NovelToon NovelToon

Dua Lelaki

Bolos yuk!

"Bolos, yuk?" Gadis berambut hitam dengan seragam abu-abu itu pun mengedipkan satu matanya. "Hari ini aja, Dit."

Radit sibuk membaca buku, pura-pura tak mendengar. 

Kania --gadis itu-- menatap lekat Radit, memberikannya wajah cemberut. "Dit, ayolah!" Masih berusaha merajuk.

"Enggak baik, Nia," jawab Adit pelan.

Suasana perpustakaan begitu tenang. Suara pelan sedikit pun pasti terdengar oleh hampir setengah penghuninya. 

"Please, sekali ini aja," rajuk Kania. Masih berusaha.

Lelaki bertahi lalat di dekat bibir bagian kanan pun menutup buku dengan kencang, kemudian membalas tatapan Kania dengan tajam. "Sekali?" Alisnya bertautan.

Nyali Kania menciut. Ia tersenyum lebar menyembunyikan rasa malunya. "Iya, deh. Enggak sekali. Mungkin ini tiga kali."

Radit menyimpan buku di meja, membuang nafas kasar. "Kita ini udah mau ujian akhir semester. Sebentar lagi udah mau keluar. Seharusnya kita lebih giat lagi belajar. Kamu enggak mau lulus dengan nilai bagus?"

Kania menunduk, merasa diceramahi orang tuanya. 

"Dengerin, Nia." Radit melembutkan suaranya. Berusaha menyentuh hati Kania sedikit saja. "Kamu harus lebih banyak belajar buat sekarang. Bukannya kita punya mimpi kuliah bareng? Terus kerja juga bareng?" 

Kania diam.

"Apa sekarang kamu udah berubah pikiran?" tanya Radit lagi.

Kania sontak mengangkat kepalanya, menggeleng dua kali. "Enggak. Aku tetap pengen bareng sama kamu terus."

Radit tersenyum. "Makanya, jangan banyak bolos, ya."

Sekali pun hatinya menolak, Kania tetap menurut. Pada akhirnya mereka pun meneruskan membaca buku kembali.

***

Lima tahun kemudian, Radit berdiri di depan mobilnya menunggu Kania keluar rumah. Sejak tadi gadis itu belum juga terlihat batang hidungnya.

"Nia, kita udah mau telat ini!" teriak Radit dari luar.

Suara Radit yang kencang membuat seisi rumah Kania mendengar. 

"Iya, bentar. Bawel!" sahut Kania sembari membawa satu roti tawar yang telah diberi selai oleh ibunya.

Pak Kemal sedang sarapan di meja makan. Ia sudah terbiasa dengan semua ini. 

"Pah, Bun, aku berangkat dulu, ya. Assalamualaikum," ujar Kania seraya memakan roti, lalu mencium satu per satu telapak tangan orang tuanya.

"Cepet berangkat sana. Aku bisa budek denger Kakak sama Kak Radit kalau lagi sahut-sahutan!" sungut Adit --Adik kandung Kania.

"Sayang, enggak boleh gitu," timpah Bu Lala --ibunya Kania.

Kania menjewer telinga kanan Adit kencang sembari berkata, "Dasar Adik Nyebelin! Uang jajan dipotong, baru tau rasa!" 

"AW, sakit, Kak." Adit mengasuh kesakitan.

"Biarin."

"Kania!" tegur Pak Kemal.

Kania seketika menunduk. "Iya, Pah."

"Kasian Radit nunggu," kata Pak Kemal.

"Iya, Pah." Kania paham. "Kalau gitu, aku pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam," jawab Bu Lala, Pak Kemal dan Adit bersamaan.

Kania berjalan cepat keluar rumah. Gadis yang sudah berhijab setelah kelulusan sekolah menengah atas itu pun segera menghampiri Radit. Mobil lelaki itu berada di luar pagar. 

"Kamu ini kebiasaan! Lagi apa dulu, sih?" tanya Radit sedikit menggerutu.

Kania menghabiskan roti di tangannya, melahapnya lebih dahulu, lalu berkata, "Namanya juga cewek. Banyak persiapannya." Gadis itu mendekati pintu mobil sebelah lagi, masuk dengan cepat, memasang sabuk pengaman denahb benar. "Kamu aja yang enggak sabaran!"

Radit tercengang. "Gimana enggak sabar, Nia. Ini udah jam tujuh lewat sepuluh menit. Di jalan itu suka macet, capek aku nyetirnya!"

Tangan Radit menjalankan kembali mobil, ia memulai perjalanan hari ini.

"Ya, ya, aku mah selalu salah di mata kamu." Kania cemberut.

Radit sudah biasa. Hal ini selalu terjadi ketika perasaan Kania tidak baik-baik saja.

"Kamu lagi datang bulan, ya?" tanya Radit.

Kania bergeming. Ia males menjawab pertanyaan Radit.

Radit mengela nafas. "Ya, udah, aku minta maaf karena udah bikin kamu kesal." Pada akhirnya lelaki itu pun mengalah. Ia menoleh ke samping, melihat dengan jelas raut wajah kesal dari tetangganya ini. "Jangan cemberut dong! Wajahmu keliatan jeleknya!" 

Sontak Kania menggerakkan kepala ke samping, lalu berkata, "Enak aja!" Sudut matanya melihat ada buku di depan kaca, lalu mengambil, dan memukul lengan kiri Radit. "Kamu aja yang jelek!"

Suara tawa Radit terdengar menggema di seluruh isi mobil. Perbincangan sehangat ini selalu mengkhiasi mereka. 

Kania melipat kedua tangannya di dada, memokuskan pandangan kembali ke depan, melihat jalanan. "Kamu itu enggak pernah puas kalau udah ledek aku. Dari kecil, lho."

Radit berhenti tertawa. "Habis kamu pas buat diledek, Nia."

"Oh … jadi menurutmu aku ini harus diledek terus?" 

Radit mengangguk cepat. "Betul! Seratus persen buat kamu."

Bibir Kania monyong, ia kesal. "Udah, ah. Aku mau main Hp aja." Kania mengeluarkan ponsel dari tas yang dipangkunya. Alih-alih meneruskan perbincangan dengan Radit, ia rasa ini lebih baik.

Radit sibuk menyetir. Kemacetan menghadang mereka. Menghentikan laju seluruh kendaraan yang ada. 

"Yah, tuh, kan, macet," ujar Radit sedikit memukul stir.

Kania acuh. Ia lebih memilih menonton drama yang baru dilihatnya dua episode. 

Suasana jalanan sangat ramai. Ya … memang sudah waktunya bekerja dan pergi ke sekolah, beberapa dari pengendara pun ada yang sedang terburu-buru. Seperti halnya mereka.

Ujung netra kiri Radit melirik Kania sekilas, gadis itu tak terusik sedikit pun. Sesekali suara tawa kecil keluar dari bibir manisnya. "Kamu lagi nonton apa, sih, Nia?" Rasa penasaran pun menghampiri Radit.

"Drama," jawab Kania cepat.

"Tugasmu yang kemarin udah selesai? Nanti, Pak Joni marah lagi." 

Kania mengangguk. "Sudah. Tapi, masih ada beberapa laporan yang mesti diselesain hari ini. Kayaknya aku mau lembur, deh." 

Radit juga sepertinya begitu. Mereka bekerja di perusahaan yang sama. Akan tetapi, berbeda divisi.

Kania sendiri ada di divisi keuangan, sementara Radit di bagian divisi penjualan. Keduanya punya tanggung jawab yang berat.

Radit tak berani lama-lama menatap Kania, sekilas saja cukup. Ia kembali fokus ke depan dengan pikiran berangsur naik ke awan. Mengingat kembali percakapannya dengan Pak Joni beberapa hari lalu. 

Entah ini benar atau tidak. Namun, andaikan harus, jelas ia tak bisa memilih. Kemacetan terurai. Radit kembali menjalankan mobilnya, saling mendahului dengan kendaraan yang lain.

Jalanan ramai lancar seterusnya, hingga sampai ke parkiran kantor. Gedung berlantai sepuluh inilah yang menjadi tempat mereka bekerja, mencari nafkah sedikit demi sedikit.

Kania membuka sabuk pengaman, menjingjing tas, lalu keluar. Radit pun demikian. Mereka seperti sepasang kekasih yang sedang berangkat kerja bersama.

"Kamu mau makan siang soto ayam yang kemarin lagi enggak?" tanya Radit.

Kania sejenak berpikir, lalu berkata, "Enggak, ah. Desi ngajak aku nyobian mie ayam yang ada di dekat kantor itu."

Kening Radit mengerut. "Yang sebrang sana? Yang baru buka?"

Kania mengangguk cepat. "Iya." Gadis itu mengeluarkan sebuah cermin dari tas, melihat pantulan wajahnya. "Kata orang-orang yang udah nyoba, enak. Katanya, sih."

Tawaran Pak Joni

Perusahaan yang bergerak di bidang makanan siap saji ini memang sangat pesat perkembangannya. Banyak karyawan bekerja di gedung berlantai sepuluh ini. Mereka punya jabatan dan pekerjaan masing-masing.

Kania bekerja di lantai delapan, di mana tempatnya divisi keuangan berada. Di sana, ia memiliki seorang teman perempuan bernama Desi. Seorang wanita yang usianya hanya beda sebulan dengan Kania.

"Hallo, Kania Sayang," sapa Desi. Gadis cantik bermata coklat. Warna bajunya begitu menarik dan membuat gadis itu semakin terlihat menawan. "Kamu baru datang?"

"Assalamualaikum," kata Kania. 

"Wa'alaikum salam," jawab Desi.

Kania duduk di kursi sebelah Desi. "Iya, nih, Bestie. Aku kesiangan tadi."

"Hah!" Desi seolah tak percaya. "Kesiangan? Mana mungkin seorang Kania kesiangan."

Kania menyimpan tas di meja, mengeluarkan ponsel, lalu menyalakan komputer. "Aku juga manusia biasa, Des."

Desi masih menghadap ke arah Kania. "Iya, aku tau. Tapi, kamu, kan, biasanya bangun dari jam tiga malam. Suka sholat malam dulu."

Terdengar embusan nafas kasar dari Kania. Semalam ia sama sekali tak menjalankan shalat malam, dan begitu bangun matanya langsung diberi hadiah menarik. Pukul enam pagi kurang lima belas menit, sungguh ia saja sampai terburu-buru mengambil wudu dan salat Subuh.

"Apa jangan-jangan kamu?" Telunjuk kiri Desi menuding. Matanya menatap lekat temannya tersebut. "Kamu bergadang, ya?"

Kania menggeleng. "Aku cuman enggak bisa tidur aja, Des."

"Masih kepikiran?" Desi bernada serius.

Kania diam. Layar komputer sudah nyala. 

"Biarin aja ngalir. Kalau dia enggak peka, udah anggap aja enggak ada." Desi menghadapkan badannya kali ini ke layar komputer miliknya. "Kamu enggak perlu mikirin. Kan, kamu yang bilang sendiri. Kalau jodoh, enggak bakal lari."

Kania menggangguk-anggukan kepala. Suasana kantor pun mulai ramai, pegawai berdatangan dengan segudang aktivitasnya. Mereka saling bahu membahu menyelesaikan kegiatan sesuai porsinya masing-masing.

Jam makan siang tiba bersamaan dengan azan Dzuhur. Kania bergegas ke mushola, sedangkan Desi memang sedang tidak melaksanakan salat.

Desi menunggu Kania di lobby kantor. Ia duduk diam sembari bermain ponsel. Men-scroll akun Instagram dan mencari berita paling hangat seputar kehidupan fublik figur.

Matanya tak sengaja melihat Radit bersama Pak Joni, mereka baru saja selesai melaksanakan salat Dzuhur.

Keduanya duduk di meja depan Desi. Radit sendiri membelakangi Desi, sedangkan Pak Joni berhadapan dengan Radit.

"Jadi, bagaimana keputusanmu?" tanya Pak Joni.

Radit tak langsung menjawab, ia benar-benar berada di dua pilihan yang sangat membingungkan.

"Di sana, kamu bisa naik jabatan," sambung Pak Joni.

Desi tertarik dengan pembicaraan mereka. Berpura-pura meneruskan bermain ponsel. Akan tetapi, sebenarnya sedang menajamkan pendengaran.

"Ini kesempatan bagus buat kamu, Dit. Kapan lagi bisa naik jabatan." Pak Joni seolah sedang merayu.

Radit ragu. "Saya belum bisa memutuskan, Pak."

Pak Joni menepuk bahu kanan Radit. "Pikirkan matang-matang. Ini soal karirmu. Kamu masih muda, dan kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali."

Radit paham. Hanya saja, ada yang membuatnya berat menerima tawaran ini.

Sejenak mereka diam, bergelut dengan isi pikiran masing-masing. Beberapa detik kemudian, Pak Joni pun berdiri. Kembali menatap Radit lekat. "Saya kasih waktu dua hari. Pikirkan matang-matang dan putuskan yang menurutmu baik. Apa pun keputusanmu, itulah yang akan menentukan karirmu ke depannya."

Tanpa menoleh sedikit pun pada Desi, Pak Joni pun segera ke arah lift.

"Baik, Pak. Terima kasih," jawab Radit dengan pikiran tak menentu. 

Desi memperhatikan gerak-gerik lelaki di depannya, ia terlihat gusar. Mungkin ada beban yang tengah menimpa diri Radit. Ini sangat jelas.

Tiba-tiba Kania datang dari arah depan, gadis itu melambaikan tangannya ke arah Desi. 

Radit tak menyadari. Sebab, lelaki itu tengah menunduk.

Kania berjalan dengan mata menatap penuh tanda tanya. Ada apakah dengan Radit? 

Mungkinkah sesuatu terjadi pada temannya itu?

Kania semakin mendekat, ia kini berdiri di samping Radit. "Kamu kenapa, Dit? Masih pertengahan bulan, udah lesu."

Desi membungkam mulut. Ia yakin jika Kania belum tahu tentang apa yang dibicarakan Radit dan Pak Joni beberapa hari lalu.

Radit kaget. "Kamu datang bukannya salam!" Lelaki itu langsung memasang wajah jauh berbeda dari yang tadi, sedikit ceria. "Enggak baik tau."

"Ya, ya." Kania lupa. "Assalamualaikum, Radit."

"Waalaikum salam," jawab Radit.

Desi menahan tawa di belakang. Mereka terkadang seperti anjing dan kucing, saling berselisih. Namun, tak akan lama. Mungkin karena sudah berteman sejak dari kandungan ibunya masing-masing.

"Kamu sakit?" tanya Kania yang melihat Radit memijat keningnya.

Radit menggeleng cepat. "Enggak."

Pandangan Kania beralih pada Desi, lalu bertanya, "Des, dari tadi kamu liat dia seperti ini terus enggak?"

Seketika Radit tersentak, lalu berbalik badan, dan menemukan Desi yang tersenyum lebar seperti mengetahui sesuatu.

Mata Radit berusaha tak terlalu lekat melihat, ia kembali membuang pandangan ke sembarang arah. Hatinya kini berkecambuk.

Sejak kapan Desi di sini?

Apakah dia mendengar semuanya?"

Banyak pertanyaan yang timbul di benak Radit. Namun, lelaki itu tak berani bertanya untuk sekarang. Sebab, ada Kania di antara mereka.

Desi berlagak seolah tak ada apa-apa. Ia tersenyum lebar menyambut pertanyaan Kania. "Iya. Dari tadi si Radit ngelamun aja. Padahal, kan, baru pertengahan bulan." 

Mata Radit terbelalak. Ia tak yakin jika Desi tidak mendengar percakapannya tadi. Atau mungkin bisa saja gadis itu pura-pura tak mendengar demi menjaga perasaan Kania. Ya … tak menutup kemungkinan itu alasannya.

Kania beralih pandangan pada Radit. "Uang kamu beneran udah habis, Dit?" 

Radit membuang nafas kasar. "Enggak lah. Aku cuman lagi pusing aja." Radit berbohong.

Desi bergeming, sedangkan sudut mata kanan Radit melihat perubahan ekspresi dari Desi tersebut. Ini semakin meyakinkan dirinya jika teman se-divisi dengan Kania tersebut menyembunyikan sesuatu.

Desi berdiri, ia rasa situasinya tak baik-baik saja. Sebab, Radit terlihat cemas. "Ayo, kita makan siang. Aku udah lapar, nih." Gadis itu bergerak dua langkah mendekati Kania. "Mie ayam pedas sepertinya enak."

Kania teringat akan niatnya sebelum salat tadi. "Ah, iya. Ayo." 

"Kamu mau ikut enggak?" tanya Desi pada Radit.

Tak ada rasa lapar yang datang menemui perut Radit. Ia rasa tidak ingin makan sesuatu. Mungkin membuat kopi di pantry adalah jalan yang baik untuk menenangkan pikiran saat ini. "Enggak, makasih. Aku mau bikin kopi aja."

Kening Kania mengerut. "Bukannya tadi jam sepuluh, pas aku ke pantry. Kamu lagi bikin kopi juga, Dit?"

Kania tak salah lihat. 

"Iya. Tapi, pengen ngopi lagi," jawab Radit.

"Jangan kebanyakan ngopi. Nanti kamu enggak mau makan," tegur Kania.

Hati Desi terenyuh, sakit. Ia mungkin bersalah karena sudah ikut menyembunyikan tentang ini dari Kania. Namun, ia juga tak bisa membongkar rahasia orang lain.

Desi menggandeng tangan kanan Kania. "Udah mau habis waktu istirahat, nih. Ayo, berangkat." Gadis itu pun membawa Kania pergi meninggalkan Radit.

Berbicara dengan Desi

Kania dan Desi berada di tempat makan. Suasananya sangat ramai dengan tempat yang bersih dan nyaman.

"Tempatnya enak banget, ya," imbuh Desi.

Kania bergeming. Pikirannya tertuju pada Radit. Ada yang janggal. Jelas ini tak seperti biasanya. Namun, ia sama sekali tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi.

Desi memperhatikan Kania yang berada di depannya. "Nia, kamu denger enggak?" 

Kania tersentak. "Eh, iya. Kamu ngomong apa tadi?" Gadis itu menyeruput es teh manis di depannya. "Maaf, tadi lagi mikirin kerjaan."

Desi tak percaya. "Kamu bohong."

Bola mata Kania terbuka lebar. "Hah! Bohong." Ia mengedipkan mata dua kali. "Kamu ini ada-ada aja."

"Aku benar, kan?" Desi mendesak. Matanya pun memancar tajam. "Aku udah kenal kamu lama. Dari kuliah. Jadi … kamu enggak bisa bohong sama aku."

Kania mengukir senyum. Benar juga. Ia memang sulit menyembunyikan kebohongan. Baik itu pada keluarga ataupun orang lain. Terkadang sifat ini memang sangat baik, akan tetapi adakalanya sifat ini juga membebani.

Desi meraih kedua tangan Kania yang berada di atas meja. Mencoba menyalurkan energi positif agar temannya itu pun bisa lebih tenang. 

"Kamu percaya sama aku, kan?" tanya Kania.

Kania mengangguk pelan. "Iya."

"Kalau gitu. Apa yang ada di pikiranmu sekarang?" 

Kania diam sejenak, lalu berkata, "Aku cuman ngerasa kalau Radit itu berbeda dua hari ini. Dia kayak yang lagi punya masalah besar, tapi enggak mau cerita sama aku."

Sekilas terlihat raut sedih dari Desi. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa membocorkan suatu rahasia tanpa sepertujuan yang punya. Ini jelas melanggar tatakrama. Hanya saja, hati kecilnya pun menjerit.

Andaikan boleh memilih, ia tak ingin tahu apa pun. Iya benar. Ia seolah mendapatkan beban paling berat.

"Kamu juga ngerasa enggak?" tanya Kania.

Desi melepaskan genggamannya. "Aku kurang yakin. Mungkin karena aku enggak terlalu dekat sama dia."

Kania paham.

Desi memang satu angkatan dengan mereka selama kuliah. Akan tetapi, Desi tidak terlalu dekat. Bukan karena rumahnya tak dekat dengan Radit. Namun, gadis itu lebih suka menyendiri di perpustakaan saat menimba ilmu di universitas.

Kening Kania semakin mengerut. Ia berpikir sangat keras, dan hal ini membuat Desi kasian.

Pesanan mereka datang. Keduanya pun segera menyantapnya setelah membaca doa sesuai kepercayaan masing-masing.

Dalam hati Kania, ia masih belum tenang. Mungkin karena sampai detik ini terus terpikirkan Radit.

"Udahlah, enggak usah terlalu dipikirin. Mungkin si Radit lagi enggak mau terbuka aja," komentar Desi.

Kania sedikit cemberut. "Anak itu kadang penutup juga."

Alis Desi bertautan. "Ya, kan, kalau enggak ditutup mah telanjang namanya, Nia."

"Astagfirullah, bukan itu maksud aku, Des." Kania menggelengkan kepala.

"Terus?"

Kania tak menjawab, ia memilih menghabiskan makan siangnya yang rasanya sangat nikmat.

Pengunjung tempat ini semakin banyak. Termasuk para pegawai kantoran yang berada di area sekitar.

Makan selesai. Desi dan Kania pulang setelah membayar. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum waktu istirahat berakhir.

Begitu mereka sampai kantor. Desi pamit pergi ke pantry dengan alasan ingin membuat kopi.

"Aku buatin satu, ya," pinta Kania. "Biar enggak ngantuk ngerjain tugas."

Desi membentuk hirup O dengan tangan kanannya. "Ok." Gadis itu pun pergi ke arah koridor kanan, sedangkan Kania sendiri segera naik ke lantai delapan menggunakan lift.

Ketika naik lift, ia satu ruangan dengan dua wanita dari bagian penjualan. Mereka tersenyum ramah pada Kania sebagaimana rekan sekantor.

"Eh, kamu udah tau belum?" tanya wanita berbaju merah dengan rambut sepinggang.

Temannya berambut panjang diikat itu pun menoleh. "Soal apa?" Ia terlihat bimbang.

"Aku denger-denger, ada karyawan dari kita yang mau dipindahin ke cabang Bandung, lho. Dan, kabar baiknya, mau langsung diangkat jadi manager."

Kania masih tenang. Ia bukan berniat menguping. Hanya saja pembicaraan mereka bisa terdengar jelas.

Si wanita satunya lagi antusias. "Wah, siapa tuh?" Ia seperti berharap dirinyalah yang dituju.

"Belum tau. Ini baru kabarnya." Wanita berbaju merah itu menggelengkan kepala. Ia baru mendengar kabar ini beberapa jam yang lalu. "Si Eka tadi bilang."

"Eka sekretarisnya Pak Direktur?" 

"Iya."

"Terus, dia bocorin enggak nama-namanya?"

"Nah, itu dia. Enggak." 

"Yah."

Mereka terlihat kecewa. Dan, hal ini pun membuat Kania ikut kaget. Ia tidak tahu siapa orangnya yang dituju Direktur. Namun, siapa pun itu, ia ikut senang.

"Padahal nawarin ke aku aja, ya." Wanita yang rambutnya diikat tertawa kecil. Harapannya begitu dalam.

"Itu mah, aku juga mau," ujar si wanita berbaju merah.

Tepat di lantai tujuh, dua wanita itu keluar sembari mengangguk pada Kania. Dan, tentu saja Kania pun membalasnya balik. 

Pintu lift kembali tertutup bersamaan dengan perasaan Kania  yang mendadak cemas tak beraturan. Ada apa ini? Perasaan kian tidak tenang.

Lift berjalan kembali. Tidak perlu waktu lama, Kania pun sampai di lantai delapan. Ia keluar dengan langkah kaki gontai. Namun, tetap harus bekerja seperti biasa.

"Kamu kenapa, Nia?" tanya salah satu rekan kerjanya.

"Wajahmu pucet sekali," timpah temannya.

Kania mengurai senyum. "Enggak kenapa-napa. Aku cuman ngantuk." Memang benar. Rasa kantuk itu mulai menyerangnya. Padahal jam masuk kantor masih ada sembilan menit lagi.

Kania duduk di kursi sendiri.

"Baru juga istirahat, udah ngantuk."

"Tidur aja sebentar."

Begitulah kira-kira tanggapan kedua rekan kerja Kania tersebut. Dan, Kania hanya menanggapi dengan senyuman lagi.

Gadis berhijab itu tak lantas memaikan komputer. Ia memilih mengeluarkan ponsel dari saku jas, lalu mengintip akun media sosialnya. Mencoba menghilangkan perasaan yang tak enak dari hati.

***

Di tempat lain, Desi rupanya mencari Radit. Ia sempat mengirimkan pesan pada lelaki itu untuk bertemu di dekat mushola. Tempat di mana tak banyak orang tahu. Ada hal yang perlu ia bicarakan dengan lelaki itu. 

Desi sampai di dekat mushola. Benar saja, suasananya sangat sepi. Tak banyak orang yang ada di sana. Mungkin karena bukan jam salat.

"Ni, orang ke mana, sih!" gerutunya. Ia tak punya banyak waktu.

Sedetik kemudian, Radit datang dengan tergesa-gesa. Lelaki itu baru saja membaca pesan Desi tersebut.

"Ada apa?" tanya Radit setelah ada di dekat Desi.

Desi kaget, ia hampir akan loncat. "Kamu datang bilang dulu napa!" Gadis itu kesal, lalu menghadapkan dirinya ke arah Radit.

Radit mengatur nafas sebaik mungkin. Ia bisa dikatakan setengah berlari untuk bisa menemui Desi. "Kamu mau bicarain soal apa? Ini udah mau masuk jam kerja."

Desi menarik nafas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu berkata, "Kamu punya rahasia yang disembunyikan dari Kania, kan?" Ia langsung ke inti permasalahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!