Alya tersenyum kala melihat cincin permata melingkar di jari manisnya.
Akhirnya pernikahan dengan lelaki yang sangat dicintai akan terwujud juga, setelah dua tahun mereka menjalin kasih.
Aditya melamar bulan lalu dan hari pernikahan jatuh bertepatan pada bulan kelahirannya. Aditya sudah memantapkan hati menikahi Alya setelah dia berhasil menjalankan usaha garment miliknya yang dirintis sejak empat tahun yang lalu.
Terlihat Aditya berkeringat dingin. Begitu sakralnya ucapan ijab hingga berdampak demikian besar. Sesekali calon imam Alya itu menoleh dan tersenyum. Alya membalas senyum Aditya yang hangat dan tatapan mata yang menyejukkan.
Alya tak henti berdoa dalam hati, semoga Aditya adalah lelaki terbaik yang dikirimkan Tuhan padanya.
"Alya, selamat ya. Sebentar lagi aku akan memanggilmu kakak ipar " Satria teman kuliah sekaligus calon adik ipar Alya itu suka sekali menggoda. Bahkan di hari yang menegangkan, Satria masih sempat bercanda.
"Jangan bikin ulah, ini hari pernikahan kakak kamu, mending ambil suguhan untuk para tamu," kata calon mertua Alya memerintahkan Satria agar berhenti menggoda calon kakak iparnya.
Lelaki itu menurut dia mengambil semangka yang sudah dipotong untuk para tamu, Satria juga membagikan air mineral dalam botol kemasan pada semua tamu.
Alya sempat tersenyum melihat Satria yang begitu patuh pada ibu.
Penampilan bisa dibilang urakan, tapi Alya yakin dia lelaki yang sangat baik. Kakak beradik yang sangat berbeda. Aditya yang suka berpenampilan rapi, kalem dan terlihat lebih berwibawa.
"Alya, apakah kamu sudah siap menjadi istri Aditya." Tanya Abi Rasyid kala itu membuyarkan lamunan Alya .
"Siap Abi," kata Alya lirih, disertai anggukkan kepala.
Abi Rashidi lalu mengulurkan tangan pada Aditya. Di detik-detik ijab qobul, detak jantung Alya semakin terpacu kencang, tangannya bertautan, sesekali memainkan cincin tunangan warna putih di jari manisnya.
Percaya ini adalah takdir Yang Maha Kuasa. Alya yang masih kuliah dan berusia dua puluh dua tahun akan menjadi istri Aditya, lelaki dewasa dan matang yang usianya terpaut lima tahun dengannya itu.
Aditya mengucap ijab dengan lantang hanya dengan satu tarikan nafas, setelah selesai, terlihat lelaki itu tersenyum dan mengambil nafas dalam. Penghulu bertanya pada kerabat yang hadir.
"Gimana saksi SAH!"
"TIDAK SAH!" Seorang wanita beserta kedua orang tuanya datang di hari pernikahan, dia bukan saudara apalagi tetangga, Alya sama sekali tak mengenal wanita itu.
Lelaki yang sedetik lalu mengucapkan kata ijab langsung berdiri dari duduknya. Terlihat sekali aura gugup di wajahnya.
Alya memandang Aditya dengan tatapan tajam, membuat lelaki itu semakin gugup.
"Mas, siapa laki laki itu?"tanya Alya. wanita cantik berhijab putih dan tubuh sekalnya dibalut kebaya putih dengan hiasan bunga melati menyelip ditelinga itu tiba-tiba saja tenggorokannya tercekat dan tarikan nafasnya begitu berat.
Wanita cantik itu menghampiri Alya dan Aditya sambil memegangi perutnya yang membuncit. Dia terlihat sama hancurnya dengan Alya.
Sedangkan Satria, Abi dan Umi terlihat tak percaya, sorot matanya penuh kebingungan.
Alya menduga wanita itu sedang hamil sekitar lima bulan, tapi kenapa dia datang kesini di hari pernikahan? apakah Aditya ada hubungan dengan wanita itu, atau sebuah kesalahan telah terjadi?
Aditya meraih jemari Alya dan menggenggamnya dengan erat, telapaknya terasa berkeringat dingin. Terlihat ada aura takut kehilangan begitu jelas di wajahnya.
"Mas tolong jelaskan semua ini!" Alya berusaha menguatkan diri, dengan air mata yang nyaris tumpah, dia masih berusaha berdiri dengan kaki tegak untuk bertanya dan berharap apa yang dia lihat ini tak benar.
"Dek, ini salah paham, Mas akan jelaskan semuanya."
Aditya menarik nafasnya dalam dia hendak menjelaskan. Tapi wanita itu mendekat dan bersimpuh di kaki lelaki yang dituduh telah menghamilinya.
"Mas, ini anakmu, darah daging kamu, jangan biarkan dia lahir tanpa seorang ayah. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Jika kau ingin menikah? Nikahi juga aku!" Pintanya dengan air mata membanjiri pipi.
Mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita itu Alya merasakan langit seakan runtuh menimpanya seorang diri. Bumi serasa bergoyang. Kakinya gemetar dan nyaris tak mampu berdiri lagi. Satria segera memberi sandaran pada kepala Alya yang mulai berdenyut nyeri.
"Alya, kuatkan hatimu nak." Wanita yang dipanggil Bunda dan seharusnya menjadi mertuanya saat ini ikut serta menangis.
Dia seakan ikut merasakan kesedihan yang telah menimpa calon menantunya.
"Alya, mungkin Nak Aditya bukan jodohmu." Abi ikut berbicara sementara umi hanya menangis sesenggukan di sebelah Alya. Mungkin wanita paruh baya itu tak tega melihat putri semata wayang yang harusnya bahagia namun justru mengalami kemalangan sedemikian besar.
"Mas apakah benar wanita itu hamil anakmu?" Tanya Alya pada laki-laki di depannya memastikan sekali lagi kalau ini adalah lelucon
"Aku bisa jelaskan, ini tidak seburuk yang kamu kira Dek." Aditya yang hendak mengusap air mata yang meleleh di pipi, Segera di tepis tangan besar itu, hingga saputangan di tangannya terhempas jatuh ke lantai.
"Apa yang dikandung wanita itu adalah anakmu?" Tanya Alya sekali lagi, tak mau melihat kegamangan di mata pria yang harusnya menjadi suaminya itu.
Aditya diam seribu bahasa, sedetik kemudian lalu dia mengangguk.
"Mas, kau tega melakukan ini semua." Alya memukul dada bidang calon lelakinya, lama kelamaan pukulan Alya melemah, merasakan pandangan matanya berkunang kunang, kepalanya berdenyut denyut lalu semuanya gelap, Alya berusaha mencari sebuah sandaran. Setelah itu Alya tak ingat apa-apa lagi.
Saat Alya tak sadarkan diri, Satria membawa ke kamarnya. Satria terlihat panik dengan keadaan Alya, hingga lelaki itu tak bergeming sama sekali dari kamar, menunggu calon kakak iparnya siuman.
Satria membawakan air hangat dan mengompres kening Alya ketika wanita itu masih terpejam. Satria yang slengekan dan suka bercanda ternyata dia begitu perhatian dengan wanita.
Ketika Satria mendekatkan minyak Angin ke hidung Alya, gadis malang itu mulai mengerjab dan perlahan dia terbangun dari tidur.
Satria tersenyum melihat Alya terbangun.
"Maafkan kakakku, telah membuatmu merasakan derita ini Alya, kamu pasti sangat kecewa," ujarnya seraya mengulurkan air putih, agar Alya segera meneguknya.
Alya meraih gelas dengan tangan gemetar, karena takut jatuh Bunda Aisyah membantu memegangnya.
"Alya, mungkin Aditya bukan jodohmu, dia jodoh wanita lain, bagaimana jika kamu menikah saja dengan Satria, Abi Rasyidi dan Umi Salma sudah setuju, tinggal kami semua meminta persetujuan darimu." Tanya Bunda Aisyah
Ini pasti bercanda!! Lirih Alya yang menganggap semua orang sedang menghiburnya. Seberapa lama dia tidur? hingga semua orang sudah bisa mengambil keputusan.
Bagaimana bisa mereka, para orang tua berkata dengan demikian mudah, sedangkan Alya dan Satria selama ini hanya teman kampus, Satria dan Alya juga tidak pernah saling mengenal lebih dari kawan biasa.
Umi Salma dan Abi Rasyidi ikut masuk kamar, lalu dia memeluk putri semata wayang nya. " Nak, tidak ada yang kau harapkan dari Aditya, benar kata calon mertuamu kalau kalian tidak berjodoh, mungkin Satria adalah jodoh kalian yang sebenarnya telah dikirim Tuhan.
Alya dan Satria saling pandang. Terlihat anggukan kepala Satria meski pelan.
Abi dan umi juga berharap Alya setuju. Mereka akan malu jika Alya pulang kembali dan tidak jadi menikah, apa yang akan dikatakan oleh tetangga nanti.
Di bawah terdengar suara ijab kembali berkumandang, dan Alya mendengar dengan jelas kali ini wanita yang disebut oleh Aditya dalam bacaan ijab bukanlah nama Alya lagi melainkan Kinan.
Alya menangis tergugu, hingga paru-parunya seakan menyempit, tak ada oksigen yang mampu untuk ditampung lagi.
"Bagaimana Nak? Apakah kamu setuju menikah dengan Satria, jika Aditya sudah menikahi wanita itu dan bertanggung jawab atas perbuatannya, kenapa tidak kau terima Satria yang berniat baik ingin menikahimu?"
Orang tua dua belah pihak terus saja mendesak, tentu saja Alya tak bisa berfikir jernih.
"Alya, maaf jika Abi memaksamu, tapi ingat jodoh tuhan yang atur, mungkin jodohmu memang Nak Satria," mohon Abi dengan wajah mengiba
Banyak sekali hal yang perlu dipertimbangkan, Alya jika menikah dengan Satria. Lelaki itu selain hanya dianggap teman biasa, Satria masih kuliah, mungkin uang saku saja masih meminta pada orang tua, sedangkan yang Alya harapkan adalah berumah tangga tanpa jadi beban keluarga.
"Alya, aku tahu aku tak bisa menggantikan Mas Aditya di hatimu, tapi biarkan aku menebus kesalahan kakakku, dia tidak berhak membuat keluargamu malu. Dan masalah nafkah aku berjanji berusaha mencari pekerjaan sambil kuliah." Tutur Satria seakan tahu apa yang ada di benak Alya.
"Satria, jangan memaksa untuk bertanggung jawab dari kesalahan yang tak pernah kau lakukan, justru harusnya aku bersyukur dengan kejadian hari ini, disaat yang tepat tuhan membuka aib Mas Aditya yang selama ini tak pernah aku ketahui, aku tak bisa membayangkan jika aku terlambat mengetahui, mungkin sakitnya akan lebih dari ini," kata Alya dengan tangis yang tertahan.
Setelah Aditya dan kinan mengucap ijab dan qobul, kembali terdengar ucapan kata sah dari para saksi.
Air mata semakin deras luruh dari kedua netra Alya, tak menyangka ternyata lelaki yang amat dicintai dan selalu ada disisinya setiap saat, telah menghamili wanita lain.
Alya, kekasih Aditya selama empat tahun, ternyata saat ini bukan dia yang duduk bersanding di pelaminan. Waktu yang lama bersama, ternyata tak mampu membuat Alya mengenali siapa calon lelakinya.
Alya menatap kamar yang dihias begitu indah yang keberadaannya tak jauh dari kamar Satria. Seharusnya dia yang akan masuk dan singgah di dalamnya bersama Aditya, menikmati masa indah, memadu kasih sebagai sepasang pengantin yang sedang jatuh cinta. Tapi apa yang terjadi? Justru wanita lain yang melangkah masuk bersama lelaki yang selama ini selalu mendamaikan hatinya.
Aditya sempat menoleh ke arah Alya dengan tatapan mata yang dipenuhi dengan sorot bersalah. Pandangan mereka bertemu dalam kebisuan. Tetapi Alya segera menghindari pandangan yang dulu begitu dia damba itu. Alya kini membenci tatapan mata itu.
"Nak putuskan sekarang, mumpung penghulu masih ada disini." Tatapan Abi Rashidi terlihat mengiba. Alya tidak tega, dia tidak berhak menghukum lelaki yang sudah membesarkan dan merawat dengan perjuangan berat.
"Bismillahirrahmanirrahim. Baiklah Abi, aku setuju menikah dengan Satria" Alya mengangguk, sontak membuat semua orang yang ada di kamar itu tersenyum.
Satria, lelaki itu segera berdiri dan mengambil kemeja putih dan celana hitam dari lemari lalu siap di dandani oleh Make'up Artist yang kebetulan belum pulang.
Lelaki berambut cepak itu terlihat sangat tampan dengan tukedo hitam yang dipadu dengan celana hitam dan kemeja putih. tak lupa peci dia kenakan yang kian menambah poin-poin ketampanannya.
Alya kini berjalan keluar lebih dulu dengan gaun panjang yang menyapu lantai, diapit dengan Bunda Aisyah dan Umi Salma. Terlihat aura lega pada kedua wanita yang berusia hampir sama itu.
Alya duduk seperti semula seperti saat Aditya yang ada di sisinya. Alya menoleh pada laki laki disampingnya. Butir air mata menetes ketika sadar lelaki disampingnya bukanlah Aditya, tetapi lelaki yang seharusnya dia panggil dengan adik ipar.
Satria tersenyum kala melihat wanita disisinya menitikkan airmata, meraih jemari dan menggenggamnya, seolah dia berjanji pada Tuhan dalam hati, akan berusaha semampunya untuk membuat wanita yang pernah menjadi kekasih kakaknya bahagia.
Kali ini kembali terdengar ucapan ijab dan gobul yang ketiga kalinya di rumah ini, tapi yang mengucapkan adalah lelaki yang masih duduk di bangku kuliah semester terakhir.
Kata sah kembali terdengar begitu serempak.
Airmata Alya semakin deras, dia berusaha menutupi dengan menangkupkan kedua telapak tangannya di wajah.
"Simpan air matamu, jangan menangis untuk sesuatu yang tak pantas kau tangisi, percayalah, skenario Tuhan pasti akan lebih indah daripada rencana manusia."
Satria lalu mendekatkan bibirnya di kening Alya, wanita itu menunduk hingga kecupan mengenai puncak kepalanya.
Andaikan yang memberikan kecupan itu adalah Aditya, mungkin rasanya akan berbeda, Alya akan merasa sangat bahagia. Tapi ini Satria, lelaki yang dia kenal sebagai teman biasa, hanya teman satu kampus beda kelas. Bahkan mereka pasti tidak akan saling mengenal kalau bukan perantara hubungannya dengan Aditya.
Alya semakin tergugu mendengar ucapan bijak suaminya, tak percaya lelaki yang kerap menggodanya dengan canda'an bisa berkata demikian dewasa.
Satria mengeluarkan saputangan dari kantong celana, lalu memberikan pada Alya. Alya menerima dan menggunakan untuk mengeringkan air mata yang merusak riasan di wajahnya.
Satria menyematkan cincin ke tangan Alya. Cincin yang dibeli dadakan oleh Ayah Damar dan Bunda Aisyah dengan buru-buru tadi. Ya, Satria tak mungkin memiliki waktu keluar, sementara dia harus segera bersiap memakai baju pengantin.
"Alhamdulilah," ujar Umi Salma lega, lalu mengusapkan dua telapak tangan ke wajah.
Umi Salma lalu menoleh pada Bunda Aisyah yang netranya kini sedang berkaca-kaca karena terharu dengan si bungsu yang rela menutupi aib keluarga. Mereka lalu berpelukan.
"Akhirnya semua masalah selesai Jeng, semoga Satria wicaksono bisa menjadi imam yang bijaksana, sesuai dengan namanya Wicaksono
"Amin, ya robal alamin," Umi Salma mengangguk sambil tersenyum. Abi Rashidi pun terlihat lega,
***
Malam telah tiba dengan begitu cepat, rumah Ayah Damar kini bertambah dua anggota keluarga baru.
Alya dan Satria berada di kamar yang sama, kecanggungan mendera dua insan yang tiba-tiba seperti tak saling mengenal itu duduk berjauhan
Alya duduk di tepi ranjang dengan wajah yang selalu menunduk, matanya sembab karena sudah seharian tak berhenti mengeluarkan air mata. Mungkin sekarang stok cairan bening itu sudah habis tiada sisa hingga meninggalkan warna merah di kelopak mata.
Satria berdiri mengamati keluar jendela dengan tangan terlipat di dada, melihat pemandangan kota Surabaya yang nampak lebih indah ketika malam hari.
"Mandi dan istirahatlah, aku akan keluar sebentar." Pamit Satria kemudian setelah ponsel di sakunya bergetar. Alya tak bergeming, dia hanya mendongak ketika Satria sudah diambang pintu, mengamati punggung lebar lelaki yang baru beberapa jam menjadi suaminya itu.
Setelah keluar, Satria membiarkan pintu terbuka. Mungkin dia lupa menutup kembali karena sudah menjadi kebiasaan.
Alya memejamkan mata, mengusap butir air yang kembali menetes membasahi pipi. Hidupnya tiba-tiba kini seperti sebuah lelucon.
Alya melihat lampu kamar seberang masih menyala pertanda pemiliknya belum tidur. Tak lama Alya mendengar suara gelas pecah, buru-buru Alya mengunci pintunya. Dia tidak mau tahu lebih jauh lagi urusan rumah tangga orang lain. Mulai sekarang Aditya adalah orang lain baginya.
Alya segera mengunci pintu. Melepas kebaya putih, kerudung dan hiasan yang melekat di kepala. Setelah semua terlepas dari tubuhnya, dia segera mandi air hangat yang diantar mbok jumi, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang.
Alya gelisah sendiri di dalam kamar yang begitu asing baginya, di sana sini hanya ada foto pembalap motor terkenal favorit pemilik kamar . Alya jadi tahu ternyata Satria suka sekali balap motor. Karena diatas lemari terdapat banyak helm besar dan juga perlengkapan balap lainnya di lemari kaca yang menempel dengan dinding.
Lama menelisik setiap sudut kamar, akhirnya Alya menguap beberapa kali, entah di jam berapa dia mulai tertidur.
Tengah malam Alya terkejut dengan seseorang yang mengetuk pintu kamar, meski seseorang diluar sana mengetuk dengan pelan.
Alya segera membuka pintu, dilihatnya lelaki yang menjadi suaminya kini pulang dalam keadaan terluka lumayan parah di wajah. "Sat, apa yang terjadi? Alya segera membantu Satria berjalan menuju ranjang. "Siapa yang meluakai kamu Sat hingga seperti ini?" cecar Alya.
Lelaki itu sepertinya enggan bercerita, dia memilih untuk bungkam. Alya mengerti, mungkin belum saatnya dia tahu masalah yang dihadapi oleh suami dadakannya itu. bisa saja Satria sedang memiliki musuh bebuyutan.
-
-
Alya segera turun untuk mengambil air hangat di dapur. Saat ingin kembali, tiba-tiba ada suara derap langkah kaki yang menghampiri.
Alya buru-buru membawa ember yang berisi air hangat dan meninggalkan sosok yang kini sangat dia benci itu mematung seorang diri.
"Alya, tunggu!! Aku akan jelaskan semuanya. Kamu tidak berhak menghukum ku seperti ini." Merasa diabaikan lelaki itu terlihat kecewa.
"Maaf Mas, semua yang pernah kita lalui bersama, anggap saja itu mimpi buruk. Dan anggap saja sekarang kita sudah bangun dari mimpi itu."
"Alya, kau harus dengarkan penjelasan ku." Aditya nekat memegang bahu Alya dan mencoba memeluknya.
Mantan kekasihnya itu menepis dengan kasar dan menatapnya dengan tajam. "Jangan pernah ganggu aku lagi, urus saja istrimu yang sedang hamil."
Alya lalu pergi meninggalkan Aditya yang terpaku sendiri di dekat dapur cantik. Alya mendengar lelaki itu mengucap sumpah serapah "Aku tidak akan pernah merelakan kamu untuk Satria, Alya!!"
Alya pura-pura tak mendengar,
Wanita itu segera menemui suaminya yang sedang duduk di bawah ranjang dan bersandar dengan salah satu sisinya.
"Sat, maaf aku harus panaskan dulu airnya."
"Alya, kenapa kamu ngos-ngosan? Seperti di kejar hantu? Tanya Satria sambil meringis menahan sakit di sudut bibir dan pipinya. Tentu Alya juga bungkam dengan apa yang terjadi dengan dirinya. Takut malah terjadi sebuah salah paham.
"Sat, apa kamu memang hobi berkelahi seperti ini?" Cecar Alya sambil memeras handuk kecil, usai dicelupkan di air hangat.
Satria tetap saja bungkam. Diamnya Alya mulai menerka siapa pelakunya. Tidak mungkin Satria yang dia kenal memiliki kebiasaan berkelahi, dia tak pernah melihat laki laki yang kini menjadi suaminya babak belur sebelumnya.
"Apakah Mas Aditya yang melakukan ini semua?" Terka Alya sambil membantu membersihkan luka luka di sekitar wajah suaminya. Satria meringis menahan sakit.
"Dia tidak terima aku menikahimu, Al. Mas Aditya sangat mencintaimu, dia berharap suatu hari hubungan kalian bisa diperbaiki. "Satria akhirnya bercerita pada Alya kejadian yang sebenarnya.
Alya memejamkan mata, menahan agar air mata tak tumpah. Jika berkata soal cinta. Alya juga masih sangat mencintai Aditya. Empat tahun waktu yang tidak sebentar, untuk menjalin kasih, suka dan duka sudah dilewati bersama, banyak kenangan indah yang mungkin akan sulit sekali dilupakan.
"Al, maaf jika aku melakukan kesalahan dengan menikahimu." Satria tahu tak mudah berada di posisi Alya. Menerima lelaki yang tak pernah dicintai.
Tapi Satria yakin, suatu hari Alya pasti bisa menerima kehadiran dirinya menggantikan Aditya. Satria yakin cinta Alya akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
"Aku selama ini kenapa sangat bodoh Sat, bisa-bisanya aku tidak tahu kalau mas Aditya memiliki hubungan cinta dengan wanita lain, aku terlalu percaya dan menyayanginya."
"Sumpah, aku juga tak mengenal istri Mas Aditya, Al."
Satria tidak tahu jika ada wanita yang memiliki hubungan dekat dari kakaknya selain Alya. Jika Aditya dan wanita itu tidak dekat tak mungkin wanita itu rela menyerahkan kehormatan hingga mengandung sampai sebesar itu. Jika dilihat sekilas, Alya yakin usia kehamilannya sudah lebih dari lima bulan.
Semakin sakit saja Alya membayangkan semuanya. Kemana dia selama ini sampai tak tahu hal sebesar itu.
"Alya, kamu kelihatannya lelah sekali, tidurlah di ranjang, biar aku di sofa saja." kata Satria melihat wajah lelah wanita yang baru dinikahi beberapa jam itu.
Alya mengambil satu selimut dan juga satu bantal yang ada di ranjang. Meletakkannya di sofa panjang, yang posisinya menghadap ke TV ukuran sedang yang menempel di dinding.
"Alya, tidurlah di ranjang, aku mohon." Satria menghentikan langkah kaki Alya dengan menggenggam pergelangan tangan istrinya. Tapi melihat raut wajah tak suka dari Alya Satria segera melepas genggaman tangannya
"Tidak Sat, kamu sedang sakit, biarlah aku yang tidur di sofa untuk beberapa hari." Alya kekeuh menolak.
"Al, aku mohon, dengarkan jika suami bicara," pinta Satria.
"Baiklah." Alya akhirnya menyerah, dalam hati dia mengagumi sisi baik Satria yang rela mengalah, sedangkan kondisinya sendiri sedang memprihatinkan.
***
Rupanya.Esok telah tiba, Cahaya bulan meredup lalu hilang, ketika sang fajar mulai menampakkan diri malu-malu di ufuk timur.
Alya mengerjab berkali-kali, membuka matanya berlahan.
Alangkah terkejutnya ketika membuka mata, Alya tak melihat sosok. Satria sudah tidak ada di sofa, bahkan selimutnya sudah terlipat dengan rapi.
"Alya, lelah sekali ya? tidurnya pulas banget, aku sampai tak tega membangunkan tadi."
"Bodoh sekali, Alya. Sungguh kamu sudah mempermalukan dirinya sendiri, bagaimana bisa bangun kesiangan," gumam Alya lirih.
Alya menatap Satria penuh kekaguman, aura wajahnya jadi tak menentu. Sedangkan lelaki yang berstatus suaminya sudah rapi dengan baju takwa lengan panjang dan sarung tenun bermunajat pada sang kuasa, dia malah masih asyik bergelung di bawah selimut.
Satria menyambut Alya dengan senyum manisnya. "Alya buruan gih mandi, sebelum waktunya habis." Satria tak mau Alya melewatkan sholat paginya.
Alya menurut, dia beranjak turun, Satria tidak tahu saja kalau Alya sedang datang bulan. Alya juga tak mungkin bercerita.
"Alya, kamu tembus ya!" Pekik Satria sambil menunjuk tubuh belakang Alya. Lelaki itu senyam-senyum seperti berhasil menemukan harta Karun.
"Satriaaa, jangan lihat! Cepat balik badan!"
Alya ceroboh sekali. Wanita itu segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Sat, kamu keluar aja dulu, biar aku bersihkan, maaf ya, aku sudah mengotori ranjang kamu." Alya berteriak dari kamar mandi pribadi yang ada di kamarnya.
"Alya, mulai sekarang itu ranjang kamu, kamu bisa pake sepuasnya, nggak usah panik, biar Si Mbok yang bantu bersihkan." Bagas berteriak balik. Supaya Alya yang sedang bermain air di dalam kamar mandi bisa mendengar.
"Eh jangan!! Aku malu Sat, kalau Mbok yang bersihkan, biar aku sendiri saja." Buru buru Alya keluar dan menarik seprei pada tiap sudut ujung kasur.
Alya segera membawa seprei yang terkena noda darah dan baju kotornya ke tempat cuci. Rupanya pagi buta dapur sudah sangat ramai, Kinan juga sudah membantu Si Mbok memasak sarapan.
"Neng Alya, taruh disitu saja, biar nanti Mbok yang bersihkan." kata Mbok Minah yang masih sibuk.
"Jangan Mbok, biar Alya sendiri saja."
"Neng, sudah, biar nanti Mbok aja, neng mandi dan siap-siap kuliah. Nanti malah telat.
"Beneran mbok, biar Alya saja, soalnya ini ada nodanya." Alya sepertinya harus menjelaskan biar mbok mengerti.
Mbok bukannya membiarkan Alya melakukan keinginannya, dia malah merebut dari tangan Alya.
Mbok sudah tahu itu noda apa, nggak usah malu, lagian Neng Alya juga pasti masih merasakan sakit. Mending neng Alya istirahat dulu.
Belum sempat menjelaskan, Bunda Aisyah yang mendengar semuanya sudah salah paham jiga, segera menghampiri Alya dan memeluk lengan menantunya.
"Sayang, semalam pasti sakit banget, nurut sama Mbok Minah. Biar dia aja yang cuci. Mending kamu istirahat. Mama yakin sekali, pinggang kamu pasti masih sakit.
'Kenapa jadi salah paham begini, ini bukan noda seperti yang seperti kalian maksud, tapi ini hanya noda menstruasi.' Alya tersenyum, meski kesal pada Si Mbok yang menjadi biang keladi kesalah pahaman
"Bunda, tapi …." Alya berusaha menjelaskan. Tapi bunda Aisyah tak memberi kesempatan. Dia terlanjur bahagia dan meminta Alya untuk duduk di ruang keluarga.
Aditya yang mendengar semuanya terlihat sekali menahan amarah, dia menggenggam gelas di tangannya dan mencengkram kuat hingga otot-otot besar di tangannya terlihat.
Aditya kembali ke kamar tanpa sepatah kata, setelah menatap Alya dengan kilatan rasa kecewa yang amat besar. Lelaki itu kalau marah matanya sangat merah dan enggan berbicara.
'Mas Aditya, sepertinya kau juga salah paham, sama seperti mereka, tapi tidak apa-apa, ini malah bagus, kau tidak akan menggangguku lagi, setidaknya prasangka mu itu membuat kau tahu kalau aku bukanlah milikmu lagi.'
Kinan yang ada di dapur, sesekali melihat ke arah Alya. Wanita itu terlihat ingin mengakrabkan diri dengan Alya Atau mungkin dia senang karena Alya sudah melepaskan Aditya seutuhnya untuk dimiliki.
Kinan menghampiri Alya dan bunda Aishah sambil membawa dua teh dengan ukuran gelas besar.
"Teh hangat Bunda, ini juga untukmu, Al. Biasanya kalau minum teh dalam keadaan hangat, nyeri nyeri akan sedikit berkurang." Wanita tengah berbadan besar itu menaruh gelas dengan hati-hati di depan Bunda Aisyah dan Alya.
Alya tahu Kinan sama salah pahamnya dengan semua orang. melihat Kinan sepertinya wanita yang baik, kata katanya lembut, tak ada tanda-tanda dia wanita yang pandai merayu atau berakting, semakin membuat Alya yakin kalau wanita itu tulus mencintai Aditya.
Alya juga melihat Satria yang senyum-senyum dari lantai dua, lelaki itu bukan menjelaskan, tapi semakin menikmati kesalah pahaman ini.
Alya pamit pada bunda Aisyah untuk mandi, sebentar lagi sarapan bersama akan dimulai. Alya juga ingin ke kampus. Tapi niat itu seketika langsung dimusnahkan oleh bunda.
"Alya, kamu izin dulu beberapa hari, sampai nyeri yang kamu rasakan hilang, nanti biar Satria yang akan memintakan izin. Bunda tidak setuju jika kamu kuliah, sedangkan kondisimu sekarang seperti ini."
Mertua Alya sangat paham apa yang mungkin dialami anak-anaknya. Tapi please mengertilah, Alya dan Satria belum kepikiran melakukan ritual itu.
"Benar yang dikatakan Bunda, Al. Mending kamu nggak usah ke kampus dulu, nanti aku akan mintakan izin pada rektor. Paling tidak tiga sampai empat hari, sampai jalan kamu kembali normal."
Alya semakin geregetan dengan suaminya itu, bisa-bisanya dia menambah kalimat bohong yang membuat mereka semua semakin yakin.
Lagi-lagi Aditya tidak bisa menerima semua ini. Lelaki yang duduk di meja makan menunggu sarapan itu sepertinya sengaja menjatuhkan gelas dan membuat semua orang terkejut.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!