NovelToon NovelToon

Rinai Hujan

Part 1: Merindu Sepi (Prolog)

Di sebuah curhatan di dalam secarik kertas...

*Untukmu

Jangan ada orang lain yang mengentahui hal ini, terutama Dia. Jangan hal ini sampai merusak pertemanan baikku dengannya. Surat ini tak memerlukan jawaban. Sekedar pelampiasan hati yang tak berbalas. Menceritakan beban perasaan yang tak bisa kutanggung sendirian.

Aku menyukai dalam diam. Begitulah aku, menari dengan cinta yang diam, menyembunyikan cemburu, membuang risau akan dirimu. Bukankah itu lebih mulia? Memelihara perasaan sejak pertama kali kau menginjakkan kaki di sekolah. Menumbuhkan rasa sebelum orang lain merasakan hal yang sama padamu. Betapa sakit memelihara rindu kepada orang yang tak membalas merindu. Aku hanya bisa menutup mataku sambil menyentuh dada. Memanggil namamu dalam sepi dan sunyi.

Rindu menyiksa diriku. Kau tak tahu betapa sakitnya menyembunyikan gemeretak patahnya hati darimu. Merintih seorang diri tanpa pernah berharap kepedulian orang yang aku inginkan untuk peduli. Aku juga manusia yang pantas menyukai. Tak pantas diriku menyebut ini cinta, barangkali ini hanyalah cinta sesaat, yang dipengaruhi oleh merdunya melankoli cinta masa SMA. Aku menyukai wanita yang menyukai orang lain. Tak peduli wanita itu sudah ada yang memiliki, karena aku tak pernah memilih ke mana hati ini akan berlabuh. Ini murni kehendak Sang pencipta cinta, menumbuhkan benih ini padamu.

Kumengubur perasaan dalam-dalam, membiarkan ia membusuk dan mati

*Farel Bintang

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Part 1: Merindu Sepi

Farel Bintang POV

Diriku merindu pada hujan. Rindu pada setiap titik embun hujan yang jatuh dari pucuk pepohonan. Setiap langkahku menyebut hujan tuk berkunjung datang. Suatu hal yang sering membuatku hilang akal.

Adakah yang bisa mengisi kekosonghan hati? Merasuki ruang hampa yang yang telah lama berdebu dan sepi. Terasa berat saatku menatap menggunakan perasaan. Perasaanku seakan kebas dan mati.

Cahaya mentari menerpaku di pagi yang cerah. Di bawah naungan awan tipis aku melangkah lambat di antara rimbunan pohon mahoni yang banyak tumbuh di sepanjang jalan. Masih terasa olehku udara sejuk yang tersisa karena guyuran hujan tadi malam. Dingin tapi tidak terlalu. Terkalahkan oleh semangat mentari menyinari bumi pada pagi hari ini.

Di ujung mataku sudah terlihat tempat tujuanku. Tujuan yang menjadi alasanku berjalan sepagi ini. Apalagi selain sekolah. Tempatku mencari ilmu sebagai pelajar, tempatku mencari jati diri, tempatku mengerti arti sahabat, tempatku tahu arti cinta dan apa rasanya patah hati. Banyak yang kupelajari di sana dan banyak pula yang kulupakan di sana. Kadang seseorang punya masa abu-abu di sana yang patut mereka lupakan dan membuka lembaran baru.

Setiap langkahku menyebutkan angan-angan yang kadang sempat terlintas di pikiranku. Segurat senyum penuh kejujuran nan menenangkan hati. Menyampingkan setiap beban yang terus saja menggerogoti pundak. Segurat senyum yang melukiskan keceriaan di antara sudut bibirnya itu.

Belum satu pun teman yang kutemui dan belum satu pun senyuman yang kudapatkan. Namun jujur, aku tidak memiliki banyak teman. Aku lebih suka menyendiri. Suatu alasan yang membuatku begitu. Aku rasa aku lebih menjadi diriku sendiri ketika hanya ada ada aku dan pikiranku sendiri.

Aku suka menikmati kesendirian. Rasanya sangat damai ketika kumenikmati waktu sendiriku sambil menatap awan putih di atas sana. Duduk di tempat duduk panjang dengan diringi musik santai selalu aku lakukan setiap hari. Tak ada seorang yang datang ke sana, hanya ada aku. Setelah meletakkan tas di kelas, aku melangkah ke tempat itu.

Mataku menatap lurus ke kursi itu. Dua tempat duduk besi itu di letak saling membelakangi. Warnanya hitam namun tidak mengkilat seperti dulu. Setidaknya lebih kokoh daripada pendahulunya yang hanya berupa kursi kayu berdecit.

Ada yang mengganjal di ujung penglihatanku. Kejauhan sana tidak seperti biasanya. Langkahku dibuat terhenti dengan apa yang ada di sana. Sebuah gitar bertengger di atas tempat duduk itu. Aku tidak melihat siapa-siapa di sana, hanya gitar itu. Kembali kulangkahkan kakiku kembali ke tempat duduk itu.

"Haaaa, tidak ada tempat senyaman ini," kataku sambil membuka tangan.

Udara sejuk sungguh terasa di sela-sela jemari yang sedikit berkeringat. Aku duduk dengan nyamannya. Inilah yang kulakukan setiap hari dan inilah yang kusebut menikmati waktu sendiri. Aku menoleh tempat duduk yang juga saling membelakangi dengan tempat duduk yang sedang kududuki ini. Gitar itu terletak begitu saja. Entah ke mana pemiliknya pergi. Satu hal yang kuketahui, jariku ingin sekali menekan senar-senar itu.

Bunyi petikan gitar yang padu menggema di sekitarku. Bunyi senar bass yang besar berkolaborasi dengan bunyi senar bawah yang nyaring mengundang angin pagi nan sepoi. Mengempas lembut ke wajahku yang sedang tersenyum tipis. Jariku semakin saja menggila menekan setiap senar di gitar. Melodi-melodi terdengar harmoni di telinga.

Sudah lama aku tidak memegang gitar. Itu pernah bagian dari hobiku dahulu. Entah kenapa gitarku dulu pernah kutinggalkan di rumah seseorang. Aku sering berkunjung ke rumahnya. Suatu waktu aku membawa gitar dan meninggalkannya di sana. Sampai detik ini tidak pernah aku ambil. Biarlah dia di sana berganti pemilik. Mungkin saja jari pemilik baru itu terasa lebih nyaman dari jariku yang kasar ini.

Aku melihat langit di atas. Tampak cerah dengan selapis awan tipis. Ini menjadi pertanda tidak akan ada hujan hari ini. Aku sebenarnya kesal hujan turun tadi malam. Aku lebih menyukai hujan turun di siang hari. Aku bisa leluasa melihat setiap rintik rinai hujan yang turun. Mendengarkan nyanyian hujan yang terus menggema di telinga. Aku juga bisa mencium bau hujan yang khas. Membuatku bisa menyelam pada diriku sendiri,

Aku sangat menyukai hujan. Aku bisa menyelam ke dalam diriku sendiri ketika hujan. Menelusuri setiap detail memori yang pernah terjadi padaku. Memori-memori itu kembali terputar seperti film bioskop lama. Berwarna abu-abu, namun penuh kenangan. Hujan selalu mewarnai bagi para penikmatnya. Apa lagi di temani secangkir kopi pahit dan diseruput tatkala hujan turun. Di saat itu hatiku selalu berharap, semoga saja pelanginya lebih jelas dari sebelumnya.

"Hai," sapa seseorang di belakangku. "Petikan gitarmu bagus juga," lanjutnya.

Kepalaku menoleh ke belakang. Ada seorang wanita yang duduk di belakangku. Senyumnya tipis namun tampak manis. Matanya yang bulat memicing di bawah naungan kedua alis tebal. Angin pagi yang tak sengaja lewat menggoyangkan rambut hitam panjangnya.

Kenapa dia di sini? Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Apalagi wanita secantik dirinya bisa terdampar di tempat duduk ini. Mataku bisa melihat dengan detail setiap garis wajahnya. Aku seketika terlena menikmati manisnya senyuman itu.

"Hai, kok bingung gitu?" tanya wanita itu lagi.

"Eh tidak kok. Eh, Hai juga. Ini pasti punyamu, kan?" Aku memberikan gitar itu padanya. Matanya tampak menolak gitar itu.

Ia tampak menggeleng. "Aku mau kamu mainkan gitar ini lagi. Melodimu begitu manis terdengar," ucapnya memujiku.

"Tidak, aku mau masuk kelas dulu." Aku tegak lalu bergegas meninggalkannya. Namun, ia memanggilku lagi.

"Siapa namamu?" Langkahku terhenti mendengar pertanyaannya.

"Apakah itu penting bagimu?" jawabku singkat lalu benar-benar pergi ke kelasku.

Aku tidak begitu suka berbincang dengan orang yang tidak kukenal sebelumnya. Apalagi dengan seorang wanita cantik seperti dirinya. Rasa gugup dan canggung menjadi satu. Sering kali aku berkata tidak jelas jika bertemu dengan wanita sepertinya.

Terdengar olehku bunyi pantulan bola basket di lapangan. Murid itu tampak menatapku tajam. Tangannya yang kokoh mencoba melontarkan bola ke dalam ring basket. Ia cukup ahli dalam memainkannya. Setiap lemparannya selalu tepat sasaran. Meski ia fokus dengan bola basketnya, tetapi matanya tetap padaku. Tatapan itu memang sudah sering kudapatkan darinya. Jadi aku tak heran lagi. mengandung dendam dan kebencian.

***

Part 2 : Masa Lalu

Part 2 : Masa Lalu

Farel Bintang POV

Pernahkah kalian punya masa lalu yang ingin kalian lupakan? Atau kalian sering terlena dengan masa lalu tatkala teringat ketika kalian menatap hujan. Jika kalian bertanya padaku, aku akan menjawab bahwa aku akan melupakan masa laluku. Masa laluku tidak seperti orang pada umumnya. Banyak lika-liku dan tampak abu-abu. Terlalu banyak kesalahan yang telah kuperbuat.

 

Aku dulu pernah punya kekuasaan. Semua orang tunduk dan menghormatiku. Tetapi kenapa hal seperti itu yang ingin kulupakan? Bukannya enak apabila kita bisa mendapatkan semuanya. Selalu ada Rahasia di balik cerita. Tidak kubiarkan seseorangpun yang dapat mengetahuinya. Biarlah ia terpendam oleh kenangan baruku yang lebih baik.

Kembali ingatan itu terputar olehku. Seseorang mengejarku dengan ganasnya. Bisa kuhitung berapa orang yang berusaha mengejarku. Teman-temanku juga mengikutiku di belakang, mengikuti di mana tempat terbaik untuk lari dari mereka.

 

"Woi, jangan lari kau!" teriak mereka di belakang.

"Cepat, jangan sampai kita dapat," kata temanku sambil melihat ke belakang. Tampak jelas olehku wajah pemberani tak kenal takut itu dipenuhi oleh peluh berlari.

"Ayo!" teriakku memberikan semangat pada kedua teman yang mengikuti di belakangku.

Akhirnya tempat yang kami tuju telah terlihat. Gedung tak jadi itu akan jadi tempat akhir dari pelarian kami ini.

Kedua temanku berteriak, "kami sampai!"

Aku tersenyum saat teman-temanku yang lain membalas senyumku di sana. Belasan murid itu siap untuk memberikan perlindung kepada kami yang sedang dikejar.

Aku menunduk penat. Bajuku basah oleh peluh yang keluar. Nafasku sungguh tidak beraturan lagi, seakan ingin pingsan dan terbaring di tanah berumput ini.

"Ga apa-apa, kau sudah sampai di sini. Sekarang biar kami yang mengatasinya." Salah satu temanku menepuk pundakku.

Aku mengangguk mengerti lalu berputar balik menatap kelima orang yang mengejar kami tadi. Tampak wajah takut mereka menatap kami yang berjumlah belasan orang.

"Awas kalian! kita belum selesai!" teriak salah satu dari mereka.

Aku tidak memperdulikannya. Mereka tidak tahu siapa aku. Perlahan tapi pasti, mereka meninggalkan kami.

Sebuah handphone yang kupegang menjadi alasan kami dikejar oleh mereka. Di ujung mataku, tegak seorang anak berkacamata menyandang tas ranselnya. Baju SMP yang ia pakai tampak rapi seperti anak-anak baik pada umumnya. Badannya cukup tinggi, namun nyalinya tidak menyamai dengan postur tubuhnya.

"Hei, ini punyamu. Kami hampir mati hanya karena mengambil ini dari tangan mereka. Sebaiknya jaga biar nggak dicuri mereka lagi." Aku menyerahkan handphone yang ada di tanganku.

"Baiklah,terima kasih," ucapnya. Nadanya sedikit bergetar. Wajahnya seperti takut kepadaku.

"Hahahaha, iya sama-sama. Kau juga teman sekolah kita. Wajib dibantu. Yaudah, pulang sana. Kalian juga," kataku pada belasan temanku yang lainnya.

"Baik Boss!" jawab mereka. Aku hanya tertawa mendengar panggilan mereka padaku. Sebenarnya aku tidak terlalu suka dipanggil seperti itu. Bagiku kami semua sama, tak ada yang menjadi pemimpin di sini.

Mereka semua meninggalkanku. Aku tetap di situ memandang langit mendung yang bergerak perlahan. Angin terasa begitu kuat menerpa wajahku. Titik demi titik gerimis mulai membasahi tanah. Aku menunggu momen ini.

"Siapa namamu?" tanya anak yang tadi kutolong. Aku menoleh padanya. Wajahnya cukup tampan, namun pembawaannya terlihat sedikit culun.

"Apakah itu penting bagimu?" kataku sambil menadah tangan berusaha menampung hujan gerimis yang turun.

"Tidak, aku hanya bertanya. Aku sangat berterima kasih." Ia terheran menatapku. "Sedang apa kau?"

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya kembali. Aku senang ketika ditanya apa yang sedang aku lakukan.

"Menunggu rinai hujan," jawabku. Mataku semakin berbinar menatap awan yang semakin gelap ingin menumpahkan tangisannya.

"Namaku Azka. Aku hanya ingin berteman denganmu. Baiklah ... Aku pulang dulu," pamitnya lalu pergi. Aku menatap pundaknya yang lebar.

"Hai anak baru, namaku Farel. Kalau ada yang masih berani mengganggumu, bilang saja padaku karena kau sekarang temanku," kataku sambil tersenyum. "Oh iya, badanmu cukup tinggi. Aku sarankan kau untuk aktif di basket SMP kita,"

Ia tampak membalas senyumku. Ia berlari menghindari hujan, sementara aku di situ menatap ke atas memeluk hujan. Baru kali itu seseorang memintaku menjadi temannya.

Seketika, aku kembali lagi ke masa di mana hidupku lebih datar. Ingatan itu begitu singkat di tengah wangi rayuan hujan yang belum turun.

Terdengar olehku riuh suara murid laki-laki tanpa henti. Sayup-sayup mataku menatap ke depan. Wali kelasku sudah datang, namun berani-beraninya mereka ribut seperti ini, kecuali laki-laki yang hanya berjarak satu bangku kosong di sebelah kananku. Ia hanya memasang tampang cool.

Aku segera membenarkan pandanganku. Di samping Wali Kelasku berdiri seorang wanita. Aku menatap mata bulatnya yang menggemaskan. Bulu matanya lentik lengkap dengan alis tebalnya. Kedua sudut bibirnya melebar membentuk senyum. Pancara manis dari wanita di depan itu tidak bisa kuelakkan. Ia menatapku dan tersenyum dengan ringannya. Aku mengenal wanita itu. Itu wanita bergitar tadi pagi.

"Hai semua, namaku Alvia," katanya memperkenalkan diri. Tatapannya masih tertuju kepadaku.

"Alvia, nanti kamu bisa berkenalan dengan mereka semua. Sekarang silahkan duduk," kata Wali Kelas.

Langkahnya yang lambat menuju ke meja. Ia tersenyum padaku sekali lagi, namun itu membuatku salah tingkah.

"Kau, kan?" tanyaku.

"Iya, benar." Ia seketika menjulurkan tangannya padaku. "Namaku Alvia. Namamu siapa?"

Tak ada ekspresi berarti dariku. Aku tak menggapai tangannya. kubiarkan sampai ia menarik tangannya sendiri.

"Oh, kau belum mau memberitahukan namamu, ya? Semoga kita berteman." Ia **** senyum.

Dibalik senyumnya, kulihat tatapan datar dari orang di sampingnya. Itu lelaki yang sama ketika tatapan itu terlihat saat ia sedang bermain basket tadi pagi. Tatapan yang mengandung kebencian. Seakan ingin menghantamku dengan keras.

Ia benar-benar membenciku.

***

Part 3 : Namamu

Part 3 : Namamu

Alvia Darsya Putri POV

Hatiku berdegup kencang saat melangkahkan kaki. Hari ini adalah hari spesial bagiku. Akhirnya sepatu baruku akan terpakai setelah dua minggu tidak pernah kupakai.

Label SMA Diponegoro bertengger di bahuku, salah satu sekolah elit di Pekanbaru. Senang rasanya mempunyai teman baru. Akan ada tawa-tawa yang akan kudapatkan dari teman-teman baruku nanti.

Aku berasal dari Kota Padang. Ayahku yang asli orang Pekanbaru memilih pindah kembali ke Pekanbaru karena dipindah tugas oleh perusahaan tempat ia bekerja.

Ya, sekarang di sini aku berada. Di tanah Melayu yang cukup panas bagiku. Sedikit lebih panas daripada Kota Padang. Saat di Padang, aku bisa melihat bukit-bukit yang indah dengan jelas. Namun, di sini aku tidak akan melihatnya lagi. Di sini dipenuhi gedung-gedung yang jika di lihat sedikit tidak jelas karena udara dipenuhi oleh kabut asap tipis. Sering kali Kota Pekanbaru dipenuhi oleh kabut asap kebakaran hutan.

"Pak," sapaku pada petugas satpam sekolah itu. Usianya mungkin sekitar lima puluhan. Ada sedikit uban yang tumbuh di rambutnya.

"Iya, banyak sekali bawaannya." balasnya.

Ia benar, tak hanya tas sekolah yang kubawa namun tas gitar juga yang kusandang. Aku memang hobi bermain musik, terutama gitar. Kepala Sekolah memintaku untuk aktif di sanggar musik sekolah.

Di sepanjang perjalanan, aku selalu dipandangi oleh murid-murid lain. Aku maklum dengan hal itu. Aku anak baru di sini dan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku sedikit tersipu melihat mereka yang terus saja memandangiku.

Seketika seseorang menabrakku dari belakang.

"Hei!!!"

Pria itu tetap tidak menggubris. Hanya tenang berjalan tanpa beban. Setiap orang menatapnya, namun ia tidak peduli.

Hatiku mengutuk kepada pria itu. Namun pagi ini terlalu panjang untuk terus melakukannya.

Aku berjalan ke arah belakang sekolah. Sebuah lapangan basket berada di sana. Tidak jauh dari lapangan basket itu, terdapat dia buah tempat duduk besi yang letakkan saling membelakangi. Aku memustuskan untuk duduk di sana dahulu sebelum berkeliling lagi mengenal sekolah ini lebih jauh.

"Haaaa, udanya segar." Aku membuka tangan lebar-lebar berusaha memeluk angin segar yang melintas.  "Siapa yang tidak betah duduk di sini."

Perlahan-lahan aku tersenyum betapa indahnya jika aku bisa berdua dengan orang yang kusuka di sini.

Aku meletakkan gitarku lalu pergi untuk melihat-lihat sebentar. Sekolah ini cukup luas. Langkahku tidak akan mampu untuk menjelajahi semuanya pagi hari ini. Banyak yang kulihat kali ini. Mulai dari laboratorium, lapangan futsal, ruang seni, UKS, bahkan tempat menongkrong anak laki-laki. Langkahku berakhir di ruang Kepala Sekolah. Aku lupa kalau aku harus menemuinya pagi ini. Perlahan aku membuka ruang Kepala Sekolah. Tampak di sana ia sedang duduk sambil membaca berkas-berkas di mejanya. Di sana juga berdiri seorang murid laki-laki.

"Bagaimana keadaanya akhir-akhir ini?" tanya Kepala Sekolah kepada murid itu.

"Seperti biasa, Bu, dia masih tidak mau bergaul. Aku selalu awasi dia kok," jawab murid itu. Namun, Kepala Sekolah mendengarkannya tanpa melihatnya. Ia terlalu sibuk dengan berbagai berkas di mejanya.

"Assalamu'alaikum," ucapku pelan.

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka seretntak. Murid laki-laki melihatku dengan heran, namun perlahan ia tersenyum padaku.

Aku mendekat ke meja Kepala Sekolah dengan cepat.

"Etek." Aku menyalami tangan Kepala Sekolah.

Murid laki-laki itu terkejut mendengarkanku dengan sebutan Etek. Etek adalah sebutan bibi atau tante dalam Bahasa Minang atau pun Melayu. Ya benar, yang kusalami ini adalah adik dari Ibuku.

"Alvia, di sekolah jangan panggil etek di sekolah dong. Panggil Ibu aja," ucapnya sambil tertawa.

"Alvia, bakal manggil Etek dengan sebutan Bu Etek. Haha .... " Aku tertawa sejenak. Murid laki-laki di sampingku juga ikut tertawa.

"Azka, ini keponakan Ibu. Namanya Alvia. Pindahan dari Padang." Bibiku ini memperkenalkanku dengan murid laki-laki itu.

Pembawaannya tampak manis dan ramah. Senyumnya begitu ringan ketika ia menunjukkannya.

"Aku Azka. Salam kenal ya." Ia kembali tersenyum padaku.

Aku membaca label nama di dadanya.

"Azka Aldric, oh itu nama panjangmu." Kepalaku sedikit terangkat saat menatap wajahnya. Postur tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran laki-laki. "Namaku, Alvia."

"Bu Etek, Alvia masuk kelas mana?" tanyaku pada Kepala Sekolah atau Etek-ku itu. Ia tak menjawab pertanyaanku, namun berkata kepada Azka.

"Azka, nanti kamu antar Alvia ke Wali Kelasmu ya. Alvia akan masuk kelas kamu," ucapnya.

Azka hanya mengangguk mengerti.

Setelah itu kami keluar dari ruangan kepala sekolah. Kami berjalan perlahan tanpa tujuan. Aku hanya mengikuti kemana Azka ingin pergi. Saat kami berjalan berdua, seluruh murid tampak menatap kami, terutama murid perempuan yang menatap sinis kepadaku. Aku menghiraukannya saja.

"Ada apa dengan mereka Azka?" tanyaku kepadanya. Kepalaku kembali terangkat tuk melihat wajahnya. Tinggi badanku sama dengan dada Azka.

"Sebaiknya kamu cari tau siapa aku dulu," jawabnya singkat lalu Azka masuk ke suatu ruangan. Aku melihat papan yang tertempel di atas pintu ruangan itu. Tidak lama kemudian Azka keluar dengan membawa sebuah bola basket.

"Aku bertanya, loh, tapi kamu malah ngejawabnya dengan memberiku perintah. Aneh." Aku membahas jawabannya tadi.

"Mereka itu yang aneh paling, masa nggak pernah lihat orang jalan berdua sih," jawabnya.

Aku mengangguk mengerti. Kami terus berjalan berdua menuju ke sebuah lapangan basket. Ia langsung ke sana untuk memainkan bolanya.

"Kamu diminta ngantar aku ke Wali Kelas, loh, bukan ke lapangan basket." Aku melipat tanganku dan membiarkannya berlari men-dribble bola basketnya. "Main dulu, baru ke sana."

Senyumnya kembali terpancar saat ia memainkan bola basketnya. Ia terlihat manis saat tersenyum. Terutama saat sebelah lesung pipinya mulai tampak. Wajahnya terlihat oriental. Ia begitu imut tatkala mata sipitnya memicing.

Dari sini terlihat gitar yang kuletak di tempat duduk tadi. Masih terletak rapi lengkap dengan tas gitarnya.

Di sana ia tidak sendiri, ada seseorang duduk di dekatnya. Ia selalu menatap langit yang perlahan bergerak. Ia duduk dengan pasrah saat dihantam angin pagi yang segar. Di hadapannya terdapat rimbunan pepohonan dan bunga-bunga yang diperebutkan oleh lebah dan kupu-kupu. Tidak lama kemudian, ia melihat gitarku.

Matanya tampak ragu untuk menyentuhnya. Aku tahu ia tidak akan bisa tahan dengan gitar mulusku itu. Dibuat dari kayu mahoni oleh salah satu seniman terkenal di Kota Yogyakarta. Suaranya sangat merdu bahkan burng-burung akan bernyanyi jika kupetik dengan melodi-melodi yang harmoni.

Azka lelah dengan basketnya lalu duduk di sampingku. Matanya lurus melihat Pria yang sedang memainkan gitarku itu

"Cowok itu main gitarnya bagus ya." Tiba-tiba mulutku berbicara sendiri. Memecah keheningan di antara kami.

"Iya, sayangnya dia pendiam dan nggak suka bergaul. Aku juga suka bermain gitar, seseorang meninggalkannya di rumahku dulu," jawab Azka sambil melihat pria yang sedang bermain gitar itu.

Alunan melodi yang ia mainkan memaksaku untuk mendekatinya. Kutinggalkan Azka bergelut dengan basketnya kembali, sedangkan aku berjalan ke tempat duduk itu.

"Hai," sapaku tiba-tiba. "Petikan gitarmu bagus juga."

Ia menoleh dengan lambat. Sorot matanya tampak tajam menatapku. Seperti melihat setiap detail wajahku. Angin yang menghempas memaksa rambut lurusnya bergoyang. Warna kulitnya tidak terlalu cokelat, tidak seputih Azka yang baru kukenal tiga puluh menit yang lalu. Kepalaku tetap saja terangkat saat berusaha menatap wajahnya.

Ia adalah orang yg menabrakku tadi.

Aku memintanya untuk memainkan melodinya lagi. Namun, ia menolak. Langkahnya tegas untuk pergi.

"Siapa namamu?" pertanyaanku membuat langkahnya terhenti.

"Apakah itu penting bagimu?" jawabnya singkat.

Matanya mengarah ke Azka yang sedang bermain basket. Tampak fokus memerhatikan Azka nan sedang asyik dengan kegiatannya sendiri. Namun, seketika Azka sadar jika ia sedang dilihat oleh pria itu. Tatapan dingin mereka saling beradu. Pria itu akhirnya mengalah dan langsung pergi.

Azka mengantarkanku ke Wali Kelasku yang baru. Tak lama kemudian, aku digiring ke kelas baru.

Aku tersenyum.

"Ternyata kita sekelas, pria aneh! Akan kucaritahu namamu."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!