NovelToon NovelToon

Mawar Berhati Baja

Who are you?

Gwendoline berangkat terburu-buru dengan menyambar novel yang baru dibelinya kemarin.

Menyambar rotinya dan meminum susunya secepat kilat karena khawatir terlambat ke sekolah.

Melirik jam tangannya kurang setengah jam lagi dia harus segera sampai di sekolahnya.

Terburu-buru menyeberang jalan karena mengejar bis yang akan mengantarnya ke sekolah dan tiba-tiba matanya menggelap.

"Gwen!!!" Teriakan ibunya menggema seiring dengan suara dug kencang yang menyambar tubuhnya yang terlempar ke pinggir trotoar.

Dinding berwarna krem, ranjang yang berbau sangat wangi seperti semerbak harum kayu cendana dan melati menerpa hidungnya.

Gwen terbangun dan tidak mengenali tempat dimana dia berada.

Cermin besar dan aneka peralatan make up terhampar dan lemari berisi pakaian-pakaian mewah dan seksi.

"Dimana aku? Tempat apa ini?"

Tubuhnya telanjang bulat dan disampingnya tidur seorang pria yang berwajah tampan. Tertidur nyenyak seperti bayi.

"Astaga! Apa yang sudah kulakukan?"

Gwendoline bermaksud beranjak dari tempat tidurnya. Tetapi sebuah tangan menahan dan memeluknya.

"Jangan pergi dulu!" Sahut pria yang sedang tertidur itu berkata padanya.

Pria itu memeluknya sangat erat. Mencerukkan wajahnya ke lehernya.

Gwendoline merasa sangat risih. Hatinya resah. Bagaimana dia bisa tidur bersama dengan seorang pria tidak dikenalnya.

Walaupun wajah pria tersebut sangat tampan. Tetap saja mereka tidak saling mengenal.

Apakah dia dicecoki obat? Atau minum alkohol sampai mabuk? Apa yang sebenarnya terjadi? Dimana mereka saling kenal? Kapan mereka berkenalan? Kapan mereka mulai merasa dekat? Kapan mereka mulai berhubungan intim?"

"Aku mau ke kamar mandi." 

Terpaksa dia berbohong agar pria itu mau melepaskannya.

"Jangan lama-lama…."

Pria itu melepaskan pelukannya. Melanjutkan tidurnya. 

Gwendoline mengenakan pakaiannya dan berlari ke kamar mandi.

Membersihkan tubuhnya dan merasa jijik dengan apa yang sudah dilakukannya tanpa sadar.

Air matanya mengalir, "Ibu, maafkan, aku! Aku tidak tahu mengapa aku menjadi seperti ini! Bagaimana aku bisa tidur dengan pria yang tidak kukenal sama sekali? Apakah dia memperdayakanku? Aku sudah tidak punya masa depan. Aku wanita yang sangat nakal!"

Selesai mandi, dia mengenakan kamar jas yang ada di kamar mandi dan bermaksud memilih pakaiannya.

Semua pakaian di dalam lemari sangat seksi. Berpotongan dada rendah. Dia tidak bisa memilih satu pun pakaian di dalam lemari tersebut.

Pilihannya jatuh pada baju kaos menggantung, memperlihatkan perut dan pusarnya. Branya juga terlihat mengintip di balik kaos yang menggantung tersebut dan celana panjang ketat.

"Kau sudah mandi?"

Pria tersebut bangun dan melenggang masuk ke dalam kamar mandi.

Terdengar suara air shower dinyalakan. Pria itu bernyanyi kecil sambil membersihkan tubuhnya.

Air shower dimatikan. Tanda pria itu selesai mandi. Hening dan tidak lama terdengar alat cukur dinyalakan.

Pria itu kembali memasuki kamar dengan mengenakan kamar jas. Jubah kamar jasnya dipakai asal. 

Tubuhnya yang proposional dengan perut berbentuk six pack mengintip di balik kamar jasnya.

"Mengapa kau menangis? Ah! Wanita memang sulit dimengerti. Kau bersedih atau karena habis bercinta?"

"Apa?" Tanya Gwendoline tidak mengerti.

"Ada wanita yang menangis setiap selesai bercinta. Tapi aku baru melihatmu menangis. Apa kau ada masalah?"

Gwendoline tidak menjawab.

"Kau tidak ingin membagi masalahmu denganku? Tidak apa-apa. Urusanku sudah banyak. Lebih baik kau simpan masalahmu sendiri. Kau pasti bisa menyelesaikannya." Pria itu membuka tutup botol air mineral. Meminumnya sampai tandas. Sepertinya dia terlihat sangat haus. 

Membuka tutup kaleng toples yang berisi kue kering. Ada lima jenis kue, coklat, nastar, kastengel, cookies dan lidah kucing.

"Kau dan madam Juwita sudah setuju, aku mengontrakmu   setahun. Menikah pura-pura denganku  untuk mendapatkan warisanku dari kakekku. Agar aku bisa mengambil warisanku. Syaratnya aku harus menikah baru bisa memperoleh warisan itu."

Gwendoline memandang dengan kelu dan tidak berkata sepatah kata pun.

"Bersiaplah. Supirku akan membawakan barang-barangmu. Kita mampir dulu membeli pakaian. Orang tuaku tidak akan mengijinkan kau berpakaian seseksi ini. Semua pakaianmu digunakan kalau kita berkencan saja? Bagaimana?"

Gwendoline hanya diam. Pikirannya kacau. Dia juga tidak menginginkan semua baju yang sepertinya diperuntukkan baginya.

Dean merangsek maju dan bersiap untuk ******* bibir Sinta.

"Kau mau apa?" Sinta mendorong Dean.

"Jinak-jinak merpati. Ya sudah, nanti saja kita lanjutkan setelah menikah supaya sakral. Ada yang bilang juga kalau calon pengantin jangan saling bertemu sebelum menikah. Aku tidak terlalu percaya takhayul semacam itu. Tapi kalau kau masih mempercayainya, aku menghormatimu." Dean berjalan menjauhkan diri dari Sinta. Dia mengganti jubahnya dengan pakaiannya. 

Refleks Sinta menutup mata melihat Dean membuka kamar jasnya. Bertelanjang bulat. Memakai pakaiannya.

"Mengapa kau berlaku aneh? Apakah menikah mengubah kebiasaan dan prilaku seseorang? Tetapi kupikir itu dalam hal tanggung jawab dan anak. Bukan kebiasaan sehari-hari."

Dean meraih sepatunya. Memasang kaos kaki. Memakai sepatunya. Dasinya disampirkan begitu saja. Di sekitar lehernya. Memasang jam tangan yang tergeletak di nakas samping tempat tidurnya.

"Persiapkan semua barang-barangmu dan ikut aku!"

Sepertinya aku bertransmigrasi ke dalam tubuh seseorang.

Gwen membatin. Semua serba asing dan baru dilihatnya. Semua isi kamar ini bukan kepunyaannya sama sekali.

Gwen membereskan barang-barangnya.Memasukkannya ke dalam koper yang terdapat di atas lemari pakaian.

Dia mengganti bajunya kembali  dengan pakaian yang dianggap paling sopan karena pakaian yang dipilihnya masih membuatnya risih.

Pilihannya jatuh pada celana panjang ketat yang membungkus tubuhnya dan kemeja tangan pendek yang memperlihatkan lengannya. Mengancingnya sampai paling atas karena khawatir belahan dadanya tersembul. Menyambar syall dan menutupi seluruh tubuhnya dengannya.

"Aku tidak suka semua pakaian disini. Membuatku sangat risih!"

Seorang pria mengetuk pintu kamarnya dan sepertinya supir dari pria muda yang berada di kamarnya.

"Maaf, non saya ingin membawakan barang-barang nona ke mobil."

"Silahkan, pak!"

Gwen berjalan mengikuti supir yang membawa barang-barangnya ke mobil.

"Pak, nanti kita mampir dulu ke toko pakaian. Membeli pakaian untuk Nona Sinta."

"Baik, tuan."

"Aku akan menemui madam Juwita sebentar. Kalian langsung saja menuju mobil. Nanti aku menyusul."

Sayup-sayup terdengar suara pria muda tersebut berkata kepada wanita yang sedang diajak bicara.

"Sudah murah, tuan. Tidak bisa kurang lagi harganya. Aku rugi sebenarnya menjualnya secara kontrak. Selisihnya sangat jauh kalau mengeteng. Apalagi Sinta yang terbaik disini. Memandang hubungan baik denganmu. Aku mau melakukannya."

"Aku hanya minta harganya kau kurangi sedikit."

"Belum bisa tuan. Apa kau ingin menggantinya dengan Shirley atau Mitha?"

"Hmm, tidak. Aku hanya mau Sinta yang menjadi isteri pura-puraku."

Suara pembicaraan mereka semakin sayup dan menghilang.

Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilat.

Aku ada dimana? Mengapa semua terasa asing? Aku belum pernah ke tempat ini. Dimana aku?

Apakah aku bertransmigrasi ke tubuh seseorang. Siapa aku?

Shoping

Mobil meluncur ke luar dari kediaman madam Juwita. Sudah dikenal sebagai rumah bordil di lingkungan highclass dan eksklusif.

"Kita beli pakaian dulu pak, buat Nona Sinta."

Mobil meluncur ke tempat perbelanjaan mewah. Salah satu mall terbesar dan paling terkenal di kota mereka. 

Supir menurunkan mereka di lobi mall. Dean dan Sinta bergegas turun.

"Wow! Besar sekali dan sangat mewah!"

"Ssstt! Jangan kayak orang udik begitu! Kita kan pernah ke sini."

"Masak? Kapan?"

"Memang pakaian-pakaian mewahmu beli dimana?"

"Mana aku tahu!"

"Sudahlah! Malas aku meladenimu. Ibuku menungguku di rumah. Ingin segera bertemu denganmu tapi kau tidak memiliki pakaian yang pantas untuk dikenakan. Salahku juga hanya membelikanmu pakaian seksi dan hot. Tapi, itu karena aku tidak berniat menikahimu. Kalau bukan karena warisan sialan itu! Aku masih bebas merdeka."

Dean menarik tangan Sinta dan membawanya masuk ke dalam sebuah butik dengan merek terkenal.

Mata Sinta nyaris terloncat melihat harga pakaian yang terdapat di tag price. Dia berbalik ingin keluar toko.

"Eh…Kau mau kemana?"

"Kau lihat harganya. Mahal sekali. Lebih baik ke tempat lain. Cari yang lebih murah!"

Dean mengejar Sinta dan menghadangnya.

"Kau ini kenapa sih? Kita harus beli baju yang pantas. Aku tidak ingin ibuku memiliki alasan menolakmu. Kau harus membantu dan bekerja sama denganku. Kau tidak usah memikirkan masalah harga. Aku tidak mungkin membelinya kalau tidak mampu membayarnya."

"Tapi baju-baju itu seharga motor. Mungkin kau bisa membeli emas atau tanah. Sesuatu yang lebih bernilai daripada pakaian? Banyak pakaian yang bagus dan keren. Harganya tidak semahal dan fantastis itu!"

"Kau akan jadi menantu keluargaku. Bagaimana aku menjelaskannya padamu? Begini saja, aku minta kau menurutiku dan sisanya kau jangan banyak berpikir. Bagaimana?"

"Baiklah! Tapi benar kau tidak ingin melihat ke tempat lain yang berpuluh-puluh kali lebih murah tapi tetap bagus kualitasnya. Lima ratus ribu sampai satu juta rupiah."

"Kita akan berbelanja pakaian rumah. Kau bebas memilih. Mau yang murah juga boleh. Nanti kutemani kau membelinya. Tapi ini pakaian ini digunakan untuk acara sosial, resmi dan keluarga."

"Terserah saja. Tapi aku sudah memperingatkan bahwa harga pakaiannya terlalu mahal."

"Kau tenang saja, ya? Ayo, kita masuk ke dalam."

Mereka masuk ke dalam butik mewah yang membuat Sinta risih.

Para staff yang melayani mereka sangat ramah. Tetap saja, Sinta merasa risih. 

"Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu pak dan ibu?"

"Saya mau membelikan pakaian, tas, sepatu juga jam tangan untuk tunangan saya. Tolong pilihkan yang terbaik."

"Baik, pak."

Staff toko membawakan pakaian berwarna hitam, putih, merah, hijau tosca, marun, navy dan cream. Sepatu, tas dan jam dengan warna senada.

"Coba kau coba satu-satu aku mau lihat."

Sinta masuk ke fitting room dan mencoba pakaian, tas, sepatu dan jam satu per satu.

Dean memilih pakaian yang terlihat elegan, sopan dan sophisticated.

"Aku tidak suka modelnya. Terlalu terbuka. Ibuku tidak akan menyukainya."

"Coba kau berputar. Kupikir pakaian ini sangat cocok denganmu. Aku ambil ini."

Mereka keluar toko membawa tas belanja dibantu staff toko.

"Kau membeli pakaian banyak sekali. Kupikir kau sudah bisa membeli rumah mungil dari pada kau habiskan untuk berbelanja pakaian."

"Kau jangan membuat malu keluargaku. Apa kau ingin berbelanja dengan ibuku?"

"Mengapa aku harus berbelanja dengan ibumu? Karena kau calon menantunya. Kalau pilihanmu buruk. Dia yang akan memilihkan langsung untukmu."

Sinta terdiam mendengar ucapan Dean.

"Kita pilih asesoris dulu."

Mereka masuk ke salah satu toko yang menjual asesoris. Mereka memilih asesoris sesuai warna-warna pakaian yang mereka pilih.

"Kau jadi berbelanja pakaian rumah?"

Sinta menganggukkan kepalanya.

"Tapi tidak disini. Ada tempat yang jauh lebih murah dan pakaiannya juga bagus-bagus."

"Baiklah, aku akan mengantarmu."

Sinta merasa lebih nyaman dengan mall pilihannya. Dengan bersemangat. Dia mencari dan memilih pakaian-pakaian yang disukai dan dibutuhkannya.

"Kita sudah memasuki sepuluh toko dan kau belum memutuskan memilih yang mana. Kakiku pegal." Keluh Dean.

"Kau sangat tidak sabar berbelanja. Kita harus lihat semuanya sehingga kita bisa tahu mana yang terbaik dan pas buat kita."

"Kita makan dulu. Aku juga haus nanti kita lanjutkan lagi."

"Sebentar aku lihat toko ini dulu ya? Setelah itu kita makan dan minum."

Sinta berkeling meneliti isi toko.

"Yuk, kita makan dan minum. Nanti kita lanjutkan lagi."

"Belum ada yang kau beli?"

"Aku ingin melihat lantai tiga dan empat dulu. Baru setelah itu akan kuputuskan memilih yang mana."

"Kau ingin belanja,  menyiksa atau membunuhku sih?"

"Kau itu sangat tidak sabar."

"Sudah dua jam lebih kita berkeliling. Dua lantai kau teliti semua. Kupikir kau cocok menjadi staff YLKI daripada konsumen."

"Terserah! Berbelanja harus sabar. Kalau kau ingin mendapatkan yang terbaik. Harus sabar dan teliti. Jangan terburu-buru. Best deal. Best product. Best offer. Best everything!"

"Sudahlah! Aku kehausan dan kelaparan."

Mereka berjalan menuju food court. Memilih salah satu food station yang menjual makanan tradisional. 

Ayam bakar, sayur asam, balado teri kacang, bakwan, tahu dan sambal. Es kelapa muda cincau.

Mereka mencari spot yang nyaman untuk mengobrol dan makan. 

"Kakiku benar-benar sangat pegal." Dean menselonjorkan kedua kakinya.

"Aww!" Jerit Sinta.

"Kau kenapa?"

"Tulang keringku!"

"Maaf!" Dean kembali menarik kakinya.

"Kau juga meluruskan kaki?"

"Kakiku juga pegal."

"Kau nanti jangan nervous ketemu orang tuaku. Bersikap biasa saja. Bisa kan?"

"Aku loncat-loncat di sofa. Bagaimana?"

"Kau akan loncat-loncat di sofa?"

Pecah tawa Sinta.

"Aku hanya menggodamu karena kau terlalu nervous."

"Kau tidak tahu bagaimana orang tuaku. Bibit, bebet dan bobot sangat penting."

"Trus aku gimana?"

"Kau babat!"

"Babat?"

"Babat habis alias tancap gas!" Dean tertawa lepas.

Sinta ikut tertawa.

"Apakah orang tuamu tahu latar belakangku?"

"Aku sudah memberitahukannya."

"Mereka tidak keberatan?"

"Aku tidak peduli. Aku akan menjalani hidupku. Aku yang lebih tahu. Kau yang mengerti selera ranjangku."

Wajah Sinta seperti kepiting rebus.

"Kau bisa tidak jaga ucapanmu!"

"Tapi kan memang benar?"

"Kupikir, sebaiknya kau patuhi orang tuamu. Cari wanita yang sepadan denganmu."

"Urusan ranjang, kau yang paling sepadan."

"Kau benar-benar menyebalkan."

"Aku laki-laki. Sangat praktis. Hanya memilih yang sesuai dengan kebutuhan realku."

Sinta memandang Dean dengan raut wajah sebal.

"Apakah nilai wanita di mata kalian, lelaki hanya sebatas seksual?"

"Kalau kau berbicara isteri, pacar atau simpanan. Iya. Tapi kalau teman, sahabat atau saudara tentu tidak."

"Lelaki berselingkuh karena tidak terpuaskan masalah ranjang?"

"Salah satunya. Lelaki berselingkuh karena ****. Jawabannya, ya…."

"Seberapa penting **** untuk lelaki?"

"Ruh pada jasad."

Family Talk

Dean meminta pelayan di rumah orang tuanya untuk mengantarkan dan membawakan barang-barang milik Gwen.

" Kau sudah mantap untuk menikah dengan gadis pilihanmu?" Ibunya mengoleskan selai ke roti untuk diberikan pada putranya.

"Tentu saja!"

"Siapa namanya?"

"Sinta!"

"Ayahmu benar. Memilih isteri harus melihat bebet, bobot dan bibitnya."

"Bu, kau sudah setuju kan?"

"Ibu setuju tapi kalau kau masih bisa merubah pikiranmu maka itu yang terbaik."

"Bu, apa kau tidak senang aku menikah dan mendapatkan warisanku?"

"Ibu senang kau menikah tapi sebaiknya pilihlah wanita yang baik dan pandai melayani suami."

"Dia pelacur sudah pasti pandai melayaniku. Dia juga baik."

"Sangat susah menasehatimu. Bagaimana kalau dia tidak setia padamu dan hanya mengincar uangmu saja?"

"Aku akan memenjarakannya kalau dia berani berselingkuh. Aku menikahinya secara siri sehingga dia tidak dapat menyentuh hartaku kecuali apa yang kuberikan padanya."

"Jika kau berubah pikiran…."

"Aku tidak akan berubah pikiran…."

"Anak kurang ajar!"Bentak ayahnya.

"Yah!"Ibunya berusaha menengahi.

"Kau selalu membelanya sehingga dia menjadi besar kepala!"

""Papa sendiri memangnya mau menikah kalau tidak dengan mama?"

"Aku tidak pernah sepertimu! Fokus saja dengan yang aku kerjakan sampai bertemu ibumu tapi kalau kau kan tidak."

"Ayah  dulu tidak memiliki uang seperti aku  sekarang.  Aku berbeda dengan ayah. Seandainya ayah lahir dan besar sepertiku?"

Ayahnya bangkit dari duduknya dan menjewer kuping  anaknya kuat-kuat,"Masih melawan dan mencari alasan? Banyak anak yang orang tuanya kaya tapi kelakuannya tidak bejat sepertimu! Ibumu terlalu memanjakanmu!"

"Yah! Sakit! Telingaku!"Dean mengusap telinganya yang panas dan merah.

"Itu tidak seberapa dibandingkan dengan sikap kurang ajarmu! Harusnya kurebus kau hidup-hidup!"

"Memangnya aku air, direbus?"

"Kau melawan terus! Kau terlalu memanjakannya sehingga seperti ini."

"Dia itu anakmu! Jangan terlalu keras padanya." Isterinya menuangkan air putih ke dalam gelas untuk suaminya.

"Minumlah! Jangan marah-marah terus. Jaga kesehatanmu." Isterinya mengupas buah pear untuk suaminya.

"Walaupun anak kita sendiri, jangan terlalu memanjakannya. Tidak baik! Kau bisa merusaknya dengan memanjakannya. Kau lihat bagaimana perbuatannya terhadap para wanita?"

"Suka bermain dengan pelacur. Kalau kau membuat masalah lagi akan kucabut warisanmu!"

"Yah! Kau jangan seperti itu. Dia anakmu jangan terlalu kejam kepadanya dan pasti Dean memiliki alasan kenapa dia memilih Sinta menjadi isterinya."

Dean memeluk ibunya mesra dengan pandangan berterima kasih.

"Bu, terima kasih atas cinta dan kepercayaannya. Aku tidak akan mengecewakanmu. Percayalah!"

"Terima kasih, sayang! Ibu percaya padamu!".

"Sebaiknya kau buktikan ucapanmu!"

"Aku tidak akan mengecewakanmu, yah! Kau lihat saja nanti!"

Gwen mendengar percakapan anak beranak tersebut.

"Ternyata namaku Sinta dan aku seorang pelacur." Air mata kembali mengalir dengan deras. Hatinya merindukan ibunya.

Memanggil ibunya dengan lirih.

"Bu, tolong aku! Aku ingin keluar dari sini. Aku tidak mau menjadi pelacur dan menikah. Aku masih ingin sekolah." Gwen menangis tergugu.

"Siapa itu?" Teriak ibunya Dean sambil berjalan menuju suara tangisan yang tertahan.

"Sedang apa kau disitu?"

"Aku kebetulan lewat."

"Kau menangisi pernikahanmu? Kau harusnya bersyukur anakmu mau menikahi pelacur sepertimu. Harusnya kau berbahagia bukan bersedih. Kau harus berterima kasih pada Dean yang sudah membebaskanmu dari keadaan yang menistakan dirimu."

Suara tangis Sinta semakin kencang dan ibunya Dean susah payah membujuk Sinta agar menghentikan tangisnya.

"Berhentilah menangis!"

Ibu, aku sangat merindukanmu….

"Kami bukan bermaksud merendahkan apalagi menghinamu. Tapi martabat keluarga kami dipertaruhkan. Orang akan bergunjing."

"Tidak akan ada yang bergunjing kalau tidak ada yang membongkar tentang ini."

"Apa maksudmu?"

"Kalau ibu dan ayah tenang saja dan tidak terlalu khawatir. Tidak akan ada masalah. Aku bukan satu-satunya lelaki yang menikahi pelacur."

"Aku minta maaf! Berhentilah menangis…"Bujuk orang tua Dean.

Sinta menghapus air matanya. Berusaha menghentikan tangisnya. Walaupun sesekali terisak.

Hatinya sangat sedih. Percakapan yang tak sengaja didengarnya. Sangat menyakitinya.

Aku bertransmigrasi sebagai pelacur. Merendahkan harga diri dan martabatku sebagai wanita. Aku tidak bisa berbuat apapun saat ini. Tapi aku berjanji akan mengubah takdir burukku di dalam novel….

Semua akan indah pada waktunya. Aku berjanji….

"Makanlah. Kau belum sarapan. Kau sudah menyiapkan sarapan untuk kami semua tapi kau sendiri belum makan. Makanlah!"

Ibu mertuanya menyendokkan nasi goreng ke piringnya. Mengisi piringnya dengan ayam goreng dan abon. Menaburkan bawang goreng ke atasnya. Menambahkan irisan telur dadar. Timun, tomat dan selada ikut meramaikan isi piringnya.

Menuangkan air jeruk ke dalam gelasnya.

"Jangan banyak berpikir. Keluarga mungkin kadang melakukan hal yang menyakiti perasaan atau hati. Darah lebih kental dari air. Tidak akan terpisahkan. Saling memaafkan adalah perbuatan yang sangat bijaksana. Jangan menaruh dendam. Selalu menjalin silaturahim dengan baik. Kau mengerti?"

Sinta menganggukkan kepalanya. Mengusapkan punggung tangannya ke pipinya menghapus lelehan air matanya.

"Melihatmu menangis, membuatku jadi tidak tega. Jika kau nanti menikah dengan Dean. Kau akan menjadi anakku juga. Aku akan menjadi ibumu dan kau akan menjadi putriku."

"Bu, terima kasih!" Dean memeluk ibunya mesra. Mencium kedua pipi ibunya dengan lembut.

"Aku sangat mencintaimu, sayang. Apa yang membuatmu bahagia maka ibu akan berbahagia." Ibunya membalas pelukan putranya.

"Kau akan menjadi suami. Kau harus lebih bertanggung jawab dan perhatian."

"Baik, yah. Aku berterima kasih dengan ayah dan ibu yang selalu mendukungku."

"Kau juga sebagai isteri. Harus pandai melayani suami. Patuhi suamimu. Perhatikan semua kebutuhannya. Apa kesukaan dan ketidaksukaannya. Jangan suka melawan apalagi membantah. Jangan durhaka pada suamimu. Apalagi berbuat nusyuz. Aku tidak perlu mengajarimi urusan melayani suami di tempat tidur. Kau pakarnya. Jangan sampai suamimu berpaling kepada wanita lain. Cinta lelaki itu mudah penuhi kebutuhan perut dan ranjangnya."

"Aku menikah dengan ibumu. Tidak pernah tergoda dengan wanita lain."

"Ibu wanita yang sangat hebat!" Puji Dean.

"Kalau aku tidak ingin nyawaku melayang. Aku harus setia." Ayah Dean tertawa menggoda isterinya.

"Baguslah! Kau tahu diri." Ibunya Dean memindahkan bolu yang sudah dipotong-potongnya ke dalam piring.

"Aku mau saja selingkub asal asal ada yang lebih baik darimu." 

Wajah ibunya Dean memerah," Kau pandai menggombal dan merayu."

Ayah Dean tertawa,"Tapi kau suka kan?"

"Kita sudah tua. Kau tidak malu dilihat anakmu?"

"Dia justru harus mencontohku. Wanita suka dirayu, puja dan puji. Selama itu isteri tidak apa-apa kan? Asal jangan semua dirayu. Keblinger!"

"Pilih isteri sesuai hati.  Itu salah satu tips awetnya hubungan pernikahan. Trust your heart …."

"Memang ada yang tidak memilih sesuai hati?"

"Banyak. Hati menilai seseorang dari karakter dan sifatnya. Mata menilai seseorang dari fisiknya. Kalau aku hanya menyukai paras ibumu saja. Tidak mungkin bisa bertahan selama ini. Aku menyukainya karena ibumu wanita yang baik hati, lembut juga penyayang. Mungkin wanita yang lebih cantik banyak tapi yang mampu menyentuh hatiku hanya kamu…."

"Gombal!"

Wajah ibu Dean bersemu merah. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!