NovelToon NovelToon

Gadis Satu Miliyar Ku

Bab 1 Lusuh

Rasya, dia gadis polos yang cantik dan baik hati, keberadaannya seolah tidak di anggap. Di sia-siakan oleh keluarganya sendiri, dari kecil ia tidak mendapat keadilan dari keluarga, entah apa sebabnya sehingga ia di benci.

Rasya tumbuh di keluarga sederhana dengan kepala keluarga yang bernama Muhidin dan istrinya bernama Karsih. Mempunyai anak tiga perempuan dan satu laki-laki.

Anak perempuan yang ke tiga ya itu Rasya, yang lain sekolah sampai tamatan SMA sederajat. Sementara Rasya hanya tamatan SD saja, dengan alasan percuma dengan bermacam alasan, orang tua nya sengaja tidak melanjutkan sekolah Rasa. Padahal di sekolah pun sikap Rasya biasa aja, normal berbaur dengan teman. Mudah bergaul dan pinter juga rajin.

Dia mengerjakan semua pekerjaan rumah. Selayaknya seorang pembantu dan kesehariannya kerap kena bentakan, omelan dari hampir semua anggota keluarga.

Muhidin seorang pegawai desa, dengan bermacam kerja sampingan. Sebab kalau cuma mengandalkan gaji desa yang tidak seberapa itu tidak mencukupi untuk semua kebutuhan keluarga.

Bu Karsih, selain ibu kader dia pun menjalani usaha kecil-kecilan seperti toko pakaian dan makanan, yang di kelola sekarang dengan dua putri kesayangan mereka yang bernama Vera dan Murni.

Rasya kini sudah menginjak usia 19 tahun. Kerjaan dia hanya di rumah, warung. Pasar itulah kegiatannya setiap hari, seperti sekarang ini, dari pagi buta ia sudah berkutat di dapur. Membuat sarapan, menyetrika pakaian buat aktivitas anggota keluarga di pagi ini.

Rasya menyeka keringat di keningnya yang bercucuran. Lompat sana lompat sini, ngurus sarapan. Balik setrikaan. "Uh ..." Ia membuang napas sangat panjang.

"Kerja yang bener, itu baju ku setrika yang rapi, awas kalau masih kusut. Kalau masih kusut, saya tidak akan segan nyetrika wajahmu yang jelek itu," ancam Murni sambil ongkang-ongkang kaki.

"Astagfirullah ... iya  Kak," sahut Rasya sangat ketakutan.

"Baju ku juga, harus licin. Kalau nggak aku hukum kamu, di kamar mandi seharian," ucap Vera dengan tatapan sangat tajam dan berpangku tangan.

"Ada apa pagi-pagi sudah ribut? mana sarapannya? Rasya, siapkan sarapan Ayah. Buruan!" sergah pak Muhidin.

"I-iya, sebentar." Jawab Rasya menunduk sambil menyelesaikan nyetrika baju Murni.

"Cepetan?" Sergah pak Muhidin sambil sedikit menggebrak meja. Membuat Rasya terkejut jantungnya hampir melompat.

"I-iya-iya, aku ambilkan." Rasya bergegas menyiapkan sarapan buat sang ayah. Lalu menghidangkan masakan di meja menatanya dengan rapi, piring. Gelas, semuanya tertata dengan baik di meja.

Pak Muhidin dan ketiga anaknya sarapan dengan sangat lahap. Disusul oleh bu Karsih yang sudah berpenampilan menor, sementara Rasya melanjutkan nyetrika.

Terkadang sarapan pun Rasya suka kehabisan. Masak sih banyak, tapi entah kenapa ketika Rasya mau sarapan paling tersisa nasi saja. Sedangkan lauk pauknya sudah kehabisan, kalau mau masak lagi suka dimarahin bu Karsih dengan alasan buat nanti siang.

Makanya terkadang kalau ada waktu Rasya mendahului makan atau mencuri-curi makan, tapi jika ketahuan. Rasya akan di marahi habis-habisan malah disiksa tidak diberi makan seharian.

"Sungguh malang nasibmu Rasya ..." Batin Rasya, netra matanya melihat orang-orang yang sedang sarapan. Ia menelan saliva yang tercekat di tenggorokan.

Selesai sarapan, Murni menyambar bajunya dari meja setrikaan. Begitupun Vera mengambil bajunya, disusul setelan sekolah Sukma yang dengan isengnya menginjak kaki Rasya.

"Aw, sakit ..." Rasya mengangkat dan memegang kaki tepatnya jari-jari yang terasa panas. Matanya sontak berair bening.

"Ala ... h manja," ucap Sukma tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Pak Muhidin dan istrinya beranjak dari meja makan. Pak Muhidin masuk ke kamarnya, sebab belum bersiap untuk pergi kerja ke Desa.

"Rasya, jangan lupa agak siang ke pasar belanja bahan kue, terus dibikin cepat. Kemudian antar ke toko. Jangan terlalu siang!" Ketus bu Karsih sambil melengos keluar rumah.

Rasya mengangguk, menoleh meja makan yang tinggal nasi, sambal dan tahu goreng saja. "Masih mending ada sisa juga, daripada tidak ada sama sekali." Gumamnya dalam hati.

Rasya duduk di kursi mengambil piring dan nasi, sambal dan tahu yang tinggal satu di piringnya. Padahal tadi ada ayam goreng dan telor ceplok yang kini hanya ada tempatnya saja.

"Woi ... Makan, kerja dulu bereskan," ucap Sukma yang melintas ke dekatnya dan menyambar tahu goreng yang tinggal satu itu.

Rasya hanya bisa bengong dan menelan saliva nya. "Ya, Allah ..." hatinya menangis.

Terkadang terbesit di pikirannya, apa benar di sini keluarganya asli? dulu sewaktu ada ibunya bu Karsih yang bernama bu Lala, beliaulah yang memperhatikan dan menyayangi Rasya. Namun sudah beberapa tahun ini Beliau meninggal. Tiada lagi tempat mengadu Rasya, kecuali yang maha kuasa.

Penampilan Rasya yang selalu kucel. Lusuh, kulit gelap tanpa perawatan. Pakaian pun tidak sebagus anggota keluarganya yang lain, setahun sekalipun jarang dibelikan baju. Padahal sang ibu jualan baju, tidak seperti putrinya yang lain, selalu bagus dan mengikuti jaman. Kecuali ada pakaian yang sudah tidak laku bertahun-tahun. Barulah dikasihkan pada Rasya.

"Heh ... Baju ku yang buat ke pesta, Cuci yang bersih dan setrika yang licin. Jangan lupa," pesan Vera yang bersiap pergi ke toko.

Rasya mengangguk pelan dan melirik sekilas, lalu ia fokus dangan sarapannya.

"Heh ... anak gila, dengar gak?" Hardik Vera sambil menarik sedikit rambut Rasya.

Rasya nyengir kesakitan, memegang kepalanya sambil melotot. "Aku tidak gila. Dan aku mendengarnya," jawab Rasya menatap tajam ke arah Vera.

"Memang kau gila, kenapa mau protes? Lihat penampilan mu yang kucel, hitam gitu. Gak ada menarik-menarik nya," sambung Vera mendelik.

Kemudian Vera pergi, meninggalkan Rasya yang sedang makan. Datang Murni dengan penampilan cantiknya, melintasi Rasya.

Murni hentikan langkahnya, berdiri dekat Rasya. "Heh, sepatu aku cuci ya? dan awas sampai rusak, jangan salah sikat." Dengus nya.

"Iya, Kak." Rasya mengangguk pelan.

"Bagus." Murni melengos meninggalkan tempat tersebut.

Selepas makan, Rasya beres-beres meja. Mencuci perabotan, bekas makan dll nya.

Pukul 08.00 wib. Semua sudah tidak berada di rumah, tinggal Rasya sendiri di rumah. Dengan segala aktifitas yang ada, beres cuci perabotan. Cuci baju milik semua anggota keluarga.

Habis, Nyuci. Beres-beres rumah. Lalu ke pasar, belanja buat bikin kue. Terus di bikin sendiri, kalau sudah matang, diantarkan ke toko. Begitu keseharian Rasya sehari-harinya.

Kini Rasya sedang masak untuk makan siang. Segala pekerjaan rumah, semua Rasya yang urus, sementara yang lain kurang terima kasih nya pada Rasya.

Rasya selalu di sisihkan, dikucilkan dan direndahkan. Di dalam keluarganya sendiri, Rasya ikhlas dengan segala yang ada. Berharap satu saat nanti kehadirannya akan berarti buat keluarga nya ini.

Rasa marah, sering menghinggapi hati. Kalau sedang benar-benar marah, Rasya sering pula mengacak rambutnya sendiri sangat frustasi. Para tetangga pun tidak merespon, seolah tidak ingin tahu keadaan Rasya yang malang. 

Dan mereka selalu merasa segan pada pak Muhidin. Apalagi keluarga pak Muhidin selalu bilang kalau Rasya itu Anka yang punya kelainan, jadi mereka nggak respek pada nasibnya Rasya.

Pada suatu hari, Rasya nyetrika pakaian milik Vera. Namun kerena terlalu banyak pekerjaan, sehingga ia lalai dengan baju yang sedang ia setrika dan baju kesayangan milik Vera bolong ....

****

Semoga suka ya🙏

Bab 2 Terjatuh

Vera marah besar ketika tahu baju kesayangannya bolong. Rasya berkali-kali meminta maaf, sampai bersujud-sujud. Namun kemarahan Vera semakin menjadi-jadi.

Tangan Vera mengunyeng rambut Rasya yang memekik kesakitan. "Dasar perempuan gila, bodoh, kerja gitu aja gak becus. Kamu tahu, itu baju mahal pemberian dari kekasih ku." Pekikan gemas Vera pada Rasya. Disaksikan sama anggota keluarga uang lainnya.

"Ampun Kak ampun, aku tidak sengaja Kak, tidak sengaja," suara Rasya memelas, di pipinya mengalir buliran air mata. Menahan rasa sakit di kepalanya.

"Kau bilang apa, ampun? dasar anak tak berguna." Vera mendorong kepala Rasya sangat kasar.

Rasya bersimpuh di lantai sambil menangis tersedu, rambutnya menjadi acak-acakan. Bukan cuma Sakit di kepala yang ia rasakan tapi juga sakit di dalam dadanya, sakit sebab tidak ada satupun yang membelanya.

Rasya duduk bersimpuh sambil menangis tersedu. Tak satupun orang yang berpihak padanya, semua masing-masing beranjak meninggalkan tempat tersebut.

Pada akhirnya Rasya. Berdiri membereskan pekerjaan yang tertunda. Ia mengusap kasar pipinya yang basah, menangis menjerit pun tak akan ada gunanya. Toh semua orang tak perduli sama sekali.

Ketika waktu sudah menunjukan sore. Rasya memasak buat makan malam. Sebelum ia siapkan di meja, ia buru-buru mengambil untuk dirinya makan. Sebab bila gak mendahului tak akan kebagian.

"Sebenarnya aku ini siapa sih? gini amat ya nasib ku ini?" batin Rasya diakhiri dengan senyuman getir di bibirnya.

Dengan mata terus bergerak melihat ke arah pintu. Rasya makan terburu-buru, takut ketauan orang-orang rumah.

"Rasya? bawakan aku minum ke kamar." Pekik Vera.

"I-iya, Kak." Rasya buru-buru menghabiskan makannya dengan susah payah. Sehingga sulit untuk menelan.

Buru-buru mengambil air buat Vera dan dengan cepat dibawakannya ke kamar.

"Lelet amat sih? di panggil dari tadi juga," dengus Vera sambil sibuk dengan layar ponselnya.

Rasya simpan di meja, dan langsung meninggalkannya. Baru saja tiga langkah. Vera kembali memekik membuat langkah Rasya terhenti.

"Rasya, bukan air putih yang aku pinta. Tapi jus, gak dengar apa? punya telinga itu di pasang baik-baik, dasar anak bodoh. Disuruh gitu aja gak benar."

Kata-kata Vera yang kurang mengenakan hati, cukup Rasya telan walau menyakitkan. "Tapi, tadi gak bilang gitu Kak."

"A ... h, alasan kamu saja. Ganti lagi, gak pake lama haus nih." Jelas Vera sedikit membentak, dengan mata membulat.

"I-iya, Kak." Rasya mau mengambil gelas yang tadi dari meja mau ia bawa kembali. Namun kakinya menyandung kaki Vera, membuat Rasya terjatuh.

Jelas membuat Vera tambah marah. Rasya yang tersungkur di siram air putih oleh Vera. "Dasar gak punya mata. Mata di simpan di dengkul kali ya? sudah tahu ada kaki ku, pasang tuh mata."

"Ma-maaf Kak maaf." Rasya menunduk dalam. Tangannya mengusap wajah yang basah.

"Cepetan keringkan itu lantai. Dan jangan lupa bawakan saya air minum jus." Pinta Vera dengan mata semakin membulat sempurna.

Rasya berdiri dan mengambil gelas. Dibawanya ke dapur, sebelum ke dapur ia bertemu dengan sang ibu yang menatap begitu intens.

"Kenapa kamu? kepala mu basah begitu? habis mandi apa?" tanya Bu Karsih dengan nada datar.

"Itu, disiram kak Vera Bu," jawab Rasya sambil menunduk.

Dengan tatapan tajam. "Makanya jangan bikin kesalahan terus." Kemudian melengos pergi.

Rasya hanya bengong di tempat. Ia langkahkan lagi kedua kakinya dengan menghela napas panjang. Rasya mengambil air juse buat Vera dan membawa kain lap.

Ketika makan malam, semuanya sudah berkumpul di meja makan, kecuali Rasya yang masih berkutat dengan setrikaan. Bahkan Cucian baju bekas sore pun menumpuk, menunggu uluran tangan dari Rasya.

Semuanya selesai makan dan satu persatu meninggalkan bekas makannya. Rasya memutar badan menghampiri meja makan menu yang tersisa, cuma ada tahu dan tumis toge saja. Ikan goreng tinggal duri dan kepalanya, rendang telor pun tinggal mangkuknya.

Rasya menggeleng, untung tadi ia ngambil dan rasain duluan. Jadi gak penasaran walau sekarang kehabisan juga. Tangannya dengan cekatan membereskan meja makan, merapikan. Kemudian ia mengambil untuk dirinya makan, mengulangi yang tadi terburu-buru.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22. Rasya baru selesai mencuci. Buat di jemur besok pagi-pagi.

"Huam ... ngantuk ya Allah ..." gumam Rasya sembari menutup mulutnya.

Rasya mengecek pintu dan jendela, takut lupa ngunci. Melirik sang ayah dan ibunya sudah bersiap tuk tidur. Rasa pun masuk ke kamarnya yang seperti gudang itu. Gimana gak seperti gudang? kalau ada barang yang gak terpakai itu pasti dimasukan ke kamar Rasya.

Rasya membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang keras. Jauh dari kata empuk. Namun meskipun begitu Rasya tak butuh waktu lama untuk memejamkan matanya yang sudah terlalu lelah bila harus terus terbuka.

Merehatkan semua anggota tubuh yang sedari pagi buka beraktifitas. Bahkan mengistirahatkan hati yang ikutan capek.

Sebelumnya melamun dan membayangkan bertemu sang pangeran, yang akan mengangkat derajat hidupnya, pangeran tampan yang menjadi rebutan para wanita namun hanya Rasya yang mendapatkan hatinya. Wah ... alangkah bahagianya, bibir Rasya tersenyum dengan mata yang terpejam. Akhirnya ia terlelap dan menjemput mimpinya.

Sekitar pukul 04. Dini hari, Rasya dah bangun untuk menyiapkan sarapan. Belum lagi ada yang minta di masakin air hangat untuk mandi.

Pagi-pagi gini Rasya suka riweh. Melayani anggota keluarganya, yang minta ini dan itu. Belum lagi dibuat salah, dan lagi-lagi yang salah itu pasti Rasya. Rasya juga yang kena sasarannya.

"Huh ... lelet, cepetan dong. lemot amat." Kata Murni tersenyum puas.

"Maaf Kak?" Rasya menunduk lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Rasya, ini uang belanja hari ini. Jangan lupa sama bahan kuenya. Ada pesanan 300 biji kue basah. Harus siap siang pukul 13,00." Kata bu Karsih pada Rasya yang memperhatikan perintah sang ibu.

"Iya, Bu." Rasa mengangguk dan mengambil uang yang diberikan sang ibu.

Waktunya sarapan, semua sudah berkumpul di meja makan. "Mana nasi goreng ku?" tanya Vera.

"Iya, bentar Kak masih di bikinkan!" sahut Rasya.

"Huuh ... lama banget." Ketus Vera.

"Ini sudah siap Kak," ucap Rasya menyuguhkan sepiring nasi goreng kepada Vera.

"Sayur bayam punya ku mana?" Murni menatap Rasya.

"Oh, bentar Kak!" Rasya mengambil dari dekat kompor, kemudian ia bawa ke depannya Murni.

"Bapak bikinkan teh panas." pinta pak Muhidin.

"Baik, Pak." Rasya mengangguk. Mundur dari dekat meja makan.

Setelah semuanya pergi. Barulah Rasya bisa bernapas lega, dan sedikit bisa beristirahat sebentar. Walau masih banyak kerjaan yang menunggu uluran tangannya itu ....

****

Semoga suka dan tinggalkan jejaknya.

Bab 3 Kue basah

Suatu siang. Rasya mengantar kue ke toko sang bunda. Ia berjalan dengan gontai, dari mobil ada yang memanggil.

"Hi ... Mbak jualan apa tuh?" tanya seorang pria yang duduk di depan mungkin sambil mengemudi mobil mewah.

"Sa-saya? Anda panggil saya bukan?" menunjuk hidung nya.

"Iya, kamu. Jualan apa saya lapar nih," sambung nya pria itu.

"Oh ini, kue basah. Mas kalau mau beli aja di tokonya di depan. Saya mau mengantar ke sana Mas." Rasya menunjuk ke arah depan.

"Aduh ... Mbak. Saya maunya sekarang apa bedanya Mbak? di sana di jual di sini pun di jual." Pria itu turun dan menghampiri Rasya. Mengamati makanan yang dia bawa.

Rasya menggaruk tengkuknya sambil nyengir. "Iya juga sih."

"Nah. Saya mau kue lapis dan dadar gulung, semua 50rb." Pria itu memberikan uangnya.

Rasya membungkus apa yang pria muda itu pinta. "Ini Mas. Makasih?"

Pria tersebut pergi memasuki mobilnya kembali melaju meninggalkan tempat tersebut.

Rasya bergegas melanjutkan langkahnya dengan wajah yang sumringah belum juga sampai ke toko sudah dapat duit. "Alhamdulillah ya Allah."

Sesampainya di toko. "Bu, ini kue nya." Rasya menyimpan di tempatnya. Sekalian di tata yang rapi.

"Lho Kok sedikit? kemana sebagian lagi? saya minta 300 biji, ini kurang kamu makan ya?" kata sang bunda sambil melotot dan nada yang tinggi.

Wajah Rasya sangat ketakutan. "Ti-tidak, Bu. Aku gak makan, maaf Bu, tadi di jalan ada yang beli dan i-ini uangnya." Gadis itu mengeluarkan selembar uang dari saku nya.

"Apa, kau jual? siapa suruh kau jual anak bodoh ha ..." sang bunda menjewer kuping Rasya. Membuat dia memekik sakit.

"Sakit, Bu. Maafkan aku Bu." Rasya menangis.

Murni dan Vera muncul dari toko pakaian. "Ada apa Bu? ribut!"

"Ini si Rasya pesanan orang di jual di jalan. Siapa yang gak jengkel coba?" sahut ibunya.

"Hem, dasar anak gila." Gumam Murni pada Rasya yang bersimpuh di lantai wajahnya basah.

"Permisi!" seorang ibu-ibu datang pada ibunya Rasya.

"Oh, ibu. Mau ngambil pesanannya ya? sebentar ya saya kantongi dulu." Dengan ramahnya.

"Maaf Bu, maaf banget. Pesannya gak jadi, sebab acaranya gak jadi sore ini. Maaf banget ya Bu." Si ibu itu merasa tidak enak.

"Tidak jadi?" Bu Karsih lesu. Di balas dengan anggukan oleh tamunya.

Ibunya Rasya tertegun, rasa kesal dan marah bercampur menjadi satu. Namun ia mencoba tetap ramah. "Oh yo wes. Ndak pa-pa."

"Sekali lagi saya mohon maaf, permisi?" kemudian pergi setelah di balas anggukan oleh pemilik toko.

Brak!

Memukul meja. "Ini semua gara-gara kamu anak pembawa sial. Anak gila! gara-gara kamu jual di jalan sehingga yang pesan membatalkan pesanannya.

Rasa ketakutan. "Ta-tapi gak ada hubungannya dengan yang di jalan Bu. Mereka ndak tahu apa-apa!"

"Diam! saya tak minta kamu memberi pendapat," bentak ibunya.

Rasya terkesiap. Menoleh pada kedua kakak nya yang malah ikut mencibir dan terdengar jelas dari bibirnya.

"Mampus lho." Mereka tampak geram. Membuat Rasya stres kepalanya menggeleng.

Kemudian Rasya pergi dari toko buat pulang. Cuaca mulai gelap sepertinya mau hujan, Rasya berlari menelusuri jalanan. Supaya segera sampai dan banyak jemuran di rumah takut kehujanan.

Benar saja. Sesampainya di rumah hujan turun begitu deras mengguyur bumi yang sudah beberapa hari ini tidak mendapat kucuran air. Napas Rasya ngos-ngosan, capek dari toko berlarian belum lagi di rumah mengambil jemuran yang menggunung menanti suhu panasnya setrikaan.

Dadanya naik turun saking capeknya. Mengambil segelas air putih dan meneguknya sampai tandas.

...---...

"Ubai, makan apa tuh? bagi dong." Pinta seorang pria yang wajahnya tak kalah tampan dari Lee Min-ho.

"Oh, Tuan mau. Boleh, tapi ini cuma jajanan pasar Tuan muda." Ubai menyodorkan makanan yang tadi ia beli dari Rasya.

"Enak. Di luar Negeri makanan semacam ini tidak ada." Gumam pria itu, dia tinggal di Indonesia untuk meneruskan usaha orang taunya. Selama ini dia tinggal di luar Negeri bersama kakeknya dan sudah saatnya ia kembali dan mengambil alih tanggung jawab dari orang tua.

Pria tinggi dan tampan itu memiliki nama lengkap Samudra Wijaya. Blasteran Indo dan Korea wajar kalau wajahnya pun mirip-mirip Lee Min-ho.

Ubai menoleh kantong yang tadi berisi makanan di meja itu. Namun cuma tersisa kantongnya saja. Ia tersenyum dan menoleh pada majikannya yang begitu lahap makan sambil berkutat dengan laptopnya.

Tanpa menoleh tangan Samudra mau mengambil lagi makanan yang memang sudah habis. "Lho kok habis?"

Ubai menyeringai dan mengambil kantong tersebut ia buang ke tong sampah. "Habis Tuan. Enak ya?"

"Lumayan." Singkat.

"Beli lagi dong sekalian buat hidangan nanti sore meeting." Menoleh ke arah Ubai yang sedang sibuk dengan berkata di tangannya.

"Baik, Tuan muda. Saya nanti membeli lagi," balasnya Ubai

Ubaidilah, itu nama lengkap Ubai. Asisten pribadi Samudra, yang ditunjuk sang ayah untuk menemani Samudra putra dari salah satu pengusaha migas, Sunyoto Wijaya. Ubai pria berusia 28 tahun yang lebih muda usianya dari Samudra yang yang sudah menginjak usia 29 tahun. Dia tak kalah tampan dari Bosnya Samudra.

Ubai kembali ke kantor cabang dengan membawa sebuah kantong yang berisi jajan pasar seperti yang tadi mereka makan.

"Tuan muda, saya sudah membeli kue yang tadi banyak sekalian buat hidangan meeting bukan?" Ubai menatap Bosnya.

Samudra menoleh dan mengangguk. Kemudian melakukan vc dengan kekasihnya yang keturunan Indo Jerman yang bernama Karen.

"Sudah makan belum sayang?" tanya Samudra pada sang kekasih.

"Belum sayang, kangen nih kapan kau balik ke Jakarta lagi?" balas Karen.

"Em ... kapan Bai?" mengalihkan pandangan pada Ubai yang duduk di pojokan.

"Ha? balik ... sekitar dua - tiga hari lagi."

"Oh, kalau gak dua hari berarti tiga hari lagi. Saya balik ke Jakarta. Sudah dulu ya? mau siap-siap meeting, muach sayang." Samudra memberikan ciuman jauhnya.

Tut Tut Tut ....

"Siapkan semuanya?" Samudra melempar tatapan pada sang asisten pribadinya.

"Siap, Tuan muda." Keduanya berjalan begitu gagah dan menebarkan pesonanya, membuat para wanita klepek-klepek dan mengagumi kedua pria itu.

"Wah ... semakin hari aku lihat kedua bos kita itu semakin tampan Akh ... aku bisa gila memikirkan nya."

"Iya aku sangat mengagumi Bos kita itu. Aku tergila-gila dibuatnya." Bisik sebagian karyawan wanita di sana.

Kedua pria itu cuma tersenyum dalam menanggapi nya. Mereka berdua memasuki ruang rapat yang baru ada beberapa orang yang hadir di sana.

Samudra dan Ubai duduk tidak jauh, berangsur orang-orang berkumpul meeting pun di mulai.

Diawali dengan pembahasan masalah-masalah yang sering ada serta pandangan dan saran buat kemajuan perusahaan. Samudra sebagai CEO muda memohon bantuan dan dukungan agar ia mampu membawa perusahaan khususnya cabang yang ada di kota ini semakin maju.

Setelah penutupan Samudra mencicipi kue di meja namun tak sampai ia menelannya, ia pura ke toilet untuk membuang apa yang sudah terlanjur ada di mulutnya.

"Oo." Membuang yang ada di dalam mulutnya. "Apaan gak enak banget."

Apa yang di makan kali ini beda banget dengan yang dia makan tadi siang sangat jauh berbeda ....

****

Hai ... Rasya Hadi lagi nih, apa ada yang menunggu up nya novel ini. Oke jangan lupa like & komentarnya. Makasih🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!