Pada siang itu matahari bersinar terik, Alex beserta keluarganya sedang berbahagia. Kelahiran Anak ketiganya terbilang lancar dan normal. Dengan mengendarai roda empat, Alex mengangkat barang-barang miliknya serta memasukkannya ke dalam mobil.
“Alex, apa semua barang sudah Kamu angkat Nak?” Dengan suara lemah, Bu Aminah yang juga sekaligus mertua dari Alex bertanya kepadanya. Alex hanya mengangkat kedua alisnya, memberikan isyarat yang tidak dipahami oleh Bu Aminah.
“Sudah Bu! Sekarang Kita pulang ya sayang.” Kata Alex sembari merangkul dan membantu Istrinya masuk ke dalam mobil. Sesaat Alex mengabaikan mertuanya, tetapi Bu Aminah memaklumi sikap dari menantunya itu.
Mobil itu menyusuri jalan tol yang panjang dari kota Jakarta ke kota Bandung. Alex berencana untuk membawa Istri dan Anak-anaknya beserta mertuanya ke kampung halaman.
“Sayang Kita mau kemana?” Tanya Istri Alex yang bernama Nindi. Nindi bertanya dengan nafas yang belum stabil. Kemudian Bu Aminah memberikan sebotol air mineral agar diminum oleh Nindi. Tidak perlu pikir panjang, Nindi pun langsung meneguk air minum itu hingga bersisa setengah botol lagi.
“Kita mau jemput Anak-anak dulu sayang. Setelah itu Kita ke Bandung ke rumah mendiang orang tuaku. Kita tinggalkan Jakarta, disana ada sawah warisan dari Bapakku yang bisa ku garap nanti.”
Nindi dan Ibu Aminah hanya bisa terdiam mendengar kalimat dari Alex. Bisa apa lagi, sejak Nindi melahirkan Anak pertamanya, Alex lah yang menjadi tulang punggung dan membiayai seluruh anggota keluarganya. Suami dari Nindi itu mulai melarang Nindi untuk bekerja lagi.
Alex menyuruh Istrinya untuk fokus mengurus Anak saja di rumah. Nindi pun menuruti Suaminya dikarenakan Bu Aminah yang mulai sakit-sakitan. Mau tidak mau, Nindi harus mengurus Anak-anaknya beserta Ibunya. Karena jika tidak, tidak akan ada yang bisa membantunya untuk menjaga Anak-anaknya. Maka dari itu Nindi memutuskan untuk menurut dan tidak bekerja, bukan karena tidak mampu bekerja melainkan kondisinya yang harus dijalani.
Keluar dari jalan tol, mobil itu kini memasuki gang yang berjalan sempit. Mereka sedang menuju sekolah kedua Anaknya. Anak pertama masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Sedangkan yang kedua duduk di kelas satu SD. Semua anak dari pernikahan Nindi dan Alex adalah laki-laki. Sedikit mengecewakan Alex agaknya, Namun Alex tidak pernah memperlihatkan kekecewaannya tersebut. Dia lebih memilih untuk memendam perasaan itu.
Di kejauhan, terlihat Anak-anak yang mengenakan seragam merah putih berlarian keluar. Tak lama setelah itu Andra dan Indra keluar dan berlari menuju mobil mereka. Tidak butuh banyak waktu untuk Andra dan Indra mengetahui mobil dari Ayahnya. Karena mobil itu terparkir tepat di dekat gerbang sekolah.
“Ayahhhh…” Teriak Andra dan Indra bersamaan. Setelah membuka pintu depan mobil, keduanya masuk dan duduk di satu kursi. Keduanya pun terlihat gembira melihat Adik barunya.
“Sstttt… jangan berisik ya. Dedek lagi tidur.” Ujar Nindi sambil menaruh telunjuknya di depan bibir lalu mengedipkan mata. Andra dan Indra hanya tersenyum senang dan mulai menyalami Ayah beserta Neneknya.
“Ayah tadi di sekolah Andra dapat seratus loh Yah.”Kata Andra yang langsung mengeluarkan kertas ulangannya tadi. “Nanti ya sayang, tunggu sampai. Ayah sedang bawa mobil sekarang.” Ayah berkata tanpa menoleh ke arah Andra sedikit pun.
“Sini coba Nenek lihat.” Bu Aminah mengeluarkan naluri ke Ibuannya untuk menanggapi Andra. Agar Andra tidak merasa diabaikan. “Wah hebat sekali cucu Nenek. Dipertahankan ya Nak, kalau dapat rangking satu nanti Nenek kasih hadiah.” Ujar Nenek sambil mengacungkan kedua jempolnya.
“Beneran Nek? Asyikkkk…” Andra mulai kegirangan. Indra pun ikut berjoget mengikuti Kakaknya.
“Ssstttt… ingat sayang dedek nya lagi tidur.” Nindi kembali mengingatkan kedua Anaknya untuk tidak berisik. Kemudian suasana di dalam mobil itupun menjadi senyap.
Perjalanan pun dilanjutkan, panas terik matahari pada siang itu belum juga memudar. Kembali masuk ke jalan tol kini Alex mengenakan sabuk pengamannya. Melaju 100km/jam, belum merasa puas, Alex menambah kecepatannya menjadi 140km/jam.
Kemudian “Brakkk brummm dangggg greekkkk…” Semua menjadi hitam layaknya tengah malam tanpa bintang dan bulan.
Kedua mata Alex sedang menatap dua mayat di dalam peti. Perutnya terasa aneh, seperti ada sesuatu yang ingin keluar. Seketika perut Alex sakit, mules barangkali, saat melihat dua orang yang sedang terbujur kaku itu. Tetapi sesuatu itu tertahan di tenggorokannya, tidak ada yang keluar sama sekali. Hal itu pun berkali-kali Dia rasakan.
“Pak Alex sudah waktunya untuk mengantar jenazah ke pemakaman.” Bisikan seorang lelaki separuh baya ke telinga Alex. Mendengar hal itu langsung saja Alex membeku dan mematung. Dia bukan tidak mendengar suara pak RT yang berbisik dan mengajaknya berbicara itu. Hanya saja, Dia membisu hingga akhirnya semua hal yang ditahan itu tak sanggup lagi untuk Dia tahan dan akhirnya pecah.
“Arrghhh…. Bukan, bukan ini duniaku.” Alex berteriak. Semua tamu yang datang nyelawat kini tercengang. Pak RT dan beberapa orang lainnya sontak berdiri dan menahan lengan Alex.
Alex memberontak! Dia ingin keluar ruangan. Berlari, pergi, kabur, atau menghilang sekalian.
“Pak Alex, sabar Pak Alex. Istighfar Pak!” Gema suara Bapak-bapak silih berganti. Alex kali ini tidak bisa mendengar, di kepalanya hanya ada dunia hitam kelabu tanpa masa depan.
“Kenapa… kenapa harus Nindi ya Tuhan. Kenapa…?” Akhirnya air mata yang sedari tadi menghilang itu sekarang keluar tanpa henti bak air terjun.
Melihat Ayahnya yang menangis, Andra dan Indra ikut meluapkan kesedihannya. Para tamu menangis terseduh melihat bocah yang tak punya Ibu. Bukan lagi, bahkan si bayi yang masih berumur satu hari itu belum sempat merasakan air susu sang Ibu.
Anak-anak Alex harus kehilangan Ibu dan Nenek nya di hari yang sama. Begitupun dengan Alex, Istri yang sangat disayanginya itu, Alex tak pernah menyangka bahwa akan kehilangan Istrinya secepat itu.
Dua orang laki-laki masih terlihat memegang erat lengan Alex. Kalau-kalau Alex mengamuk lagi. Kemudian Pak RT mengarahkan untuk pergi ke pemakaman lalu diikuti oleh tamu dan keluarga yang lain.
Dengan pandangan kosong Alex digiring ikut kepamakaman. Lalu Alex tidak mengingat lagi apa yang terjadi.
“Pak, Pak Alex… bisa bangun untuk sarapan Pak?”
Alex mendengar suara perempuan yang merdu. Matanya terbuka, walaupun Dia tahu itu suara yang lain. Entah mengapa Dia berharap itu Nindi. Dan… bukan Nindi! Hanya seorang wanita muda berpakaian warna putih. Seorang perawat rumah sakit.
“Sudah berapa lama saya disini Mba?” Ujar Alex yang sekarang berusaha untuk bangun dan duduk.
“Baru satu hari Pak, Bapak tidak sadarkan diri semenjak kemarin. Ini ada sarapan, silahkan Bapak makan dan dilanjutkan dengan memakan obat ini.” Kata perawat rumah sakit tersebut.
Alex merasa pusing, Dia masih belum percaya, mungkin saja ini hanya mimpi baginya. Tiba-tiba Andra dan Indra datang menghampiri dan memeluknya. Kemudian Alex tersadar, ini bukan mimpi.
“Ayah.. jangan sakit lagi. Ayah jangan tinggalkan Kami sama seperti Ibu.”
Andra dan Indra berbicara bergantian sambil menangis. Seketika Alex mengerti, ini bukan hal yang harus Dia lalui dengan kelam. Dia harus kuat demi ketiga Anaknya lalu Alex mulai menguatkan diri, sarapan, makan obat dan pulih.
“Harus pulih, harus bisa pulih” Kata Alex dalam hati. Dia memencet bel pemanggil perawat. “Mba sdh mendingan, Saya sudah merasa sehat. Boleh Saya keluar hari ini?” Tanya Alex kepada perawat yang menghampirinya.
“Tentu saja bapak. Saya tahu Bapak orang yang hebat.” Sambil tersenyum perawat itu mulai membuka infus di tangan Alex dengan perlahan. “Silahkan selesaikan administrasi rumah sakit terlebih dahulu ya Pak.” Ujar perawat dengan lembut. Kemudian Dia permisi untuk keluar ruangan.
Alex menyelesaikan administrasi rumah sakit tanpa hambatan. Sekarang Dia memegang masing-masing jemari dari kedua Anaknya.
“Kita pulang ya sayang…”
Senyum hangat dari seorang Ayah yang kuat dilihat dari Andra dan Indra. Hingga Andra dan Indra pun tersenyum kepada Ayahnya. Senyuman dari Ayahnya itu memberikan sedikit pemulihan trauma yang dirasakan oleh Andra dan Indra. Begitupun sebaliknya, balasan senyuman dari kedua Anak Alex membuatnya semakin tegar.
“Kring kring kring….kringgggg.” Alarm berbunyi. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Pakaian tergeletak dimana-mana. Mainan berhamburan di atas lantai. Bahkan popok bayi bekas pakai tampak berada di bawah kasur. Terlihat suasana kamar bak kapal pecah.
Tangan Alex berusaha menggapai Alarm digital di samping kasurnya. Dia meraba dengan sebelah mata terbuka. Tidak ada apa pun di atas meja itu. Alarm tak kunjung berhenti. Akhirnya Alex berdiri dan mencari Alarm itu.
“Gletekk.. auww!” Alex menyeru kesakitan. Ada benda kecil yang menusuk kakinya. Benda kecil itu bukanlah benda biasa, melainkan benda yang digunakannya untuk menenangkan Hendra, bayi yang berumur enam bulan.
Seketika Alex melempar mainan itu yang entah mendarat kemana. Tak sengaja kaki Alex menyentuh benda yang bergetar. Alarm! Langsung saja Alex mematikan benda kecil yang berisik itu.
Ayah dari tiga orang Anak itu menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Dia tersadar, kemana perginya Hendra? Putra bungsunya yang Dia rawat sendiri sejak lahir. Sontak Alex keluar kamar mandi dan mulai mencari-cari Hendra, Anak Bungsunya.
Alex membuka gabus sofa, mengintip di bawah kasur dan membuka semua lemari. Dia tak kunjung menemukan Hendra kemudian Alex berlari keluar kamar.
Di depan TV (Television) Hendra tengah asyik menonton sambil tengkurap. “Hendra sayang, kok Kamu bisa sampai kesini? Sudah bisa jalan kamu Nak?” Alex bergumam sendiri sambil memandang wajah Hendra. Sesekali Dia menoel hidung dan menciumi Anak bungsunya itu.
Setelah menaruh Hendra di tempat tidur bayi miliknya, Alex segera menuju dapur untuk membuatkan Hendra susu. Tak perlu basa basi, Hendra langsung antusias. Sesekali tangannya seperti ingin menggapai botol susu itu. Alex pun memahami ekspresi wajah dan gerak motoriknya. Tanpa menunggu lama sang Ayah memberikan botol susu itu kepada bayinya.
Melihat Hendra tengah asyik menyusu, Alex kini menuju kamar Andra dan Indra. “Selamat pagi para jagoan, diberitahukan kepada para jagoan cilik Alex. Bahwa pesawat Anda sedang mendarat. Sekali lagi, Saya ulangi pesawat ini akan mendarat. Kencangkan sabuk pengaman Anda jagoan.” Dengan mengebass-kan nadanya Alex sedikit mendramatisir keadaan layaknya awak kabin di dalam pesawat.
Seperti magnet Andra dan Indra bangun dan duduk dikasur dan mulai mencari sabuk pengaman. “Hahahaha pendaratan sudah selesai. Ayo jagoan cepat bangun.” Kata Alex dengan penuh semangat.
Alex mengendong kedua Anaknya pada lengan. Andra di kanan dan Indra di kiri. Kedua Anak itu digendong serta dimandikan. Setelahnya, Andra dan Indra di bawa masuk ke kamar Alex. Kedua Anak itu dipakaikan seragam sekolah di sebelah tempat tidur Adiknya.
Sedari tadi susu Hendra sudah habis. Dia hanya bermain sendiri melihat langit-langit rumah yang berwarna biru dihiasi dengan awan putih.
“Nah, sekarang waktunya sarapaaannn…!” Ujar Alex kepada Andra dan Indra. Kemudian dia menggiring kedua Anaknya ke dapur sembari menggendong Hendra.
Alex terlihat mahir memasak. Membuat sarapan dadar telur dan brokoli rebus. Susu plain yang dibelinya di supermarket dihidangkan dengan lucu. Bak seorang Ibu handal yang sedang beranak tiga.
Selama ini Alex mengurusi ketiga Anaknya sendirian. Sesekali ketika Anaknya sakit, Dia hanya bertanya kepada tetangga bagaimana cara mengurus Anak yang sedang sakit.
Tetangga pun sangat berbaik hati untuk menawarkan bantuan. Entah mengapa Alex enggan menerima bantuan itu. Yang Dia butuhkan hanya informasi perawatan untuk anak saja.
Andra dan Indra makan dengan lahap. Sebentar saja makanan buatan Ayahnya itu habis. “Ayah ayo sekarang berangkat. Sudah jam setengah delapan pagi. Kalau telat lagi guruku bisa marah Ayah.” Ujar Andra yang mulai cemas.
“Baiklah jagoan Ayah, sekarang kita berangkattt…” Sambil mengendong Hendra, Alex menjulurkan tangan kirinya bak superman yang ingin terbang.
Semuanya telah masuk ke dalam mobil. Andra dan Indra duduk di kursi belakang. Sedangkan Hendra dipangku sambil menyetir. Untung saja sekolahnya tidak jauh dari rumah. Sekitar lima belas menit berlalu mereka sudah sampai.
“Ayah nanti Andra ada les. Jadi Andra akan pulang jam 2 siang. Sedangkan Indra tidak, bagaimana dengan Indra nanti setelah pulang ayah?”
Tanya Andra dengan cerdas kepada Ayahnya. Setelah Ibunya tiada, Andra kini lebih dewasa dari biasanya. Sungguh cepat untuk Dia dewasa sekarang. Dan itu sangat membantu Ayahnya yang merangkap dari seorang Ayah yang juga seorang Ibu bagi mereka.
“Indra sayang, nanti pulang jangan tunggu Ayah di gerbang sekolah ya. Tunggu saja di depan kelas abangmu dulu. Nanti pulang kalian barengan baru Ayah jemput ya Nak ya.” Suara Alex meyakinkan kali ini. Suara lembut seorang Ayah. Indra pun mengangguk, kemudian setelah mengangguk, Andra dan Indra mencium tangan Ayahnya dan berpamitan.
Sesampainya dirumah, Alex mulai memandikan Hendra, memaikan baju serta lekas memberikan bubur tim buatannya sendiri yang Dia lihat tutorialnya di Youtube. Setelahnya Dia mengajak Hendra bermain. Tak lupa memberikan nya susu formula saat Hendra membutuhkannya.
Ketika melihat Hendra menguap sesekali. Alex menggendong Hendra dan mengayunkan lengannya seperti ritme ayunan klasik. Bernyanyi lagu Twinkle Twinkle Little Star. Semua ini juga Dia dapat tutorialnya di Youtube. Baginya Youtube adalah sahabat terbaik yang pernah ada.
Tak lama kemudian Hendra tertidur pulas. Alex merebahkannya di tempat tidur yang di kelilingi pagar. Sehingga tidak perlu khawatir bayi akan jatuh.
Melihat Hendra yang tertidur, hatinya Alex terenyuh. Alex kembali merindukan Nindi. Istri yang penuh kasih sayang terhadap Suami dan Anak-anaknya. Istri yang tidak pernah marah sekalipun Alex membuat kesalahan. Dan istri yang selalu patuh terhadap perintah suami.
Alex berpikir bahwa tidak akan ada yang bisa mengantikan posisi Nindi. Dia sangat sempurna sebagai seorang istri.
Tak ingin berlama-lama dalam lamunannya. Alex mulai membereskan rumah, menyapu, mengepel, membuang sampah yang sudah mulai mengeluarkan bau. Dan mencuci baju yang sudah menumpuk selama seminggu.
Setiap Alex mengurus ketiga Anaknya ataupun melakukan pekerjaan rumah. Tidak pernah sedikitpun Dia tidak mengingat Nindi. Rasa rindu teramat dalam dirasakan Alex. Namun rindu tetap lah rindu, yang bisa Alex lakukan hanya menatap foto pernikahan di dinding kamar dan ruang tamu.
“Om telolet om… om telolet om!” Suara panggilan masuk dari telepon genggam Alex. “Halo, selamat siang. Benar ini dengan Pak Alex?” Suara seorang perempuan terdengar sedikit cadel menelepon.
“Iya benar Bu, Ini Saya Alex.” Jawab Alex tanpa ragu. “Maaf Pak Alex bisa ke sekolah sekarang Pak? Indra hilang Pak. Sudah dicari di sekeliling sekolah, Kami tidak menemukannya. Pihak sekolah sudah menghubungi Polisi. Bapak harus ke sekolah sekarang juga Pak.” Ujar Alex terdiam, entah mengapa Dia kembali mengingat hari pemakaman Istrinya. Alex mematung lagi tanpa melakukan apa-apa.
“Huaaa… huaaa…” Tangisan Hendra menyadarkan Alex. Telepon genggam sudah jatuh ke lantai. Alex berlari merangkul Hendra dan segera mengambil kunci mobil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!