Ting!
Dia terjingkat kaget oleh sebuah pesan masuk mengusik kesendiriannya ditengah malam dingin yang diiringi gerimis. Dibuka, dibaca lalu dibalas dan kemudian mengarahkan pandangan lagi ke arah layar monitor laptopnya.
Ting!
Sebuah pesan masuk lagi. Tapi kali ini Sunday tidak menghiraukannya. Dirinya terlalu sibuk dengan tugasnya.
Bip bip bip... tanda sebuah panggilan masuk. Mau tidak mau Sunday melongok ponselnya.
Faris memanggil...
Panggilan dari aplikasi Whatsapp.
Sunday mengangkat dengan kemudian kembali menatap layar laptopnya.
"Apa!" Sambut Sunday agak membentak
"Galak sekali, Nona. Calm down..." Suara di seberang yang terdengar sedikit terkekeh.
"Mengganggu saja." Sunday menggerutu.
"Sudah malam, bukankah kata bang Haji Rhoma begadang jangan begadang, itu tak ada artinya." Suara itu malah menyanyikan lagu Rhoma Irama.
"Sok tau. Sebagai anak milenial, begadang itu selalu ada artinya."
"Oh ya?"
"Ahh, sudah. Kalau cuma ingin mengganggu, tutup saja telponnya." Sunday mulai galak.
"Oke... oke..." Faris tertawa mengetahui lawan bicaranya mulai menunjukkan gejala marah. Mungkin Sunday memang masih marah, batinnya.
"Minggu depan aku pulang." Lanjut faris kemudian.
"Siapa peduli." Jawab Sunday berlagak acuh. Padahal ada secuil rasa senang dihatinya.
Bagaimana tidak, seorang teman yang selama ini jauh sebentar lagi akan pulang.
Yapp, Sunday dan Faris adalah teman yang mengalami LDR. Jadi bukan pacar saja yang bisa LDR. Teman juga.
Pertemanan mereka dimulai ketika Faris mengantar sebuat titipan papa Sunday kepadanya ketika Faris pulang ber-holliday dari kapal pesiar tempatnya bekerja sebagai seorang sailor dan ayah Sunday adalah atasannya sebagai supervisor.
Sunday yang baru saja pulang dari sekolahnya sedang kepanasan. Cuaca di bulan Juni memang tak tertahankan panasnya bagi yang tinggal di negara khatulistiwa ini.
Tidak ingin berlama merasakan terik matahari Sunday bergegas memarkir Scoopy stylish-nya di teras rumahnya dan segera memasuki rumah. Sudah terbayang olehnya air dingin di dalam kulkas yang bisa menyelamatkan dirinya dari udara panas yang menjalari tubuhnya.
Tapi baru membuka pintu rumah, Sunday dikejutkan oleh sesosok makhluk asing dihadapannya. Tersenyum manis menampilkan deretan gigi putih yang mempesona. Dihadapan makhluk itu, mamanya menyambut dengan wajah sumringah seperti biasanya.
"Hai sayang... sini-sini... " Mamanya menghambur mendekatinya. Sunday menurut dan seperti sekejap lupa pada cuaca panas yang beberapa saat lalu mengganggunya. "Nih buat kamu, Sun."Mama Sunday menyodorkan tas kertas berlabel merk terkenal. Perasaanya mulai tidak enak. Pria muda di hadapannya tampak tersemyum sopan didepannya. Sunday membalas senyumnya ragu.
Memori Sunday mencoba meningkatkan sistem searching-nya untuk mencari tau apakah dia mengenal pria ini. Mamanya seperti tahu apa yang dipikirkan Sunday dan segera memberi jawaban dari pencarian Sunday pada wajah baru itu.
"Ini Faris, teman Papa. Dia mengantarkan ini buat kamu" Mama Sunday menunjuk tas kertas ditangannya yang tadi disodorkan padanya.
"Ooo..." Sunday melengos seketika.
Jadi, cowok ini teman Papa. Membawa titipan dari Papa. Batin Sunday.
Sunday segera masuk ke kamarnya seketika setelah mengucapkan terima kasih kepada pria itu. Seperti ada perasaan aneh dari pria yang bahkan belum sempat mengenalkan dirinya kepada Sunday.
Tapi Sunday tidak peduli pada tatapan aneh dari pria itu. Baginya semua pelaut sama saja.
Dari dalam kamarnya samar-samar terdengar Ana, mama Sunday, meminta maaf atas sikap dingin Sunday. Ana memberi alasan semasuk akal mungkin atas sikap Sunday yang acuh terhadap mereka. Setelah itu Sunday sudah tidak peduli lagi. Tas berisi mungkin jam tangan itu sudah tergeletak bersama tumpukan barang-barang lain di dalam lemarinya. Sunday tidak akan menyentuhnya lagi. Semua barang dari papanya baginya tidak pernah berarti.
Sunday bahkan sudah lupa bahwa tadi dirinya sangat menginginkan air dingin. Benda di balik tas itu menjadikan dirinya lupa seketika pada hausnya. Yang ada hanya rasa benci.
Itu kali pertama Sunday bertemu Faris.
🌸🌸🌸
Suatu sore di sebuah kedai es krim, Sunday bersama teman-temannya.
Windy dan Suzan sedang menikmati es krim kesukaan mereka masing-masing. Sunday masih mengantri menunggu pesanannya di antara antrian panjang. Sunday baru datang, jadi dia baru bisa memesan di kedai favoritnya ini.
Tiga orang didepannya sudah mendapat pelayanan sekarang gilirannya.
"Selamat sore, Kak. Kakak mau memesan apa?" Sapa pramusaji di depan Sunday dengan semyum dibuat semanis mungkin mengalahkan es puter si frezer bening hadapannya.
"Es puter rasa durian, Kak." Pesannya pada seorang pramusaji di depannya.
"Baik kak, ditunggu. Ini tidak akan lama."
Setelah pesanan Sunday siap, pramusaji menyerahkan es puter itu. Kemudian Sunday siap membayar. Tapi... dia tidak menemukan dompetnya. Dicari-cari tapi tidak menemukannya juga. Ahh, dia baru ingat, dompetnya tertinggal di tas yang kemarin dipakainya. Hari ini ia memakai tas yang lain. Baru saja Sunday bermaksud meminjam uang dari teman-temannya di meja ujung ruangan, seseorang telah meletakkan uang pecahan 100ribu di atas meja pramusaji.
"Ini..." Seorang pria berkata tepat disampingnya.
Sunday menoleh dan menemukan seorang pria bersenyum malaikat ada disampingnya.
"Tidak, aku akan membayarnya." Tolak Sunday merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, aku lihat kamu mungkin sedang tidak membawa dompetmu." Masih dengan senyum memukaunya.
"Tidak... Tidak... Aku datang bersama temanku, aku akan meminjam temanku saja."
Seolah tidak menghiraukan penolakan Sunday, pria itu memastikan bahwa pramusaji harus menerima pembayaran darinya. Pramusaji akhirnya menerima pambayaran dari pria itu, dan Sunday hanya bisa berterima kasih dengan perasaan yang tidak enak.
"Terima kasih." Kata Sunday akhirnya.
"Oke." Balas pria itu. Kemudian Sunday berlalu menuju meja teman-temannya berada.
"Yahhh... aku baru datang, es krim kalian sudah habis." Sunday kecewa. Kedua temannya cekikikan.
"Siapa suruh datang terlambat." Celetuk Windy.
"Pertama, ini gara-gara laboran yang kejam itu. Kedua, gara-gara dompetku yang ketinggalan."
"Kenapa dengan si laboran itu? Bukannya dia menyukaimu?" Goda Suzan.
"Hah... suka apanya. Dia menyiksaku dengan memberi tugas magang yang tiada habisnya. Hari ini aku harus men-scan semua PC di laboratorium agar terbebas dari virus. Bayangkan, 40 PC dalam sehari. Mataku terasa bengkak. Lihatlah... " Sunday meminta persetujuaan sambil menyodorkan wajahnya kepada kedua temannya secara bergantian.
"Mana? biasa saja." Windy berkomentar sambil cekikikan.
"Lihatlah, Suzan." Sekarang Sunday ganti mendekat pada Suzan.
"Melebih lebihkan." Jawab Suzan cuek.
"Ahh... kenapa kalian sejahat ini padaku". Rajuk Sunday yang merasa tidak mendapat perhatian lebih dari teman-temannya.
Lalu kedua temannya tertawa tertahan melihat tingkah merajuk Sunday demi menghindari gaduh agar tidak mengganggu penghuni kedai yang lain.
"Baiklah, sekarang pinjami aku uang. Es puterku ini tadi dibayar oleh pria itu." Tunjuk Sunday pada arah jam 9. Tapi kemudian dia celingukan karena cowok yang dimaksud sudah tidak ada di tempat asal.
Sunday mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan tapi tidak menemukannya. Ahh, kemana pria penolongnya tadi.
Jangan-jangan dia adalah malaikat yang sengaja hadir untuk menolong ketika aku tidak membawa dompet. Sunday garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Siapa, Sun." Tanya Suzan yang hanya melihat Sunday mematung jadi penasaran.
"Tadi dia ada tapi sekarang tidak ada."
"Sudah pergi mungkin dia." Celetuk Windy.
"Yuah... padahal aku belum mengembalikan uang yang dia bayarkan." Sunday merasa kecewa karena tidak melihat cowok yang dimaksudkannya.
Masih dengan perasaan tidak enak, Sunday menikmati es puternya sambil sesekali mengobrol dengan teman-temannya yang diringi tawa. Ladies time.
Tepat setelah Sunday menghabiskan es puternya, ketiga gadis muda itu tampak keluar dari dalam kedai. Tapi di samping pintu keluar tampak seorang pria tak asing sedang berdiri dan bercakap dengan ponselnya.
Sunday menghentikan langkahnya, kemudian meminjam uang kepada Suzan dan mempersilahkan teman-temannya pulang lebih dulu. Suzan bertanya kenapa lalu Sunday memberi isyarat bahwa pria di ujung teras kedai itu sebagai orang yang membayar esnya. Susan & Windy mengerti lalu mereka pamit pulang lebih dulu.
15 menit menunggu, akhirnya pria itu selesai dengan pembicaraannya. Sunday tampak sudah bersiap menyapa pria itu.
"Hai, ini untuk es puterku tadi." Ujar Sunday kepada pria itu setelah berada pada jarak 2 langkah di depannya.
"Ya Tuhan, itu hanya es puter. Tidak masalah." Pria itu masih menolak.
"Tidak tidak... aku tidak ingin berhutang pada orang asing. Jadi aku mohon terima saja."
"Asing?" Pria itu mengerutkan kening. Seolah ada yang salah. Sunday berusaha mencerna ekspresi pria asing itu. "Bukankah kita sudah pernah bertemu." Sekarang pria itu mengembangkan senyumnya.
Sunday membuka satu per satu file dalam memori otaknya. Berfikir keras dalam kisaran 1000 mbps, berusaha mencari wajah-wajah yang terekam ingatannya. Dan betapa kagetnya dia setelah menemukan data wajah dari salah satu file di folder otaknya.
"Kamu..." Sunday menebak. Pria itu tersenyum. "Faris..."
🌸🌸🌸
**Hai semua, maaf jika tulisan pertamaku beralur berantakan dan tidak beraturan yaa. Disini juga cerita belum tergambar dengan jelas karena baru permulaan.
Mohon dukungan dan masukan membangunnya yaa** 😉
Suasana kantin siang ini tampak ramai. Jam makan siang. Seperti biasa, ketiga wanita muda yang baru menyelesaikan kuliah mereka sedang duduk sambil menghadapi sepiring gorengan dan softdrink.
"Masih siang, masih terlalu malas untuk pulang." Suzan mengeliatkan badannya, menarik tangannya ke atas. Mengusir kebosanan.
"Bagaimana kalau kita menonton saja." Ide Windy.
"Sebentar sodara, aku menanyakan tugasku dulu kepada Victor." Sunday mengambil ponsel dan menanyakan tugasnya kepada sang laboran.
"Yess, hari ini aku bisa bebas tugas. Mari kita nonton." Sunday bersemangat.
"Tumben Laboran itu memberimu libur." Windy menyeletuk.
"Sepertinya suasana hatinya sedang baik. Pagi tadi saat aku mengisi daftar hadir, dia seperti banyak sekali tersenyum."
"Baguslah..." Suzan menimpali. Ia selalu kasihan kepada Sunday yang hampir setiap hari mendapat tugas yang kadang tidak manusiawi sebagai peserta magang.
Sunday memang mendaftarkan diri sebagai peserta magang di kampusnya. Bukan suka rela, tapi salah satu syarat pengajuan bea siswa uang kuliah adalah harus menjadi peserta magang yang akan ditempatkan di berbagai instansi kampus. Mulai perpustakaan, laboratorium-laboratorium, kantor sekretariat fakultas dan bahkan pengelolaan kantin. Untuk mendapatkan bea siswa uang kuliah pun tidak berlaku selamanya. Setiap tahun harus melakukan tes tulis lagi yang diambil dengan menggunakan skor tertinggi peserta dan juga melakukan magang lagi setelah lolos dari tes tulis.
Untungnya, setiap tahun Sunday selalu lolos di seleksi tes tulis sehingga selalu mendapatkan bea siswa gratis uang kuliah selama satu tahun yang artinya dua semester. Dan karena Sunday adalah mahasiswa jurusan Sistem Informatika, maka pihak kampus menempatkannya sebagai peserta magang di laboratorium fakultas teknik.
Ini semester keenamnya, sudah 3 kali ia mendapatkan bea siswa uang kuliah. Pengambilan bea siswa ini sengaja ia lakukan untuk meringankan beban mamanya yang single parent.
Papa dan mama Sunday sudah berpisah. Dan meskipun Papanya tidak pernah meninggalkan tanggung jawabnya, masih membiayai kebutuhannya termasuk kuliah dan bahkan masih selalu mengiriminya oleh-oleh yang dibawa setiap pulang berlayar atau dititipkan pada teman-temannya saat pulang, tapi itu belum bisa merubah pandangan Sunday terhadap Papanya. Baginya, Papanya yang pergi meninggalkan Mamanya untuk bersama wanita lain sangatlah jahat. Dan Sunday merasa sangat tersakiti karenanya.
Sedang sibuk Sunday menekuri ponsel melihat jadwal magangnya, Windy mencolek tangannya yang sibuk memainkan hp sambil berkata,"Sun, yang aku lihat bukan mimpi kan?" Lalu menunjuk ke arah jam 12. Sunday melempar pandangan yang ditunjuk Windy.
"Lee Min Hoo..." Suzan bergumam dengan pandangan mata berbinar. Jiwa K-Dramanya keluar begitu saja.
Seorang pria tampan mendekati area kantin tempat mereka mengobrol. Rambut lurus hitam pekat yang kilaunya serupa model iklan shampo, Tshirt warna putih dengan huruf-huruf kecil di bagian dada, dan semakin mendekat tulisan itu semakin jelas terbaca 'Calvin Klein'. Celana jeans berwarna navy dan kaca mata hitam yang melindunginya dari silau matahari siang ini. Kulit putihnya tampak merona diterpa matahari.
'Hai... apa kabar." Sapanya saat sudah mendekat sambil menampakkan senyum malaikatnya.
"Baik..." Jawab Suzan & Windy bersamaan. Suzan & Windy masih takjub. Meskipun ini pertemuan mereka yang ke sekian kali. Tapi demi makhluk indah di depan mereka, mereka rela terpesona. Hanya Sunday yang tampak biasa saja sambil mengaduk es tehnya.
"Kapan datang?" Tanya Sunday menggeser duduknya memberi tempat kepada Faris yang memberinya isyarat bahwa dia harus duduk di sebelahnya karena kursi panjang itu bisa untuk dua orang.
"Bukankah aku sudah bilang akan segera pulang." Jawab Faris.
"Tapi hanya itu informasi yang aku tau."
"Kamu tidak menanyakannya."
"Kamu tidak memberi tau."
Terdengar seperti akan ada perang, Suzan buru-buru menengahi. "Sudah... sudah... sudah yaa. Mari pertemuan yang saklar ini..."
"Sakral... "Ralat ketiga temannya yang lain bersamaan.
"Oh iya itu maksudku. Mari pertemuan yang sakral ini kita maknai dengan nilai-nilai persahabatan yang damai, aman, sejahtera sepanjang masa." Celoteh Suzan dengan gaya sok bijaknya. Kemudian melempar pandangan lagi kepada Faris demi menikmati wajah tampan didepannya.
"Kak, koq bisa seganteng ini, rahasianya apa sih?" Celetuk Suzan dengan senyum ganjennya.
"Hahaha." Faris tertawa.
"Iya Kak, doa & ritualnya apa sehingga bisa memiliki wajah sebening ini?" Windy tidak mau kalah.
"Begini ya, pertama, jangan panggil aku kakak. Aku jadi merasa tua." Faris masih menyisakan tawa dalam kalimatnya.
"Memang sudah tua kan." Gumam Sunday tapi tidak ada yang menghiraukannya.
"Panggil namaku saja, Faris. Kedua, aku tidak melakukan perawatan apalagi ritual khusus apapun."
"Baiklah, boleh kan ku panggil Oppa Faris." Suzan yang hobi menonton film drama korea mengusulkan.
"Opa? Apa aku setua itu?" Faris menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Bukan... bukan opa yang berarti kakek. Oppa. Oppa itu panggilan kakak dalam bahasa korea." Suzan menjelaskan. Windy manggut-manggut mengiyakan. Sunday mulai bosan.
"Oh, begitu ya." Faris hanya tersenyum nyengir menanggapi Suzan. "Ya sudah suka-suka kamu lah, Suz."
"Ahh, oppa..." Suzan dan Windy berbarengan dengan pandangan kagum. Sunday memutar bola matanya tanda muak.
"Ehh, bagaimana ini jadi tidak nontonnya?" Sunday yang mulai bosan mulai bersuara lagi.
"Jadi dong." Jawab Windy.
"Nonton?" Faris tampak tertinggal pembicaraan ketiga gadis itu.
"Oh iya, kami bertiga mau nonton. Jadi ikutlah bersama kami." Ajak Windy.
"Tidak... tidak... " Tolak Sunday. "Kalau dia ikut, namanya bukan ladies time. Atau kalau dia mau memakai rok, baru boleh ikut."
"Apa?!" Pekik Faris.
"Tidak, Oppa Faris boleh ikut. Yang memiliki ide adalah aku. Jadi aku memperbolehkan Oppa Faris ikut." Bela Windy.
"Aku juga setuju." Suzan mendukung.
"Tuh kan." Faris merasa senang mendapat dukungan.
"Ahh... terserah kalian." Sunday melambaikan tangan kesal kemudian meninggalkan kursinya yang diikuti oleh kedua sahabatnya dan Faris dibelakangnya.
Faris hanya tersenyum melihat gadis-gadis itu. Faris memang lumayan akrab dengan teman-teman Sunday. Karena setiap Faris ber-holliday dia selalu menyempatkan untuk menyapa Sunday atau mengajaknya main. Dan tidak jarang Sunday mengajak Suzan dan Windy juga.
Memang sejak pertemuan Sunday dan Faris beberapa tahun lalu saat tragedi dompet tertinggal di kedai es krim itu mereka mulai bertukar nomer ponsel. Tentu saja itu inisiatif Faris.
Faris merasa ada yang unik dari Sunday. Faris dengan wajah tampan dan postur tubuh proporsionalnya selalu menjadi pusat perhatian. Setiap gadis yang memandang pasti terpesona. Tapi Sunday benar-benar berbeda. Faris tidak mendapatkan reaksi itu dari Sunday. Sehingga Faris sangat penasaran.
Tapi akhirnya semakin lama mengenal Sunday ia tau bahwa gadis itu memiliki ketidaksukaan terhadap pelaut. Karena papanya yang pelaut dan meninggalkan mamanya demi wanita lain itulah penyebah ia tidak menyukai pelaut, secara umum.
Karena itu Faris merasa punya misi untuk membuka pandangan Sunday bahwa tidak semua pelaut seperti papanya. Seperti pembicaraan mereka suatu ketika melalui sambungan telepon.
"Kepribadian seseorang tentu saja tidak ada hubungannya sama sekali dengan profesinya." Penjelasan Faris kepada Sunday di sela coffe break-nya. Dengan masih tetap memakai seragam coverall-nya karena dia masih harus bekerja lagi setelah ini.
"Tapi sebagian besar pelaut selalu mudah mendua, mentiga, men-empat atu bahkan men-tak terhingga." Balas Sunday sengit. Dia selalu sinis jika pembicaraanya tentang profesi pelaut.
"Hahaha... sok tau kamu."
"Lihat saja dirimu. Kau yang belum menikah saja memiliki pacar banyak sekali."
"Hei Nona, aku tidak pernah memacari mereka. Merekalah yang memacariku." Kilah Faris.
"Oh ya? Bukannya itu sama saja?" Cibir Sunday.
"Lagipula aku benar-benar tidak pernah memacari mereka, nona hari minggu." Panggilan Faris pada Sunday. "Tapi mereka yang mau. Aku hanya menemani mereka berbelanja, menonton, jalan-jalan..."
"Ahh, sama saja. Kamu pikir mereka mengajakmu bukan tanpa maksud. Kamu ini bodoh atau bodoh sekali sih. Mereka mengajakmu jalan tentu saja berharap agar bisa menjadi pacarmu."
"Itu kan kamu." Goda Faris.
"Tidak!" Sunday sengit. "Aku sama sekali tidak tertarik padamu dan aku tidak tertarik pada semua pelaut di seluruh dunia ini."
"Benarkah?" Nada suara Faris menggoda.
"Tentu saja." Jawab Sunday mantap.
"Tapi kalau kita berteman kan tentu tidak ada masalah."
"Iya." Jawab Sunday sok cuek.
Seperti itulah pertemanan mereka. Sunday juga bukan gadis kaku. Dia bisa berteman dengan siapa saja. Pun dengan Faris yang seorang Sailor. Walaupun secara pribadi ia membenci hubungan percintaan para pelaut. Dia terlalu takut untuk mendapat mendapat perlakuan seperti mamanya.
Mereka bertiga sampai di tempat parkir.
"Sun, kamu sama Oppa Faris saja ya." ujar Windy sambil membuka Honda Jazz-nya.
"Suzan juga yaa." Ajak Sunday kepada Suzan.
"Hei, aku tidak mungkin meninggalkan pacarku yang cantik ini menyetir sendirian. Dia harus ada yang menemani agar tidak mengantuk." Suzan cengengesan.
"Atau kita pergi bersama dengan mobilku saja." Faris memberi solusi. "Lebih seru kalau berkendara ramai-ramai."
" Jangan, setelah nonton aku harus langsung pulang, tidak ada waktu kembali ke kampus lagi mengambil mobil. Karena sore nanti mobil harus berada di tangan mama. Biasa, arisan. Heheh..." Windy beralasan.
"Baiklah..." Faris memaklumi.
Akhirnya mereka meluncur ke sebuah mall tempat mereka akan menonton.
Toyota Rush milik Faris berjalan mengikuti alurnya. Siang hari kendaraan selalu ramai. Terutama di jam makan siang begini.
Terdengar musik mengalun mengiringi perjalanan mereka. Payphone dari Maroon 5 menyuara sesekali disahut oleh Faris menyamai vocal Adam Levine. Memirip-miripkan tapi tetap saja tidak mirip. Hehe.
"Bagaimana kuliahmu, Sun?"
"Begitulah."
"Mengambil magang lagi."
"Iya." Jawab Sunday singkat masih memandang lurus ke depan jalan.
"Tidak mengganggu kuliahmu?"
"Aku terlalu pandai mengatur waktu, jadi itu bukan masalah sama sekali." Sunday menyombong. Faris tersenyum kecut.
"Baguslah." Komentar Faris akhirnya.
"Liburan berapa lama?" Tanya Sunday kemudian
"Kenapa? Suka aku liburan lama atau sebentar?" Goda Faris.
"Ehh, pertanyaan macam apa itu?" Sunday melengos.
"Kamu suka aku lebih lama di sini atau aku di sana?" Faris masih menggoda.
"Dengar yaa, aku bukan mami kamu. Jadi mau kamu liburan atau mau kamu tidak pulang selamanya pun itu tidak memberi efek samping sama sekali padaku." Sunday mulai sewot.
"Hahaha... Aku pikir kamu akan menjawab lebih baik aku di sini saja, menemanimu, mengantar jemputmu..."
"Heh, jangan harap yaa!" Sunday buru-buru memotong kalimatnya sebelum kalimat Faris membuat wajahnya merona merah karena malu.
Entahlah, Faris selalu suka menggodanya. Karena Sunday berikrar tidak akan memacari seorang pelaut, Faris jadi suka sekali menggodanya. Dan sering kali godaannya akan membuat Sunday marah. Tapi biasanya kalau sudah begitu Faris akan membujuknya, meminta maaf dan mereka kembali baikan. Seperti kakak beradik yang sebentar bertengkar lalu kemudian berbaikan lagi.
"Tau tidak apa yang membuatku benci tinggal di sini?" Ujar Faris kemudin.
"Apa?" Kali ini Sunday menoleh ke arahnya.
"Cuacanya. Panas. Gerah."
"Iya iya... yang biasanya tinggal di kutub utara bersama beruang kutub sudah merasa seolah manusia eskimo." Sunday manyun demi mendengar kalimat Faris. Faris tergelak.
"Dan tau tidak apa yang membuatku suka kembali ke sini?"
"Apa lagi?" Sunday mulai curiga dengan pertanyaan Faris yang ia prediksi pasti tidak penting sama sekali.
"Kamu."
"Apa? Aku?" Sunday nyengir. "Haduh... sudah, jangan dilanjutkan. Ini tutorial merayu wanita nomor ke berapa? Sudah... kalau mau latihan menggombal jangan aku ya objeknya. Aku bukan lawan yang baik." Sunday menyandarkan kepalanya pada headrest.
Faris tertawa. Dan mobil pun memasuki area parkir mall. Windy & Suzan sudah memasuki area parkir lebih dulu karena mereka memang sejak tadi berkendara di depan mobil Faris.
Memasuki area mall mereka segera menaiki lift ke lantai paling atas, tempat bioskop berada. Berempat mereka memesan tiket. Mereka sepakat akan menonton film James Bond, No Time To Die.
Sebelum memasuki bioskop, tidak lupa mereka membeli popcorn dan minuman untuk teman menonton.
Film tampak seru sekali. Aksi demi aksi oleh Daniel Craig benar-benar tampak profesional. Sunday tidak bisa berkedip sedikitpun. Konsentrasinya benar-benar terpusat pada layar bioskop. Hingga tidak menyadari Faris yang berkali-kali melirik bahkan memandangnya. Penuh cinta.
Ya, Faris memang menyukainya. Kepribadian gadis itu membuatnya tidak bisa berpaling. Pada awalnya Faris mendekati Sunday memang karena ingin membuka pandangan buruknya terhadap pelaut. Tapi semakin mengenalnya, Faris merasa semakin nyaman. Sifat cerewet Sunday sering membuatnya rindu. Jika sedang berlayar dan rindu itu datang ia tidak segan menyapa Sunday lewat sambungan telepon atau sekadar melihat wajahnya di instagram.
Sunday juga gadis mandiri, tidak tomboy tapi juga tidak girly. Wajahnya yang bulat dengan pipi chubby menggemaskan sekali jika dicubit.
"Seru sekali. Tidak salah tonton deh." Celetuk Sunday bersemangat. Karena film action adalah favoritnya.
"Besok nonton Aladdin ya." Suzan memberi ide.
"Ya elah, Suz. Aku sudah pernah melihat ribuan kali." Sunday berkomentar.
"Iya, mulai versi Disney kartun sampai versi Rano Karno aku sudah menontonnya." Tambah Windy.
"Kalian ini benar-benar tidak setia kawan. Giliran aku yang pilih film saja tidak ada yang mendukung." Suzan gondok. Sunday dan Windy cekikikan.
"Sama aku saja, Suz. Aku juga belum pernah menontonnya." Faris menghibur.
"Benarkah, Oppa?" Suzan sumringah.
"Ya tentu saja. Sepertinya akan menyenangkan melihat wajah cantik Naomi Scott selama menonton."
"Dasar mata keranjang." Cibir Sunday.
Suzan manyun ternyata tujuan Faris bukan ingin menemaninya tetapi hanya demi melihat Naomi Scott saja.
Windy hanya tersenyum dan tidak berkomentar.
Tanpa mereka tau bahwa ternyata diluar sedang hujan.
"Padahal tadi masih cetar cuacanya. Kenapa jadi labil dan hujan begini." Ujar Sunday
"Mana parkirnya jauh di luar sana." Windy menunjuk mobilnya yang basah di area parkir.
"Tidak bawa payung juga." Celetuk Suzan yang disadari teman-temannya dan dipastikan harus basah kuyup jika harus menerjang hujan.
"Nih." Faris menyodorkan payung kepada Suzan. Suzan mengernyitkan kening memandang payung yang diulurkan Faris. "Aku membelinya di toko itu barusan." Sambil menunjuk toko perlengkapan rumah tidak jauh dari mereka berdiri.
"Oh... Oppa..." Suzan jadi terharu.
"Benar-benar pria siaga." Puji Windy. Faris tersenyum geli oleh julukan itu.
Sunday tersenyum melihat tingkah kedua sahabatnya. Dasar gadis-gadis bodoh. Tidak ada jaim-jaimnya sama sekali.
Tapi benar kata Windy, Pria siaga. Kami bahkan tidak berfikir tentang membeli payung dan dia sudah datang dengan payung. Batin Sunday sambil tersenyum memandang Faris.
"Hei !" Faris menepuk pundak Sunday karena seolah Sunday mengabaikan ajakannya memakai payung dan malah senyum-senyum sendiri.
"Ehh, I-iya." Sunday terjingkat dan tergagap mendapati tepukan Faris.
"Malah senyum-senyum sendiri. Gila ya?" Ledek Faris.
"Enak saja." Sunday ketus. "Mana payungku?"
"Ini." Faris membuka payung ditangannya dan bersiap menyusul Suzan & Windy yang telah lebih dulu menerobos hujan.
"Berdua?"
"Tentu saja."
"Mana cukup" Sunday protes.
"Sudah, jangan cerewet." Faris menarik tangan Sunday untuk berada dibawah payung bersamanya. Sunday gelagapan dan akhirnya pasrah saat harus berjalan dibawah satu payung dengan Faris.
"Lebih dekat, agar tidak basah." Saran Faris yang tanpa permisi mendekap pundak Sunday. Sekali lagi Sunday gelagapan. Sepertinya wajahnya terlihat merona, entah karena kaget atau karena malu berada sangat dekat seperti itu.
"Payungnya terlalu kecil." Sunday protes lagi.
"Kamu benar-benar cerewet0. Tukang protes" Faris masih dengan memandang lurus ke depan.
Bisa-bisanya dia berjalan setenang ini. Sementara aku sudah panas dingin berada dalam dekapannya. Ahh, dia benar-benar seorang profesional. Bagaimana bisa aku lupa kalau dia seorang playboy. Jadi tentu saja merangkul pundak seorang wanita adalah hal yang biasa baginya. Sunday membatin.
Faris membuka pintu untuk Sunday lalu berjalan memutari bagian depan mobilnya dan masuk ke dalamnya dari sisi pintu yang lain.
Mobil Windy memberi isyarat berjalan lebih dulu dengan menyalakan klakson saat melintas di depan mobil Faris. Faris menganggukkan kepalanya mempersilahkan.
"Aku harus mengambil motorku di kampus."
"Lalu pulang ditengah hujan?" Sunday mengangguk. "Tidak, aku akan langsung mengantarmu pulang."
"Lalu aku harus meninggalkan motorku dikampus begitu?"
"Memangnya kenapa? Lebih baik begitu daripada pulang dengan berhujan hujan."
"Masalahnya besok aku ada kuliah pagi. Kalau harus naik angkot pasti akan berdesak-desakan sepagi itu."
"Aku akan mengantarmu." Jawab Faris enteng.
"Apa? Bukankah katamu waktu itu jarak rumahmu ke rumahku butuh 1 jam untuk sampai, lalu dari rumahku ke kampus akan butuh setengah jam lagi."
"Aku akan berangkat lebih pagi."
"Memangnya kamu bisa bangun sepagi itu."
"Heh, jangan menghina ya. Begini-begini setiap pagi aku selalu lari pagi memutari komplek." Faris membela diri.
"Sangat tidak bisa dipercaya."
"Lihat saja, besok aku akan sampai di rumahmu setengah 7."
"Sudah, antar aku ke kampus saja. Besok kamu bisa bebas tidur sepanjang hari"
"Ini anak memang ratu ngeyel" Faris menarik hidung kecil Sunday dengan tangan kirinya hingga dia menjerit karena tidak bisa bernafas. Sementara tangan kanannya masih memegang setir dengan pandangan mata yang sesekali fokus pada jalan raya.
"Aku tidak bisa bernafas tau." Keluh Sunday saat Faris sudah melepas pencetannya. Sunday mengelus hidungnya dengan jari telunjukknya.
"Sini aku beri nafas buatan."
"Dasar mesum."
"Mesum apa? aku cuma menolong dan kamu bilang itu mesum." Faris protes.
"Dasar!!!" Sunday pura-pura cemberut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!