“Mama…tapek akuuu” Rengek suara imut di
dalam gendongannya. Pipi cabbynya menggembung sehingga memunculkan wajah yang
sangat menggemaskan. Raya tertawa gemas seraya mencubit pipi putrinya.
“Padahal Hanum selalu gendong mama lho,
dimana capeknya coba” Kata Raya memandang putrinya.
“Lapel mama…” Kata gadis kecil itu
dengan wajah melas seraya mengelus perutnya yang bahkan kelihatan buncit walau
sedang dalam keadaan lapar.
“Huh, makan aja yang di duluin, nih
kakak aja masih dapat satu baju, iya adek udah banyak…noh” Protes Titania
seraya mengangkat paper bag di tangannya yang berisi pakaian Hanum. Gadis kecil
itu hanya meringis dan hampir menangis.
“Pi Anium lapel mama…” Matanya sudah
berkaca-kaca. Raya jadi tidak tega melihatnya.
“Iya..iya, baiklah kita istirahat cari
makan dulu ya, Kakak Tita nanti dilanjut lagi cari bajunya, ya…” Raya menengahi
perdebatan kedua putrinya. Titania mengangguk dan mengikuti Raya menuju sebuah
kafe yang ada di dalam mall.
Mereka hari ini memang berjalan-jalan
untuk membeli perlengkapan sehari-hari, karena mereka baru pindah dan kebutuhan
rumah tangga juga belum dipenuhi. Raya membeli sebuah rumah tinggal dengan tiga
kamar tidur lengkap dengan kamar mandi dalam, dapur, dan satu kamar mandi luar.
Perlengkapan rumah tangga masih kosong, sehingga ia mengajak kedua putrinya
mencari perlengkapan rumah tangga sekalian baju untuk kedua putrinya.
Dan di sinilah mereka, di sebuah kafe
di dalam mall yang mereka kunjungi. Hanum bersenandung riang di tempat duduknya.
Ia menunggu pesanannya dengan tidak sabar.
“Tak napa lama” Rengeknya pada
kakaknya.
“Ish…sabar dulu napa, ini juga masih di
masak kali” Kata Titania ketus. Raya hanya menggeleng menyaksikan perdebatan
kedua putrinya. Titania memang sifatnya ceplas ceplos cenderung judes, mirip
banget sama sifat Ervin papanya. Tapi itu tidak sungguh-sungguh ketika bersama
keluarganya.
“Mama…” Rengek Hanum menatap Raya.
Wanita itu mengelus kepala Hanum sayang.
“Iya, sabar ya, sebentar lagi pesenan
Hanum datang…” Baru menghibur putri kecilnya, hidangan mereka datang. Mata Hanum
langsung melebar berbinar. Tersaji hidangan di meja dengan tertata apik, sup
bola daging, nugget ayam, sosis bakar kecap kesukaan Hanum, ayam kremes dan
omelet telur dan sayuran kesukaan Titania, minumannya ada es krim vanilla
kesukaan Hanum, dan capcin kesukaan Titania, sementara Raya hanya memesan es
kelapa muda. Raya menyiapkan sepiring nasi dengan lauk yang di tata rapi di
sebelah nasi. Hebatnya Hanum tidak mau di suapi, ia bilang bahwa ia sudah gede
tidak mau manja. Hal itu membuat Raya merasa bersyukur. Raya hendak menyiapkan
nasi juga untuk Titania, namun langsung ditolak dengan cuek.
“Aku bisa sendiri Ma…” Raya tersenyum
kemudian mengelus kepala Titania. Ia menyaksikan kedua putrinya makan dengan
lahap, sesekali Raya akan menghapus noda saus di sekitar bibir dan pipi Hanum.
.
.
Tok
Tok
Laki-laki gagah itu memutar hendel
pintu dan mendorong pintu memasuki ruangan bernuansa kalem nan sejuk. Tampak
seorang pria sedang duduk di kursi kebesarannya tanpa merasa terganggu dengan
keberadaan seseorang yang masuk. Karena ia tahu siapa yang memasuki ruangannya,
sehingga ia tetap fokus pada laptop di depannya.
“Tuan, meeting dengan perusahaan
Nirwana Raya sudah siap” Kata pria itu yang membuat laki-laki serius itu
mendongak menatapnya, kemudian mengangguk. Ia menyelesaikan ketikannya sekilas
kemudian berdiri meraih jas yang tersampir di sandaran kursinya.
“Je, kau atur nanti baiknya kerja sama
itu, aku mau tahunya beres.” Perintah atasannya.
“Baik Tuan, Anda tidak perlu
mengeluarkan suara sedikitpun”
“Bagus” Mereka keluar meninggalkan
ruangan kantor menuju lift eksklusif khusus presdir dan berlalu menuju tempat
parkir.
Asisten Je melajukan mobil dengan
kecepatan sedang merambah lalu lintas kota yang mulai padat. Mereka akan
bertemu dengan klien di restoran Chines Food, restoran yang memang menyediakan
tempat khusus bagi pertemuan para pebisnis untuk membangun jaringan bisnis.
Mereka tiba di lokasi bertepatan dengan
klien yang sama-sama ingin masuk ke dalam, sehingga klien itu mempersilahkan Alvero
dan Asisten Je masuk terlebih dahulu. Kedua pria gagah itu memasuki restoran di
ikuti oleh pria paruh baya dan sekretarisnya seorang wanita dengan dandanan
menor dan pakaian yang kurang bahan. Namun, kedua pria di depan tidak pernah menghiraukan
keberadaan sekretaris itu.
Mereka memasuki ruangan VVIP yang sudah
dipesan, dengan hidangan yang langsung disajikan begitu mereka duduk.
“Baik Tuan Haryo, apa yang bisa Anda
tawarkan agar kami bersedia bekerja sama dengan perusahaan Anda?” Tanya Asisten
Je langsung pada pokok bahasan. Baginya basa-basi sesuatu yang muluk-muluk dan
membuang-buang waktu.
Haryo, laki-laki paruh baya itu melirik
sekretarisnya untuk memulai rencananya memuluskan kerja sama tersebut.
Sekretaris itu berdiri dengan gaya yang di buat seksi bahkan ia berusaha
merendahkan dadanya untuk menarik perhatian kedua pria tersebut.
“Lakukan dengan benar Nona kalau ingin
kerja sama lancar!” Sentak Asisten Je tajam membuat sekretaris itu langsung
pucat pasi.
“Ba..baik Tuan” Sekretaris Rina
langsung memulai presentasinya dengan gugup, sesekali ia melirik ke arah
Asisten Je yang masih tetap berwajah datar. Suasana di ruang VVIP menjadi
mencekam, dua orang pria yang tidak bisa tersentuh dan seorang pria paruh baya
dengan sekretarisnya yang berusaha menyajikan presentasi yang menarik. Harapan
Haryo, ia bisa mengikat perjanjian itu melalui keseksian sekretarisnya. Namun
ternyata hal itu tidak mempengaruhi kedua pria di depan mereka.
Setelah satu jam di lalui dengan cukup
membosankan, akhirnya presentasi berakhir dan cukup membuat Alvero dan Asisten
Je tertarik, namun belum cukup untuk bisa menanamkan investasi yang besar. Mereka
akan menanamkan sahamnya sejumlah 15% saja, walaupun mengecewakan bagi Haryo,
ia tetap menerima dengan senang, dan kesepakatan akan dilakukan di kantor
Alvero. Haryo harus menerima konsekwensi mencari lebih banyak lagi penanam
saham agar perusahaannya tetap bertahan.
Sekretaris Rina mempersilahkan Tuan
Alvero dan Asisten Je menikmati hidangan yang disediakan, sesekali ia
menawarkan hidangan lain pada Asisten Je, tapi pria itu tidak bergeming. Dalam
kesempatan langka itu sekretaris Rina sengaja menyenggolkan tangannya ke tangan
Asisten Je, pria itu langsung wajahnya mengeras penuh kebencian dan jijik, sehingga
ia langsung mengambil handsanityzer dan menyemprotkan berulang-ulang ke
tangannya yang disentuh tadi. Dalam waktu lima detik langsung muncul gatal-gatal
di seluruh tangan dan tubuhnya, ia hanya bisa menahan dengan rasa jijik yang
luar biasa, seakan ia telah terkena bakteri. Alvero mengetahui asistennya
mengalami gatal-gatal tapi tidak mau merusak persepsi orang tentangnya dan
perusahaannya karena memiliki asisten yang mengalami alergi parah, ia langsung
menggebrak meja dengan wajah garang, ia berdiri dan menyeret lengan Asisten Je
kemudian berucap dengan marah.
“Kerja sama batal!” Kedua orang itu
langsung pucat pasi dengan tangan sektetaris Rina yang gemetar ketakutan. Haryo
memandang sekretaris Rina dengan geram.
“Tuan…tolong pertimbangkan lagi” Haryo
memohon seraya menangkupkan kedua tangannya.
“Sekretarismu merusaknya!” Sentak
Alvero tajam tanpa memandang ke arah wanita itu.. Haryo langsung terduduk lemas
tak percaya, kerja sama yang sudah di pegang dalam genggaman tangan dalam waktu
tidak ada lima menit langsung hancur. Ia menatap sekretarisnya nyalang.
“Kenapa kamu membuat masalah hah! Kerja
sama kita gagal, haahhh!” Bentak Haryo marah kemudian pergi meninggalkan
sekretaris Rina yang masih pucat pasi. Haryo kembali berbalik dengan wajah
merah padam.
“Kamu di pecat!” Ucapnya dengan tekanan
kemarahan.
“Tu..tuan…jangan pecat saya…” Hiba
sekretaris Rina. Haryo tidak perduli, dia pergi meninggalkan wanita itu dengan
tergesa. Sekretaris Rina hanya duduk lemas seraya menangis meratapi nasibnya
yang sial. Hilang sudah kemewahan hidup yang selalu diberikan Haryo setiap
harinya, sugar daddynya telah pergi…
Sementara itu Tuan Alvero dan Asisten
Je melaju ke rumah sakit untuk mengobati gatal-gatal yang muncul di tangan
Asisten Je yang menjadi memerah karena terus digaruk dengan kasar begitu sampai
di dalam mobil.
Alvero yang menggantikan menyetir tidak
bisa menghentikan, dia hanya bisa menahan dengan mulutnya untuk tidak di garuk,
tapi tetap percuma karena Asisten Je menggaruk dengan semakin jijik.
“Hei, jangan kau garuk terus, nanti
tambah lecet!” Seru Alvero merasa cemas, ini kali kedua dia menyaksikan gejala
aneh yang muncul di kulit Asisten Je ketika ia bersentuhan dengan seorang
wanita, sampai kinipun ia tidak tahu kenapa laki-laki di sebelahnya begitu
benci dan jijik terhadap wanita. Asisten Je hanya diam dengan tetap menggaruk
tangannya, bahkan kini sudah muncul kemerahan dan terkelupas seperti habis
terbakar.
Mereka tiba di rumah sakit langganannya
dan langsung ditangani dengan segera oleh pihak rumah sakit dengan fasilitas
istimewa.
To Be Continued
Raya dan kedua anaknya meninggalkan
mall setelah selesai berbelanja, Raya telah memesan taksi online sehingga
ketika tiba di luar mall taksi telah siap dan pak sopir membantu membawa barang
belanjaannya yang cukup banyak dan memasukkannya ke bagasi taksi.
“Alamatnya sesuai aplikasi ya Non?”
Tanya pak sopir yang Raya perkirakan berusia 50 tahunan.
“Iya pak, benar” Jawab Raya ramah. Ia
memangku Hanum yang terlihat kelelahan dan mengantuk, sekejap kemudian gadis
kecil itu sudah mendengkur di pangkuan Raya.
Taksi membelah jalan raya dengan
perlahan, karena sore ini jalanan menjadi agak macet, mungkin bertepatan dengan
para pegawai yang mulai pulang dari kantor atau lembaga pendidikan, sehingga
membuat jalanan penuh dengan berbagai kendaraan baik roda dua maupun roda
empat. Raya menatap ke luar jendela sekilas dan melihat sebuah toko emas yang
sangat besar, berbeda dengan toko emas biasanya yang hanya terdiri dari satu ruko
itupun sempit, tapi toko emas itu luar biasa luas, indah dan megah.
“Wah…pak, toko emas itu beda dengan
toko emas yang lain ya pak, tampak paling bagus dan besar” Ucap Raya terkagum.
“O iya Non, itu toko emas yang terbesar
di Kota Malang ini, kalau tidak salah cabangnya ada 10 di seluruh Indonesia
Non, dan ada beberapa juga di luar negeri” Jawab pak sopir.
“Lho, bapak kok tahu?” Tanya Raya
penasaran.
“Iya Non, bapak dulu pernah kerja jadi
sopir di situ, tapi karena usia bapak sudah di atas 50 tahun bapak harus
pensiun Non, dan jadilah sopir taksi ini Non, hehe” Jawab pak sopir seraya
tertawa.
“Emang Non mau cari kerja di situ?
Lebih baik cari yang lain aja Non, kalau pak bos nya baik sih Non, tapi
asistennya Non…ma sya Allah jahatnya Non.”
“Jahat gimana pak? Emang suka bunuh
orang gitu?” Tanya Raya bercanda.
“Eh…Non ini, ya gak sampai bunuh juga
kali Non, cuma asistennya gak mau kalau sekretarisnya wanita, jadi banyak yang
dikeluarkan dari jabatan sekretaris karena hal sepale Non” Cerita pak sopir.
“Maksudnya gimana ya pak?”
“Nggak tahu juga sih Non, cuma ada
rumor yang mengatakan asisten itu alergi perempuan apalagi yang genit Non”
“Ha…ha, alergi perempuan, mana ada itu
pak?” Raya hanya menggeleng tak percaya.
“Oke Non, dah sampai, ini rumahnya kan
Non” Pak sopir menghentikan taksinya di depan sebuah rumah yang tidak terlalu
besar tapi bersih dan indah. Pak sopir membantu mengeluarkan barang belanjaan
dan memasukkan ke rumah, di letakkannya semua barang itu di ruang tamu. Titania
sudah masuk terlebih dahulu, dan Raya keluar dengan menggendong Hanum yang
masih tertidur nyenyak.
“Ini pak uangnya, terima kasih ya…oya
pak boleh minta kartu namanya? Siapa tahu saya butuh taksi biar taksi bapak aja
yang saya carter.” Kata Raya seraya menyerahkan uang lembaran seratus ribu
sebanyak 2 lembar.
“O…boleh sekali Non, sebentar” Pak
sopir menerima uang dari Raya dan kembali ke mobil membuka laci kecil di sisi
kiri setir mobil kemudian menyerahkan kartu nama ke Raya.
“Ini Non kartu nama saya, dan ini
kembaliannya”
“Terima kasih pak, ambil aja pak,
rezeki gak boleh di tolak lho…”
“Waduh…alhamdulillah, terima kasih ya
Non…” Pak sopir bersyukur mendapat penumpang yang baik hati dan ramah seperti
Raya.
Raya memasuki ruang tamu dengan
menggendong Hanum, ia menuju kamar Hanum dan menidurkan putrinya di sana.
Kemudian ia keluar untuk membereskan barang belanjaannya tadi, ternyata Titania
sudah berada di ruang tamu dengan pakaian santainya.
“Wah…sudah selesai mandi Kak Tita?”
“Sudah Ma, ayo Tita bantu apa nih”
“Eh…gak capek?”
“Nggak Ma, biar cepat selesai, pasti
Mama juga capek kan?”
Raya tersenyum memandang putri
sulungnya, walaupun terkadang Titania judes namun ia memiliki sisi yang sangat
baik, ya…ia ringan tangan dalam membantu keperluan mamanya. Ia tumbuh menjadi
gadis remaja yang masih dalam tahap wajar.
Raya sangat bersyukur, perceraian orang
tuanya tidak membuat Titania melakukan pelarian kepada hal-hal yang buruk. Ia
lebih suka menghabiskan harinya di kamar dengan belajar, dan itu dibuktikan
dengan setiap semester ia selalu mendapat ranking satu pararel, itu menunjukkan
semangat hidupnya tetap baik.
Hubungan dengan papanya juga sangat
baik, pun ibu sambungnya juga sangat menyayangi Titania, bahkan Hanum menjadi
prioritas ibu sambungnya karena kelucuan dan menggemaskannya gadis kecil yang
sudah bisa bicara cerewet saat usianya 2 tahun. Mereka hanya memiliki dua putra
sehingga mereka mencurahkan kasih sayangnya juga untuk Titania dan Hanum
selayaknya putri mereka sendiri.
Keluarga mantan suaminya itu merasa
trenyuh dengan gadis kecil yang sudah ditinggal oleh ayahnya itu, namun ketika
Raya berencana pindah ke Kota Malang, keluarga besar Ervin sebenarnya
menyayangkan itu, tapi keputusan Raya untuk mengubur kenangan indah bersama
Revian suaminya menyebabkan keluarga besar Ervin menyetujuinya.
Keluarga Raya dan keluarga besar Revian
juga berat melepas anak perempuan mereka di kota yang tidak ada satupun
keluarga di sana, tapi Raya mampu meyakinkan mereka semua bahwa mereka akan
baik-baik saja di tanah rantauan. Dan di sinilah dia dan kedua putrinya akan
menghabiskan hari-harinya, di rumah yang indah dan asri walaupun tidak semegah
rumahnya waktu di Jakarta dulu.
“Baiklah, kita mulai dari membawa alat
masak dulu ya, baru setelah itu yang berat-berat”
“Oke Ma”
Mereka mulai menata peralatan yang tadi
dibeli mulai dari area dapur, pindah ke kamar Titania yang dilengkapi dengan
meja kaca rias kecil, untungnya pemilik rumah dulu menjualnya lengkap dengan
perabotan besar, seperti kasur, almari, meja makan dan kursi serta sofa di
ruang tamu. Jadi Raya hanya melengkapi perlengkapan yang kecil saja. Untuk
mesin cuci sementara mereka menggunakan jasa laundry sampai mereka sempat
membeli mesin cuci.
“Akh….akhirnya selesai juga, capek juga
Ma”
“He-em, ya sudah Kak Tita istirahat aja
dulu, urusan bersih-bersih biar mama aja.”
“Ya deh Ma, kalau urusan bersih-bersih
Tita paling anti” Kata Titania seraya nyengir kuda yang mendapat gelengan
kepala dari Raya. Pekerjaan bersih-bersih cepat selesai karena biang rusuh
masih tertidur dengan pulasnya. Raya pun membersihkan dirinya di kamar mandi,
kemudian mulai memasak untuk makan malam.
Raya Pov
Cuitan burung membangunkanku dari alam
mimpi. Dengan malas aku menggeliatkan badanku sambil mengumpulkan kesadaranku
yang tercecer. Perlahan aku bangun, kupandangi kamar yang kutiduri tadi malam
sangat jauh jika dibandingkan dengan istana tempat tinggal kami dulu sebelum
Mas Revian meninggal. Dengan terpaksa rumah itu aku kembalikan kepada mertuaku,
walau mereka menyerahkan semuanya padaku, tapi aku ingin merekalah yang merawat
peninggalan Mas Revian, aku tidak sanggup untuk hidup terus di rumah yang banyak
kenangan indah bersamanya. Orang tua Mas Revian akhirnya menyetujui merawat
rumah itu dan merelakan menantu serta cucu mereka hidup di tanah rantauan.
Uang warisan dari Mas Revian sebenarnya
juga sangat banyak jika untuk membeli rumah yang sangat besar, hanya aku tidak
ingin hidup mewah dan foya-foya, aku masih harus memikirkan kedua putriku yang
masih membutuhkan biaya yang sangat banyak. Kalau mengandalkan uang warisan
saja, suatu saat pastilah uang itu akan habis, jadi aku memutuskan membeli
rumah yang tidak terlalu besar tapi nyaman untuk tempat tinggal kami. Kedua
putrinya juga tidak mempersalahkan hal itu asalkan mereka masih tetap bisa
bersama.
Jam sudah menunjukkan pukul 05.00
setelah aku membersihkan diri dan sholat subuh, serta membangunkan Titania dan
Hanum, aku bersiap untuk jogging, olahraga yang memang sudah rutin aku lakukan
sejak SMA, bahkan Mas Revian juga sering mengajakku jogging ke taman
menghabiskan pagi bersamanya. Dan hari ini aku memulai kembali rutinitas
joggingku, yang memang membuat tubuh sehat, segar, bugar, dan keadaan tubuhku
yang selalu ideal, walaupun umurku sudah 32 tahun, tapi aku masih merasa sangat
energik. Aku tertawa sendiri di kamar seraya memandangi postur tubuhku di
cermin.
Aku keluar dari kamar dan ku lihat
Titania dan Hanum sudah berdiri di depan kamarku lengkap dengan pakaian
olahraga juga. Aku sampai terkejut dengan keberadaan mereka.
“Lho
Kak Tita sama Dedek tumben pakai baju olahraga?” Tanyaku seraya mengelus kepala
kedua putriku kemudian mencium kening mereka bergantian.
“Aku mau ikut lali cama Mama cama Tak
Tita…” Kata Hanum ceria.
“Wah…bolehlah, Mama jadi ada teman nih,
ndak kesepian lagi kalau lari pagi”
“Pi anti bli bubuliyam ya Mama” Kata
Hanum dengan kata-kata yang masih belum jelas.
“Ngomong tuh yang jelas Dek, jadi Mama
ngerti” Sahut Titania judes.
“Iya, Mama ngerti kok, bubur ayam kan?”
Tanyaku tersenyum, Hanum meledek kakaknya dengan memeletkan lidahnya.
“Dasar bocil!”
“Kakak…” Peringatku memandang putri
sulungku, karena aku menekankan kepada mereka jangan suka memanggil dengan nama
yang tidak bagus, gadis remaja itu hanya tersenyum manyun.
“Dah yuk mulai lari paginya” Ajakku
kepada kedua putriku yang langsung keluar begitu aku membuka pintu.
Kami lari pagi mengelilingi komplek
perumahan dengan diiringi celotehan Hanum yang tidak pernah berhenti. Dan
ternyata banyak juga bapak ibu dan remaja yang lari pagi di minggu pagi ini.
Asyik berlari, tak lama ada seseorang yang membalap kami, seorang laki-laki
dengan perawakan gagah dengan tubuh atletis, walaupun aku tidak melihat
wajahnya, ku yakin ia laki-laki tampan. Haha…apa sih…
Kami sudah lari cukup jauh dari rumah
dan ku lihat Hanum juga sudah mulai kelelahan, gadis kecilku itu sudah merengek
minta berhenti. Kami berhenti tepat di taman perumahan yang ternyata
menyediakan aneka jajanan dan makanan di pinggir taman. Hanum mengajakku ke
tempat penjual bubur ayam. Hanum dan Mas Revian memang penyuka bubur ayam,
sementara aku dan Titania sangat menyukai mashed potato yang berbahan dasar
kentang, susu cair, dan keju. Sayangnya di taman ini tidak ada yang menjual
makanan jenis itu, akhirnya kami bertiga menikmati bubur ayam di pagi hari.
Raya Pov End
Setelah puas makan bubur ayam mereka
bertiga kembali pulang ke rumah, dan ketika akan memasuki rumah, seorang ibu
memanggil Raya. Wanita itu menoleh tersenyum ramah.
“Neng baru pindah ya…” Sapa ibu yang
bertubuh agak gendut itu.
“Iya bu, salam kenal saya Raya…, kami
baru pindah seminggu yang lalu”
“O ya, kenalin saya Bu Nanik, semoga
betah tinggal di kompleks perumahan ini ya”
“Ah…iya bu terima kasih”
“Eh…tapi Neng Raya hanya tinggal
bertiga saja sepertinya…” Tanya Bu Nanik heran.
Raya tersenyum canggung, ini yang ia
khawatirkan kalau mereka sudah bertanya tentang statusnya.
“Iya bu, suami saya meninggal satu
tahun yang lalu…”
“Ooo innalillahi wainna ilaihi
roojiuun, maaf ya Neng, ibu nggak tahu…”
“Iya bu nggak papa, oya, boleh Raya
masuk dulu bu?” Pamitnya mulai merasa tidak nyaman.
“O iya, silahkan Neng, sekali lagi ibu
minta maaf ya Neng” Kata Bu Nanik merasa bersalah.
“Iya bu nggak papa, mari bu…” Raya
pamit masuk dan menutup pintu dengan rapat. Ia menghela nafas sejenak seraya
memejamkan matanya, “Ya Allah, kuatkanlah hamba menghadapi ujian mu ini Ya
Allah…” Lirihnya di iringi dengan lelehan air matanya ke pipinya. Wanita itu
terkejut ketika ada yang menyentuh tangannya. Dilihatnya Titania sudah berdiri
di depannya dengan wajah yang sendu.
“Mama jangan sedih ya, kita pasti bisa
melewati ini semua” Kata Titania menghibur Raya. Wanita itu memeluk putrinya
dengan erat seraya tersenyum. Ia merasa bersyukur memiliki putri yang sangat
mengerti akan keadaan dirinya.
“Iya…kita baru memulai ini, jadi harus
semangat” Raya melepas pelukannya dan mencium kening putrinya sayang.
“Yum aku dugak Mama” Tarik Hanum di
baju Raya. Wanita itu segera berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi
putri kecilnya.
“Ehmmm sini..sini..pipinya Mama cium,
muah…muah” Gadis kecil itu tertawa kegirangan bahkan kegelian dengan ciuman
Raya, Titania juga ikut menggoda dengan mengacak-acak rambut Hanum.
“Lucak tak ini…” Hanum memperbaiki rambutnya yang
membuat Raya dan Titania tertawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!