NovelToon NovelToon

Ana Uhibbuka Fillah

1. Awal Masuk Pesantren

Suara adzan ashar berkumandang, saat baru saja kupijakkan kaki di teras depan rumah Abah Yai Abdul Aziz, guru mengajiku yang sekarang. Alhamdulillah.

Sudah dua bulan aku mondok di sini, di Pesantren Darussalam. Suasana yang sejuk dan asri, khas pondok pesantren di pedesaan. Berbeda dengan pesantren yang dulu kutempati, karena padatnya bangunan khas perkotaan sehingga membuat udara di sekitarnya menjadi panas.

"Assalamu'alaikum." Sambil mengetuk pintu aku memberi salam.

Terdengar suara deritan pintu terbuka, "wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh."

Seorang wanita separuh baya membukakan pintu. Terlihat begitu anggun, dengan pakaian gamis berwarna maroon dan jilbab instan senada, serta senyuman ramah khasnya menyambut tamu. Ya, dia Ummi Khaddijah, istri abah yai.

"Nak Yusuf, mari silahkan masuk. Abah Yai ada di dalam," ujarnya ramah.

"Tidak usah Ummi, saya cuma mau mengantar ini, setoran uang bulanan para santri. Kebetulan sudah adzan, saya mau langsung ke masjid saja." Sembari memberikan amplop berwarna cokelat, aku pun sekalian pamit ke masjid.

Beliau pun menerima amplop tersebut, "Ya sudah, terima kasih ya. Hati-hati di jalan." Ujarnya kemudian.

"Sama-sama, Ummi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh."

Masih terdengar suara lembut Ummi Khaddijah di telinga, saat aku keluar dari gerbang rumah Abah Yai Abdul Aziz. Sungguh, betapa beruntungnya beliau mendapat jodoh seperti Ummi Khaddijah, yang begitu baik dalam segala hal. Andai, aku mendapat jodoh seperti beliau juga ....

Ah! Apaan sih. Kok aku jadi ngelantur gini? Jodoh 'kan sudah ada yang mengatur, kenapa juga aku harus galau begini?

Memang sih, di usiaku yang sudah matang seperti ini, siapa juga yang nggak kepikiran sama jodoh? Sedangkan aku, tersentuh hatinya oleh wanita pun tidak. Sudah berkali-kali Ayah mencarikan jodoh untukku, tapi tak ada satupun yang aku terima. Alasannya, aku masih ingin memperdalam ilmu agama. Hingga aku memutuskan untuk pindah ke pesantren ini.

Pertama kali masuk di sini, banyak sekali yang harus kusesuaikan. Terutama lingkungan. Tapi aku termasuk orang yang mudah bergaul, jadi semua tidak jadi masalah.

Satu bulan kemudian, aku di suruh Abah Yai untuk mengajar santri yang pengetahuannya masih di bawahku. Awalnya aku sedikit keberatan, tapi setelah Abah Yai memberi penjelasan, bahwa apa sudah aku dapatkan selama ini, haruslah diamalkan. Agar bisa bermanfaat di dunia dan akhirat, akupun menyetujuinya.

Memang benar, segala sesuatu yang kita miliki, semata-mata bukan hanya milik kita saja. Tapi ada sebagian, yang merupakan milik orang-orang yang berada di bawah kita. Seperti kita saat mendapat sejumput benih padi. Jika padi tersebut kita simpan saja, maka sejumput itulah yang kita miliki. Lain halnya kalau kita tanam. Sejumput padi itu bisa bertambah berlipat-lipat, sampai bisa menjadi sekarung, begitu seterusnya. Begitu juga dengan ilmu yang kita miliki.

"Jika seorang manusa meninggal, terputuslah amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang berdoa untuknya" (HR. Muslim)

Tak terasa, lima menit sudah aku berjalan. Di depan sana sudah terdengar suara muadzin mengumandangkan iqomah. Aku pun segera mempercepat langkahku.

Sampai di sana, sudah terkumpul jamaah santri yang sudah berjajar rapi. Aku pun segera meluruskan shaf, kemudian segera menunaikan shalat berjamaah bersama santri lainnya. Sungguh, kebahagiaan tersendiri terselubung di sini. Di dalam hati.

***

Bersambung

Jangan lupa mampir juga di dua novel terbaruku yang berjudul :

HIJRAH (Ajari Aku Mengenal-Nya) \=> Kisah sepasang manusia yang berbeda agama (Ilham dan Ellea)

Terjerat Cinta Sang Direktur \=> Kisah seorang office girl yang dipaksa untuk menikah dengan sang direktur (Felisha dan Angga)

Jangan lupa vote, like dan komentar yak 🤗 tengkyu all 😍😊

2. Santri Baru

"Tidak ada keberuntungan bagi seorang mukmin setelah bertaqwa kepada Allah, kecuali memiliki istri yang sholih. Yang bila disuruh, menurut dan bila dipandang menyenangkan, dan bila janji menepati, dan bila ditinggal pergi bisa menjaga diri dan harta suaminya. (HR. Ibnu Majah)

"Itu adalah salah satu hadits tentang jodoh. Bahwa tidak ada suatu hal yang menguntungkan bagi seorang mukmin, kecuali dia yang mendapat istri yang sholihah. Karena di sini santrinya perempuan semua, jadi kita artikan suami yang sholih.

Dan di sini juga dijelaskan, bahwa istri yang sholihah ialah istri yang apabila disuruh, menurut. Bila dipandang menyenangkan, bila berjanji menepati, dan bila ditinggal pergi bisa menjaga diri dan harta suaminya. Maka dari itu, berusahalah kalian untuk menjadi istri yang sholihah kelak, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits Rosulullah tadi, supaya kalian bisa masuk syurga. Karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, syurganya istri ada pada keridhoan suaminya. Sampai bab ini ada pertanyaan?"

Panjang lebar aku menjelaskan hadits tentang jodoh pada santriwati kelas Aliyah. Ini kedua kalinya aku mengisi kelas di pesantren putri. Susah payah aku berusaha menahan gerogi, supaya tidak goyah pertahanan iman. Bagaimana tidak gerogi, kalau puluhan pasang mata wanita yang bukan mahrom itu menatapku dengan lekat? Astaghfirullah, pikiran macam apa ini? Aku berusaha menyadarkan diri.

"Saya, Pak Ustadz." Sebuah suara keluar dari deretan belakang pojok kanan. Aku meliriknya sebentar, terlihat seorang gadis mengenakan jilbab cokelat mengangkat tangannya. Kemudian segera memberinya kesempatan untuk bertanya.

"Silahkan, apa yang ingin kamu tanyakan?"

"Bagaimana cara memilih jodoh yang baik menurut islam, Pak Ustadz? Baik untuk perempuan maupun laki-laki." Sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya.

"Di sini dijelaskan oleh hadits yang artinya, "Di cerikan Musadad, diceritakan Yahya dari 'Abdulloh berkata, bercerita kepadaku Sa'id Ibn Abi Sa'id dari Abi Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda, wanita dinikahi karena empat perkara. Pertama hartanya, kedua kedudukan statusnya, ketiga karena kecantikannya, dan keempat karena agamanya. Maka carilah wanita yang beragama (islam) engkau akan beruntung"

"Berarti, kita dianjurkan untuk memilih pasangan kita bukan berdasarkan harta, status kedudukan, ataupun rupanya. Melainkan karena agamanya. Sampai di sini kalian paham?"

"Paham, Ustadz." Jawab mereka serempak.

"Oh iya, satu lagi hadits yang wajib kalian ketahui. "Dunia adalah hiasan, dan sebaik-baik hiasan dunia adalah wanita sholihah." (Al-Hadits Riwayat Muslim)"

Bertepatan dengan kata 'wanita sholihah', tiba-tiba pintu ruangan terbuka perlahan.

"Assalamu'alaikum." Sebuah suara terdengar begitu lembut, sebelum akhirnya sosok itu muncul dari balik pintu.

"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."

Subhanallah 'wanita sholihah', sungguh indah ciptaan-Mu Ya Allah.

Aku terkagum-kagum memandangi sosok itu. Gadis berjilbab biru yang kini tengah menunduk.

'Astaghfirullahal'adziim. Jaga mata, Yusuf! Jangan sampai membuat maksiat!' Dalam hati aku mengingatkan diri. Kemudian mencoba untuk kembali fokus.

"Maaf, Pak Ustadz, saya terlambat." Ujarnya, lirih. Terlihat dari caranya memilin ujung jilbab dengan jarinya, ia sedikit ketakutan. Memangnya aku begitu galak, sampai dia harus merasa takut?

"Tidak apa-apa. Duduklah!" Karena penasaran, aku bertanya, "siapa namamu? Sepertinya aku baru pernah melihatmu?"

Ya iyalah aku baru pernah lihat, aku aja baru dua kali masuk ke pondok putri ini. Ada-ada saja aku ini. Tapi biarlah, dari pada aku tidak fokus pada pelajaran nanti.

"Saya Aisyah, Pak Ustadz. Baru tiga hari saya mondok di sini. Tadi saya sedang mencuci, dan saya lupa jadwal masuknya. Jadi saya terlambat." Terangnya dengan begitu polos.

"Baiklah, karena alasannya jelas, jadi saya maklumi. Lain kali jangan sampai ada yang terlambat lagi. Kalau tidak, kalian akan kena hukuman. Kalian mengerti?" Tegasku, menyembunyikan kekaguman atas kepolosan Aisyah.

"Mangerti, Pak Ustadz." Jawab mereka serempak.

Semoga, dia sepolos Aisyah, istri kanjeng Nabi saw. Seperti wanita idamanku.

'Ah! Apa lagi ini? Apa aku sedang berharap padanya?' Batin ini terus bertanya-tanya. Tapi biarlah, biar semua berjalan atas kehendak-Nya.

Aku pun melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda, hingga selesai pada waktunya.

***

Bersambung

3. Terlambat

"Aisyah, ingat pesan Ummah, ya. Jaga diri baik-baik. Yang nurut sama guru ngaji kamu. Yang rajin, nggak boleh malas. Kamu juga harus mandiri, nggak boleh manja. Di sini nggak ada Abah sama Ummah soalnya. Dan juga ingat kata-kata Abah tadi, jangan sampai mengecewakan kepercayaan Abah." Panjang lebar wanitaku ini memberi pesan.

Ah, Ummah. Aku bukan lagi anak SD yang selalu manja padamu. Yang selalu merengek minta ini dan itu, mencari perhatianmu. Aku sudah dewasa, Mah. Sudah lulus SMA.

Ingin sekali aku mengatakan itu, tapi hati ini melarang. Bagaimanapun juga, aku tetaplah putrinya. Sedewasa apa pun aku, tetap saja masih anak-anak di mata mereka. Abah ... Ummah.

Kulihat Abah di balik punggung Ummah, beliau tengah sibuk mengusap setitik air di sudut matanya. Sementara Ummah menahan isak di dalam pelukan, mulutnya tak berhenti menyuarakan nasehat-nasehat bijaknya. Rasanya, dada ini sudah mulai sesak. Tak bisa lagi tuk membendung perasaan sedih, hingga pertahananku perlahan mulai luruh. Jatuh bersama bulir bening yang melintasi pipi.

"Sudahlah Ummah, Aisy ini mau mondok di pesantren. Mau menuntut ilmu, bukan ninggalin Ummah sama Abah selamanya. Jadi jangan larut begini ya, nanti Aisy jadi nggak betah," kataku kemudian, sembari melepas perlahan pelukan Ummah.

Kuusap air matanya, tersenyum meyakinkan. Bahwa aku bisa hidup mandiri di pondok, bisa menjaga diri baik-baik. Bukan hanya bisa berdiri sembunyi di balik punggung Abah dan Ummah. Aku yakin, aku pasti bisa! Walau pun ini pertama kalinya aku berpisah jauh dari mereka.

"Ya sudah, ingat-ingat pesan Abah sama Ummah ya. Jaga diri baik-baik," pesan beliau lagi.

"Iya Ummah. Ummah sama Abah juga jaga kesehatan, ya. Jangan sampai sakit, biar Aisy di sini nggak kepikiran terus. Biar fokus belajarnya."

"Iya, sayang." Kecupan hangat pun kembali terasa di pucuk kepalaku. Ah, Ummah! Jadi pengen mewek lagi, hiks.

"Ya udah gih, kasian Mang Amin kelamaan nunggunya." Aku pun segera meraih tangan Ummah dan Abah bergantian. Memberi salam dan membiarkan mereka memasuki mobil. Masih terlihat gurat kesedihan di wajah keduanya, tapi mereka tetap membiarkan mobilnya mulai menjauhi pekarangan pesantren ini, sembari melambaikan tangan ke arahku.

.

Bismillah, ini pertama kalinya aku akan mulai hidup mandiri. Semangat, Aisyah, kamu pasti bisa!

Perlahan aku memasuki pesantren. Di sana sudah banyak yang menungguku. Teman teman yang tadi sempat berkenalan denganku. Sedangkan Pak Yai Abdul Aziz dan istrinya sudah pergi, setelah menginteruksikan kepada mbak-mbak senior untuk menunjukkan kamarku.

"Ayah sama ibu kamu sudah pergi, Syah?" Tanya Mbak Salma, senior yang kebetulan sudah berada di dekatku.

"Sudah, Mbak. Oh iya, tempat tidur aku tadi yang mana, ya? Aku mau membereskan barang-barangku di sana," tanyaku, sembari melangkah memasuki kamar asrama.

Terlihat ada tiga ranjang bersusun dua di sana. Berarti, dalam satu kamar di isi enam santri. Semuanya sudah ada nama-namanya, kecuali satu ranjang bersusun di pojok itu, masih terlihat kosong. Mungkin itu yang akan menjadi tempat tidurku.

"Aisyah, tempat tidur kamu yang ini. Terserah kamu mau tidur di atas apa di bawah," ujar Mbak Salma, menunjuk tempat tidur yang kosong tadi.

"Memang boleh, ya?" Mataku sedikit menyipit, saat tidak sengaja melihat sebuah nama di ranjang paling bawah, "yang ini sudah ada namanya, 'Syifa'. Tapi kok masih kosong?" tanyaku kemudian.

"Ooh ... ini tadinya milik Mbak Syifa, beliau sekarang sudah menikah, jadi tempat ini kosong," terangnya.

"Ooh ... begitu ya. Ya sudah, aku milih di sini saja, biar nggak susah naik turunnya, hehee." Aku tersenyum, segera membuka koper dan mengeluarka isinya, kemudian menatanya di dalam lemari kecil di samping tempat tidur.

.

Hari pertama sudah kulalui dengan berkenalan dengan seluruh penghuni asrama. Hari kedua memulai pelajaran Al-Qur'an beserta tajwid-tajwidnya. Dan ini hari ketiga, cucianku menumpuk. Aku harus segera mencucinya. Kalau tidak, bisa-bisa aku kehabisan pakaian lagi.

Suasana pagi hari begini, semuanya sibuk. Apalagi ini jadwal mencuci para santri di kamarku. Berhubung hanya ada tiga kamar mandi tempat mencuci, jadi harus menunggu bergantian. Aku yang merupakan seorang junior di sini, harus rela menunggu para senior selesai. Nggak enakkan, kalau tiba-tiba menyela.

Matahari mulai terik. Semuanya sudah selesai, kini giliranku mencuci. Setengah jam berlalu, aku kembali ke asrama setelah semua cucianku sudah kujemur. Kulirik jam di dinding, dan ... astaghfirullahal'adziim. Kutepuk jidatku. Aw, sakit!

Habislah, aku terlambat! Harusnya aku masuk kelas jam setengah sembilan. Dan ini, sudah jam sembilan lebih tiga. Pantas saja tadi aku masuk asrama sudah sepi, ternyata mereka sudah berangkat duluan. Ah, kenapa tidak ada yang mengingatkanku?

Aku berjalan keluar asrama diikuti rasa takut. Dengan berat hati, kulangkahkan kaki menuju pesantren. Sekelebat bayangan tentang hukuman, mulai menghantuiku.

Apa jadinya nanti, kalau aku harus berdiri di depan para santri lainnya, dengan kedua tangan memegang telinga, dan satu kaki di angkat, seperti hukuman di sekolah pada umumnya. Ah! Membayangkannya saja membuat kakiku lemas. Apalagi kalau harus mengosek seluruh WC di pesantren ini. Uuwekk! Tiba-tiba perutku sedikit mual. Yaa Robb, semoga tidak terjadi apa-apa pada diriku. Aamiin.

Saat hendak memasuki ruang kelas, tiba-tiba saja kakiku berhenti. Kudengarkan dengan seksama apa yang tadi sempat menghentikan langkahku. Suara merdu nan tegas itu, tengah membacakan hadits tentang jodoh. Ah, aku jadi ingin bertanya, siapa jodohku nanti?

Seketika aku tersadar. Ya, dia ustadz yang tengah mengajar di kelasku. Seperti apa ya rupanya? Galak tidak ya? Beberapa pertanyaan muncul di kepalaku. Karena penasaran sekaligus takut, pelan-pelan aku membuka pintu.

"Assalamu'alaikum." Semua mata tertuju padaku, bahkan sebelum aku menyelesaikan salamku.

Tak terkecuali dia, seorang laki-laki mengenakan peci berwarna hitam, dengan baju koko berwarna putih dan sarung yang berwarna senada dengan pecinya. Dia terlihat begitu tampan. Ah, apalagi ini? Astaghfirullah'adziim. Jaga pandanganmu Aisyah, ingat pesan Abah!

Setelah menjawab salam, dia terus saja menatapku, hingga membuat nyaliku menciut. Begitu galakkah dia?

"Maaf, Pak Ustadz, saya terlambat." Akhirnya, hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Beliau menyuruhku duduk, dan menanyakan alasan atas keterlambatanku. Semua langsung kujawab sesuai dengan kenyataan.

Rasanya begitu lega, saat beliau tidak memperpanjang urusan keterlambatanku. Akhirnya aku bisa dengan tenang mengikuti pelajarannya.

***

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!