NovelToon NovelToon

The Ultimate Soulmate

Prolog

"Siapa aku untukmu?" satu pertanyaan yang terlontar dari bibir dengan senyuman termanis itu membuatku memejamkan kedua mataku. Entah kenapa, hatiku terasa perih mendengar suara lirihnya yang berbisik di telingaku. Min Yongju, rapper yang terkenal sebagai manusia paling dingin, tapi juga kakak sepupuku dan satu-satunya orang yang paling perhatian padaku, selama ini, selalu berhasil menekan perasaannya, bahkan sampai ia memutuskan meninggalkan rumah untuk melupakan perasaanku. "Hentikan!" potongku dengan cepat sebelum sepupuku itu melanjutkan perkataannya, seraya melepaskan diriku dari pelukannya, pelukan ternyaman yang sejak dulu selalu menjagaku. Sekali lagi, aku menghindar, bukan darinya, tapi dari diriku sendiri yang memang sudah lebih dulu jatuh dalam kasih sayangnya.

Aku teringat kembali perkataannya, saat aku lebih dulu menyatakan perasaan terlarangku ini pada kakak sepupuku itu. Saat itu, aku bertanya hal yang sama pada Yongju, "Siapa aku untuk oppa dan bagaimana perasaan oppa padaku?" sebuah pertanyaan bodoh dari seorang adik sepupu yang masih terlampau polos dan belum mengerti arti kata "cinta" itu sendiri. "Tentu saja, kau adikku! Jadi, aku mohon setelah ini, jangan menanyakan pertanyaan konyol seperti ini lagi!" jawab Yongju tegas. Namun, sesungguhnya di dalam hatinya, ia kembali melanjutkan kalimatnya, "Karena itu juga pertanyaan yang kumiliki dan aku tidak ingin mengetahui jawabannya."

Sepeninggal cinta pertamaku, aku sering bertanya, "apa nanti aku bisa menemukannya, seorang pria yang benar-benar mencintaiku setulus dirimu? Siapa jodohku nanti? Dan ada berapa nama yang harus aku temui sampai aku menemukan satu nama terakhir yang akan menjadi jodohku itu? Tapi sepertinya, namamu tidak akan pernah bisa menjadi salah satunya! Andai saja, aku bisa meminta pada Tuhan, tolong, beritahu aku, namanya! Atau tolong, katakan padaku semua namanya yang sebaik dirinya! Dan jika seandainya aku dijawab dengan beberapa nama belaka... Bukankah itu akan sangat membantuku memilih dan menjalaninya, mungkin, atau mungkin juga, tidak!" racauku saat mabuk di hadapan bocah menyebalkan yang selalu memanggilku "noona".

Jeon Junghwa, salah satu member dari group idol yang sedang naik daun ini sudah seperti adikku sejak Yongju mengenalkan juniornya yang berwajah imut ini padaku. Seperti seorang adik laki-laki kebanyakan, pemuda yang dua tahun lebih muda dariku ini, sikapnya selalu manja dan menyebalkan, tapi juga selalu ada setiap kali dibutuhkan. "Iya, hanya Tuhan yang tahu jawabannya dan tugas noona untuk mencari jawabannya. Jika semua orang tahu jawabannya dengan mudah, Tuhan tidak akan menciptakan semua kisah cinta yang berbeda-beda itu. Bukankah semua itu agar noona sendiri yang memilih yang terbaik di antara mereka?", perkataan Junghwa seolah menampar telak wajahku yang lebih dulu dan terlalu sering merasakan rasa sakit dari kisah cinta itu sendiri. "Ck, tahu apa kau, bocah!" balasku tidak terima.

Awalnya, untuk melupakan perasaanku pada Yongju, aku menerima pernyataan cinta yang aku terima untuk pertama kalinya dalam hidupku dan itu dari Kim Namgil, salah satu kakak kelas yang populer di sekolah baruku. Aku bahkan tidak menduganya sama sekali, aku pada akhirnya, bisa merasakan juga hubungan asmara di bangku sekolah yang begitu manis. Namun, selayaknya sebuah prolog cerita, halaman kisah pertamaku tak lah berlangsung lama. Selama bersama Namgil, aku mengenal sahabatnya, Kim Daehyun, seorang kakak kelas paling populer yang luar biasa tampan dan seksi, serta terkenal playboy dan fuckboy.

Dengan bodohnya, aku pun tersihir pesona Daehyun yang mematikan. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku yang polos, tidak tahu bahwa selain kata "bahagia" yang menyertainya, dibalik kata "cinta" selalu ada kata "sakit" yang bersembunyi. Bagaimana jika cinta terbesar merupakan suatu kesalahan? Karena aku tidak begitu yakin, apakah di mata Daehyun, aku hanya sebuah mainan atau tidak lebih dari sekedar seekor hewan peliharaan bodoh yang selalu menurut padanya karena dengan polosnya aku memberikan segalanya. Daehyun berhasil merenggut mahkotaku dan dengan sadisnya, setelah membuatku jatuh cinta terlalu dalam serta puas mempermainkan hati dan tubuhku, ikatan di antara kami, terpaksa putus di tengah jalan.

Hal yang membuat Yongju menyesal, "ini salahku... Seharusnya, aku tidak menyerah padamu. Seharusnya, aku tidak pernah melepaskanmu. Seharusnya, aku melindungimu," ucapnya maju mendekatiku kembali. Tapi kali ini, aku yang sudah berkenalan dengan rasa sakit, malah memundurkan lagi langkahku karena aku sudah mengerti bahwa hubungan di antara kami juga hanya akan meninggalkan luka. Sebuah langkah yang membuat penyesalan seumur hidupku karena saat aku meninggalkannya, aku benar-benar kehilangan pelukan ternyaman dan senyuman termanis itu. Aku terpuruk hingga depresi. Berjuang bangkit dari rasa sesal akan kehilangan. Namun, belum hilang seluruh laraku, undangan pernikahan Daehyun kembali membuatku menangis.

Tidak ingin terpuruk, aku pun mencoba beralih ke lain hati yang ditawarkan Jung Hyunwo dengan tulus untukku. Seorang teman yang periang, humble dan hangat. Anehnya, sebuah pertanyaan selalu muncul dalam hatiku, "Bagaimana dengan perasaanku padanya? Sebenarnya, aku benar-benar merasa baik, tapi sedikit tidak nyaman!" pikirku setiap kali bersama Hyunwo. Aku pun memutuskan untuk tidak membohongi perasaanku dan mengakhirinya. Namun, di saat aku memilih untuk menyibukkan diri dengan menyelesaikan pendidikanku sambil terus berusaha melupakan semuanya, iblis tampan itu kembali menampakan dirinya dan menyakitiku lagi, membuat cintaku semakin berubah menjadi kebencian untuknya. Kemudian, takdir dari pertemuan kembali itu menuntunku bertemu lagi dengan teman lama yang menolongku saat aku melarikan diri dari iblis gila itu.

Park Jiwon, menghiburku dengan sikap manis dan konyolnya dan membuatku lebih banyak tertawa daripada sebelumnya, serta mengalihkan hatiku dalam sekejab. Hingga akhirnya, aku dan dirinya pun berhasil menjadi satu dalam sebuah pernikahan, meski kami harus menentang penolakan kedua orangtuaku. "Dengan cinta semua akan indah, meski susah," pikirku yang memilihnya di atas segalanya. Namun seiring berjalannya waktu, ada begitu banyak yang terjadi dalam rumah tangga kami sampai aku bimbang dengan keputusan yang harus aku ambil, "teruskan atau berhenti?" Aku kembali depresi, bahkan lebih berat dari sebelumnya, sampai aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku. Meninggalkan dunia yang hanya memberikan rasa sakitnya untukku.

Seseorang datang menemukanku yang tak berdaya melawan rasa sakit ini. Memelukku dan memberikan rasa yang sama dengan pelukan ternyaman yang sudah lama menghilang. "Apa noona mau mati, hah! Apa noona ingin pergi meninggalkanku juga! Aku mohon, bertahanlah!" teriaknya yang samar-samar masih bisa kudengar, tanpa aku bisa melihat bagaimana ekspresinya saat itu. Tuhan berkehendak lain, aku masih bernafas karena bocah tengil itu menyelamatkanku. Aku kembali menata hidupku bersama buah hatiku yang menjadi satu-satunya alasanku untuk tetap hidup. Lagi-lagi, di luar rencanaku, aku kembali mendapatkan sebuah lamaran dari Kim Seojun, pria tampan lainnya dalam hidupku, yang merupakan calon suami pilihan orang tuaku.

Butuh waktu lama, untukku keluar dari mimpi buruk pernikahan dan bayang-bayang perceraian, sebelum menerima lamaran dari pria sopan dan yang jelas lebih dewasa dariku itu. Tapi lagi-lagi, aku merasakan sakitnya. Seolah-olah, Seojun lupa janjinya saat memulai hubungan ini. Perselingkuhan, selalu menjadi hal yang benar-benar menyakitkan daripada perpisahan, bahkan dengan cerita yang sama seperti kisahku yang terdahulu. Kini, semua seperti omong kosong bagiku. Hidup dan cinta benar-benar mempermainkan dan menyakitiku.

Kembali terjatuh dalam rasa sakit membuatku sering menghanyutkan diri dengan minuman, bersama seseorang yang selalu memaksa menyempatkan diri untuk menemaniku. "Apa hidup memang semenyakitkan ini? Tidak adakah kebahagiaan yang tersisa untukku?" lirihku putus asa bersandar di bahunya yang selalu terasa nyaman. "Noona, apa kau tahu yang keluar dari dirimu saat kau mabuk?" tanyanya yang selalu menjadi teman minumku. Aku yang sudah mabuk hanya bisa mengerjapkan mataku memandang wajah imutnya yang kini sudah berubah semakin tampan. "Seperti ketidakdewasaan seorang Lee Hana," ucapnya seraya menatap lekat wajah cantikku, "dan aku menyukainya!" bisiknya seductive sebelum menyambar bibirku dengan lembut.

"Aku tidak pantas untukmu. Kau sendiri tahu semua kekuranganku. Kau tidak akan mendapatkan apapun dariku. Dunia tidak akan bisa menerima ini," ucapku tanpa lelah. Aku menolak dengan tegas saat bocah menyebalkan, yang entah sejak kapan, tanpa aku sadari, kini sudah berubah menjadi seorang pria dewasa itu menyatakan cintanya padaku. "Waktu memang tidak bisa diputar kembali, tapi aku tidak menyesal dengan semua yang sudah terjadi dalam hidupku, bahkan mungkin aku sudah muak dengan yang namanya cinta!" ucapku pada diriku sendiri. "Begitu mudahnya aku jatuh pada pria yang mengatasnamakan cinta, sampai aku jijik dengan diriku sendiri. Kali ini, aku ingin sendiri," putusku dengan tekad yang bulat.

Tapi, ada sesuatu yang membangkitkan kenangan buruk itu lagi. Tanpa aku harapkan, dua pria dalam masa laluku, kembali menampakan batang hidungnya dengan alasan tiga suku kata dari sebuah nama dan kata depan yang merupakan marga itu harus ada sebelumnya untuk anakku. Seseorang tiba-tiba menggenggam tanganku, "Jadi, aku bertanya sekali lagi, apa benar aku ayah kandungnya? Katakan semuanya padaku, sayang! Jika iya, aku akan segera menikahimu," tanya pria yang nyatanya tidak bisa berpaling dariku dan selalu berhasil menyihirku dengan pesona tatapannya. Sedangkan, di sisi lain, ada seseorang yang juga meraih tanganku, "Aku sudah mengubah hidupku lebih baik. Sekarang, aku bisa membahagiakanmu dan anak kita. Jika kau mau, kita bisa memulainya lagi dari awal dan aku akan berjanji akan bersikap lebih baik. Aku bersumpah, tidak akan peduli lagi, dia anakku atau bukan karena sejak awal akulah yang dia panggil ayah," janji pria yang sudah meninggalkanku dan kini kembali dengan kuasanya.

Seseorang yang lain datang memelukku dari depan, "Mengertilah, aku tidak akan pernah melepaskanmu! Akan kuberikan semuanya padamu, harta juga cintaku, bahkan sampai aku mati, asal kau bertahan di sisiku. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Akan aku buang semuanya untukmu. Aku mohon, maafkan aku," kata pria yang masih bersikeras mempertahankan kepemilikannya atasku, tanpa mau melonggarkan sedikitpun pelukannya. Kemudian, sebuah suara familiar hadir dari belakangku, sebuah perkataan yang sama persis di telingaku dan membuatku merasakan dejavu. "Jangan menipu dirimu sendiri lagi! Jujurlah dengan perasaanmu sendiri! Jangan malu pada dunia! Jangan munafik atau berpura-pura jahat pada perasaanku!" ucapnya lembut.

Lalu, kemana aku harus mengarahkan barometerku? Tetap bertahan menuruti permintaan orang tua untuk menikah dengan pria pilihan terbaik mereka, meski tahu satu tangannya menggenggam tangan wanita lain. Atau kembali dengan pria yang datang kembali atas nama anak istri dan sumpahnya untuk berubah serta masa depan yang sudah bisa ia janjikan untuk membahagiakanku. Atau bahkan memilih pria yang muncul dengan pesona yang semakin diluar nalar dan kuasanya yang besar, serta nyatanya masih menguasai separuh hatiku, terlebih jika ia adalah ayah kandung dari anakku. Atau pada pria yang selalu memberikan bahunya dengan tersenyum hangat ketika aku menangis dan masih setia menunggu jawabanku tanpa berani menjanjikan masa depan padaku.

Aku Kesepian, Tapi Hari Ini Aku Bahagia

"Di tengah luasnya samudera, seekor ikan paus berbicara dengan lirih dan sunyi. Kenyataanya, tak peduli seberapa banyak ia menjerit, jeritan itu tak sampai pada siapa pun, membuatnya semakin kesepian hingga ia menutup mulutnya tanpa suara. Apa oppa ingat dongeng yang sering oppa bacakan untukku itu?" ucapku, Lee Hana yang saat itu masih berusia 14 tahun pada kakak sepupuku, Min Yongju yang berusia 18 tahun. "Bukankah aku sama seperti ikan paus itu, oppa? Tak peduli seberapa banyak aku mengatakan aku menyukaimu, oppa tetap tidak peduli sama sekali padaku dan malah semakin membuatku kesepian dengan berniat pergi meninggalkanku sendirian!" lanjutku seraya langsung menutup mulutku dengan cemberut karena tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Karena malu, aku pun berbalik dan meninggalkan Yongju yang masih kelihatan shock dengan pernyataan cintaku yang konyol tadi. "Sebenarnya, aku hanya ingin tahu, siapa aku untuk oppa dan bagaimana perasaan oppa padaku?" tanyaku, beberapa detik sebelum aku mengingatkannya tentang dongeng favoritku itu.

Ya, aku baru saja menyatakan cinta pada kakak sepupuku sendiri. Kakak sepupu yang selalu bersikap cuek, tapi diam-diam sangat perhatian. Jarang bicara, tapi sekali bicara terlalu jujur apa adanya sampai kadang menyakitkan. "Dasar tsundere!" teriakku setiap kali aku kesal padanya. Yongju juga sangat malas bergerak, tapi ujung-ujungnya selalu menuruti apa pun kemauanku. Kakak yang galak, tapi tetap saja aku selalu mengekor dengan manjanya sejak kedatangannya di rumah ini. Yongju datang ke rumah ini sebagai sepupu dari pihak ibuku. Yongju tinggal di rumahku sejak ibunya, Min Mirae yang merupakan kakak kandung ibuku, meninggal dunia membawa serta rahasia siapa ayah kandung Yongju. Ayahku yang seorang wakil direktur Jeon Group, salah satu perusahaan terbesar dunia dan ibuku yang seorang direktur pemasaran di sebuah agensi entertainment ternama di Korea, K entertainment, selalu sibuk dengan dunianya. Jadi, aku yang kesepian pun membuat duniaku bersama Yongju, hingga rasa nyaman itu berubah menjadi rasa suka yang seharusnya tidak pernah ada.

"Tentu saja, kau adikku! Jadi, aku mohon setelah ini, jangan menanyakan pertanyaan konyol seperti itu lagi!" ucap Yongju seraya mengepalkan kedua tangannya dengan ekspresi wajahnya yang dingin. "Karena itu juga pertanyaan yang kumiliki dan aku tidak ingin mengetahui jawabannya," lirihnya saat itu yang masih dapat telingaku tangkap meski nyaris tidak terdengar. Aku menangis sambil berlari ke kamarku. Sejak saat itu, tercipta jarak di antara kami. Dan Yongju membuat jarak itu semakin jauh dengan memutuskan keluar dari rumah dan tinggal di dorm sebagai salah satu trainee di agensi tempat eomma bekerja. "Oppa jahat! Aku benci oppa!" teriakku saat Yongju menarik kopernya tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Brakkk! Aku membanting pintu kamarku sekuat tenaga. "Baiklah, sekarang aku tidak akan peduli lagi pada oppa!" ucapku sambil terisak ketika satu-satunya hal yang disebut kesepian tertinggal di sisiku. "Aku sudah benar-benar menjadi kesepian seperti ikan paus itu..." lirihku seraya meringkuk seperti udang di atas tempat tidurku dengan memeluk lututku.

***

Waktu berlalu tanpa permisi. Tidak terasa dua tahun telah berlalu tanpa Yongju di sampingku. Aku yang besar tanpa perhatian orang tua, membuatku terbiasa dengan kesendirian dan berperilaku introvert. Semua kemewahan yang diberikan orang tuaku, membuatku tidak membutuhkan teman seorang pun. Selain itu, karena selama ini, aku tumbuh hanya bersama Yongju, aku tidak tahu bagaimana berpenampilan seperti anak perempuan biasanya. Ya, aku tumbuh dengan tomboi. Rambut pendek hitam lurus sebahu, sepatu, celana panjang, kaos oversize dan jaket hoodie yang oversize pula, adalah hal yang tidak bisa lepas dari keseharianku. Serta topi yang selalu menutupi wajah cantikku yang selama ini tidak pernah tersentuh oleh make up. Juga sebuah headphone yang selalu bertengger di kedua telingaku.

"Brengsek, sekarang kau benar-benar sudah jadi idola!" umpatku dalam hati seraya tersenyum di balik hoodie-ku saat melihat sebuah berita di layar ponselku. Drrt... Drrt... Sebuah pesan masuk, lalu aku pun membukanya. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Yongju di seberang sana. "Aku baik-baik saja," balasku singkat dan sedikit acuh. Selain jarak yang kami buat dengan cara kami masing-masing, obrolan yang mengalir seperti biasa ini juga menjadi sebuah dinding di antara kami, bahwa hubungan kami hanyalah kakak beradik yang saling bertukar kabar dari jauh. Senyumku kembali terulas saat membaca, "Jaga dirimu," balas Yongju tak kalah singkat. "Seperti biasa!" gumamku, lalu kembali memasukan ponselku ke saku jaketku.

Aku kembali menyusuri jalan sambil mendengarkan musik di telingaku seraya menatap diam pemandangan di luar dari balik jendela mobil yang membawaku pulang ke rumah. Masih seperti dulu, aku menyukai semua hal tentang kakak sepupuku itu, termasuk lagu-lagunya yang selalu menemani hari-hariku lewat headphone kesayanganku, hadiah darinya. Ya, mungkin hanya diriku yang terpenjara dalam perasaan suka ini. Entah bagaimana dengan Yongju, aku tidak pernah tahu perasaannya yang sebenarnya padaku.

Menyukai seorang diri seperti ini, sangat menyedihkan, bahkan jika perasaanku berbalas, bisakah hubungan terlarang ini terwujud? Tentu saja, tidak! Beginilah aku menahan diri untuk perasaanku sendiri, hingga perasaan yang tidak mendapat respon ini, bisa berubah suatu hari nanti dan menghilang tanpa aku sadari, harapanku. Aku berharap, suatu hari nanti ada seseorang yang mengubah hatiku ini karena aku yakin, bagaimanapun wujud diriku ini, bahkan seseorang yang buta sekalipun pasti ada satu orang yang akan melihatku sebagai wanita. Bukankah kisahku, kekasihku, cintaku dan jodohku akan datang pada waktunya?

Mobil yang membawaku sampai di sebuah rumah besar nan mewah yang selalu terasa seperti neraka bagiku. "Kau sudah pulang?" tanya eomma. Aku mengerutkan dahi melihatnya, sebuah pemandangan yang jarang terjadi, "eomma ada di rumah saat jam makan siang seperti ini?" pikirku. Namun, tak ingin ambil pusing, aku menyerahkan ijazah dan raport-ku yang baru saja aku ambil bersama kepala pelayan di rumah ini pada eomma, sambil menghela nafas kecewa. "Kalau ada waktu pulang ke rumah, kenapa tidak ada waktu untuk ke sekolah?" pikirku lagi sambil menatap wanita 45 tahun yang masih terlihat cantik dan awet muda di depanku ini, tanpa berani bertanya langsung.

Eomma menyambutnya, "kau sudah mengambilnya? Maaf, eomma tidak sempat ke sana," ucapnya seraya mengelus pucuk kepalaku, lalu mengembalikannya padaku, bahkan tanpa melihat isinya terlebih dulu. "Lagi?" pikirku sambil tersenyum getir menyambutnya. Entah karena sudah yakin nilai putri satu-satunya ini yang selalu membanggakan atau karena memang tidak peduli dengan jerih payahku belajar. Padahal itu satu-satunya usahaku untuk menarik perhatian kedua orangtuaku sejak dulu, tapi aku selalu gagal, bahkan tanpa ada ucapan selamat atau perayaan kelulusan yang kudapat.

Saat di sekolah tadi pun, aku tidak lagi merasa iri pada teman-teman sekolahku yang datang dan pergi bersama orang tuanya, seperti saat aku masih duduk di bangku sekolah pertama. Bagiku, sudah biasa jika yang datang adalah orang lain, entah itu salah satu pelayan di rumahku atau salah satu karyawan dari tempat kerja orang tuaku. Sampai aku pun sudah berhenti berharap jika yang datang adalah orang tuaku atau hanya salah satu dari mereka berdua, apalagi sampai seorang idol seperti Yongju.

"Lee Hana!" panggil eomma yang membuyarkan lamunanku. "Apa yang kau pikirkan sampai tidak mendengar sama sekali eomma panggil?" ucapnya heran. "Ada apa?" tanyaku datar. "Aish, kau ini! Pergilah ke kamarmu! Yongju menitipkan sesuatu untukmu," jawab eomma yang seketika membuat mataku berbinar. Aku pun langsung berlari menuju kamarku dan benar saja, sebuah buket bunga anyelir putih yang bersanding dengan tulip merah, serta sebuah kotak berwarna hitam sudah berada di atas meja belajarku.

Setelah menghirup wangi bunganya, aku pun membuka kotak persegi panjang itu. Sebuah kalung dengan liontin inisial H terdapat di dalamnya. Aku tersenyum melihatnya dan langsung memakainya di leherku. Kemudian, kulanjutkan dengan membaca kartu ucapan yang terselip di sana. "Selamat atas kelulusanmu. Maaf, oppa tidak bisa datang lagi. Semoga kau menyukai makhluk itu, kalau kau tidak suka, buang saja," tulis Yongju. "Makhluk?" ucapku dengan kening berkerut. "Apa maksudnya?" ucapku lagi kebingungan, tapi belum sempat terpikirkan olehku jawabannya, aku merasakan sensasi lembut di kakiku yang membuatku seketika tersentak.

"Kucing?!" kataku terkejut saat mendapati seekor anak kucing tengah menggosok-gosokan badannya di kakiku. Aku pun memekik kegirangan dan langsung menggendongnya. Sejak kecil, aku memang sudah sangat ingin memelihara kucing, tapi Yongju tidak mengizinkannya. Alasannya sederhana, karena dia kesal padaku yang selalu menyebutnya mirip kucing. "Cantik!" ucapku saat menyadari kucing itu memiliki sepasang mata berwarna biru terang seperti lautan. Kucing kecil itu mengeong dengan suaranya yang terdengar menggemaskan. "Imutnya!" pekikku lagi seraya membelai lembut bulu putih kucing berjenis british shorthair itu. "Oppa, aku bahagia hari ini. Terima kasih," kataku seraya memeluk hadiah darinya itu.

Bungamu Adalah Bungaku

"Ada apa dengan nilaimu tahun ini dan bagaimana bisa ada laporan ketidak-hadiranmu saat sekolah? Apa kau ingin membuat masalah untuk appa?" tanya Kim Dangwook, pria yang menjabat sebagai presiden saat ini pada putra kesayangannya, Kim Namgil. Sang presiden menghela nafas berat di depan putranya itu. "Namgil, kau adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Berhentilah main-main. Tahun ini kau harus lulus dengan baik seperti kakak-kakakmu. Jangan terlalu bermain bersama sepupumu itu," lanjut Tuan Kim. "Maaf, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi," jawab Namgil dengan sopan. Anak laki-laki itu membungkukkan badannya di depan ayahnya itu, tapi tidak terlihat penyesalan di wajahnya. "Tepati janjimu! Sekarang, kembalilah ke kamarmu!" ucap Tuan Presiden seraya kembali menghela nafas karena ia memang tidak bisa marah pada putra semata wayangnya itu.

Kim Namgil, pemuda yang hampir berusia 19 tahun itu menghempaskan tubuhnya ke ranjangnya. Kali ini, sang putra lah yang menghela nafas jengah. "Ya, masalah untuk presiden kita! Gara-gara kalimat itu, aku bahkan tidak punya mimpi apa pun!" gumamnya seorang diri dengan mata terpejam. Bagi Namgil, kalimat yang selalu appa-nya tekankan itu selalu menjadi beban untuknya, sekali pun ia memang sudah dididik dengan baik dan terlahir jenius. Sebagai putra presiden yang selalu disorot, setiap hari Namgil habiskan dengan belajar demi predikat terbaik di sekolahnya, sampai ia merasa bosan bersikap baik. Tidak ada waktu bermain, apalagi pacaran dan baru saja Namgil mencoba belajar berteman dan bertingkah seperti anak-anak seusianya, ia menjadi lengah terhadap sekolah dan nilainya.

Bermain, hal yang baru saja ia pelajari dan sangat jarang ia lakukan. Hanya di hari-hari tertentu dan itu pun Namgil lakukan tanpa sepengetahuan orang tuanya. "Bagaimana kalau kali ini aku terima tantangannya? Mencoba pacaran, mungkin akan menyenangkan!" ucap Namgil dengan tersenyum nakal. Anak yang selalu berusaha patuh dan penurut di depan kedua orang tuanya ini memang selalu berhasil menyembunyikan sisi nakalnya. Namgil mengunci pintu kamarnya, memastikan tidak ada yang akan mengganggunya dan mulai memasang earbuds di kedua telinganya. Membiarkan buku-buku yang biasa menjadi teman belajarnya kala malam, terbengkalai tak tersentuh di atas meja belajarnya. "Nanti saja belajarnya. Aku malas!" pikirnya. Hentakan musik hip hop dengan beat yang kuat dari rapper idolanya, memenuhi kedua ruang rungu Namgil yang tampak sangat menikmatinya dengan rileks, bahkan sesekali Namgil turut menyanyikan potongan liriknya yang sentimentil.

***

Sementara di tempat lain, sang idola, pemilik lagu yang tengah didengar oleh Namgil baru tiba di apartemennya. Setelah mendesahkan nafas lelahnya, Yongju langsung berjalan menuju kamar mandi sambil melucuti pakaian ditubuhnya satu persatu. Setelah memutuskan fokus dengan karirnya, namanya menjadi besar dengan kemampuannya sendiri. Selain rapper yang handal, ia juga menciptakan lagu-lagunya sendiri. Meskipun menjadi seorang rapper terkenal adalah mimpinya yang menjadi nyata, aktivitas yang tinggi sebagai seorang rapper ternama, terkadang membuatnya merasa jemu. Yongju sendiri terkenal apa adanya, tidak pernah peduli dengan penampilan, citranya, apalagi pendapat para haters yang tidak menyukainya. Bahkan tidak ada yang tahu identitasnya yang sebenarnya sebagai keponakan dari Lee Miyoung, sang direktur pemasaran di agensinya. Yongju lebih senang, publik mengenalnya tanpa keluarga.

Lagi-lagi, Yongju menghela nafasnya di bawah guyuran shower. "Sudah 7 tahun dan aku tetap tidak bisa membunuh perasaan ini dan aku hanya bisa mengatakannya dengan musik," ucapnya pelan dengan mata terpejam. Yongju terpaksa menghentikan aktivitas mandinya, setelah mendengar dering ponselnya yang ada di dalam kamarnya. Ia pun beranjak masuk ke kamarnya. Dari jauh saja dan cukup dengan mendengar nada dering khusus itu saja, ia bisa tahu, jika yang menghubunginya saat ini adalah aku, adik sepupunya yang tengah ia pikirkan barusan.

"Ada apa?" sahut Yongju datar. "Siapa namanya?" tanyaku tanpa basa-basi. "Terserah!" jawab Yongju langsung. Seolah-olah dia mengerti apa yang aku maksud. "Karena oppa yang memberikannya, jadi harus oppa juga yang memberikan namanya!" ucapku memaksa. "Kau saja yang memberikannya," ucap Yongju dengan malas. "Oppa!" sahutku keras kepala. "Apa susahnya? Panggil saja dia kucing," sahut Yongju santai seraya duduk di ranjangnya sambil mengeringkan rambut basahnya. "Itu sama saja tidak punya nama!" bentakku kesal. "Kenapa jadi ribut masalah nama kucing!" sahut Yongju yang juga mulai kesal. "Oppa!" rengekku manja saat menyadari perubahan nada bicara Yongju. "Ya sudah, namanya miaw!" putus Yongju setelah luluh mendengar suara rengekanku. "Miaw?" tanyaku. "Kalau tidak suka, kau saja yang beri nama!" tegas Yongju. "Tidak. Aku suka," jawabku lalu terdiam sejenak sambil membelai miaw.

"Kenapa diam?" tanya Yongju lembut. "Hmm?" sahutku. "Hei! Jangan bilang, kau ingin memanggilnya Yongju!" tebak Yongju kembali kesal. "Aigo! Sepertinya, itu ide yang bagus!" godaku seraya terkekeh. "Jangan macam-macam!" bentak Yongju yang terdengar semakin kesal dan membuatku tertawa. "Iya. Iya. Mulai hari ini namanya miaw," sahutku, "untung miaw bukan grumpy cat seperti oppa!" lanjutku mengejeknya. "Ya, kau!" ucap Yongju geregetan.

"Oppa, terima kasih. Ini hadiah terbaik hari ini," ucapku dengan tulus. "Ya, walaupun itu karena ini juga hadiah satu-satunya yang aku dapat hari ini," pikirku. "Syukurlah, kalau kau menyukainya," kata Yongju lembut. Untuk sesaat suasana menjadi hening, tanpa ada yang tahu harus berkata apa lagi. Hanya suara nafas Yongju yang terdengar samar-samar, sampai Yongju berusaha mengakhirinya dengan berkata, "Ya sudah, nanti kita lanjutkan lagi, oppa masih sibuk." Seperti biasanya, sebelum menghubungi Yongju, aku terlebih dulu menanyakan jadwalnya pada manajernya karena aku tidak ingin mengganggu kesibukannya dan manajernya bilang kalau jadwal Yongju kosong sampai besok pagi. "Bohong! Aku tahu, jadwal oppa hari ini sudah selesai. Kalau oppa bilang mau tidur, aku lebih percaya itu," ucapku pelan dengan nada sedih dan Yongju hanya diam tak menjawab.

"Aku merindukanmu, oppa," lirihku setelah mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya, tapi sekali lagi, hanya keheningan yang aku dapat, bahkan bunyi jam dinding lebih terdengar jelas di telingaku. "Aku..." ucapku lagi, tapi terpotong dengan perkataan Yongju yang tidak pernah aku duga sama sekali, "belajarlah untuk mengenal orang lain agar kau tidak merindukan oppa lagi." Perkataan Yongju yang terdengar jelas di telingaku seperti pisau yang terbuat dari es, dingin dan mengiris hatiku. "Oppa tidak pernah berubah," ucapku dengan air mata yang sudah berlinang. "Baiklah, jika itu mau oppa," jawabku tak kalah dinginnya, namun dengan suara yang bergetar menahan tangis dan aku yang benci mendengar perkataannya itu, langsung mematikan panggilan itu sepihak.

Sedangkan, Yongju hanya bisa memejamkan matanya dengan kesal karena harus mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan hatinya itu, bahkan ia melempar ponselnya ke lantai. Yongju yakin, jika saat ini, ia sudah membuatku menangis lagi. "Selain membuatmu menangis, aku bisa apa lagi?" liriknya terdengar pasrah seraya memandangi tato pertamanya yang baru dibuatnya tadi siang. Kemudian, Yongju mengingat kejadian siang tadi di agensi saat eomma-ku melihat tato milik artisnya dan juga keponakannya itu.

***

"Kata manajermu, kau membuat tato," kata eomma setelah memanggil Yongju, sang artis ke ruangannya secara pribadi. "Iya," jawab Yongju santai dan memilih duduk di sofa. "Kau serius?" tanya eomma tidak percaya. "Apa aku melakukan kesalahan atau aku harus izin dulu pada eomma?" tanya Yongju acuh, bahkan terkesan tidak sopan, tapi eomma sudah terbiasa dengan sikap swag keponakannya itu. "Tidak. Kau tidak perlu melakukannya. Itu hakmu. Eomma hanya kaget kau mentato tubuhmu," kata eomma santai, "Di mana?" tanya eomma yang penasaran. Yongju pun mengulurkan tangannya dan menunjukan tato di pergelangan tangan kanannya. Sebuah tato berukuran kecil dengan bentuk aksara Hindi dan setangkai mawar yang melilitnya. "Tato yang cantik. Apa ini untuk namamu dan bunga mawar? Ah, Eomma lupa kalau suka bunga," kata Eomma menilai dengan kebiasaan Yongju yang sering mengirimiku bunga.

***

"Eomma benar, aku suka bunga, tapi eomma salah, tulisan ini bukan menuliskan namaku, tapi Lee Hana, karena bunga yang aku suka adalah bunga milikmu, karena bunga mawarku adalah Hanamu," ucap Yongju seraya tersenyum getir. "Apa eomma tahu kenapa aku menyukai bunga? Karena eomma memberinya nama Hana yang berarti bunga dan maaf jika pada seiring waktu, keponakanmu ini juga memandangnya seperti bunga dan ingin memetiknya," lanjut Yongju dengan lirih. "Hana, cepatlah tumbuh menjadi bunga, agar saat aku sudah mampu menghadapi dunia, aku bisa memetikmu dan membuatmu menjadi bunga paling cantik di dunia," ucapnya sebelum ia mengecup lembut tato di pergelangan tangannya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!