...༻✿༺...
Ramanda baru saja mendapat kabar mengenai kepergian Zafran. Cowok yang tidak lain adalah sahabat sekaligus pujaan hatinya. Zafran memang diketahui memiliki masalah pribadi yang mengharuskannya pindah sekolah.
'Sepi jadinya kalau nggak ada dia. Apalagi pas di rumah,' batin Ramanda. Dia kebetulan tidak pandai berteman. Terutama dengan sesama cewek. Teman-teman Ramanda justru sebagian besar adalah cowok. Itulah salah satu alasan dia sering bergonta-ganti pacar. Namun semenjak jatuh cinta dengan Zafran, Ramanda sering menyendiri.
Kini Ramanda tidak mempunyai teman. Dia lebih memilih menyibukkan diri belajar ke perpustakaan dan membantu guru. Ramanda juga kapok berteman dengan cowok. Sebab kebanyakan cowok yang mengajaknya berteman hanya karena mempunyai keinginan terselubung. Yaitu memacarinya.
Bel pertanda masuk berbunyi. Semua murid berdahuluan masuk ke kelas. Kecuali Ramanda, yang telah duduk semenjak datang.
Selang sekian menit, Bu Sena masuk. Kali ini dia tidak sendiri. Ada siswa yang berjalan di belakangnya. Seorang cowok super tampan yang berhasil membuat semua murid ternganga. Terutama murid-murid perempuan.
"Waaah... gila... ganteng banget."
"Segarnya Ya Tuhan..."
"Anjir... dia ganteng banget. Gue rela berangkat ke sekolah jam lima pagi kalau begini."
"Dia kayaknya blesteran deh. Mukanya kayak bule-bule gitu."
Ramanda tidak memperhatikan sama sekali. Dia baru melihat ke depan setelah mendengar keributan yang dibuat teman-temannya.
Pupil mata Ramanda membesar. Karena dia mengenali siswa baru yang datang bersama Bu Sena. Siswa itu tidak lain adalah Morgan Alexander. Cowok blesteran Indonesia-Inggris. Tidak heran wajahnya sangat rupawan.
Ramanda dan Morgan saling mengenal karena orang tua mereka berteman dekat. Kebetulan ibunya Morgan pernah menjadi pasien ayahnya Ramanda yang memiliki profesi sebagai dokter.
"Semuanya... kita kedatangan murid baru hari ini. Namanya adalah Morgan Alexander," ujar Bu Sena memperkenalkan.
Morgan lantas tersenyum. "Oke, tadi kan nama gue udah disebutin sama Ibu cantik ini. Jadi..."
"Cieee.... Ibu cantik..."
"Ibu bikin iri deh..." seruan beberapa murid sukses memotong perkataan Morgan.
Sementara itu, Bu Sena tersipu malu sambil meletakkan jari telunjuk ke depan bibir. Wanita paruh baya sepertinya saja salah tingkah dengan gombalan dari Morgan. Dia berusaha menutupi rasa malu dengan berlagak menyuruh semua anak didiknya diam.
"Kamu sebaiknya langsung duduk saja!" perintah Bu Sena. Namun Morgan menolak.
"Jangan gitu dong, Bu. Kan kalau nggak kenal, maka tak sayang," tukas Morgan sembari menggerakkan alisnya dua kali. Perkataannya sekali lagi membuat semua murid berseru.
"Kamu bisa lakukan itu nanti. Karena sekarang Ibu nggak mau buang-buang jam pelajaran!" tegas Bu Sena.
Morgan mengangguk. Dia segera menduduki kursi kosong yang sudah disediakan.
"Elaaaah, Bu Sena. Bilang aja baper karena dirayu cowok ganteng," celetuk Erli. Cewek paling modis di kelas. Dia memang dikenal sebagai orang yang tidak bisa menyaring perkataan buruknya.
Usai berucap begitu, Erli segera menoleh ke arah Morgan. Dia mendapatkan senyuman dan tatapan dalam cowok tersebut. Pipi Erli seketika memerah bak tomat matang. Ia buru-buru membuang muka. Jantungnya sudah berdebar-debar tak tertolong.
"Ya ampun. Lo pasti bikin masalah lagi," cetus Ramanda. Dia siswi yang kebetulan duduk di sebelah Morgan.
Mata Morgan membulat. Dia baru menyadari kehadiran Ramanda. "Lo sekolah di sini, Ra?" tanya-nya antusias.
Ramanda tersenyum singkat. Dia memilih tidak menjawab. Lagi pula Ramanda yakin Morgan dapat menyimpukan sendiri saat melihat seragam yang dipakainya.
"Senangnya... gue udah punya teman cantik." Morgan tersenyum lebar. Melirik tajam ke arah Ramanda.
"Gombalan lo itu nggak akan mempan sama gue tahu nggak." Ramanda menjawab tanpa membalas tatapan Morgan.
"Dih! Siapa yang gombal. Lo kan emang cantik." Morgan menopang kepala dengan satu tangan. Memfokuskan atensinya pada Ramanda.
"Iya gue tahu kok. Makanya gue muak dengarnya," balas Ramanda. Dia akhirnya menoleh ke arah Morgan.
"Cantik... cantik... cantik..." godaan Morgan kian menjadi-jadi. Dia melantunkan kata cantik berkali-kali.
Ramanda yang terganggu lantas mendelik. Dia justru menemukan Morgan berhenti menatapnya. Cowok itu bergegas menghadap ke depan. Berlagak seolah sedang fokus belajar.
"Gan! Lo kalau mau bercanda mending jangan pas jam pelajaran. Sekali lagi begini, gue bilangin lo sama bokap nyokap lo kalau--"
"Oke, oke... gue berhenti. Jangan bawa-bawa bokap sama nyokap gue deh." Morgan langsung cemberut. Dia menjeda ucapan Ramanda begitu saja. Seakan ancaman Ramanda benar-benar gangguan serius.
Ramanda memajukan bibir bawahnya. Dia senang Morgan berhenti berceloteh. Cewek tersebut segera fokus untuk belajar.
...***...
Jam istirahat sudah tiba. Seluruh murid saling berdahuluan keluar kelas. Akan tetapi tidak untuk Ramanda. Dia memilih membaca buku pelajaran untuk materi selanjutnya.
Morgan menyurai rambut dengan jari-jemarinya. Banyak orang yang mengajaknya pergi ke kantin. Namun Morgan menyuruh mereka pergi lebih dulu. Dia memilih menghampiri Ramanda sebelum beranjak.
"Nggak ke kantin?" tanya Morgan.
"Malas." Ramanda menjawab singkat.
"Lo nggak punya teman?" Morgan kembali bertanya.
"Punya."
"Mana?"
"Nih!" Ramanda memamerkan bukunya ke depan wajah Morgan. Baginya sebuah buku adalah teman.
"Gila! Lo kutu buku banget ya. Pantes nggak punya teman," komentar Morgan blak-blakan.
"Lo itu mau ngajak berantem atau apa sih?" tanggap Ramanda. Menatap tak percaya.
"Ya mau jadi teman lo lah. Nanti gue dikira cuekin elo lagi. Terus nanti lo aduin ke bokap nyokap lo. Terus--"
"Cukup!" Ramanda menyela sembari mengangkat satu tangan ke udara. "Gue sama sekali nggak masalah sendirian. Jadi lo nggak perlu khawatir. Justru gue bakalan cemas kalau jadi teman lo. Tuh lihat!" ujarnya. Dagu Ramanda menunjuk ke arah beberapa cewek yang sedari tadi memperhatikan Morgan. Mereka juga sesekali berbisik sambil melirik Ramanda.
"Cewek-cewek udah pada pelototin gue dari tadi," ujar Ramanda mengadu.
"Cih! Lama-kelamaan mereka nanti juga pada bosan sama gue. Bagi gue, teman itu adalah yang utama. Bahkan dari pacar sekali pun," ucap Morgan. Dia sedikit memanyunkan mulut. Memasukkan dua tangan ke saku celana.
"Ya udah. Gue tinggalin aja kalau gitu. Hati-hati ada setan." Karena tidak bisa membujuk Ramanda, Morgan memutuskan beranjak.
Ramanda geleng-geleng kepala mendengar ucapan Morgan. Dia kembali membaca buku pelajaran.
Baru beberapa jam di sekolah, Morgan sudah punya dua teman akrab. Parahnya dia lebih memilih berteman dengan orang yang berandal sepertinya. Dua sosok tersebut tidak lain adalah Rangga dan Dimas.
"Lo suka sama Ramanda ya? Kayaknya lo berusaha banget deketin dia," imbuh Dimas. Kebetulan dia dan Rangga berhasil melihat keakraban Morgan dan Ramanda.
"Enggak. Dia itu anaknya teman bokap nyokap gue. Jadi nggak enak kalau gue cuekin dia begitu aja," jelas Morgan. Tangannya sibuk mengobrak-abrik seblak dengan sendok dan garpu.
"Oh... pantesan." Dimas mengangguk mengerti. "Wajar kok kalau lo dekatin Ramanda. Secara dia permatanya sekolah ini. Tapi karena itu juga Ramanda nggak punya teman cewek. Soalnya sebagian besar cowok di sini pada suka sama dia," sambungnya.
"Iya. Ramanda sebenarnya dulu punya teman akrab. Tapi udah enggak karena dibilang merebut pacar teman-temannya. Sempat terjadi pertengkaran hebat tahu nggak." Rangga membenarkan. Ia mengambil minuman sirupnya dengan satu tangan. Namun dia urung minum, ketika Erli tiba-tiba datang.
"Hai, Morgan. Gue boleh gabung?" Erli bertanya sambil melilitkan rambut ke jari telunjuk lentiknya. Dia sengaja bersikap manja agar Morgan merasa gemas.
...༻✿༺...
Ramanda mendengus kasar. Bertepatan dengan itu, bel pertanda masuk terdengar. Erli terlihat masuk dan menyandarkan pinggul ke meja guru.
Tak lama kemudian Morgan datang. Dia langsung berdiri ke hadapan Erli. Entah apa yang dikatakan cowok tersebut. Tetapi setiap dia selesai berkata, wajah Erli selalu dibuat tersipu olehnya.
Ramanda yang melihat geleng-geleng kepala. Dia tidak habis pikir. Morgan sudah beraksi untuk mendapatkan pacar di hari pertama pindah sekolah.
Setahu Ramanda, Morgan sudah tiga kali pindah sekolah. Ditambah dengan kepindahannya yang sekarang, berarti sudah empat kali. Morgan memang dikenal suka membuat masalah. Dia dikenal gemar melanggar peraturan sekolah. Dari mulai membolos, merokok, pacaran dan lain-lain.
Walau disebut sebagai siswa yang selalu membuat masalah, kemampuan akademik Morgan sangat mumpuni. Dia terbilang siswa pintar. Entah apa yang membuatnya malas belajar sehingga nilai akademiknya terus anjlok.
"Eh, Ra. Lo kayaknya dekat sama Morgan," tegur Nira. Salah satu teman sekelas Ramanda.
"Cuman kebetulan teman. Bokap nyokap dia dekat sama keluarga gue," jawab Ramanda datar. Dia tahu dirinya akan segera mendapatkan banyak pertanyaan perihal Morgan. Persis ketika dirinya juga diketahui bersahabat dengan Zafran.
"Oh, yang benar? Dia udah punya pacar nggak?" tanya Nira. Atensinya terus tertuju ke arah Morgan yang masih sibuk mengobrol dengan Erli.
"Nggak tahu gue. Tanya aja sendiri." Ramanda kembali menyahut dengan datar.
Ketika guru datang, semua murid bergegas pergi ke tempat duduk masing-masing. Pelajaran berlangsung sampai istirahat kedua tiba.
Biasanya saat istirahat kedua Ramanda pergi ke perpustakaan. Dia menghabiskan waktu untuk membaca novel. Gadis itu sangat suka cerita fiksi bergenre misteri. Makanya Ramanda butuh ketenangan dan konsenterasi ketika ingin membaca novel tersebut.
Kala sedang fokus membaca, Ramanda dikejutkan dengan suara dua langkah kaki beriringan. Dia juga mendengar suara gumaman seorang cewek. Ramanda yakin sumber suara berasal dari sebelah kanan.
Mata Ramanda memicing. Perlahan dia bangkit dari tempat duduk. Lalu melangkah pelan menuju sumber suara.
Diam-diam Ramanda mengintip. Pupil matanya membesar saat menyaksikan Morgan dan Erli asyik berciuman. Morgan tampak menopang tangan ke rak buku. Posisi kepalanya menutupi sebagian besar wajah Erli.
Sementara Erli, tangannya berpegang pasrah ke pinggul Morgan. Membiarkan cowok itu berbuat sesuka hati.
Merasa melihat hal yang tidak senonoh, Ramanda langsung mengalihkan pandangan. Ia buru-buru pergi dari perpustakaan.
"Morgan gila!" umpat Ramanda sembari melangkah laju menyusuri koridor. Meski sudah melihat kelakuan buruk Morgan, dia sama sekali tidak berniat mengadu. Ramanda lebih memilih tidak ikut campur.
Saat dalam perjalanan menuju kelas, Ramanda tidak sengaja berpapasan dengan Rian. Mantan kekasih yang dipacarinya paling lama dari pacar-pacar lainnya.
Rian sangat membenci Ramanda. Karena gadis itu memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas. Rian bahkan ditolak berkali-kali saat ingin meminta kembali menjalin hubungan. Kini dia lebih memilih menyebarkan gosip yang tidak-tidak tentang Ramanda.
"Lo beneran pernah begitu sama Ramanda?" tanya cowok bernama Edo. Ia merupakan teman dekat Rian.
"Lo kenapa ngomongin sekarang coba? Nanti dia malu lagi." Rian menyahut sambil melirik ke arah Ramanda yang lewat.
"Enak nggak?"
"Apaan sih lo. Yang jelas itu cewek udah jadi bekasan gue."
Ramanda dapat mendengar semua pembicaraan Rian dan Edo. Dia hanya bisa mengatup bibirnya rapat-rapat seraya menundukkan wajah. Ramanda memeluk bukunya dengan erat. Sebuah buku benar-benar adalah sahabat sejati baginya.
Gosip ketidakperawanan Ramanda sudah lama tersebar di sekolah. Mungkin itu juga salah satu alasan para cewek tidak mau berteman dengannya. Bahkan sebagian cowok mulai menjauhi Ramanda akibat gosip tak terbukti tersebut.
...***...
Ramanda selalu pulang dengan dijemput oleh sopirnya yang bernama Timo. Dia lebih suka duduk di samping kursi kemudi dari pada duduk sendiri di belakang.
Sekarang Ramanda sibuk bermain ponsel. Senyuman langsung mengembang diwajahnya. Terutama saat membaca ada pesan dari Zafran. Karena merasa rindu, Ramanda langsung melakukan panggilan via video call.
"Hai, Zaf!" Ramanda melambaikan tangan ke layar ponsel. Dia terus tersenyum lebar. Tetapi tidak dengan Zafran. Cowok itu terlihat hanya tersenyum tipis.
"Gimana kabar lo, Ra? Kayaknya bahagia banget. Suka ya lihat gue menderita?" tukas Zafran.
"Hahaha... gue senang aja lihat muka kusut lo. Kusut banget tahu nggak. Masih galauin Lika?" sahut Ramanda. Menyebut nama mantan kekasih Zafran.
"Ya ampun... lo bisa nggak usah sebut namanya nggak? Gue mencoba sebisa mungkin move on dari dia!"
"Iya deh. Sorry... mulai sekarang gue nggak akan ngomongin cewek itu lagi. Boleh tahu cara move on lo nggak? Mungkin gue juga bisa coba." Ramanda menyelidik. Padahal dia hanya ingin tahu Zafran sedang dekat dengan seorang gadis atau tidak.
"Gue menyibukkan diri aja. Jadwal gue padat banget tahu nggak. Belajar mulu. Kepala gue rasanya mau meledak," jelas Zafran.
"Kirain gue lo bakalan pacarin cewek lain demi move on dari Lika." Ramanda sengaja memancing.
"Gue nggak punya waktu untuk itu, Ra. Bokap gue juga paksa gue kerja paruh waktu."
"Semangat, Zaf! Lo pasti bisa!" Ramanda mengepalkan salah satu tangannya. Lalu mengangkatnya ke udara. Sebagai tanda penyemangat untuk Zafran. Panggilan mereka segera berakhir saat mobil telah sampai ke rumah.
Ramanda melangkah masuk melalui pintu. Dia melihat ayahnya ada di rumah. Ramanda sama sekali tidak terkejut. Mengingat semenjak ibunya hamil tua, sang ayah selalu menyempatkan diri pulang lebih cepat.
Sejak ibunya hamil, Ramanda merasa tersisihkan. Menurutnya sang ayah dan ibu terlalu mengutamakan adiknya yang belum lahir. Ramanda awalnya mewajarkan sikap kedua orang tuanya. Terlebih mereka sudah lama menanti kehamilan kedua. Tidak heran ayah dan ibunya Ramanda sangat senang dengan anugerah kehamilan kedua.
Terkadang Ramanda sengaja bertindak tidak biasa demi mendapat perhatian ayah dan ibunya. Meskipun begitu, tindakan yang dilakukan Ramanda masih terbilang biasa.
"Pah, hari ini aku boleh nggak berangkat les?" tanya Ramanda. Dia selalu menanyakan hal itu untuk mendapat perhatian.
"Kenapa? Kamu nggak sakit kan?" Raffi justru berbalik tanya. Dia tidak lain adalah ayah kandung dari Ramanda.
"Enggak. Aku--"
"Kalau nggak sakit, ngapain nggak berangkat les. Ada-ada aja kamu." Raffi memotong ucapan Ramanda. Dia terlihat mengambil tas kerjanya. Seperti biasa, usai mengurus keadaan sang istri, Raffi kembali ke rumah sakit untuk bekerja.
"Tapi, Pah. Aku capek banget hari ini," ungkap Ramanda.
"Udah jangan banyak alasan. Kamu nanti mau kerja kayak Papah atau enggak?" balas Raffi. Dia beranjak setelah menyentuh puncak kepala Ramanda.
Hembusan nafas berat dikeluarkan Ramanda lewat mulut. Kini dia mendekati Elsa yang merupakan ibunya sendiri. Elsa tampak duduk di depan televisi. Dia makan salad buah sembari mengelus-elus perut buncitnya.
"Mah, aku hari ini boleh nggak berangkat les?" Ramanda kali ini berusaha mendapat perhatian dari Elsa.
"Terserah kamu aja, Ra." Elsa menjawab sembari melirik selintas. Dia kembali fokus menonton televisi. Memakan salad buah dengan lahap.
Ekspresi Ramanda langsung cemberut. Dia melangkah gontai memasuki kamar.
'Pas hamil aja begini. Gimana kalau anak itu sudah lahir coba?' batin Ramanda mengeluh.
...༻✿༺...
Siang kelayaban bersama teman-teman berandalnya. Malam pergi ke klub untuk sekedar bersenang-senang. Begitulah kehidupan Morgan. Dia hanya menghabiskan waktu di rumah untuk makan dan tidur.
Ponsel Morgan menyuarakan bunyi notifikasi pesan dalam selang sepuluh menit. Untuk sekarang, Morgan memiliki tiga kekasih sekaligus. Satu di sekolah baru, kedua di sekolah lama, dan ketiga wanita kuliahan yang ditemuinya di klub malam.
Sejak di hari pertama sekolah, Morgan sudah berhasil menjadikan Erli pacarnya. Bagi cowok yang memiliki ketampanan sepertinya, mendapatkan cewek dalam satu kali kerlingan mata memang adalah sesuatu hal yang mudah. Terlebih Morgan juga diketahui berasal dari keluarga kaya raya. Motor yang dipakainya ke sekolah saja merupakan keluaran terbaru. Harganya pun dibilang sangat fantastis. Hanya Morgan yang memiliki motor tersebut di sekolah.
Kini Morgan baru saja pulang ke rumah. Dia masuk ke kamar mandi. Lalu melepas pakaian atasannya. Sebuah tato bergambar kompas terpampang di bagian dada. Selain itu, dia juga punya tato bergambar burung phoenix dekat area perut.
Morgan berdiri di bawah air shower yang mengalir. Dia memejamkan mata sambil mencoba menenangkan diri.
Selesai mandi, Morgan segera mengenakan handuk kimono dan keluar dari kamar mandi. Saat itulah telinganya dapat mendengar suara perdebatan lelaki dan wanita.
Morgan yakin, dua orang yang bertengkar tidak lain adalah ayah dan ibunya sendiri. Itu adalah hal biasa bagi Morgan. Hampir setiap hari ada saja yang diperdebatkan oleh kedua orang tuanya.
Jika perdebatan tambah parah, Morgan bergegas pergi dari rumah. Dia tentu memilih pergi ke klub malam dibanding berada di rumah yang terasa seperti neraka.
Dengan santainya Morgan berjalan melewati ayah dan ibunya yang bertengkar. Dia bahkan sama sekali tidak melirik sedikit pun.
"Morgan! Kau mau kemana?!" tegur Michael. Ayah kandung Morgan yang berdarah asli Inggris tersebut.
"Im going to the club," jawab Morgan. Tanpa menengok ke belakang. Dia terus melangkah maju menuju pintu keluar.
"Jangan coba-coba berani pergi kamu!" pekik Gina. Dia tidak lain adalah ibunya Morgan. Dia berusaha menghentikan pergerakan sang putra. Meskipun begitu, usahanya tidak maksimal. Gina hanya menegur lewat teriakan. Sehingga Morgan terlanjur pergi dari rumah.
"Tuh! Anakmu pasti ke klub malam. Dia begitu karenamu!" tukas Gina pada Michael.
"Kau menyalahkanku untuk itu?! Kau pikir dirimu adalah orang tua paling baik?!" perdebatan terus berlanjut.
Michael dan Gina memang rutin bertengkar. Terutama semenjak Gina mengetahui Michael dekat dengan seorang wanita.
...***...
Kini Morgan sedang mengemudikan motor. Dia melaju sangat cepat bak seorang pembalap. Dari balik helmnya, terdapat tatapan tajam yang terpancar.
Jujur saja, Morgan selalu merasa kesal setiap kali melihat ayah dan ibunya bertengkar. Terlebih mereka juga sudah tidak mau memperdulikan dirinya lagi.
Seperti biasa, tujuan Morgan saat malam adalah diskotik. Di sana dia akan bertemu kekasih ketiganya. Kesenangan di sana membuat Morgan melupakan masalah untuk sesaat. Biasanya Morgan akan pulang dari diskotik saat waktu menunjukkan jam tiga pagi. Tidak heran dia selalu datang terlambat ke sekolah.
Di sisi lain, Ramanda sedang berusaha tidur. Tetapi matanya masih terasa segar. Padahal waktu sudah menunjukkan jam setengah empat pagi.
Ramanda memang akan menderita insomnia jika sedang mengalami kegelisahan. Sekarang dia benar-benar tidak bisa tidur.
Ramanda merubah posisi menjadi duduk. Dia mengambil ponsel. Nama Zafran langsung terlintas dalam benaknya. Tetapi dia tidak jadi mengirim pesan. Terutama saat ingat kalau perbedaan waktu di Inggris terlambat enam jam dari Indonesia. Berarti London sekarang sedang tengah malam.
"Zafran pasti tidur," gumam Ramanda. Dia tidak tega mengganggu istirahat Zafran. Alhasil dia lebih mengisi kegiatannya dengan melakukan joging.
Ramanda mengenakan jaket serta celana olahraga ketat yang selutut. Dia mengikat rambut dengan gaya ekor kuda. Di salah satu tangannya terdapat gelang penghitung detak jantung.
Karena memiliki ayah yang bekerja sebagai dokter, olahraga tentu adalah sesuatu hal penting bagi Ramanda. Apalagi di saat dirinya mulai mengalami insomnia lagi.
Headset terpasang di kedua telinga Ramanda. Dia berlari pelan sambil mendengarkan musik.
Ramanda berlari menyusuri pinggiran jalan. Udara segar benar-benar menenangkan pikirannya. Tanpa sadar dia merekahkan senyuman.
Dari kejauhan, Ramanda melihat ada sebuah motor yang melaju kian mendekat. Dia langsung menyadari keberadaan motor itu karena suasana jalanan sedang sepi.
Motor tersebut semakin dekat. Pengendaranya tampak mengarahkan motor secara tidak teratur. Ramanda yakin, pengandara tersebut pasti mabuk. Perlahan dia melepas headset dari telinga.
Bruk!
Benar saja, pengendara yang dilihat Ramanda akhirnya jatuh sendiri ke jalanan beraspal. Karena menjadi satu-satunya orang yang melihat, Ramanda buru-buru membantu.
"Morgan!" seru Ramanda ketika menyaksikan pengendara motor membuka helm.
"Hai, Ra..." Morgan menyapa dengan senyuman. Matanya sayu dan memerah. Seratus persen dia sedang mabuk.
"Lo gila! Untung gue bukan polisi. Kalau iya, gue udah bawa lo ke penjara!" geram Ramanda. Dia membawa Morgan duduk ke pinggir jalan.
Ramanda mendengus kasar. Ia berkacak pinggang sambil memperhatikan motor Morgan yang masih tergeletak di tengah jalan.
"Tenaga gue nggak kuat buat pindahin motor lo," ujar Ramanda. Ia duduk ke samping Morgan. Cowok itu tiba-tiba merebahkan diri ke tanah yang kotor.
"Biarin aja ditabrak truk. Nanti bisa beli lagi..." sahut Morgan sambil mendecapkan lidah. Dia menutup matanya seolah hendak tidur.
"Eh! Lo pengen tidur di sini?!" tegur Ramanda. Menatap tak percaya. Ia lantas mencoba memaksa Morgan untuk bangkit. Namun bau alkohol yang menyengat langsung menghantam indera penciumannya.
Ramanda reflek menutup hidung. "Ish! Lo bau banget!" protesnya.
"Bentar lagi, Ra... gue pengen tiduran bentar aja. Ya?..." racau Morgan. Ia mengacungkan jari telunjuk ke udara.
Ramanda memutar bola mata jengah. Dia yang tadinya berdiri, akhirnya duduk kembali. Ramanda memanfaatkan waktu untuk beristirahat. Ia tadi sudah berlari cukup lama.
Setengah jam berlalu. Morgan akhirnya membuka mata. Dia melirik ke arah Ramanda yang tampak sibuk berkutat dengan ponsel.
"Lo masih tungguin gue?" tanya Morgan.
"Baru aja gue pengen pergi. Beruntung lo udah bangun." Ramanda tersenyum singkat. Dia segera memasukkan ponsel ke saku celana. Lalu berdiri seraya meregangkan badan.
Ramanda melekukkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Morgan sontak terfokus memperhatikan.
"Lo seksi juga. Pantas dibilang permata sekolah," komentar Morgan.
Plak!
Tamparan Ramanda langsung melayang ke pipi Morgan. "Lo mending sadar dulu dari mabuk lo!" ucapnya yang sekali lagi merekahkan senyuman paksa.
"Gue baru aja sadar. Peregangan lo tadi bikin mata gue melek," sahut Morgan. Membalas senyuman Ramanda dengan senyuman simpul. Namun dia justru menerima tamparan kedua.
"Otak mesum!" cerca Ramanda. Dia membuang muka dengan mimik wajah cemberut. Perhatiannya segera tertuju ke arah motor Morgan.
"Lo mending pindahin motor lo ke pinggir deh. Sebelum jalannya ramai," ujar Ramanda menyarankan.
"Biarin aja. Sengaja kok. Biar dibeliin motor baru," balas Morgan. Dia akhirnya berdiri. Merangkul pundak Ramanda tanpa permisi.
"Anak pintar. Jadi lo sengaja mau buang-buang duit hasil jerih payah bokap nyokap lo?" tanggap Ramanda seraya melepas paksa rangkulan Morgan. Lalu melipat tangan ke depan dada. Matanya melirik tajam Morgan.
"Iya!" Morgan mengangguk dengan senyuman lebar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!