengkurap kok di pinggir jalan, mana cuma pakai celana pendek ketat dan blouse yang bau alkohol lagi.

Aku menatap anak SMA yang menggunakan seragam lengkap dan jaket jins hitam itu tersenyum sepele.

"Tante habis mabuk semalam, maaf ya adek. Tante nggak konsen. Adek mau minta tanggung jawab? Tante pasti bertanggung jawab kok. Tenang aja, cuma apanya yang sakit sekarang? Boleh Tante periksa?"

Anak SMA yang memiliki mata teduh itu menggeleng cepat sambil beringsut mundur. Seperti takut sama aku, padahal aku nggak gigit.

"Cuma lecet, Tante. Jadi nggak usah tanggung jawab gak masalah kok, nanti di obat merah udah sembuh." jawabnya dengan suara yang manis sekali. Manis seperti wajahnya yang imut-imut. Beda banget sama papi Narendra yang udah nyaris keriput.

Aku bisa tebak usianya baru sekitar sembilan belas tahun. Selisih satu dekade denganku.

"Tapi lihat dulu parah enggak, Tante nggak tenang nih kalo...," Aku menelengkan kepala sambil mengamati wajahnya, "siapa nama adek?"

"Abimanyu." jawabnya malu-malu sambil membuka tangannya yang menutupi lukanya di bagian lutut.

Aku ternganga, iya cuma lecet, tapi lukanya mengangga, merah menyala seperti lipstikku, darahnya merembes sampai celana abu-abunya yang sobek jadi tambah jelek.

"Sakit banget pasti, Abi." kataku prihatin.

Abimanyu cengar-cengir. Matanya seakan berkata nggak apa-apa, biasa mah cowok jatuh begini, cuma aku yakin, sakit sekali ini pagi-pagi udah nyium aspal dan kenyataan baru kalau dia pasti terlambat sekolah. Mimpi buruk yang sempurna bagi Abimanyu ketemu aku yang sedang tertimpa mimpi buruk juga di ceraikan papi Narendra tiba-tiba.

Aku mengembuskan napas. Abimanyu tetap tanggung jawabku sebelum banyak orang mulai heran dengan kami berdua yang duduk-dudukan di pinggir jalan.

"Motormu juga lecet tuh, Abi. Nanti kamu pasti dimarahi orang tua kamu kan, jadi gini aja deh, semua ini Tante yang salah. Motor kamu Tante panggilkan servis online, nanti biar di ambil orang. Sementara kamu ayo Tante anter ke klinik terus ke rumah kamu. Nggak mungkin sekolah juga kan hari ini?"

Abimanyu cengar-cengir sambil menatapku tidak yakin. Kenapa? Apa wajahku nggak meyakinkan? Emang iya sih, aku kusut, letih, dan tidak bergairah.

"Jangan di tolak ya permintaan maaf Tante. Percaya aja deh, tante udah sadar kok, tadi cuma oleng. Sumpah. Tante aja juga sadar kalo Abi ganteng." pujiku sambil memasang wajah cengengesan.

Abimanyu ikut memasang wajah cengengesan sambil mengernyit sakit.

"Tante bantuin berdiriin motornya ya, aku nggak kuat!"

"Oh iya siap! Siap." Aku mengangguk dengan patuh.

Tertatih-tatih Abimanyu mendekati motornya yang tergeletak dengan mesin yang tidak mati sejak tadi.

Detik-detik waktu ‘berdiriin’ motor, aku dalam keadaan lapar dan rapuh mengerahkan seluruh tenaga untuk membantu Abimanyu menegakkan kuda besinya yang besar dan berat.

Huh, lebih mudah menegakkan papi Narendra daripada motor besar ini. omelku dalam hati.

"Aihhh, lecetnya lebih parah motor kamu, Abi. Sedih pasti kamu, tunggangan mu merana seperti aku." Aku mengelus bodi motornya yang baret-baret dan penyok setelah kami titipkan di warung yang baru saja buka.

"Maaf ya, Abi." kataku menyesal.

"Santai aja, Tante. Lagi apes paling jadi gini." Abimanyu nampak menghela napas sambil meraih sebotol minuman dari etalase warung.

"Sama obat merah Bu kalo ada, kapas sekalian." ucapnya.

Aku yang terkesima habis di pegang bahuku oleh Abimanyu langsung sadar. Aku kan mau bawa Abimanyu ke klinik.

"Bayar minumannya aja, Abi. Lukamu biar di obati di klinik." sergahku berharap ibu-ibu pemilik warung itu batal mengulurkan obat merah dan kapas.

Sia-sia, Abimanyu sudah menerimanya, juga membayarnya.

Aku mengerucutkan bibir, walau Abimanyu menolak tentang penyesalan ini. Aku masih bisa menjadi perawatnya terbukti Abimanyu langsung mengajakku ke mobil. Dan ku bawa dia ke rumah ku dengan sengaja. Hihihi. Berasa jadi Sisca, mainnya sama pemuda-pemuda tampan. Bedanya Abimanyu bukan gigolo atau pemuda sewaan. Dia cuma anak SMA yang kedapatan apes karena aku. Huh.

•••

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!