NovelToon NovelToon

The controller

The controller I

Bunyi music menjadi pengiring di sebuah mobil yang tengah melaju dengan sedang, di dalam mobil tersebut terdapat tiga orang, seorang anak balita yang tampak baru berumur enam tahun, dan orang tuanya. Mereka tampak begitu sangat berbahagia.

Perjalanan ini cukup di tunggu tunggu keluarga tersebut, pasalnya cukup sulit utuk mengambil cuti liburan bersama, pasalnya mereka cukup sibuk sebagai anggota PNS.

Ayah anak itu merupakan seorang anggota polisi yang memiliki jabatan cukup tinggi. Tugasnya adalah untuk membuka dan menyelidiki kasus yang cukup berbahaya. Sementara ibunya juga merupakan seorang anggota detektif swasta. Ibunya cukup banyak membantu pekerjaan ibunya, karena mereka terkadang sering dalam kasus yang sama.

Seperti saat ini mereka berdua tengah mengerjakan kasus yang sama, sebagai seorang penyidik dan anggota detektif swasta. Namun saat ini mereka memilih untuk pergi berlibur. Bukan melalaikan tugas, namun sebenarnya mereka saat ini tengah melarikan diri dari marabahaya, yang kemungkinan akan membahayakan nyawa mereka. Terlebih anak mereka masih kecil, di khawatirkan mereka akan menjadikan anak mereka sebagai target.

“Ayah sebenarnya kita akan berlbur di mana kali ini?” Anak itu tampak begitu aktif berjoget mengikuti music anak anak yang tengah mereka putar saat ini sebagai pengiring liburan keluarga katanya.

“Ke suatu tempat yang amat sangat bagus, kamu pasti tidak akan lupa akan hal tersebut,” ujar sang ayah terkekh melirik anaknya yang tampak begitu bahagia di bangku penumpang belakang.

Sang ibu yang melihat senyum suaminya ikut tersenyum, ia jelas ahu bahwa itu hanya senyum palsu untuk mengelabui anaknya. Wanita itu masih ingat semalam suaminya bercerita tentang

perintah untuk menghentikan kasus tersebut. Namun wanita itu jelas tahu watak suaminya yang amat sangat keras kepala, menjunjung tinggi sumpahnya. Melindungi rakyat dan selalu betindak dengan kebenaran. Wanita itu tidak mempermasalahkan justru ia mendukung tindakan suaminya.

Karena baginya, suaminya itu merupakan orang yang jujur, bijak sana dan selalu menjunjung tinggi atas janji yang ia buat.

Bukan tanpa alasan mereka di perintahkan untuk menghentikan penyelidikan kasus tesebut, mereka tahu benar pasti ini yang terlibat adalah seorang petinggi bahkan mungkin saja melibatkan tubuh pemerintahan. Bukan sekali dua kali mereka menemukan kasus seperti ini, namun sudah berkali kali mereka menemukannya. Lagi lagi masyarakat yang tidak bersalah yang menjadi korbannya. Dan para pelaku di pastikan saat ini masih bersantai serta menikmati udara bebas di luar sana. Sungguh ironi, namun mau di kata apa lagi, saat ini yang berkuasa jelas bukan lagi keadilan, namun harta, tahta dan kelemahan.

“Tempat ini akan sangat menyenangkan, dan pasti tak akan pernah terlupakan oleh kamu,” ujar wanita itu ke pada anak laki lakinya yang ada di belakang.

“Yey… akhirnya aku punya cerita ketika sedang berkumpul dengan teman teman ku,” sorak anak tersebut.

“Memangnya mereka bercerita apa saja?”

Wanita itu segera memutar tubuhnya menghadap ke arah bocah laki laki tersebut.

“Mereka selalu bercerita berlibur ke rumah nenek ku,” ujarnya polos.

Tawa mereka terdengar begitu menyenangkan di dalam mobil sana, mereka tampak berbagi cerita menyenangkan. Terutama bocah laki laki yang tengah berbahagia tersebut, ia

mengeluarkan celotehannya sepanjang perjalanan.

Namun pembicaraan mereka terhenti kala sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel ayahnya. Laki laki itu tersenyum kea rah istrinya, kode meminta agar istrinya melihat siapa penelpon tersebut.

“Ambo?”

Wanita itu jelas mengerutkan keningnya, jelas jelas mereka berjanji untuk tidak saling menghubungi hingga akhirnya situasi dinyatakan sedikit aman untuk kembali ke ibu kota.

“Angkat,” ujar laki laki itu juga ikut mengerutkan keningnya. Jelas setelah adanya pemaksaan pemberhentian kasus tersebut dan mereka memaksa untuk tetap menyelidikinya, mereka menduga akan adanya sebuah konspirasi yang mungkin akan mencelakai keluarga mereka.

Karena itu mereka segera mengajukan cuti dan berpura pura menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Namun ini aneh, tiba tiba rekan kerja sekaligus sahabatnya itu menghubunginya. Pasti ada sesuatu yang sangat amat penting, sehingga laki laki itu menghubunginya.

...……..

...

Sementara di tempat lain, seorang laki laki terus di kejar beberapa orang misterius. Laki laki itu terus mencoba menghindari tembakan dari beberapa orang misterius tersebut. Saat tiba di sebuah bangunan kosong di samping sungai yang cukup mengalir dengan sangat deras, laki laki itu bersembunyi, dengan mencoba menahan sakit dari timah panas yang bersarang tepat di kakinya. Laki laki itu terus mencoba menghubungi rekannya.

“Halo kalian saat ini harus berhati hati,” ucapan pertama yang keluar dari bibir pria tersebut. "Aku rasa waktu ku tak akan lama lagi, mereka benar benar mengincar kita berdua.”

Baru saja ia mengatakan hal tersebut, persembunyiannya di ketahui oleh orang orang orang tersebut. Sehingga laki laki itu kembali berlari menghindari kejaran yang di sinyalir merupakan para penyedia pem*bu*nuh bayaran. Baru saja ia berlari punggungnya kembali di tembak.

“Agh…” teriakan itu terdengar begitu menyakitkan hingga di ujung sebrang telfon sana. Dimana dirinya masih menggenggam erat ponselnya.Laki laki itu terhuyung kea rah depan.

Byur…

Tubuhnya terjatuh dari atas gedung kosong tersebut hingga di sambut oleh derasnya arus sungai yang mengalir. “Aku harap degan kepergian diriku, maka setidaknya tidak akan membawa pergi kebenaran yang aku pegang,” gumam lelaki tersebut. Ponselnya terlepas bersamaan dengan dirinya yang juga ikut memejamkan mata karena tak kuat dengan segala rasa sakit yang ia rasakan. Bersamaan dengan hal tersebut sebuah lafadz dua kalimat terucap di bibinya yang melemah.

...……

...

Kembali kepada keluarga yang tampak begitu berbahagia, saat mendengar ucapan sahabatnya tentang keadaan dirinya. Laki laki itu menegang, ia takut beberapa orang mengikuti mobilnya.

Huh…

Laki laki itu menghela nafasnya tampaknya ia tidak di ikuti oleh apa pun. “Kau ada di mana saat ini?”

“Aku rasa waktu ku tak akan lama lagi, mereka benar benar mengincar kita berdua,” hanya itu jawaban yang ia dengar dari bibir laki laki yang ada di seberang sana.

“Aku akan mengirim anggota lain untuk menyelamatkan mu,” ujarnya.

Namun sebuah suara gaduh di susul suara tembakan semakin membuat sepasang suami istri tersebut panik, belum lagi suara yang terdengar seperti sebuah benda besar terjatuh ke permukaan air. Mereka tahu dengan jelas situasi yang dihadapi oleh sahabat mereka.

Belum sempat mereka bernafas, tiba tiba sebuah mobil truk besar menyambar mobil mereka dari arah samping sehingga menimbulkan kecelakaan besar, bahkan mobil yang mereka tampak berguling hingga beberapa kali, hingga sebuah ledakan menyusul di mobil mereka. Bocah laki laki yang itu terlihat menutup matanya secara perlahan, hingga suara keributan dari arah luar terdengar begitu samar.

The controller II

Sebelas tahun kemudian anak laki laki itu menjadi pemuda yang tampan, sopan dan juga ramah. Ia tak segan membantu orang sekitarnya. Kini ia tinggal seorang diri, usai kecelakaan ia dibawa ke panti asuhan, seluruh asset dan harta milik keluarganya di titipkan kepada pengacara keluarganya. Tepat ke esokan harinya ia akan berulangtahun yang ke tujuh belas tahun, itu artinya sudah saatnya seluruh kepemilikan kembali kepadanya.

Anak laki laki itu bernama Agung Wirapradana, sebuah nama yang cukup berarti di berikan kepada dirinya oleh orang tuanya. Kedua orang tuanya berharap kelak anaknya akan menjadi orang yang yang besar dengan segala kejujurannya.

Agung memiliki seorang sahabat yang berasal dari panti asuhan yang sama, mereka kini tinggal di kosan kecil, yang hanya berbeda kamar. Setra mereka sungkan dengan ibu pemilik panti asuhan yang sejak dulu merawatnya.

Sebenarnya Agung memiliki seorang paman dari ibunya, namun pamannya itu menolak untuk merawatnya. Pamannya itu cukup terkenal, bahkan saat ini akan mencanangkan menjadi seorang wali kota. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaan yang menimpa Agung saat ini.

Bahkan Agung lebih sering menjadi bahan olok olok kan karena nama belakangnya, namun mau bagaimana lagi? Agung hanya seorang anak laki laki biasa yang tak punya ilmu bela diri hanya sekedar untuk membela dirinya, apalagi harta dan kekuasaan.

Pastinya ia tidak memiliki hal itu semua.

Anggi Arnita teman masa kecilnya yang tinggal satu rumah kosan dengannya, Anggi yang tinggal di lantai dua sementara Agung yang tinggal di lantai pertama. Mereka selalu berangkat bersamaan, sehingga banyak rumor yang mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan special.

Rumor tersebut semakin membuat mereka menjadi bahan olok olokan. Terlebih ketika Anggi ingin membalas mereka, Agung selalu menenangkan agar mereka tidak terkena masalah yang lebih besar.

“Kenapa sih sekolah ini sangat tidak adil kepada kita? Jika saja kita yang mem buli mereka, maka kita akan yang terkena masalah,” gerutu Anggi menghentakkan kakinya ketika mereka berada di dalam perpustakaan, hanya tempat tersebut yang cukup aman bagi mereka.

Tidak di kantin, di taman, di kelas, terlebih di lorong sekolah. Mereka pasti akan menjadi incaran Anggara the genk, yang seolah selalu menjadikan mereka target bulian di sekolah tersebut. Meski sebenarnya bukan hanya mereka saja yang menjadi target Anggara the genk, namun juga beberapa murid yang di anggap lemah, baik dari segi financial, bahkan hingga dari segi pisik, bahkan pelajaran.

Biasanya anak yang lebih rendah secara financial yang akan benar benar menjadi target mereka, seperti halnya Agung dan Anggi.

“Ingat bahkan jika melawan pun, maka tetap kita yang salah. Ingat dulu pada saat kelas satu?” Agung segera mendekati Anggi yang saat ini tengah merebahkan kepalanya di aras meja, memanyunkan bibirnya. “Dulu bahkan kita di scors hanya karena kesalahan yang tidak kita perbuat.”

“Tapi tetap saja tidak adil… kepala sekolah perut buncit sembilan bulan itu, hais… aku yakin jika si Anggar dkk itu tidak ada kedudukan orang tuanya, atau bahkan miskin seperti kita, pastinya dia tidak akan begitu sekali membelanya,” kembali lagi Anggi cemberut ke arah Agung.

“Suatu saat nanti kita akan membuat dunia adil kepada kita,” ujar Agung mengusap lembut kepala Anggi tanpa canggung.

...…….

...

Saat pulang dari sekolah keduanya berencana untuk mampir kesebuah warung langganan mereka, pasalnya selain murah, di tempat tersebut juga terkenal dengan makanan yang sangat enak.

Meskipun mereka harus mengantri lama, namun keduanya tetap mengantri untuk mendapatkan makanan tersebut.

Pemilik dan pegawai rumah makan tersebut tampak sangat akrab dengan para pelanggan mereka, bahkan terkesan sangat ramah. Terutama kepada Agung dan Anggi yang menjadi pelanggan tetap mereka setiap pulang dari sekolah.

“Huh selalu begini, pasti kita akan selalu mengantri,” keluar Anggi membuat Agung terkekeh lucu melihat sahabatnya itu.

“Namanya juga enak kok, jadi wajar lah kalau selalu ramai,” Agung menggeleng sembari

merangkul bahu sahabatnya itu.

“Mungkin kalau kita menjadi pegawai di sini, akan sangat bagus,” entah kenapa tiba tiba Anggi memberi usul seperti itu, membuat Agung semakin menggeleng melihat tingkah sahabatnya.

“Ingat pesanan makalah masih menumpuk,” ujar Agung mengingatkan tugas mereka berdua. Menjadi joki makalah dan beberapa tugas sekolah, serta menjadi guru les privat merupakan penghasilan yang akan memenuhi hidup mereka. Di sanalah mereka makan, membayar uang sekolah serta membayar biaya sewa kamar kos mereka.

Setelah sekian lama mereka menunggu, akhirnya mereka mereka mendapatkan makan siang mereka, mereka juga selalu membungkus makan malam untuk mereka nanti malam. Biasanya mereka akan meminta satu porsi nasi dan dua lauk lauk untuk makan malam mereka.

Setelah selesai makan siang tertunda, mereka segera kembali ke kosan mereka, tampak ibu kos telah menunggui mereka di depan pintu masuk.

“Aduh macan tutul sudah siap siap mengejar tagihan bulanan,” gumam Agung membuat Anggi melirik ibu dengan kesal.

“Padahal kita telat karena tak sempat bertemu itu macan tutul saja,” kesal Anggi.

“Weh… baru pulang sekolah? Jam segini? Kalian full day?”

Pertanyaan beruntun layaknya calon mertua yang hendak menanyai seluruh kegiatan dari dan bagaimana keadaan masa depan anaknya jika menikah dengan orang yang ada di hadapannya.

“Habis makan di langganan biasa bu,” ujar Agung menjelaskan.

“Kebiasaan kalau mau pulang dari sekolah sebaiknya kalian langsung pulang,” ujar ibu kos dengan cap macan tutul oleh para penghuni lainnya. “Mana uang kos kalian bulan ini?”

“Iya sabar bu, kan kami tidak pernah terlambat,” ujar Anggi segera mengeluarkan dompetnya, dan mengeluarkan lembaran sebesar enam ratus ribu, untuk penyewaan kamar kos mereka.

“Nah bagus begini kan jadi enak,” ujar ibu kos segera pergi dari hadapan mereka berdua.

“Cih, dasar macan tutul,” gumam Anggi meninggalkan Agung yang menyusulnya dari arah belakang.

“Nanti makanannya aku antar ya,” ujar Agung sebelum masuk ke dalam kamarnya.

Anggi tampak tak menghiraukannya, ucapan Agung dan tetap naik ke lantai dua, Anggi akan membersihkan dirinya setelah ini. Saat melewati kamar mandi putrid tampak tiga orang telah mengantri di sana. Anggi menghela nafasnya. “Selalu saja begini.”

Sama halnya dengan Agung, ia juga saat ini tengah mengantri di dapan pintu kamar mandi untuk segera memberishkan dirinya. Agung memilih memainkan ponselnya sembari menunggu dua orang yang telah mengantri terlebih dahulu.

Malam tiba seperti biasanya Agung akan mengetuk pintu kamar Anggi untuk membawakannya makan malam, sekaligus mengerjakan tugas bersama. Orang orang selalu berbisik dan menggosipi mereka sebagai sepasang kekasih. Terlebih perlakuan Agung yang tampak begitu memperhatikan Anggi. Belum lagi seluruh penghasilan mereka selalu di pegang penuh oleh Anggi.

Malam semakin larut, tampak Anggi sangat mengantuk membuat Agung menggeleng melihatnya. “Tidur gih, biar aku yang menyelesaikannya, ini tinggal kesimpulan,” ujar Agung.

Tampa menjawab Anggi segera merebahkan kepalanya di atas bantal dan tak berselang lama Anggi telah memasuki alam bawah sadarnya. Agung hanya terseyum dan segera menyelesaikan pekerjaannya.

Setelah semua selesai, Agung berencana untuk meninggalkan Anggi yang telah terlelap. Kini Agung akan keluar segera menarik pintu, namun sesuatu yang menjanggal dari balik pintu, Agung segera mengintip bunkusan plastic putih. Agung tersenyum sebuah kue kecil dengan lilin beserta sebuah topi. Agung tahu itu untuk siapa.

“Terimakasih,” ujar Agung kemudian beranjak dari tempat itu.

The controller III

Saat ini sekelompok orang yang berjumlah tiga orang bertopeng tampak mengejar beberapa orang berbaju hitam.

Dor... Dor... Dor...

Saat tengah melakukan pengejaran salah satu di antara mereka hampir terkena tembakan, namun berhasil mereka hindari namun salah satu di antara orang itu topengnya terlepas. Tampak Hiro salah seorang di antara penjual makanan di warung langganan Agung dan Anggi.

“Auh…” Hiro mengusap pipinya yang hampir menjadi mangsa timah panas. “Ba*ji*ngan.” Hiro mengumpat memandang kea rah topengnya yang telah rusak.

"Sia*lan," Doni mengumpat kesal ke arah lawan, dan mulai mengambil pelatuknya yang tersimpan di dalam jas nya.

Dor… dor… dor…

Suara tembakan dari salah satu platuk dari antara ketiga orang bertopeng tersebut menembaki sejumlah orang yang ada di depannya, semnetara yang lainnya lagi kembali mengejarnya.

"Apa kau baik baik aja?" Doni memandang ke arah Hiro, yang tengah mengambil pelatuknya juga.

Dor... Dor... Dor...

“Ba*ngsa*d mau kemana mereka,” Robby mengumpat terus mengikuti musuh mereka.

Robby terus mengejar tiga orang lagi, meninggalkan kedua temannya yang masih menghajar dan menembaki beberapa lawan yang tertinggal, sisah dari beberapa yang telah mereka kalahkan atau bahkan mereka bu*nuh. Robby mengikuti mereka hingga melihat mereka masuk ke dalam sebuah ruangan gelap. Robby mengendap endap masuk ke dalam tempat tersebut, Robby menduga akan ada jebakan yang di sedakan untuknya. Namun sangat di sayangkan Robby tampaknya bergerak tak secepat mereka, tanpa sengaja masuk ke dalam kawasan mereka.

“Robby… Robby… Robby…” terdengar sebuah tepukan tangan menggema di telinga Robby, Robby segera memandang ke arah sumber suara.

“Kau…” kini Robby sadar bahwa dirinya masuk ke dalam perangkap orang yang tengah bertepuk tangan ke arahnya, orang itu melepaskan jasnya, kemudian menggulung kemejanya hingga ke siku.

“Apa kabar?”

Robby berdecih mendengar basa basi dari orag tersebut, sungguh sangat memuakkan. Laki laki itu dulu sama seperti mereka bekerja sama menjadi pembunuh bayaran, bahkan mereka dulu berada di satu kelompok. Namun beberapa tahun belakangan laki laki itu mengkhianatinya, membuat komplotan pembunuh bayaran, yang bahkan kini telah tampak seperti mafia. Dengan jaringan hingga mengarah kepada para petinggi di daerah mereka.

"Kau..."

"Serang, aku bosan melihatnya," ujar laki laki tersebut, kembali memakai jasnya meninggalkan anak buah nya.

"Dasar ba*ji*ngan..." Robby berteriak kesal ke arah laki laki tersebut, menarik pelatuknya dan berhasil mengenai laki laki itu.

Laki laki itu berbalik dan mengambil platuk anak buahnya, menembak Robby tepat mengenai lengan Robby. Karena Robby masih sempat menghindar. "Ba*ji*ngan... Habisi laki laki itu."

Laki laki berteriak keras, rampak urat urat di lehernya. Namun anehnya, tiba tiba laki laki itu dengan secepat kilat berada di hadapan Robby. "Kau akan menyesal karena melawan ku..."

Robby terkejut bukan main, ia tak tahu jika ada kekuatan seperti itu, orang dengan kecepatan yang mat sangat tinggi. Sungguh Robby melihat ini untuk yang pertama kalinya.

"Tapi kau tenang saja, aku tidak kan mengotori tangan ku dengan darah mantan rekan ku," ujar laki laki itu kembali berbalik arah meninggalkan Robby dengan para anak buahnya, laki laki itu segera meninggalkan lokasi dengan mobil mewah miliknya.

Robby yang tampak masih syok, tiba tiba di serang oleh beberapa anak buah dari mantan rekan kerja Robby. Dan perkelahian pun terjadi, menyebabkan Robby begitu kewalahan melawan komplotan mereka. Robby berusaha melawan mereka menangkis dan menyerang.

Saat Robby semakin kewalahan, tiba tiba Hiro dan Dony datang dan membantu mereka, namun baru saja mereka hendak menolong Robby tiba tiba sebuah timah panas mengenai kepala Robby. Seketika Robby kehilangan kesadarannya. Hiro dan Dony yang melihat hal tersebut seketika mengamuk, Hiro segera melawan orang orang tersebut berusaha mendekati tubuh Robby yang tergeletak. Setelah berhasil mengangkat tubuh Robby, Dony segera memberi kode agar mereka segera keluar dari tempat tersebut.

Melihat kepergian ketiga orang tersebut, dengan membawa Robby yang kemungkinan telah meninggal dunia. Membuat mereka semua merasa bahagia. “Itu adalah akibat dari melawan kami, kau mengerti…”

Tawa menggema di dalam ruangan tersebut, menandakan sebuah kemenangan yang mereka dapatkan. Bisa di pastikan ia akan mendapat banyak hadiah dari tuannya nanti.

Sementara di luar gedung Hiro dan Dony segera membawa Robby menjauh dari area gedung tersebut. Mereka segera berlari sejauh mungkin, kemudian memasuki mobil yang mereka bawa tadi dengan Hiro yang membawa mobilnya, di dalam perjalanan Dony menekan sebuah tombol yang ia bawa di dalam sakunya.

Tak lama kemudian sebuah ledakan besar terjadi di dalam sebuah gedung yang mereka gunakan tadi. Orang orang yang tengah berpesta di dalamnya kini di pastikan ikut meledak.

Hiro teringat kembali rencana mereka, yang berencana untuk meletakkan sebuah peledak di dalam ruangan tersebut, dan itu ia lakukan saat dirinya menyelamatkan Robby.

Setelah sampai di rumah sakit, mereka segera membawa Robby ke ras banker. Dony mengisi administrasi dan operasi pun di lakukan.

Sementara Hiro sibuk ke arah tempat mendonorkan darah untuk mendonorkan darahnya, meskipun mereka memiliki golongan darah yang berbeda, namun mereka tetap mendonorkan darahnya sebagai pengganti darah yang akan di sumbangkan kepada Robby.

Di tempat lain, Agung yang saat ini baru saja keluar dari kamar Anggi, segera berjalan menuruni tangga, namun baru saja dirinya akan melangkah menuruni tangga. Agung tanpa sengaja melihat sebuah benda yang bersinar dari arah lukisan, tepat di samping jendela.

Agung mengawasi segala arah berlahan mendekat ke arah lukisan tersebut, tangannya menyentuh benda yang bersinar. Ternyata selama ini lukisan tersebut memiliki sedikit tonjolan. Bahkan Agung baru kali ini melihat lukisan tersebut bersinar.

Tanpa Agung sadari itu adalah lukisan bersejarah yang diwariskan turun temurun hingga sampailah kepada ibu kos mereka. Agung menyentuh lukisan tersebut, sesuatu yang mengganjal mengenai tangannya. Seketika Agung merasakan sakit yang luar biasa.

Agung dapat merasakan sesuatu menggores telunjuknya, padahal dari ukuran benda itu seharusnya jikalau pun mampu menggores telunjuknya, maka dipastikan tidak akan sesakit saat ini. Agung segera menarik tangannya, namun benda tersebut bak lem super kuat yang membuat Agung tak dapat menarik tangannya.

Agung tanpa sengaja melihat ke arah jendela, tampak gorden yang melambai seolah waktu melambat, Agung kembali memandang ke arah telunjuknya, entah kenapa Agung merasa melihat sesuatu yang perlahan mulai memasuki jari telunjuknya tanpa bisa ia hentikan. Tak lama kemudian sebuah cahaya meredup.

Sebuah tepukan mendarat di punggung Agung, mengejutkan laki laki itu. Angung segera berbalik, dan terkejut melihat Anggi yang telah berdiri di hadapannya dengan pandangan yang bingung.

"Kamu ngapain ke sini? Mau di marahi si macan tutul?" Anggi membuat Agung tersadar. Agung segera turun tampak seperti orang yang linglung. "Gung happy birthday ya, maaf ga bisa beli apa apa buat kamu."

Mendengar ucapan Anggi tiba tiba Agung teringat hadiah yang di persiapkan Anggi di kamarnya, Agung hanya menggelengkan kepalanya perlahan karena sedikit salah tingkah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!