Dahulu kala, hiduplah sepasang anak manusia yang menjalin kasih. Sang wanita adalah keturunan bangsawan, sedangkan sang lelaki adalah prajurit biasa kerajaan.
Meskipun wanita tersebut adalah keturunan bangsawan, namun ia adalah seorang ahli beladiri dan pedang. Ia belajar berpedang dengan alasan bahwa wanita juga harus bisa menjaga dirinya sendiri ketika dalam bahaya.
Suatu hari wanita itu bertemu dengan kekasihnya di tepi sungai. Mengetahui putrinya menjalin kasih dengan kalangan biasa, ayah dari wanita tersebut pun murka, dan memutuskan untuk menjodohkan putrinya agar tidak berhubungan lagi dengan kekasihnya.
Sang wanita yang mengetahui perjodohannya pun menolak dengan keras karena ia tidak ingin menikah dengan orang yang tidak dia cintai. Namun ayahnya tetap memaksa. Ia mengancam bahwa jika putrinya menolak untuk dijodohkan maka kekasih putrinya itu akan ia musnahkan dari muka bumi.
Wanita itu tentu sangat sedih dengan hal ini. Meski terpaksa akhirnya wanita itu menyetujui perjodohannya. Ia pun menuliskan sebuah surat yang ditujukan untuk kekasih hatinya, dalam suratnya ia memberitahukan perjodohannya yang dibuat oleh ayahnya, dan ia menyetujui itu karena jika ia menolak maka kekasihnya itu akan dihabisi oleh ayahnya.
Oleh karena itu, ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya dan berharap meski tidak bisa bersama sebagai pasangan hidup, tapi setidaknya masih bisa sebagai teman. Walaupun ia tahu, bahwa masing-masing hati harus merasakan luka.
Tentu setelah membaca isi surat itu sang lelaki juga merasa remuk dan kacau, ia tahu bahwa wanita yang ia cintai melakukan ini demi dirinya. Tapi ia juga tidak punya pilihan, karena ia memiliki keluarga yang masih harus dijaga. Akhirnya ia hanya bisa melepaskan, dan berdoa untuk kebahagiaan kekasihnya itu.
Wanita itu dijodohkan dengan seorang pemuda yang merupakan putra dari penguasa daerah. Sebenarnya pemuda itu telah jatuh cinta pada sang wanita, namun seperti yang diketahui bahwa wanita itu tidak memiliki perasaan padanya.
Hingga hari pernikahan tiba, semua ritual berjalan dengan lancar dan mereka sah menjadi suami istri. Ketika di kamar pengantin, sang wanita menangis sesenggukkan dan tiba-tiba saja suaminya masuk.
"Kenapa kau menangis? Apakah kau takut denganku?” tanya sang suami.
Wanita itu pun menjawab suaminya dengan berkata, “Aku hanya... Aku hanya belum siap melakukannya. Jika kau ingin memiliki seorang penerus, maka kuberi tahu bahwa aku belum siap untuk itu.”
Mendengar jawaban istrinya tentu sang suami terkejut, dan akhirnya ia pun memaklumi dengan menenangkan istrinya dengan penuh kelembutan menunggu hingga istrinya siap.
Hari telah berganti menjadi bulan, dan istrinya masih tetap memberikan jawaban yang sama, hal inilah yang membuat sang suami menjadi geram dan mencoba memaksa istrinya.
“Kenapa ... kenapa kau selalu menolakku? Kenapa?!!!” tanya sang suami dengan nada keras sambil memegang erat kedua lengan istrinya.
“Apakah kau tidak bisa mencintaiku? Sekarang aku adalah suamimu,” ucapnya lagi.
Dengan wajah datar ia mengatakan pada suaminya, ”Dahulu ada orang yang aku cintai, dan sekarang aku masih belum bisa melupakannya.”
Mendengar jawaban istrinya tentu membuat sang suami murka, hingga akhirnya dengan berat hati ia memutuskan untuk mengurung istrinya. Berharap bahwa istrinya akan berubah dan mulai mencintainya setelah dikurung.
Dalam masa pengurungan itu, sang istri membuat sulaman sebagai ungkapan hatinya yang nantinya akan ia berikan kepada suaminya. Ia menyulam diatas selendang merah dengan gambar sepasang bebek mandarin yang sedang berenang di kolam teratai.
Sudah hampir enam bulan sang suami mengurungnya, namun suaminya merasa tidak ada yang berubah. Melihat situasi ini, ia sudah tidak bisa sabar lagi. Akhirnya ia memutuskan mencari siapa laki-laki yang dicintai istrinya itu dan membawanya kehadapan sang istri saat itu juga.
“Inikah pria yang kauu cintai itu?”
“Kau ... bagaimana bisa?” Istrinya terbata seakan tidak percaya bahwa suaminya mengetahui mantan kekasihnya itu.
“Sekarang kuberi kau dua pilihan. Aku bunuh kekasihmu ini dan kita hidup seperti biasanya, atau kau mau meminum racun hati es yang telah ku kutuk ini lalu membiarkan kekasihmu itu pergi.”
“Racun hati es merupakan racun bagi hati. Siapa pun yang meminumnya, maka dia tidak akan bisa merasakan kehangatan cinta. Jika sampai jatuh cinta, maka ia akan merasakan sakit yang luar biasa dan akhirnya meninggal. Tidak akan ada cinta baginya, bahkan bagi kehidupan selanjutnya,” jelas sang suami.
“Aku akan...”
“Jangan minum racunnya!!! Biarkan aku saja yang mati!" teriak mantan kekasih sang istri.
Ucapan mantan kekasih sang istri ini membuat sang suami naik pitam, dan langsung menebaskan pedangnya ke arah mantan kekasih istrinya hingga ia di ambang kematian..
“Tidakk..!” teriak sang istri.
Kakinya terasa lemas. Ia pun terjatuh, merayap menuju tubuh mantan kekasihnya yang kini bersimbah darah akibat ditebas oleh suaminya.
Sang istri terisak dan berkata, “Kenapa ... kenapa kau melakukan ini? Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya. Sejak aku memutuskan untuk menikah denganmu, aku juga telah memutus perasaanku padanya dan mulai menerimamu.”
Namun suaminya masih meragukan ketulusan istrinya. Ia pun berkata, “Nyatanya kau masih saja memiliki perasaan padanya. Jika aku tidak bisa memilikimu, maka siapapun tidak boleh. Dan aku akan melakukan hal seperti yang kamu saksikan saat ini.”
Isak tangis sang istri pun tidak terbendung.
“Aku memberimu segenap hatiku, tapi inikah yang aku terima? Tidak bisakah kau juga jatuh cinta padaku? Dunia ini sungguh tidak adil,” sambung sang suami.
Kemudian istrinya meletakkan tubuh mantan kekasihnya yang sudah tidak bernyawa ke lantai dan berkata, “Kalau begitu, aku akan meminum racun ini,” ucap sang istri sembari mengambil cawan yang berisi racun hati es dan langsung meminumnya.
“Kau...”
Racun itu langsung bereaksi. Tubuh sang istri pun terjatuh ke lantai. Suaminya langsung menjatuhkan pedangnya dan meraih tubuh istrinya.
“Kenapa kau melakukan ini?”
Sang suami menjadi panik melihat istrinya tergeletak setelah meminum racun yang ia bawa.
“Kau mencintaiku dengan segenap hatimu, tapi aku justru menyakitimu. Kita sama-sama menderita karena orang yang kita cintai. Aku anggap racun ini sebagai hukuman atas diriku sendiri karena menyebabkan kalian terluka dan saling bertumpah darah.”
Tidak terasa air mata menetes di wajah sang suami, ia menangis melihat istrinya menderita sakit karena meminum racun hati es yang telah dikutuknya itu.
Musim pun silih berganti, kondisi istrinya kian memburuk tetapi sang suami masih setia merawatnya dengan penuh cinta dan kehangatan walau ia sudah mengetahui bahwa istrinya mungkin tidak bisa lagi jatuh cinta, kecuali kutukan itu bisa dipecahkan.
Hingga sang istri telah dekat dengan ajalnya, ia mengucapkan kalimat perpisahan pada suaminya.
Ia meraih wajah suaminya dan berkata, “Terima kasih sudah mencintaiku dengan segenap hati, menjagaku saat sakit, dan terus melindungiku walau aku tidak bisa mencintaimu. Ugh... Aku harap, aku bisa menebus rasa bersalahku dikehidupan selanjutnya. Jika kita memang ditakdirkan bersama, takdir pasti akan mempertemukan kita kembali."
Ia juga memberikan hasil sulamannya sebagai ucapan terima kasih kepada suaminya.
Sang istri kembali muntah darah dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Suaminya hanya bisa menangisi kepergian istri yang dia cintai. Ada rasa menyesal karena sebagai suami ia tidak mempercayai istrinya.
Sebagai penghormatan kepada istrinya, ia membangun sebuah tempat peristirahatan yang diberi nama “Taman Anming” yang berarti taman kedamaian.
Tempat itu ditanami berbagai bunga seperti Aprikot, Lili, dan Krisan. Selain itu, dibuatkan juga kolam Koi dan Teratai, sungguh indah pemandangan di tempat itu. Di sekeliling pusara sang istri secara khusus ia pun menanam benih Peony sebanyak 1000 buah. Namun, sebelum bunga itu tumbuh, sang suami pun jatuh sakit dan kemudian meninggal. Jasadnya pun disemayamkan di samping pusara istrinya.
Dalam wasiatnya, kutukan pada reinkarnasi istrinya kelak dapat dipecahkan jika orang itu bisa membuat 1000 Bunga Peony yang ada dimakam istrinya mekar.
Adapun cara untuk membuatnya mekar adalah dengan melakukan perjalanan kembali ke masa lalu dan melakukan kebajikan disana. Syaratnya adalah dengan mencari buku yang bereaksi dengan giok angsa dan melakukan perjalanan kisah buku itu.
Meski telah lewat berabad-abad lamanya, bunga peony yang tumbuh di makam itu tidak pernah berkurang jumlahnya, baik layu, dipetik orang, atau pun mati. Uniknya tiap pohon hanya memunculkan satu kuntum bunga yang masih belum mekar. Bunga ini akan mekar semua jika kutukan telah berhasil di pecahkan.
***
Ia adalah Lin Shuwan, seorang gadis muda berusia 21 tahun. Hidup di zaman modern ia hidup layaknya orang normal biasanya. Hanya saja ia tidak bisa merasakan cinta.
Bagaimana bisa?
Sebab ia adalah orang yang dikutuk tidak bisa merasakan cinta dan semua ini akan berakhir jika ia berhasil membuat bunga peony di Taman Kedamaian mekar.
Alasan itulah yang membuatnya melakukan misi penyelamatan ke masa lalu, dan menjadi Special Knight.
Kini, 999 bunga telah berhasil mekar. Hanya tinggal satu kuntum lagi. Dan, ini adalah misi terakhirnya agar bisa terlepas dari kutukan itu.
Lonceng di atas pintu berbunyi, pertanda ada pembeli yang masuk ke toko.
Begitu masuk ke toko, Shuwan disambut seorang pria dengan perawakan yang lumayan tinggi, kulit putih bersih, rambut cokelat, dan wajah yang ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya pria itu.
Belum menjawabnya, Shuwan kembali mengajukan pertanyaan pada pria itu, “Apakah kau penjaga toko ini?”
“Benar. Aku, Liem penjaga toko ini. Jika kau memerlukan bantuan silakan panggil saja aku.”
“Baiklah. Sebenarnya aku sedang mencari buku cerita sejarah dengan akhir yang tragis atau menyedihkan. Apakah kau bisa membantuku mencarinya?”
“Ah. Tentu saja. Aku memiliki rekomendasi buku yang kau cari.”
Liem kemudian mengambilkan sebuah buku dari laci dibawah meja. Ia menunjukkan buku bersampul merah, tanpa judul. Liem menyerahkan buku itu, dan Shuwan pun langsung melihat-lihat buku yang Liem berikan.
Tampilan buku yang sudah agak lusuh, namun masih lumayan bagus isinya. Tulisan yang ada di dalamnya berupa tulisan mandarin kuno. Untungnya Shuwan memiliki keahlian untuk memahami berbagai bahasa kuno, jadi permasalahan bahasa tidak menjadi masalah untuknya.
Karena toko tidak terlalu ramai, Shuwan memilih duduk di kursi yang ada di sudut toko dan mengeluarkan giok angsa miliknya.
Setelah di dekatkan, giok angsa itu mengeluarkan cahaya berwarna biru yang lebih terang dari sebelumnya.
Setelah melihat giok itu bereaksi, akhirnya Shuwan pun memutuskan untuk membeli buku merah itu.
“Berapa harga buku ini?” tanya Shuwan pada Liem si penjaga toko.
“Kamu tidak perlu membayar buku ini. Hanya dengan menjaga dan merawatnya itu sudah cukup untukku,” ucap Liem yang menolak untuk dibayar bukunya.
“Benarkah? Tapi aku merasa tidak enak jika tidak membayarnya.”
Sebelum Liem mengalihkan perhatian melayani pengunjung toko lainnya, ia meyakinkan Shuwan dengan berkata, “Kau cukup dengan melakukan apa yang aku katakan sebelumnya. Itu akan ku anggap sebagai bayaran yang kamu berikan.Selain itu, semoga kau bisa menyelesaikan apa yang ada di dalamnya.”
Bagaimana dia bisa menebak apa yang akan ku lakukan dengan buku ini? Batin Shuwan.
Setelah melihat Liem sibuk melayani pengunjung lain, Shuwan memutuskan untuk segera kembali ke rumah dengan berbagai macam pertanyaan mengenai pernyataan Liem barusan.
***
“Kak, ini aku. Tolong bukakan pintunya," ucap Shuwan setengah berteriak di depan pintu rumah.
Terdengar suara seorang lelaki menyahut dari dalam rumah. “Ya, tunggu sebentar."
Pintu pun terbuka dan menampilkan seorang pria muda yang tinggi, berkulit putih, mata yang hitam serta wajah yang menyejukkan. Ya, orang itu adalah Lin Jianying, kakak Shuwan.
“Hmm.. Kau pulang terlambat lagi?” tanya Jianying dengan ramah.
“Hehe.. Iya, Kak. Maaf, tadi aku mampir ke toko buku dulu. Jadinya terlambat pulang deh," jawab Shuwan sambil menggarukkan kepala.
“Ya sudah, sekarang masuk dan cuci tanganmu. Kita makan malam dahulu, kakek sudah menunggu di meja makan.”
“Baik, Kak," kata shuwan sambil masuk ke dalam rumah.
Shuwan dan kakaknya selisih umur 4 tahun. Hanya saja ketika ia berumur 1 tahun ayah dan ibunya pergi menghadap Yang Maha Kuasa akibat kecelakaan, sehingga membuat Shuwan dan kakaknya jadi yatim piatu.
Perpisahan dengan orang yang disayang tentu sangat menyakitkan hati, terlebih usia Shuwan dan juga kakaknya masih sangat belia saat kedua orang tuanya wafat.
Akhirnya, semenjak tragedi itu kakek mengasuh mereka berdua sampai saat ini.
“Kek,” sapa Shuwan sembari mencium tangan kakek.
“Kau terlambat lagi, Shuwan?” tegur kakek.
“Ah, iya, Kek. Tadi aku membeli buku dulu, jadi terlambat.”
“Mau menjalankan misi lagi?”
“Iya, Kek.”
“Jika bukan karena kutukan itu, kau tidak akan..” ucap kakek terputus dengan wajah sendu.
“Sudahlah, Kek. Ini semua adalah takdir, jadi aku harus tetap menjalaninya meski berat. Lagi pula, ini adalah misi terakhir yang akan kujalani.”
Kakek terkejut dan melempar sebuah pertanyaan seakan tidak percaya, “Apakah itu kuncup terakhir?”
“Iya, Kek. Jika misi ini berhasil, maka kuncup terakhir akan mekar. Dan aku akan bebas."
“Semoga kau berhasil. Aku yakin, kau pasti bisa."
“Iya, Kek.”
“Ya, sudah. Jianying, Shuwan, ayo kita makan sebelum semakin larut," ajak kakek untuk segera makan.
Mereka bertiga pun makan malam bersama.
Setelah selesai makan, Shuwan bergegas membantu mencuci piring yang digunakan tadi. Hanya saja kakaknya melarang dan menyuruh Shuwan untuk langsung beristirahat saja, dan ia pun langsung menuju kamarnya.
“Hufft...”
Shuwan menghela napas panjang sembari merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia mulai memandangi buku yang dibelinya tadi.
Shuwan pun membatin. Pria tadi kenapa bisa mengatakan hal itu? Apakah dia bisa membaca pikiranku? Apa aku harus langsung bertanya padanya?
“Hah.. Sudahlah.. Kepalaku sakit memikirkannya, lebih baik aku tidur sekarang dan memikirkannya lagi besok!”
Shuwan merasa sedikit kesal dan mulai tertidur perlahan.
Malam itu begitu tenang, langitnya cerah sehingga cahaya bulan pun dapat benderang di langit. Hingga keesokannya, pagi pun tiba.
Kicauan burung menjadi penanda bahwa pagi telah datang. Shuwan mulai membuka mata perlahan dan meregangkan otot tubuhnya.
“Huahh...” Shuwan menguap dengan posisi masih terbaring di kasur.
Jam menunjukkan hampir pukul tujuh, untungnya hari itu adalah hari libur, jadi Shuwan bisa lebih santai di rumah. Tiba-tiba...
“Shuwan.. Shuwan..” Jianying memanggilnya sambil mengetuk pintu kamar Shuwan.
Shuwan pun segera bangkit dan membuka pintu. “Ada apa, Kak?” katanya.
“Apakah kau masih belum beranjak? Hari sudah hampir siang, ayo segera mandi dan sarapan atau kakek akan marah."
“Hmmm.. Iya, Iya dasar bawel,” ucap Shuwan sedikit meremehkan.
“Kalau begitu cep-“
Belum selesai Jianying berbicara, Shuwan langsung menutup pintu kamarnya. Jianying pun hanya terkejut sambil bergumam.
“Aihh.. Anak ini benar-benar tidak bisa ku mengerti.”
Selesai mandi Shuwan pergi ke meja makan dan mendapati kakak serta kakek yang sudah menunggunya untuk sarapan.
Shuwan menarik kursi dan duduk untuk makan bersama, dan kakek mengajukan pertanyaan padanya.
“Bagaimana persiapan misimu?”
“Tidak ada yang khusus, sama seperti biasanya.”
“Lalu, apa agendamu hari ini?”
“Pergi ke toko buku.”
“Lagi?” tanya Jianying heran.
“Aku ke sana untuk bertemu seseorang, bukan membeli buku.”
“Ooo.. Begitu, baiklah.”
Setelah percakapan itu mereka melanjutkan sarapan, dan bersiap dengan kesibukan masing-masing.
Shuwan pun bersiap untuk menuju toko tempat ia membeli buku kemarin untuk bertemu Liem, si penjaga toko yang sempat membuatnya penasaran.
Sesampainya disana..
Maaf, untuk sementara waktu toko tutup dan akan kembali buka segera.
Begitulah bunyi tulisan yang terpasang di depan pintu toko.
“Aiyaa.. Kenapa harus tutup sekarang! Bagaimana aku bisa bertemu pria itu? Hah..” gerutu Shuwan sedikit kesal.
Karena toko tujuannya tutup, akhirnya Shuwan memutuskan pulang. Sesampainya di rumah, Jianying menyambut Shuwan dengan pertanyaan.
“Aihh.. Kenapa sudah pulang? Apa tidak jadi bertemu?”
“Tokonya tiba-tiba saja tutup, jadi aku memutuskan untuk langsung pulang."
Jianying hanya mengangguk tanda mengerti.
“Ya sudah, kalau begitu aku ke kamar dulu, ada hal yang harus aku kerjakan,” sambung Shuwan.
“Apakah kau akan berangkat menjalankan misi?”
“Belum untuk saat ini. Saat aku pergi nanti aku akan memberitahumu,” kata Shuwan sembari meninggalkan Jianying di lantai bawah dan menuju ke kamarnya di lantai dua.
Di kamar, Shuwan duduk di meja belajar. Karena tidak berhasil bertemu Liem yang misterius itu, ia jadi kepikiran terus.
Setelah merenung sendiri akhirnya ia berpikir untuk mulai membaca buku merah itu.
Di tepian sungai Jingtze aku berdiri
Menatap langit senja di sore hari
Berharap bahwa dirimu akan kembali
Membawa segenggam rasa yang pernah kuberi
Namun, kenyataan tetap tak bisa dibohongi
Bahwa dirimu telah pergi dan tidak akan pernah kembali
Jika kamu mau menanti
Semoga kelak kita dipersatukan kembali
Puisi itu membuka kisah dalam buku merah.
Dikisahkan bahwa ada seorang pemuda bernama Zhang yang berkelana mencari penawar untuk penyakit yang dideritanya. Keluarganya masih keturunan bangsawan, dan tentu saja ia adalah tuan muda dari keluarganya.
Suatu hari kebakaran hebat terjadi di kediaman Zhang dan menewaskan seluruh anggota keluarganya. Akhirnya Zhang menjadi yatim piatu. Ia pun diasuh oleh pamannya. Ketika musim dingin tiba, penyakit Zhang kambuh. Pamannya pun telah memanggil banyak tabib untuk mengobati penyakit Zhang, tapi tetap saja tidak ada yang berhasil.
Hingga suatu ketika paman Zhang bertemu dengan seorang biarawan dan meminta bantuan. Biarawan itu pun mengatakan pada paman Zhang bahwa obat untuk penyakit keponakannya itu ada di Negeri Awan. Paman Zhang yang mendengar jawaban biarawan itu pun terkejut. Ia mendengar bahwa negeri itu hanya ada dalam legenda, tapi ternyata negeri itu benar-benar ada.
Kemudian biarawan itu menjelaskan lagi, bahwa yang bisa mencapai tempat itu adalah keponakannya sendiri. Jadi, dia harus melakukan perjalanan ini sendiri. Biarawan itu juga berpesan agar pamannya membawa Zhang untuk menemuinya sebelum berangkat untuk mencari obat itu.
Setelah mendengar penjelasan sang biarawan, paman Zhang pun kembali ke rumah dan mengatakan pada Zhang apa yang dikatakan oleh biarawan itu. Zhang pun mengerti, dan ia pun akan melakukan perjalanan itu sendiri. Paman Zhang tentunya khawatir jika penyakit Zhang kambuh di tengah perjalanan, sedangkan ia menempuh perjalanan sendirian.
Akhirnya sebelum Zhang pergi, ia dengan pamannya menemui biarawan. Biarawan itu mengatakan bahwa dalam perjalanannya nanti ia akan bertemu dengan orang-orang yang akan menjadi teman perjalanannya. Ia pun juga memberikan belati sebagai senjata perlindungan Zhang. Zhang pun berterima kasih pada biarawan itu, dan berpamitan pada pamannya kemudian pergi meninggalkan desa.
Dalam perjalanannya mencari penawar, ia bertemu dengan dua orang yang belum ia kenal di tempat berbeda yang dia lalui. Kedua orang itu yang kemudian ikut pergi bersama Zhang.
Bukan tanpa alasan mereka mengikuti Zhang mencari obat, tapi karena tidak ada harapan hidup bagi keduanya jika mereka masih menetap di tempat mereka berada. Pasalnya mereka telah mengalami banyak penderitaan dan kesusahan di tempat mereka sebelumnya.
Karena itu, mereka memutuskan untuk bergabung bersama Zhang. Awalnya, perjalanan mereka berjalan dengan lancar. Hanya saja ketika berada di tempat terakhir sebelum mencapai tempat tujuan, salah satu teman Zhang yang ia temukan dalam perjalanan tiba-tiba diculik oleh sekawanan bandit. Para bandit itu akan membebaskan teman Zhang jika Zhang bisa memberikan obat yang ia cari kepada mereka.
Tentu Zhang bingung dengan sistem pertukaran ini, tapi akhirnya ia memutuskan untuk melakukannya dengan syarat bahwa para bandit itu tidak akan menyakiti teman Zhang itu. Pimpinan bandit menentukan tempat untuk bertransaksi, yaitu di muara sungai Yangtze.
Akhirnya Zhang bersama temannya yang tersisa melanjutkan perjalanan untuk mendapatkan penawar itu agar dapat segera menyelamatkan temannya.
Zhang pun berhasil sampai di Negeri Awan dan memperoleh penawar itu setelah melakukan transaksi dengan penguasa negeri itu. Bersama temannya, Zhang bergegas menuju lokasi temannya disandera, yaitu muara sungai Yangtze.
Setelah sampai di tempat penyanderaan, Zhang bertemu dengan pimpinan para bandit untuk bertransaksi. Akhirnya Zhang memberikan obat itu pada pimpinan bandit dan teman Zhang pun bebas.
Ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja pimpinan para bandit memerintahkan bawahannya yang bersenjata untuk mengepung mereka bertiga. Pimpinan itu pun memerintahkan agar mereka bertiga dibunuh dan jasadnya dilemparkan ke dalam sungai.
Karena kalah jumlah dan senjata, mereka bertiga pun tewas dengan mengenaskan. Jasad mereka dihanyutkan agar tidak bisa ditemukan. Sedangkan para bandit bergegas pergi agar tidak tertangkap oleh penguasa wilayah itu.
Padahal harapan Zhang adalah bisa hidup lebih lama setelah meminum obat itu dan menanti orang yang ia cari selama ini di tempat ia terbunuh sekarang. Tapi takdir berkata lain, dan ia pun harus mati secara mengenaskan dengan keinginannya yang belum tercapai.
“Kasihan sekali pemuda bernama Zhang ini. Keluarganya mati terbakar, dan ia pun tidak bisa berjumpa dengan orang yang ia nantikan,” ucap Shuwan setelah selesai membaca kisah dalam buku merah.
Tidak terasa Shuwan membaca buku itu selama berjam-jam dan langit pun telah berubah menjadi gelap karena malam telah tiba. Perut Shuwan pun keroncongan karena lapar. Akhirnya ia menyudahi aktivitas membacanya dan menutup buku merah itu.
Ketika melihat jam, Shuwan pun kaget karena melewatkan jam makan malam bersama di ruang makan.
“Astaga! Sudah jam segini? Aku melewatkan makan malam. Apakah kakak menyisakan makanan untukku? Perutku terasa sangat lapar sekarang.”
Dengan wajah yang lesu ia pun menuruni anak tangga dan mendapati kakak serta kakeknya yang sedang menikmati acara televisi.
Shuwan pun menghampiri Jianying.
“Kak, kenapa tadi tidak memanggilku saat makan malam?”
“Aku tadi sudah memanggilmu, bahkan masuk ke kamarmu. Melihat kamu sedang fokus membaca aku jadi tidak ingin mengganggumu. Jadi aku makan terlebih dahulu bersama kakek," jawab Jianying.
“Lalu bagaimana sekarang? Aku merasa sangat lapar karena belum makan?”
“Tenang saja, aku menyisihkan makan malammu.”
“Benarkah? Terima kasih sudah mengingatku." Wajah Shuwan kembali sumringah karena kakaknya masih menyisakan makan malam untuknya.
“Tentu saja, sekarang makanlah sebelum semakin larut. Atau tubuhmu akan jadi seperti gajah karena makan terlalu malam,” kata Jianying menggoda adiknya.
“Aku tidak akan gemuk! Lagi pula, setiap hari aku melakukan latihan fisik, jadi lemak-lemak yang ada di tubuhku langsung terbakar lagi.”
Jianying pun tertawa dan berkata, ”Aku hanya bercanda. Sudah, makan dulu dan segera tidur.”
“Iya, iya. Aku makan. Kadang aku berpikir bahwa kamu lebih cerewet daripada ibu.”
“Apa kamu bilang?” tanya Jianying dengan wajah yang sedikit kesal karena digoda adiknya.
“Bukan apa-apa. Kalau begitu aku makan dulu.”
Shuwan pun duduk dan makan di meja makan sendirian, karena hanya tinggal dirinya yang belum makan malam. Setelah selesai makan dan membereskan peralatan makannya, ia pun menghampiri kakek untuk menyampaikan maksudnya.
“Kek, besok aku akan berangkat menjalankan misi.”
“Baiklah, persiapkan dirimu dan juga perlengkapan yang harus kamu bawa,” katanya.
“Baik, Kek.”
“Sekarang beristirahatlah. Aku akan meramu obat-obatan herbal untuk kamu bawa besok," Jianying menimpali.
“Oke, Bos!” ucap Shuwan sambil melakukan gerakan hormat pada kakaknya.
Shuwan pun ke atas dan beristirahat di kamarnya agar energi serta kekuatannya terkumpul.
Karena lelah setelah seharian membaca buku, Shuwan pun terlelap dengan cepat. Suasana yang hening dan menenangkan membuat Shuwan tertidur dengan pulas.
Bunyi jam berdetik, dan bumi yang masih terus berotasi.
Dalam lelapnya, Shuwan bermimpi. Hanya saja mimpi itu tidak jelas, hanya nampak seperti gambar-gambar rol film yang kabur. Ia pun kaget karena mimpinya sehingga membuatnya terbangun dengan kondisi yang berkeringat dan terengah-engah.
“Apakah itu tadi mimpi? Kenapa rasanya seperti nyata?”
Ia pun melihat ke sekeliling kamarnya. Pandangannya mengarah ke arah jendela, dan menyadari bahwa pagi telah tiba.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!