Satu tahun yang lalu
{Sayang, maaf aku belum bisa pulang. Masih ada urusan di pabrik. Kamu kalau takut sendirian nginap sama mama Dewi saja.}
Dira membawa pesan yang dikirim suaminya. Netra memperlihatkan kekesalan. Dimana saat dirinya membuka mata di malam hari, suaminya belum menjemputnya ke rumah mamanya.
Di lemparnya handphone keatas ranjang. Dengusan kekesalan semakin menjadi. Dira menyandarkan kepalanya di dashboard ranjang. Pikirannya menerawang seakan kata-kata kakaknya kembali berputar.
"Apa benar dia ada something sama sekretarisnya? tapi ada benarnya kata kak Feri. Kalau dia saja bisa pindah dari Delia ke aku, bisa jadi dia juga bisa buka hati untuk Maria.
Ah, tidak Dira jangan suudzon sama suamimu. Selama satu bulan menikah, Mas Juna tetap memperlakukan aku dengan baik."
Dira membuka salah satu artikel tentang ciri-ciri perselingkuhan suami. Entah kenapa sejak tahu kalau Maria pernah suka sama Juna di masa SMA, membuat Dira semakin curiga. Dalam bayangannya, suaminya tertawa bahagia bersama Maria.
(Dalam khayalan Dira)
"Sayang, kamu nggak takut sama istrimu?" Maria mulai merayu Juna.
"Istriku percaya kok sama aku jadi tenang saja, sayang." Juna mengelus pipi tirus Maria.
Maria memancing Juna dengan mengelus tubuh lelaki itu. Juna sepertinya terpancing dan mulai bereaksi. Keduanya melepaskan hasrat seksual mereka. Maria tersenyum menang. Dia merasa sudah memiliki Juna seutuhnya.
Kejadian yang berputar dalam khayalan Dira. Membuat wanita itu menangis, dia terus menutup telinga seakan takut khayalannya menjadi nyata.
"Nggak! Nggak!" Dira terasa sesak. Tubuhnya menjorok ke pinggir ranjang.
Dira berjalan menuju ke kamar mandi. Tangannya mengerutkan dahinya, serasa ada kupu-kupu yang berputar di hadapannya. Perutnya terasa seperti naik, kaki nya hendak melangkah menuju kamar mandi. Dira merasa pandangannya semakin gelap. Dan tak tahu lagi apa yang terjadi, tubuhnya sudah merasa lemas. Pada akhirnya Dira tak sadarkan diri di lantai depan kamar mandi.
Pagi ini, mama Dewi sudah masak untuk ketiga anaknya. Tampak Vira sudah bangun dan membantu mamanya di dapur.
"Kak Dira jadi di jemput sama kak Juna, Ma?" tanya Vira.
"Enggak, sayang. Tadi malam Juna menelepon mama. Katanya dia masih banyak kerjaan. Tidak bisa pulang ke Jakarta." kata mama Dewi sambil meracik bumbu opor ayam.
"Ya, kalau tahu begitu aku sudah tidur nemenin kak Dira. Kasihan tahu, tadi malam aku lihat kak Dira kayak orang sakit. Pucat sekali."
"Mama yakin kalau Dira itu sedang hamil. Hanya saja dia belum menyadari gejala itu." kata mama Dewi.
"Kak Juna keren, baru sebulan menikah dia sudah kasih cucu buat mama."
"Alhamdulillah, patut di syukuri, nak. Berarti Tuhan sudah mempercayakan mereka dengan memberi amanat."
Mama Dewi meminta Vira membangunkan Dira di kamar balkon. Tak berapa lama Vira pun menuruti perintah mamanya.
Ceklek!
Vira menebak kakaknya tidak mengunci pintu karena menunggu jemputan Juna. Vira menghentikan langkahnya melihat tubuh kakaknya tergeletak di depan kamar mandi.
"Ya Allah, Kak Dira."
"Mamaaaaa... kak Feri ......" Pekik Vira.
Tak berapa lama, mama Dewi dan Feri mendekati kamar Dira.
"Ya Allah, kakakmu kenapa, nak?"
"Nggak tahu, ma. Pas Vira buka pintu sudah seperti ini."
Feri dengan cekatan menaikan tubuh Dira ke atas ranjang. Tampak wajah Dira terlihat pucat. Mama Dewi duduk disamping putrinya. Feri pun terlihat menelepon seseorang.
"Assalamualaikum" suara seorang wanita terdengar di depan pintu kamar Dira.
Feri menghubungi seorang dokter kandungan. Tadinya dia akan menghubungi dokter umum kenalannya. Tapi mama Dewi ngotot merasa kalau putrinya hamil. Sehingga Feri akhirnya menghubungi dokter Melati, kerabat dekat keluarga Amran.
Dokter Melati akhirnya datang dan di persilahkan masuk ke dalam kamar Dira. Sesaat Melati seperti mengenal Feri. Feri akhirnya mengingatkan dokter itu kalau dulu pernah jadi dokternya Meyra.
"Masuk, dok." Mama Dewi mempersilah dokter masuk ke kamar Dira.
Dokter yang bernama Melati tersebut mulai memeriksa Dira yang masih tak sadarkan diri. Feri melihat raut mama dan adiknya cemas. Helaan nafas berat terdengar dari bibir lelaki itu.
"Bagaimana keadaan adik saya, dok?" tanya Feri.
Dokter tersenyum menatap orang-orang di ruangan tersebut.
"Sepertinya Bu Dira sedang mengandung. Tolong di jaga Dira-nya. Jangan banyak melakukan aktivitas berat." ucap dokter.
"Untuk pastinya kalian bisa melakukan testpack. Saya kebetulan membawa alatnya." Dira sedikit membuka matanya saat Vira menuntunnya ke kamar mandi.
"Nanti akan kami coba, dok. terimakasih." Ucap mama Dewi.
"Oh ya, apa kamu suaminya." dokter menunjuk kearah Feri. Karena dokter Melati mengira Feri sudah menikah lagi.
"Oh, bukan. Saya kakaknya. Suaminya sedang dinas di luar kota." jelas Feri.
"Oh begitu. Maaf saya tidak tahu. Seandainya ada suaminya saya perlu bicara dengan dia. Karena kehamilannya masih sangat muda. Di sarankan jangan banyak aktivitas." kata Bu dokter.
"Iya, dok. Terimakasih, nanti saya sampaikan ke suaminya." jawab Feri.
"Saya pamit dulu, ya. Selamat buat Dira, ya bu." kata dokter menyalami mama Dewi.
Sepeninggalan Dokter Melati, Mama Dewi duduk di samping putrinya. Tangannya mengelus pucuk rambut putrinya. Mama Dewi memeluk putrinya yang masih terlelap dalam tidur panjangnya. Ada rasa bahagia ketika mendengar putrinya sedang mengandung. Bulir-bulir air matanya menetes mengenai wajah Dira.
Tak berapa lama Dira pelan-pelan membuka matanya. Dia sedikit heran kenapa semuanya berkumpul di kamar. "Mas Juna mana?" tanya Dira.
Semua yang ada di kamar bertukar pandang. Mereka juga tidak tahu kabar Juna. Feri yang sedari tadi menghubungi Juna, terdengar mengumpat.
"Sialan Juna, saat seperti dia malah susah dihubungi. Sedang apa sih, dia?"
"Kak," panggil Dira.
"Iya, Dira." Feri berjalan mendekati adiknya.
"Nggak usah dihubungi. mungkin kak Juna lagi sibuk. nanti biar aku saja yang mengabari dia." kata Dira.
"Ma, Dira mau ke kantor. Hari ini ada pertemuan dengan Nona Angel, putri bupati Bandung barat. Katanya dia mau bekerja sama dengan perusahaan kita tentang pengolahan limbah sampah." kata Dira.
"Jangan, nak. Kamu masih kurang sehat. Biar kakakmu yang mengurusi pertemuan itu." kata Mama Dewi. "Kamu fokuskan tentang kandunganmu saja." tambah Mama Dewi.
"Kandungan? jadi aku hamil, ma?" mama Dewi mengangguk.
"Iya, nak. Kamu hamil" kata mama Dewi.
Dira menyandarkan kepalanya di bahu mamanya. Dia bahagia dengan kabar kehamilannya. Tapi dia ingin kabar kehamilan pertama yang tahu suaminya, bukan keluarganya. Ya meskipun begitu, dia tetap mensyukurinya. Tangannya mengelus perut yang masih rata.
"Selamat datang anak mama."
klik
"Terimakasih atas kerjasamanya tuan Arjuna. Saya senang sekali bekerjasama dengan pabrik anda. Ayah anda adalah penggerak ekonomi warga sekitar. Karena sejak pabrik ini berlangsung tingkat pengangguran sudah menurun." Jelas pak Wibowo, klien baru.
"Sama-sama, pak. Saya juga senang bekerjasama dengan anda. Semoga dengan kerjasama ini bisa saling menguntungkan bagi kita."
"Oh, ya kalau anda tidak keberatan kami mengundang anda untuk makan malam. Di saung kami. Anda tidak lupa kan, kalau saya juga punya Resto saung di Lembang."
"Maaf, pak. Sepertinya saya tidak bisa memenuhi undangan anda. Soalnya saya harus pulang ke Jakarta. Istri saya menunggu."
"Oh anda sudah menikah? Selamat, ya. Anda sayang sekali sama istrinya, kenapa dia tidak ikut tinggal disini, sejatinya seorang istri harus ikut kemanapun suaminya pergi."
"Istri saya juga punya perusahaan, pak. Jadi tidak mungkin dia ikut kesini." jelas Juna.
"Oh ya, oke kalau begitu. Saya ucapkan selamat pada anda, semoga langgeng sampai Kakek nenek. Saya pamit dulu, nak Juna."
"Amin, pak terimakasih." Mereka berjabat tangan.
Juna sesaat berjalan mengitari kebun teh di dekat pabriknya. Beberapa buruh menyapanya dan Juna dengan ramah membalas sapaan tersebut.
"Mas, Juna. Tadi bapak saya mancing ikan. Ini buat bapak." Juna menerima ikan yang ukurannya sebesar paha.
"Besar, sekali. Terimakasih, dek. Istri saya suka sekali sama ikan mas." Juna menerima ikan tersebut. Namun, beberapa saat dia tidak kuat dengan bau ikan tersebut.
"Kak Juna kenapa?" sapa Tio.
"Aku nggak tahu, Tio. Aku tiba-tiba nggak kuat dengan aroma ikan. Perutku serasa dikocok."
"Hueeeeeekkk!"
*
*
*
Seperti Janji saya, akan ada kisah rumah tangga Dira dan Juna.
Aku harus pulang ke Jakarta." Juna mengambil barang-barangnya di mess nya.
Tio kaget melihat Juna yang menyatakan akan pulang ke Jakarta. Wajah Juna masih pucat, apalagi tadi kakak iparnya hampir ambruk setelah merasakan pusing dan mual-mual.
"Kakak istirahat dulu. Wajah kakak masih pucat. Apalagi kakak tadi sempat pingsan dan muntah. Dahlah, kak Juna istirahat dulu." Tio masih menahan Juna.
"Tapi aku kepikiran Dira, To. Semalam aku janji bakal pulang tapi ternyata keadaannya malah seperti ini." keluh Juna.
"Kakak harusnya mengajak kak Dira ikut kesini. Dia istrimu harus nya kemana suaminya harus ikut. Bukan malah sibuk sama pekerjaan masing-masing. Kakak lihat Ayu, dia meninggalkan pekerjaannya untuk ikut sama aku."
Juna menunduk saat mendengar perkataan Tio. Teringat saat masih di Bengkulu, Juna dan Dira pernah membahas soal ini. Dimana dia meminta Dira tidak bekerja lagi.
Satu bulan yang lalu, setelah minggu pertama pernikahan mereka. Juna sudah mempersiapkan untuk tempat tinggal mereka. Tidak mau campur dengan orangtua dan juga mertua. Itu juga pernah disampaikan Dira saat mereka belum menikah. Dira pernah bilang padanya tidak ingin campur dengan mertua dan juga orangtuanya.
Setelah pulang dari Bengkulu, Juna mengajukan pengunduran diri di kantor opa Han. Bukan karena dia sudah mendapatkan apa yang di raih. Tapi Juna mau membantu papanya mengembangkan pabrik teh yang hampir mati. Pabrik teh yang membuatnya bisa sekolah dan menjadi sarjana.
Untungnya opa Han mau menerima pengunduran dirinya. Karena opa Han juga mendukung keinginan Juna membangkitkan pabrik teh tersebut. Bahkan opa Han mau berkerjasama dengan pabrik teh milik Johan Bramantyo, anak angkatnya.
Sekarang dia harus memulai membicarakan soal resign-nya Dira. Keinginannya cuma satu, dia ingin membawa Dira tinggal di Lembang. Sayangnya, keinginannya mendapatkan penolakan dari dira.
"Mas, aku pengen sekali jadi ibu rumah tangga. Tapi saat ini perusahaan sedang membutuhkan aku. Mas, tahu kan kak Feri sedang ada masalah." Juna mengangguk.
"Iya, aku tahu, sayang. Tapi aku juga ingin kamu meluangkan waktu sebagai istri dan ibu. Kalau andainya kita punya anak dan kamu masih kerja kasihan anak kita nanti." kata Juna.
"Saat ini aku mau fokus kerja, mumpung belum punya anak, mas. Nanti kalau aku hamil, nggak papa kan trimester pertama aku masih kerja."
"Jangan dong, sayang. Kalau kamu hamil ya harus fokus sama anak kita. Biar aku yang kerja. Ini tugasku sebagai suami."
"Tapi sekarang aku belum hamil, mas. Jadi kesempatan karirku masih luas." Dira tetap ngotot dengan keinginannya.
"Yasudah, kalau itu mau kamu. Aku nggak akan maksa, tapi kamu harus tahu batasan waktu."
Lamunan Juna buyar saat merasakan getaran ponsel. Dengan cepat dia melihat siapa yang menelepon. Dahinya mengernyit saat melihat nama Vira di layar ponselnya.
"Vira! ada apa dia menelepon?" batin Juna.
"Assalamualaikum, Vira?" Juna mengangkat telepon adik iparnya.
"Kak Juna bisa pulang?" terdengar isakan kecil dari seberang.
"Vira kamu kenapa? kok kayak nangis? ada apa?"
"Kak Dira ....." suara Vira terputus-putus.
"Di...Ra... kenapa dengan Dira? kenapa dengan istriku?" Juna merasakan kecemasan yang tinggi.
"Kak Dira semalam pingsan di depan kamar mandi. Sampai sekarang tidak ada tanda dia bangun, kak." suara tangisan Vira makin menjadi.
"Apaaaa! oke, sekarang aku kesana!" Juna mematikan telepon tanpa pamit pada Vira.
"Kak Juna mau kemana?" Ayu melihat sang kakak sangat terburu-buru.
"Kakak harus pulang! Dira semalam pingsan di depan kamar mandi. Sampai sekarang belum sadarkan diri."
"Innalilahi, kakak yang sabar, ya! tapi kakak masih kurang sehat." Ayu mengingatkan Juna terkait kondisi kakak lelakinya.
"Aku tidak peduli! rasanya aku merasa menjadi suami yang jahat jika tidak ada di sampingnya. Aku takut terjadi sesuatu pada Dira." keluh Juna.
"Aku yang antar kak Juna." usul Tio. Tentu saja ayu keberatan karena dirinya saat ini juga sedang berbadan dua. Kalau seandainya suaminya pergi mengantar Arjuna, dia akan sendirian di rumah.
"Mas, masa aku sendirian di rumah!" protes ayu.
"Kamu di temani sama Maria." usul Juna. Ayu mengerutkan dahinya. Dia kurang suka sama Maria. Entah kenapa dia merasa Maria bukan sosok yang enak buat dijadikan teman.
"Kenapa harus dia? emang nggak ada yang lain!"
"Kan sama-sama masih muda. Bedanya dia single dan kamu calon emak. Sudah, aku tadi menghubungi Maria dan dia mau. Kakak tidak bisa lama-lama. Jakarta sama Bandung jauh!"
Ayu mau tidak mau melepaskan keberangkatan kakak dan suaminya. Masih bibir melengkung ke bawah, ayu mengantarkan suaminya di depan pintu.
"Hati-hati ya sayang." ucap Ayu.
Malam semakin larut, Juna tetap memantapkan berangkat ke Jakarta. Demi wanita yang dicintainya dia rela mengabaikan fisiknya yang kurang sehat. Demi wanita yang dia cintai dia rela mengalah dari ego-nya untuk tetap mengizinkan Dira bekerja.
Tio membawa mobil sedangkan Juna duduk dibelakang. Lelaki usia 25 tahun itu, senyam-senyum melihat kegelisahan kakak iparnya. Tak berapa lama Juna pun tertidur.
"Kayaknya dia lupa ini hari apa." batin Tio.
Pukul satu malam mobil yang di gawangi Tio telah masuk di area kediaman Dewi Savitri. Tio masih enggan membangunkan Juna, hingga dia telah mematikan mobilnya.
Beberapa orang membuka pintu mobil setelah Juna sudah terbangun. Tampak rumah mertuanya sangat gelap. Juna berjalan memasuki rumah mertuanya. Mama Dewi tampak habis menangis, ada Feri dengan wajah kacaunya.
"Ma, .. ini ada apa?" tanya Juna.
"Juna, kamu keatas ya .." suara mama Dewi masih serak.
"Ma, jawab! Dira kenapa!" Juna makin panik melihat sikap keluarga istrinya.
Tanpa menunggu jawaban, Juna langsung keatas menuju kamar balkon istrinya. Perasaannya tak karuan saat melihat tubuh istrinya terbaring dan terlelap.
Semua yang ada di ruangan keluar dan meninggalkan mereka berdua. Juna mencium tangan dan dahi istrinya. Seakan ada duka yang menyelimutinya.
"Sayang, bangun! please jangan tinggalkan aku. Maafkan aku jika sering meninggalkan kamu dalam satu minggu ini. Makanya aku minta kamu ikut ke Lembang biar kita tidak berjauhan lagi." Juna memeluk tubuh Dira. Matanya beralih ke surat yang berada di nakas sebelah ranjang Dira.
Sambil menyeka air matanya, Juna membuka surat tersebut.
Beberapa bait kata berjejer di kertas berwarna putih.
Tuhan,
Di hari ini aku cuma minta satu keinginan.
Lindungilah suamiku di mana pun dia berada.
Lindungilah dia dari marabahaya yang akan mengancam nyawanya.
Lindungilah dia dari orang-orang yang tidak menyukainya.
Lindungilah dia dari wanita yang ingin menguasai dirinya.
Tuhan,
Di hari ini dia sudah menjadi lelaki yang terbaik dalam hidupku.
Di saat ini hanya dia yang selalu ada dalam doaku.
Semoga aku selalu ada dalam doanya.
Terimakasih Tuhan, saat ini usianya sudah semakin bertambah.
Kamu memberikan kami hadiah terindah di bulan pertama pernikahan.
Hadiah yang akan kami jaga seumur hidup.
Hadiah yang dinanti semua pasangan.
Mas, selamat ulang tahun.
Semoga panjang umur sehat selalu.
Kamu tahu sayang? Kamupun adalah hadiah terindah yang Tuhan kirimkan untukku, malaikat tak bersayapku, lelaki hebatku, lelaki yang setia menemaniku dalam perjalanan panjang berliku.
Juna menutup surat yang dituliskan Dira untuknya. Wajah tampannya terlihat sangat basah. Netranya beralih ketika ada benda jatuh dilantai.
"Testpack! garis dua!" Juna tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
Pelan-pelan Dira membuka matanya. Senyumnya mengembang ketika melihat reaksi suaminya.
"Mas, ..." suara Dira terdengar pelan.
"Sayang, ini benar kan? kamu hamil sayang!" Dira mengangguk pelan.
"Selamat ulang tahun, suamiku. semoga kamu panjang umur dan sehat selalu. Siapkah kamu dipanggil papa?"
Juna mencium perut sang istri.
Rasa syukur tak habis aku panjatkan ke hadiratMu ya Allah..kau berikan untukku istri yang luar biasa dan kau berikan lagi kami hadiah malaikat kecil yang sekarang sedang tumbuh berkembang di rahim istriku.. Jadikanlah mereka anak2 yang sehat,pintar,indah,dan soleh
Dan juga berikanlah kesehatan dan kekuatan untuk istriku ya Allah Amiiiin..terimakasih ya Allah.
Udara pagi ini terasa sangat menusuk tulang. Setelah tetesan air dari langit turun membasahi bumi. Di sebuah kamar yang luas tampak dua insan melepaskan rasa lelahnya di ranjang. Dalam tutupan selimut keduanya saling memegang pinggang. Tampak si wanita nyenyak bersandar di bahu sang lelaki.
Pelan-pelan dia membuka matanya, mengalihkan pandangannya kearah sosok cantik disampingnya. Sosok yang kini menjadi istrinya. Tubuhnya sedikit bergeser mendekati dahi istrinya. Melabuhkan kecupan manis, dari dahi hingga ke bibir. Pelan-pelan mata cantik itu membuka, namun memilih kembali memejamkan matanya. Menikmati serangan mesra dari suaminya.
"Terimakasih, sayang. Ini kado ulangtahun yang terindah. Kado yang akan kita jaga seumur hidup." bisik Juna.
Tak ada respon dari wanita disampingnya. Juna merasakan istrinya semakin erat memeluknya. Tangan Juna meraih pucuk rambut Dira. Kembali melabuhkan kecupan di pucuk rambut Istrinya. Walaupun Juna tahu sebenarnya Dira tidak tidur, namun dia tetap membiarkan istrinya melakukan apa yang dia mau.
"Sayang," Juna membisikkan sapaan di telinga Dira.
"Hmmmm..." Dira masih bergelayut manja diatas dada suaminya.
"Bangun, dong. Ini sudah pagi."
"Hmmm..."
Juna pelan-pelan melepaskan tangan Dira. Perutnya serasa naik. Lelaki itu berlari ke kamar mandi. Suara muntahan itu terdengar oleh Dira "Sepertinya mas Juna kena ngidam anaknya." Batin Dira.
Namun beberapa saat setelah Juna keluar dari kamar mandi. Dira pun berlari masuk kamar mandi, sama dengan Juna, dia pun ikut terkena morning sickness. Juna yang masih lemas membantu istrinya untuk di istirahatkan diatas ranjang. Lelaki itu membalurkan perut Dira dengan minyak angin. Juna dan Dira ternyata kembali kompak mual setelah menghirup aroma minyak angin. Dan keduanya pun merebahkan diri di ranjang setelah beberapa kali terkena morning sickness.
"Kok bisa kita kompak gini, ya?" tanya Dira.
"Itu yang namanya jodoh sayang. Sakit bersama, bahagia bersama." Juna mencubit hidung istrinya.
"Kalau kita berdua yang seperti ini, lalu siapa yang akan menjaga aku kalau ada apa-apa." kata Dira.
"Semoga ini nggak akan lama, sayang. Aku juga tersiksa seperti ini." jawab Juna sambil membetulkan cara duduknya. Lelaki itu mengelus perut Dira. "Nak, selamat datang di keluarga kecil kami. Papa harap semoga kamu bisa menjadi anak yang Sholeh atau mungkin Sholehah. Atau jangan-jangan dua duanya."
Dira tertawa kecil. Yang dia tahu kalau punya anak kembar harus ada bibit dari keluarganya. Tapi yang dia tahu tidak ada sejarah kembar dalam keluarganya.
"Ayu punya kembaran laki-laki. Tapi meninggal karena sakit saat usia tiga bulan. Kata mamaku, nama kembaran Ayu itu Bagus Bramantyo." cerita Juna mengenang adik lelakinya yang sudah di surga.
"Ayu nggak pernah cerita." Jawab Dira.
"Ayu nggak tahu kalau dia punya kembaran. Mama memilih enggan bercerita. Entah apa alasannya aku juga tidak tahu. Tapi yang pasti jika kita dikaruniai anak kembar ya karena ada bibitnya." jawab Juna.
Beberapa saat Juna dan Dira pun sudah bersiap-siap turun berkumpul dengan keluarga besar istrinya. Mama Dewi memasak nasi kuning berserta lauk pauknya. Mata Dira berbinar saat melihat kreasi telur yang menyerupai bebek. Dira langsung mengambil telur tersebut memindahkan ke piring kecil.
"Kamu mau makan telur, sayang?" tanya Juna.
Dira menggeleng. Justru dia merasa sayang untuk memakan telur itu "enggak, Mas. Ini buat di simpan."
"Ibu hamil aneh-aneh aja." celetuk Vira.
Dira melototi Vira yang mengganggunya. Tampak Vira masa bodoh dengan reaksi Dira. Gadis 19 tahun itu memilih menyantap nasi kuning di padu ayam goreng dan sambal krecek.
"Berasa di Jogja kalau lihat menu ini." celetuk Juna.
"Ini mama spesial buatin untuk menantu kesayangannya. Katanya kak Juna suka gudeg, ya." sahut Vira.
Dira menjelit kearah Vira. Dia seperti terbakar cemburu karena Vira lebih tahu kesukaan suaminya. Namun hal itu di tahannya. Dira enggan merusak suasana bahagia yang sudah dipersiapkan mamanya. Dira memindahkan beberapa lauk ke piring untuk makan suaminya.
"Terimakasih, kalian sudah ingat ultahku." Juna penuh haru.
"Ini ide kak Dira." sahut Vira. "Sewaktu dokter bilang kak Dira hamil, kak Dira pengen kasih kejutan. Terus dia bilang kalau suaminya ulang tahun. Makanya kami menelepon kakak dan berhasil."
Juna menoleh kearah istrinya. Dira hanya menunduk malu. Lelaki itu menggenggam dan mengecup siku jemari istrinya. Untaian kata terimakasih pun terucap. Dira senang suaminya menikmati kejutan darinya.
"Juna,"
Mama Dewi yang sedari tadi diam pun angkat bicara.
"selamat ulang tahun, ya, nak. Semoga kamu panjang umur sehat selalu. Dan tetap menjadi Arjuna yang humble. Tetap menjadi Juna yang sudah menjadi anak lelaki mama setelah Feri."
"Terimakasih, ma. Maaf kalau acara ini membuat mama repot. Sekali lagi Juna berterimakasih sama kalian yang mau memberikan surprise ini. Terutama rasa terimakasihku pada istriku tersayang. Di hari aku bertambah usia, Tuhan memberikan kado yang terindah." Juna mengelus perut istrinya.
Hidangan di meja dengan beraneka masakan yang spesial dibuat mama Dewi. Semua sudah duduk berkumpul, merayakan ulangtahun sang menantu. Juna menyeka air matanya. Ucapan terimakasih kembali terlontar dari sang menantu.
Pada saat seseorang bertambah usia tentunya akan semakin berat tanggung jawab dan semakin banyak pula keinginan. Di usia yang semakin bertambah Juna berharap bisa berbagi kebahagiaan bersama orang-orang terdekatnya.
Ya Allah panjangkanlah umur kami, sehatkanlah badan kami, terangilah hati kami, kuatkanlah hati kami, baikkanlah amal kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami dengan kebaikan dan jauhkanlah kami dengan kejahatan. Kabulkanlah semua kebutuhan kami dalam agama di dunia ataupun di akhirat. Sesungguhnya hanya Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
"Amin" ucap semua yang ada di meja makan.
"Sudahlah, aku lapar. Mari makan," Vira tanpa basa-basi langsung mengambil satu centong nasi kuning. Penuh dengan lauk pauknya.
"Aku kira kamu sudah belajar mengontrol nafsu makan. Eh, nggak tahunya tambah rakus." ledek Dira.
Vira hanya menjulurkan lidahnya pada Kakak perempuannya. Ini porsi makan keduanya.
"Kayaknya adikku ketularan Elsa." tawa Dira.
"Sudah... sudah... kamu dari kemarin suka sekali ganggu adikmu. Kasihan Vira, sudah ditinggal nikah, terus nafsu makannya turun." Vira melotot, dia kira bakal dibela mamanya. Rupanya ikut mengganggunya.
"Hahahaha..." suara tawa satu meja makan.
"kak Feri mana, ma?" Juna sedari tadi tak melihat kakak iparnya.
"Feri sekarang di tahan. Untuk mengikuti proses kasus yang di tuntut mertuanya." jelas mama.
"Polisi jemput atau..."
"Kak Feri yang datang ke kantor polisi. Dia semalam menerima undangan datang ke sana. Dan dia bilang, untuk sementara dia ditahan karena masih ada proses yang harus di selesaikan." jelas Vira.
"Juna, mama mau tanya sama kamu. Apa kamu ada tahu tentang masalah yang dihadapi Feri? mungkin ada petunjuk sebagai titik terang."
Juna menunduk lemas. Dia tahu masalah yang dihadapi Feri cukup pelik. Dulu dia pernah menasihati Feri agar tidak ikut campur dalam masalah Glen. Tapi sayangnya Feri tidak mau mendengarkan nasihatnya.
Semua yang ada di ruang makan menatap kearahnya. Seakan menanti apa yang akan di jelaskan Arjuna.
Visual Arjuna
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!