Seorang gadis duduk ditilami sebuah karpet tipis di lantai, sedang melipat pakaian yang menggunung. Ditemani televisi yang setia menyala, konsentrasinya tetap penuh. Mata tertuju pada saluran berita, sedangkan tangan melakukan tugasnya, membuat baju dan celana itu tertata rapi.
Di sebuah rumah sederhana, dengan sebagian besarya terbuat dari kayu dan bambu, gadis bernama lengkap Naya Widia itu hidup bersama sang ibu, yang hanya berprofesi sebagai buruh tani di sebuah perkebunan anggur milik juragan besar.
Hidup di kota kecil bernama Alpenia, di tengah-tengah masyarakat dengan mayoritas perekonomian menengah ke bawah, membuat keadaannya sedikit sulit.
'Sebuah perampokan kembali terjadi di kota kecil Alpenia. Pemilik toko kelontong menjadi korbannya.'
Naya membaca sebuah judul berita di televisi itu, mendengarkan suara narator menyampaikan informasi yang sudah tak asing lagi. Karena sudah kerap terjadi hal semacam itu di kota ini. Namun, tetap membuatnya menggelengkan kepala.
Tak semua penduduk di kota ini hidup susah, ada beberapa keluarga yang kaya raya. "Rampok aja tuh orang kaya yang sombongnya minta ampun, para koruptor, biar tahu rasa! Bukan malah rakyat yang melarat," cerocosnya kesal mengomentari
Naya bergelut di pikirannya, sedikit menyumpahi orang-orang yang hidup berkecukupan, namun menurutnya harus diberi pelajaran. Para penguasa seringkali berbuat buruk dan merendahkan orang-orang dibawah mereka.
Selesai melipat dan memasukan pakaian ke tempatnya, Naya langsung mengerjakan tugas dari gurunya. Ia bersekolah di sebuah Sekolah Menengah Atas pusat kota. SMA Alpenia.
Sebenarnya, sekolah itu termasuk sekolah bergengsi, dimana hanya orang-orang tertentu yang dapat masuk ke sana. Misalkan orang berpunya, anak dan sanak saudara pejabat, dan orang-orang kalangan atas lainnya.
Apalah dayanya, yang hanya mengandalkan beasiswa, karena seringkali mendapat prestasi ketika duduk di bangku SMP. Namun, ia bersyukur karena berhasil berjuang dengan usahanya sendiri.
Naya selalu mencurahkan seluruh kerja kerasnya untuk sekolah. Karena jika sampai nilainya turun sedikit saja, akan menjadi risiko terhadap beasiswanya.
Tugas dari sekolah telah terselesaikan dengan mudah hanya dalam beberapa menit. Setelah itu, Naya berniat untuk menyetrika seragam sekolah yang akan ia kenakan besok Senin. Ia menyambungkan sebuah setrika ke sumber listrik, membawa seragam sekolah dari kamarnya ke karpet tipis tadi.
Ketika hendak memulai, ia dikejutkan dengan dua orang yang menggebrak pintu rumahnya hingga terbuka. Naya langsung melihat dua orang berbadan tinggi besar. Satu berkulit putih dan yang lainnya berkulit gelap, masing-masing berkepala pelontos, dengan ekspresi wajah muram.
"Wina!" pria besar berkulit putih itu berteriak kencang dengan suara besar dan menggema.
Naya bangkit dan menghampiri orang yang sudah terlihat dari tempatnya duduk. Karena ukuran rumahnya yang kecil, membuat jarak pandang mata dari satu ruangan ke yang lainnya tak terbatas. Dengan kata lain, rumahnya memang hampir tak memiliki batas-batas ruangan.
"Ada apa bang?" ujar gadis cantik berambut sebahu itu dengan tenang.
"Mana Wina?" pria yang berkulit hitam berbicara dengan memelototkan mata merah kepada Naya.
"Ibu saya gak ada di rumah bang!" Naya masih berbicara santai, tak ada gentar dalam dirinya.
"Bohong!" pria putih itu kembali berteriak. Dan kemudian, memaksakan diri untuk masuk ke dalam rumah Naya.
"Buat apa saya bohong?" Naya menaikkan bahu.
"Gak ada kan?" ungkapnya setelah dua pria besar itu melihat ke sekeliling rumah yang hanya mempunyai dua kamar kecil tak berpintu. Dapur dan kamar mandi yang berada hampir dalam satu area. Serta ruangan utama yang sempit diisi dengan televisi dan dua kursi kecil reot, tempatnya tadi duduk ketika mengerjakan PR.
Kedua orang itu menyerah, setelah beberapa puluh detik mencari ibu Naya, namun nihil hasil, dan akhirnya keluar dari rumah Naya. "Bilangin sama ibu kamu, kalau punya utang itu dibayar!" giliran pria yang berkulit hitam yang berteriak pada Naya.
"Oke," Naya mengiyakan dengan ekspresi wajah sedikit tersenyum. Berpura-pura ramah.
Kedua pria itu akhirnya hendak beranjak pergi. Jika saja Naya tak menghentikan mereka dengan kata-kata sedikit berani yang tiba-tiba keluar dari mulutnya, membuat mereka berbalik badan.
"Bilangin sama bos abang-abang ini, kalau punya uang, kalau mampu, kalau mau pinjemin orang, ada baiknya gak usah pake bunga atau enggak usah digede-gedein bunganya. Supaya utang yang minjem bisa cepet lunas. Gak takut makan uang haram terus?!" tutur Naya masih dengan nada datarnya.
Kedua pria itu terlihat meradang, wajah pria yang berkulit putih terlihat memerah dan yang kulit hitam terlihat meng-ungu.
Tangan mereka terkepal, sepertinya siap untuk mendaratkannya pada salah satu bagian tubuh Naya.
Namun, seorang pemuda dari arah belakang, menyentuh pundak mereka.
"Abang-abang. Ada urusan apa disini?" bicara pemuda itu terdengar bersahabat.
Kedua pria itu menggerakkan pundaknya kasar, mencoba menurunkan tangan pemuda yang berbadan jangkung itu, sedikit melebihi tinggi badan mereka berdua, "jangan ikut campur!"
"Ouww.. Tenang bang. Oke, kalau gak mau jawab. Naya, ngapain mereka?" Pemuda itu menghampiri Naya yang masih memegang gagang pintu rumah yang terbuka.
Naya menceritakan semuanya pada pemuda bernama Renaldi itu. Atau biasa dipanggil Rey.
"Denger abang-abang. Sekarang pergi ya dari sini!" pemuda itu menjauhi Naya saat sudah mengerti seluruh ceritanya dan menghampiri kedua pria itu dengan tersenyum jahil. Nada bicaranya masih sopan.
Sedangkan, kedua pria itu malah makin mendekat, sepertinya siap untuk memukuli dua remaja dihadapannya. Tak kunjung ingin beranjak pergi.
"Hey. Botak! Pergi gak sekarang?" Intonasi yang tadinya pelan mendadak meninggi. Rey dengan berani mengucapkan kata-kata yang justru membuat keadaan semakin panas.
"Kurang ajar!" pria hitam itu mendaratkan satu Bogeman pada perut pemuda itu.
Pertarungan berlangsung sengit, karena pemuda itu tak pantang menyerah. Ia berusaha sekerasnya untuk membela diri dan memenangkan perkelahian. Meskipun, ia harus melawan dua orang sekaligus.
Melihat seseorang yang membantunya dalam keadaan terpojok, Naya tak tinggal diam. Ia pun mencari cara untuk membantu.
Gadis itu masuk ke dalam rumahnya, mencabut kabel setrika yang masih terpasang di sumber listrik tadi, dan menjadikannya sebagai ancaman.
"Hey botak! Pergi gak? Kalau enggak, kepala kalian yang jadi korbannya!" Naya mengacungkan setrika yang masih panas itu tinggi-tinggi.
Tak digubris, Naya melontarkan ancamannya lagi. "Ini masih panas. Mau otak kalian gue buat mendidih?"
Pria hitam itu menghampiri Naya, dianggapnya Naya sedang bercanda.
"Sini maju! Biar tau rasa!" kecam Naya terdengar tak main-main.
Ketika jarak memungkinkan untuk digapai, saat pria hitam itu hendak memukul dirinya, dengan cekatan bogeman itu Naya adukan dengan setrika yang dipegangnya.
Tak pelak, pria hitam itu sedikit mengerang, dengan tangan yang terasa terbakar. Memang terbakar.
"Gue bilang, gue gak main-main!" senyum Naya terlihat puas.
Akhirnya, pria hitam itu mengajak teman satunya yang telah hampir dikalahkan juga oleh Rey, untuk meninggalkan rumah itu. Keduanya akhirnya lari terbirit-birit, bak anjing yang kabur setelah melihat dan mendengar singa mengaum di hutan.
"****," pemuda itu memandang Naya saksama.
"Apa? Jangan pura-pura heran gitu deh!" Naya mengerlingkan mata, dan masuk ke dalam rumah masih membawa setrika.
Pemuda itu mengekor. Tanpa meminta izin, ia langsung masuk ke rumah Naya.
"Setiap gue mau nolongin Lo, pasti ujung-ujungnya berbalik," pemuda itu terduduk di karpet bersama Naya.
"Itu gunanya sahabat!" ujar Naya sambil mencolokan kembali setrika miliknya. Ia masih akan menyetrika.
Pemuda itu tersenyum.
"Makasih ya, Rey!" ungkap Naya membalas senyuman pria itu.
Renaldi Satria. Sahabat dan tetangga Naya. Rumahnya hanya terhalang tiga rumah dari rumah ini.
Bisa dikatakan, takdir hidup menyatukan mereka berdua, sebagai sahabat sejati. Keadaan hidup susah yang tak terelakan, membuat mereka saling menguatkan. Sejak balita hingga sekarang, mereka tak pernah terpisahkan. Sering bermain di taman kecil dekat rumah, bermain layangan di lapangan, berenang di sungai kecil dekat rumah mereka, dan hal menyenangkan lainnya yang dilakukan ketika masih di usia dini.
Tak hanya itu, mereka juga menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Tingkat dasar, menengah, dan atas selalu berada di sekolah bahkan tak jarang di kelas yang sama. Bahkan, jalur mereka sekolah sama, mendapatkan beasiswa. Bedanya, jika Naya berprestasi di bidang akademik, Rey mendapatkan beasiswa dari keahlian olahraganya. Ia pernah menjadi juara di olimpiade renang beberapa kali sehingga mengantarkannya pada gerbang sekolah pusat kota bersama sahabatnya itu.
"Makasih aja? Gak pake nasi nih?" gurau Renaldi sambil tersenyum jahil.
"Boleh. Sama garam aja gak apa-apa?" Naya berdiri sambil cengengesan.
"Ya..hhhh," Renaldi mendesah. "Gak jadi ah kalau cuma sama garam. Mending di rumah, lumayan ada kerupuk udang."
Naya terkekeh geli. "Ya udah kalau gak jadi," Naya masuk ke kamarnya, tak lama kemudian menghampiri sahabatnya itu sambil membawa sebuah buku. "Nih!" di asongkannya buku itu ke depan wajah Renaldi.
Renaldi mengatupkan bibir, pada awalnya, lalu, "Apaan nih?" tanyanya berpura-pura tak mengerti.
"Kan gak jadi makan. Jadi, terima kasihnya pake contekan PR aja!" Naya berbicara dengan nada ejekan.
"Wah.... Ini nih yang bikin mental gue jatoh. Lo kira gue gak bisa ngerjain PR sendiri?" tanya Renaldi memajukan bibirnya.
"Aduh, udah deh! Alasan awal lo kesini pasti mau nyontek PR gue, kan? Gue udah khatam sama sifat lo. Mana pernah lo ngerjain PR matematika?" Jelas Naya.
Rey mendelik, "ya udah deh. Kali ini gue terima. Tapi janji, ini yang terakhir, oke?" Bertingkah serius, namun Naya mengetahui bahwa sahabatnya itu sedang bercanda.
"Oke," Naya memberikan bukunya pada Rey.
Renaldi menerima dengan perasaan bahagia yang disembunyikan. Bibirnya menahan senyum.
"Ya udah, gue balik dulu, ya. Kan Lo udah baik-baik aja," tutur Renaldi undur diri.
"Lo mau pulang, karena gue udah baik-baik aja, atau karena tujuan lo udah tercapai? Soalnya dari tadi gue udah baik-baik aja loh, sebelum lo datang!" ejek Naya cengengesan.
Rey menurunkan alisnya, "ah udah, males. Lo gak asik!" pungkasnya sambil melangkah, meninggalkan rumah Naya.
Naya yang melihat tingkah lucu sahabatnya itu tertawa lepas. Matanya mengantarkan jejak pemuda itu hingga tak terlihat di sebalik pintu.
Sahabat merupakan salah satu pelipur laranya. Walau saat ini, ia merasa persahabatannya sedang terancam, karena dirinya mulai menyukai Rey melebihi dari sekadar teman. Sejak awal masuk SMA, Naya mulai merasakan perubahan perasaan itu. Entah apa penyebabnya. Ini yang dimaksud cinta pertama bagi Naya.
***
Siang yang terang benderang telah berubah menjadi sore yang berkabut. Alpenia dikenal juga sebagai kota gelap, salah satunya karena kabut yang senantiasa abadi, tak pernah hilang sepanjang tahun.
Sebuah mobil berhenti di sebuah kawasan apartemen elit. Keluarlah seorang wanita paruh baya dengan dandanan cantik, yanh membuatnya terlihat lebih muda dari usianya.
Seorang gadis yang tak lain adalah putrinya membuntuti di belakang dengan menenteng koper yang baru saja di keluarkan dari bagasi oleh si sopir taksi.
"Ayo masuk, sayang!" wanita itu mengajak putrinya.
"Ma. Ini asli, kita mau tinggal disini?" gadis itu terheran, melihat sebuah bangunan indah yang menjulang megah dan mewah. Membuatnya tak percaya jika itu adalah rumah yang akan ia tinggali bersama sang ibu. "Aku kira, kita udah gak punya apa-apa."
"Sayang, yang kena kasus itu papa kamu. Kalau ini? Ini murni aset Mama. Dulu, Mama beli apartemen di sini dari warisan kakek kamu." Sang ibu menjelaskan saksama.
Gadis itu mengangguk paham. "Ma, aku lapar nih!" lanjutnya sambil memegang perut.
"Oke, kita pesan pizza ya?" tawar ibunya dan si anak mengiyakan.
"Mama tau aja deh kesukaan aku." Gadis itu tersenyum riang.
Setelah memesan melalui panggilan telepon, dalam waktu kurang dari sepuluh menit, pengantar pizza sudah mengetuk pintu unit apartemen mereka yang berada di lantai lima.
Gadis itu membuka pintu dan menemukan si pengantar pizza mengalihkan perhatiannya. Tak dapat berbohong, ini adalah pertama kalinya ia melihat pengantar pizza semenarik pemuda itu. Tampilannya tak menunjukkan seorang pengantar makanan, melainkan seorang bintang iklan. Muda dan rupawan.
"Hai," gadis itu menyapa ramah.
Si pengantar pizza tersenyum ramah, dan melambaikan tangannya.
Gadis itu meraba-raba seluruh saku yang menempel di baju dan celana yang dikenakannya. Mencari sejumlah uang kontan untuk membayar pizza yang telah diantar. Namun, tak ditemukannya. "Tunggu sebentar ya! Ibu gue lagi di kamar mandi, gue gak ada uang cash." ujarnya sambil tertawa canggung.
"Oh.. Oke," si pengantar pizza tak masalah.
Sebuah ide muncul dalam benak gadis itu. Berhubung dirinya masih baru di kota ini, tak ada salahnya untuk mengenal orang-orang di sini. "Eh nama lo siapa?"
"Renaldi. Panggil aja Rey," pengantar pizza itu mengulurkan tangan, di sambut hangat oleh si gadis.
"Oh salam kenal. Annisa," gadis itu mengayunkan tangan yang sedang bergenggaman dengan Rey.
"Lo orang baru ya di kota ini?" tanya Rey sambil menaikan sebelah alisnya.
"Iya. Baru ... banget," jawab Annisa sambil cekikikan.
"Eh.. Sudah datang pesanannya," ujar ibu Annisa yang keluar dari kamar mandi sambil memakai jubah mandi dan handuk yang menempel di kepala.
"Iya nih mah. Belum dibayar!" jelas Annisa.
Ibu Annisa merogoh uang dari tas kecil miliknya dan memberikan Renaldi beberapa lembar uang kertas sengaja dilebihkan, sebagai tip.
"Makasih, bu!" Rey meraih uang tersebut dengan senyuman, lalu pergi dengan perasaan gembira.
Annisa menutup pintu apartemen-nya, dan mendudukkan diri di sofa yang terasa empuk.
Ibunya mengikuti langkah Annisa sambil berkata, "pengantar pizza barusan mengingatkan Mama pada seseorang," ujarnya sambil terkekeh.
"Siapa ma?" tanya Annisa sambil membuka pesanan yang belum lama sampai itu.
"Ada. Dari masa lalu!" lanjut wanita bernama Silvia itu.
Annisa menatap mata ibunya sambil tersenyum, bermaksud menggoda, "mantan mama waktu masih muda ya?"
Silvia tertawa saat mengingat masa-masa mudanya dulu. Ia juga tumbuh besar di kota ini, pada awalnya. Namun setelah menikah, ia berpindah bersama suaminya ke kota lain. Dan sekarang, suaminya tersandung kasus pencucian uang, ia pun kembali lagi ke kota kecil ini.
Ibu dan anak itu tertawa, hingga sebuah kilas berita disiarkan di televisi yang sedang menyala, membuat tawa mereka meredup.
"Seorang anak kecil kembali menghilang di Alpenia. Dalam sebulan terakhir, terhitung sudah empat anak yang raib dan tak kunjung ditemukan," sang narator bersuara memberikan informasi.
Annisa merasa terkejut.
Sedangkan Silvia terlihat tak terlalu heran. "Ternyata kota ini masih belum berubah." tanpa sadar, ia berucap demikian.
Annisa menatap ibunya heran, "maksud Mama?"
Silvia menjelaskan, "dulu, Mama di besarkan di kota ini. Kejadian-kejadian seperti ini sepertinya sudah jadi hal lumrah buat penduduk kota. Mama inget banget, waktu itu satu-persatu anak-anak mehilang, sampai ada tujuh belas anak. Tapi, semuanya ditemukan secara bersamaan, di tempat yang sama, dengan ciri-ciri yang sama pula. Semuanya mati kehabisan darah." jelas Silvia membuat putrinya sedikit merinding.
"Semoga kali ini tak terjadi hal yang sama. Semoga tidak ada anak-anak lain lagi yang menghilang, dan empat anak itu segera ditemukan." tandasnya penuh harap.
Annisa makin memutar otaknya, pikirannya berkecamuk serius, perasaannya bercampur aduk, "ma? Kita pindah ke tempat macam apa?" tanyanya dengan sedikit rasa takut.
Selamat malam Alpenia. Gulitamu lebih pekat jika matahari sudah tenggelam. Menambah suasana menyeramkan di tempat yang disebut kota gelap ini. Di kesunyian tengah malam membuat auramu kian bertambah mistis.
Gadis itu terperanjat dari tidurnya dengan keringat menetes deras dari kening, setelah mendapatkan mimpi buruk. Bola matanya memutari kesana-kemari seolah mencari sesuatu. Namun bukan untuk memastikannya ada, melainkan memastikan sesuatu itu tak ada di dalam kamarnya ini.
"Tenang Iswanti, itu hanya mimpi," ujarnya intrapersonal.
Dalam beberapa saat, akhirnya ia pun tenang. Detak jantungnya berangsur normal kembali.
Di kegelapan, ia mencoba kembali untuk tertidur. Iswanti kembali merebahkan tubuhnya di ranjang empuk itu dengan condong ke rusuk kanan.
Tak kunjung juga terlelap, ia mulai mengguling-gulingkan tubuhnya. Beberapa kali seperti itu, ia terhentak kaget. Lagi.
Orang dalam mimpinya tadi, kembali hadir di hadapannya. Kali ini benar-benar nyata, karena ia merasakan sakit ketika mencubit lengannya sendiri.
Iswanti dapat merasakan ketakutan yang nyata kian membesar. Melihat sesosok pria berwajah pucat berjubah hitam semampai dengan kaki yang tak tampak menyentuh ubin kamarnya, membuat dirinya merinding bukan main. Tatapan pria itu kosong, namun seperti menatap dirinya.
Sudah seminggu hal ini terjadi, namun sebelumnya sosok itu hanya menampakkan diri dalam imaji mimpi. Dan kali ini benar-benar terasa asli.
Gadis itu tak kuasa melihat tatapan pria asing yang melayang di dekat lampu nakas tersebut. Ia mencoba untuk berteriak namun tak bisa, karena mulutnya seperti terkunci rapat dari dalam. Akhirnya, ia membalut sekujur tubuhnya dengan selimut, berharap sosok itu segera pergi.
Sampai akhirnya, pria itu lenyap dengan sendirinya. Mulutnya tiba-tiba terbuka, menyuarakan lengkingan yang amat lantang dari balik rongrongan selimut, sehingga menyebabkan orang tuanya datang ke kamarnya.
Ibunya langsung menenangkan dengan pelukan, sedangkan sang ayah mencari-cari di seluruh ruangan, takut ada orang jahat yang menyelinap masuk ke dalam kamar putrinya.
"Bu. Aku udah bilang ke ibu kalau mimpi-mimpi yang datang lewat tidur itu pasti memiliki maksud lain. Kali ini, dia udah datangin aku langsung! Kenapa ini harus terjadi sama aku?" tutur Iswanti dengan air mata yang mulai mengucur karena ketakutan.
Ibu dan ayahnya saling melempar tatapan. Dan tak merespons perkataan Putri mereka.
"Udah, kamu tidur lagi aja. Besok harus sekolah!" saran ayahnya mencoba menenangkan, setelah pencariannya nihil hasil. Tak ada siapapun selain putrinya di kamar ini.
Lagi-lagi, Iswanti tak mendapat kejelasan dari orang tuanya, setelah menanyakan berkali-kali teka-teki yang masih bergelut di pikirannya.
Seperti biasa, ia menjadi anak yang penurut. Ia membaringkan tubuhnya lagi dan mencoba untuk kembali terlelap, meskipun dengan perasaan was-was yang belum padam.
Orang tuanya meninggalkan kamar itu setelah memastikan putrinya pulas.
"Hilda, aku khawatir dengan keadaan putri kita," tutur Ali ketika berhasil menutup pintu kamar putrinya, "apakah tak ada cara untuk membuat dia kehilangan kemampuan astralnya tersebut?" lanjutnya dengan harap cemas.
"Aku sama khawatirnya sepertimu. Dia baru mendapatkan bakat itu. Kamu tahu kan, Kemampuannya itu sudah turun-temurun. Aku juga mendapatkan kemampuan itu dari ayahku. Aku tak tahu apakah ada penawar untuk menghilangkannya. Andaikan ayahku masih hidup untuk menjelaskan lebih detil tentang hal ini," jelas Hilda pada suaminya.
Ali terlihat masih berpikir. Namun, Hilda yang sudah mengantuk mengajaknya untuk kembali tidur.
Iswanti yang ternyata belum terlelap, diam-diam mendengar perbincangan ayah dan ibunya tersebut. Merasa aneh sekaligus takut, mendengar perbincangan kedua orang tuanya. Ia baru mengetahui, bahwa dirinya punya indera keenam.
***
Malam berganti pagi. Namun, keadaan masih terasa gelap karena awan hitam yang menyelubungi kota ini.
Senin pagi dengan cuaca hujan disertai angin tak membuat semangat Naya goyah untuk menimba ilmu. Dengan jaket parasut yang membalut sempurna di tubuhnya, membuatnya sedikit hangat. Serta payung yang sudah siaga, membuatnya siap untuk menerjang badai.
Seperti hari biasanya, ia harus menempuh jarak yang tak terlalu jauh dengan berjalan kaki untuk mencapai SMA pusat kota.
Ia menyusuri jalan setapak dan terhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan tampilan tak jauh berbeda dengan rumah miliknya. Dalam beberapa detik, mengharapkan seseorang muncul dari sebalik pintu.
Dan akhirnya, seorang pemuda membuka pintu rumah itu. Membuatnya refleks bergerak, berjalan senormalnya, takut jika ketahuan seperti orang yang sedang menguntit.
Pemuda itu memanggil namanya, membuatnya senang sekaligus gelisah. Perasaannya sering bercampur aduk akhir-akhir ini.
"Naya!"
Pura-pura tak mendengar, ia melanjutkan langkahnya lamat-lamat. Namun, hatinya dibuat lagi tak karuan ketika sebuah telapak tangan menyentuh lembut pundaknya.
"Hey!" ujar Renaldi sambil ikut masuk berlindung di bawah payung yang dipegang Naya.
"Hai Rey!" gadis itu berbicara seolah-olah semuanya normal. Kontradiksi dengan hatinya yang tak jelas sedang merasakan apa.
"Bareng ya!" Renaldi malah makin merapatkan diri. Ia menjalarkan lengan kanannya merangkul pundak Naya. Membuat situasi Naya makin sulit. Sulit karena kesenangan yang dirasakan oleh hatinya kini mungkin saja tak akan bertahan lama.
Naya sangat berusaha keras untuk mengatur nafasnya, tak ingin terlihat tegang atau grogi di samping Renaldi. Karena, ia ingin bersikap seolah tak merasakan hal lebih dari seorang sahabat pada pemuda itu. Ia takut, persahabatannya akan hancur jika Renaldi mengetahui kebenarannya. Masalahnya, Renaldi sudah mempunyai tambatan hatinya sendiri. Dan jelas, itu bukan dirinya. Ia hanya akan tetap menjadi orang yang selalu ada untuk berbagi cerita.
"Eh, buku matematika gue dibawa, kan?" ujar Naya mencoba mencairkan dirinya sendiri.
"Aduh... ketinggalan!" ucap Renaldi sambil menepuk jidat.
Dengan spontan, Naya mendorong Renaldi ke bawah guyuran hujan.
"Apaan sih. Gue bercanda kali," ujar Renaldi dengan cepat masuk lagi ke bawah payung, "tuh, jadi basah, kan?"
"Ya maaf," ucap Naya memajukan bibirnya.
Pembicaraan dan candaan antar dua sahabat itu berlangsung sepanjang jalan dengan sangat menyenangkan. Hal itulah yang membuat Naya takut untuk mengutarakan perasaannya. Takut kalau ia tak akan pernah bisa memiliki momen indah seperti ini lagi bersama Renaldi.
***
SMA Alpenia menjadi hal baru bagi Annisa. Namun, tak menjadi masalah baginya untuk dapat langsung berbaur dengan orang-orang di dalamnya. Sifatnya yang berangsur berubah, membuatnya menjadi lebih ramah.
"Hai! Gue Intan," seorang gadis dengan ekspresi enerjik menjulurkan tangan pada Annisa ketika sedang asyik mengobrol dengan teman-teman barunya.
"Hai! Annisa," balasnya dengan meraih tangan gadis berkulit putih dan berambut kemerahan itu.
"Selamat! Lo resmi di undang ke acara ulang tahun gue," lanjut Intan tiba-tiba memberikan sebuah undangan pesta ulang tahun.
"Oh... makasih," Annisa terlihat menyambut hangat undangan itu, "emang kapan pesta ulang tahunnya?"
"Tiga bulan lagi," ucap Intan menerangkan.
Annisa mengernyit untuk sesaat, "Oohh.." ucapnya berusaha mengerti meskipun merasa bingung. Kenapa menyebarkan undangan yang masih berada di tanggal jauh?
"Oke. Tandai tanggalnya, ya!" cetus Intan seperti menyuruh. "Oke bitches! Ayo kita cari lagi orang yang layak buat datang ke pesta gue," ajaknya pada dekengan sejatinya, Rima dan Amora.
Intan Salsa Wijaya. Gadis cantik nan populer di kelas dan juga seantero SMA Alpenia. Selalu membuat sensasi, contohnya seperti sekarang ini. Dikenal sebagai gadis kaya yang sombong, centil, juga egois. Biasanya ia memilah-milih teman. Kriteria utamanya harus dari kalangan papan atas. Namun, pada Annisa, ia langsung menetapkan keputusannya. Sebab, ia merasa pernah melihat wajah itu di suatu tempat.
Intan dan dekengannya meninggalkan Annisa yang masih terheran. Saat di depan pintu, ia melihat Naya dan Renaldi yang baru saja tiba dengan jaket yang sedikit basah karena banyak bercanda dengan air hujan tadi.
"Hai gembel!" sapa Intan dengan centil pada dua orang itu dengan ekspresi tak berdosa. "Hai kakak!" sapanya lagi ketika melihat pemuda tinggi yang sedikit memiliki kemiripan wajah dengannya di belakang Naya dan Renaldi.
Nama pemuda Ikbal Tsani Wijaya, saudara kembarnya. Tak sombong seperti Intan, saudaranya ini hanya memiliki wajah dan hati dingin.
"Dadah Ikbal! Gue mau nyebarin undangan birthday party kita," lanjutnya sambil menjauh pergi, "oh ya, para gembel gak usah datang, ya?"
Naya berbisik pada Renaldi. "Lo serius, masih suka sama dia?"
Renaldi mengangguk, dibarengi dengan Naya yang mengerlingkan mata.
Naya berkutat dengan pikirannya. Kualitas apa yang dimiliki Intan, yang tak sebanding dengan dirinya. Sehingga Renaldi tak pernah memandangnya dengan tatapan penuh cinta seperti saat memandang gadis sombong itu. Apakah karena gadis itu memiliki harta berlimpah? Tidak! Renaldi bukan tipe orang seperti itu.
Mereka berdua berjalan menuju tempat duduk, namun ketika sampai, sudah ditempati orang lain. Ada Annisa di sana.
"Hai... pengantar pizza," ucap Annisa bersemangat menyapa Renaldi.
"Oh, kasar ya!" sahut Naya yang bereaksi sambil menaikan alis.
"Oh sorry. Gue gak bermaksud menghina," Annisa meminta maaf, "gue Annisa," ia mengangkat tangannya.
"Naya," balas Naya dengan tersenyum palsu, "itu tempat duduk kita," lanjutnya dengan nada bicara tak bersahabat.
"Oh maaf. Gue gak tau," ucap Annisa gelagapan.
"Sekarang udah tau, kan?" ketus Naya.
"Lo kenapa sih?" Bisik heran Renaldi pada sahabat karibnya itu.
"Emm.. Oke. Kalau gitu, gue pindah ke belakang aja," pungkas Annisa mengangkat tasnya, hendak beranjak berpindah.
"Udah, gak usah. Gue aja yang ke belakang," ujar Renaldi yang dari tadi tak ikut meracau, dengan suka rela mengalah.
Naya menatap Renaldi sedikit kesal. Tak menerima keputusan itu.
"Oke. Makasih pengantar pizza, Rey maksud gue!" tutur Annisa sambil menatap Naya yang cemberut.
Naya yang merasa kesal tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya ia duduk bersama murid baru itu.
Sedangkan Annisa mempunyai perasaan tak enak sekaligus heran. Kenapa Naya bersikap seperti itu padanya, seperti tak menyukainya.
Renaldi berjalan menuju bangku pojok di belakang. Seorang gadis duduk di sana. Dikenal sebagai gadis aneh, kutu buku, dan anti sosial. Hal itu tak jarang membuatnya menjadi korban perundungan.
"Hai Iswanti. Boleh gue duduk disini sama lo?" sapa Renaldi ragu. Karena sudah setahun lebih sekelas dengan gadis itu, mereka hampir tak pernah bertegur sapa.
Gadis berkacamata itu mengangguk mengiyakan.
"Oke," ujar Renaldi menempati posisi, dengan suasana canggung mengelilingi.
Suasana kantin sangat ramai ketika jam istirahat tiba. Siswa-siswi memesan makanan untuk di santap sebagai pengganjal perut, hingga nanti pulang ke rumah masing-masing.
Gadis bertubuh gemuk itu duduk sendirian di pojok kantin setelah berhasil membawa pesanan makanannya dengan mimik wajah murung.
Sesekali siswa-siswi yang berlalu lalang menghujatnya dengan kata-kata tak pantas. Seperti 'gajah bengkak', 'siluman kudanil', dan cercaan lain yang sudah tak terhitung lagi oleh jari tangannya.
Separuh hidupnya hampir dihabiskan untuk mendengar hinaan seperti itu. Membuat gadis bernama lengkap Ulfa Juliana itu sulit memiliki teman.
Annisa yang sedari tadi membawa nampan di tumpangi burger di atasnya dengan kedua tangan, masih mencari-cari tempat duduk. Hampir tak ada ruang untuknya. Hingga sudut matanya melihat meja Ulfa. Dan akhirnya memutuskan untuk menghampiri.
"Hey! Boleh duduk?" tanya Annisa pada Ulfa.
Ulfa mengangguk sambil menunduk, tak berani menatap mata si pembicara.
Annisa menyempurnakan duduknya, berhadapan dengan gadis yang sedang bersedih itu. "Kayaknya kita sekelas deh. Tapi belum kenalan. Annisa," Annisa bersikap ramah, tangannya ia berikan untuk bersalaman.
"Ulfa," sahutnya canggung. Sedangkan Annisa setia dengan senyumannya.
Annisa mulai menyantap makanannya, begitu pun dengan Ulfa.
Tak tahu datangnya dari mana, Intan dan pasukannya tiba-tiba muncul dan terduduk di sebelah Annisa. "Hey kawan baru! Kenapa lo duduk disini?" sapanya sudah terlihat akrab.
"Karena gak ada meja kosong," jawab Annisa jujur.
"Apa? Lo bisa gabung di meja kita. Iya kan, bitches?" tanya Intan pada Rima dan Amora. Disambut dengan anggukan dari keduanya.
"Ayo! Daripada Lo duduk di pojokan gini. Tempatnya kotor. Kayak kandang sapi," ia menutup hidung, "eh, emang ada sapinya disini," lanjutnya dengan suara dengung karena hidungnya masih ditutup. Ia dengan jelas menghina Ulfa, walaupun dengan nada bicaranya yang tak terdengar menghina.
Ciri khasnya memang seperti itu, berkata selembut kapas di bibir, dan akan terasa setajam silet jika sudah kena di hati.
Seperti biasa, Ulfa hanya diam. Menunduk, menerima semua hinaan yang memberondongnya.
Annisa menatap Ulfa iba. Merasa perkataan Intan pasti sangat menyakiti hati Ulfa.
Sedikit kesal pada Intan, ia pun menolak ajakan itu. Namun, sikap Intan yang seperti itu, mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu. "Udah gak apa-apa. Gue di sini aja."
Tak mau menurunkan harga dirinya dengan memaksa apalagi memohon, akhirnya Intan bersedia pergi, "terserah lo!"
Setelah Intan pergi, masalah lain muncul selang beberapa detik kemudian. Tiga orang siswa menghampiri meja mereka. Salah satunya Ikbal, saudara kembar Intan. Dua siswa lain duduk mengapit Ulfa, sedangkan Ikbal duduk di samping Annisa.
"Hey Ulfa! Lo udah aborsi, belum?" hina siswa dengan tanda pengenal Faisal Adijaya menempel di dada bagian kanannya. Ia terkekeh merasa puas.
"Dengar-dengar, lo jadi simpanan om-om, ya?" satu siswa lainnya ikut mencemooh. Memfitnah lebih tepatnya. Siswa itu bernama lengkap Salman Darmawan.
Sedangkan Ikbal yang duduk di samping Annisa hanya berdiam diri. Sesekali hanya melengkungkan bibir.
Ulfa tak merespons, sudah lelah dan pasrah dengan keadaannya.
"Bisa gak kalian nggak ganggu kita? Kita mau makan!" pinta Annisa baik-baik, meskipun merasa risih pada kata-kata Faisal dan Salman.
"Hey! Kita nggak gangguin lo, kan?" ucap Ikbal dengan nada dingin.
"Tapi gue keganggu dengan kehadiran lo semua disini!" ketus Annisa dengan nada meninggi, membuat Ikbal tersulut.
Meskipun sering bersikap dingin, Ikbal juga dikenal tempramental. Darahnya akan cepat mendidih jika ada yang menentangnya.
"Lo anak baru, jadi jangan songong! Lo kira gue gak tau lo siapa?" cetusnya meradang.
"Maksud lo?" Tanya Annisa sambil menaikkan alis.
"Anak koruptor!" Ikbal mendekatkan bibirnya ke telinga Annisa. "Mungkin semua orang belum sadar sekarang, karena lo masih baru. Tapi lihat besok atau lusa, sekolah ini bakalan heboh. Wajah lo bakal diinget sama semua murid sekolah. Mereka bahkan mungkin akan menghina!" lanjutnya mengancam.
Annisa menelan ludah, masalah yang coba ia hindari ternyata sudah diketahui. Namun gadis itu mencoba untuk tak gentar, "gue gak takut!" ia menjauhkan telinganya dari bibir Ikbal, dan langsung menatap pemuda itu dari mata ke mata.
"Ulfa. Ayo kita ke kelas! Kalian berdua, minggir! Ulfa mau lewat," lanjutnya sembari berdiri masih berusaha tegar.
Annisa dan Ulfa hendak pergi. Namun Annisa meninggalkan ponselnya di atas meja, menyebabkannya harus berhadapan lagi dengan Ikbal.
"Pernahkah ada orang yang bilang kalau mulut kalian kayak mulut cewek?" ketus Annisa pada tiga siswa itu. "Dan satu lagi, gertakan lo basi!" bisiknya tepat di telinga Ikbal.
Perkataan tersebut tak pelak membuat Ikbal semakin geram. Ia menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan di atas meja sekuatnya. Mulai saat ini, Annisa telah resmi menjadi musuhnya.
Annisa melenggang pergi dengan mencoba menghibur Ulfa yang tadi menjadi korban perundungan. Dan baru kali ini, Ulfa merasakan kehadiran seseorang yang dapat disebut sebagai teman.
***
Annisa yang baru saja berhasil menenangkan Ulfa dengan sedikit dukungan moril, kembali ke bangkunya, hendak duduk. Bingung harus bagaimana, Naya masih saja seperti membencinya.
Naya menyiratkan hal tersebut terlalu jelas. Mereka berdua akhirnya tak berucap sepatah katapun.
Renaldi menghampiri Naya, chemistry mereka terlalu kuat. Sehingga setelah dipisahkan pun, mereka pasti akan bersatu lagi, entah itu membutuhkan waktu singkat atau lama sekalipun.
Renaldi mencolek pundak Naya, bermaksud membuat guyonan.
Naya yang sedang membaca buku jelas tak merespons dan merasa sedikit kesal. Namun, setelah beberapa kali di colek, akhirnya ia pun cair juga, tak dapat menahan godaan itu.
Tawa bahagia kedua insan manusia itu jelas tergambar. Annisa yang melihat ikatan mereka berdua pun ikut tersenyum.
Melihat Annisa tersenyum, Renaldi ikut mencolek dan menggelitik Annisa. Dan tanpa mereka sadari, suasana dingin antara Annisa dan Naya akhirnya terhangatkan karena ulah Renaldi yang memulai hal tersebut.
Sedang asyik bercanda, mereka bertiga terhenyak kaget mendengar lengkingan gadis dari arah bangku pojok belakang.
Seluruh siswa-siswi berlarian keluar kelas, ketika mendapati Iswanti berteriak dan sedikit melayang karena tak menapakkan kakinya di lantai. Wajahnya pun juga berubah pucat pasi. Bahkan bola matanya kini berubah putih semua.
Papan tulis terjatuh dengan sendirinya. Kertas dan buku beterbangan. Meja dan kursi pun bertabrakan. Suasana semakin menyeramkan ketika Iswanti meringkik tertawa.
Ada siswi yang tertinggal di kelas itu. Ulfa yang tak sempat lari keluar kelas, malah tergencet meja dan kursi. Badannya yang gempal membuatnya sulit bergerak. Ia terjebak!
Iswanti yang melayang, perlahan mendatangi Ulfa yang sudah berkeringat sangat banyak.
Ulfa tak dapat mengatur nafasnya. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Ia juga menangis ketakutan ketika mendapati Iswanti yang sudah menipiskan jarak. Hanya satu meter tersisa.
Iswanti masih cekikikan, berputar-putar menggerayangi Ulfa yang menutup mata.
Kemudian, Ulfa mulai merasakan sentuhan tangan di wajahnya. Sangat dingin.
Selama beberapa detik, Iswanti hanya mengusap wajah Ulfa, tak melakukan hal yang macam-macam. Sampai akhirnya, Iswanti dengan sendirinya ambruk ke lantai.
Ulfa yang masih merasakan takut, tak berani untuk menolong teman sekelasnya itu. Ia hanya menatap Iswanti yang tergeletak dengan pandangan was-was.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!