NovelToon NovelToon

Sekedar Pelampiasan

PROLOG. Farewall Gift

Jakarta, 09.00 pm

Private Room CEO, Rach Building.

Kecupan penuh gairah menuntun seorang lelaki mengecup setiap inchi tubuh wanita berkulit putih mulus di hadapannya yang hanya mengenakan sebuah lingerie hitam transparan yang begitu meliarkan jiwa kelaki-lakianya.

"Ahhhh Devanooo!!!" legguh wanita yang ada di depannya dengan pandangan sayu, seakan meminta lebih.

Devano pun tersenyum, dengan penuh gairah dia mengoyak lace lingerie yang dikenakan oleh wanita itu sampai terlepas dan menyajikan pemandangan tubuh yang begitu indah.

"Luna, kau memang selalu membuatku tergila-gila pada tubuhmu," ujar Devano sambil tersenyum, sedangkan Luna masih menatapnya dengan tatapan sayu dan begitu dalam.

'Tatapan mata ini? Ahhh tatapan mata apa ini? Kenapa dia menatapku seperti itu?' batin Devano saat melihat tatapan kesedihan di manik mata cokelat milik Luna, yang kini juga terlihat berkaca-kaca.

"Devano, f*ck me for farewall gift!" pinta Luna.

"Devano!" pangggil Luna kembali.

"Sure, farewall gift for you, Luna. Thanks for everything, ini yang terakhir."

"Ini yang terakhir," jawab Luna sambil mengangukkan kepalanya. Devano kemudian mendekatkan wajahnya, lalu melummat habis bibir merah milik Luna, dan dibalas dengan paggutan seolah tak ingin melepasnya.

'Kenapa aku baru menyadari rasa ini saat besok dia akan pergi? Pergi menjadi milik wanita yang lain dengan membawa separuh hatiku,' batin Luna sambil meneteskan sebutir air mata yang keluar dari sudut matanya.

Luna kemudian mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar Devano, melekatkan tubuh keduanya. Devano mengerram, menyentak kasar seiring gelayar yang terkumpul di pangkal paha. Napas keduanya berkejaran, Devano berteriak kala ledakan itu menyemburkan cairan ke liang hangat milik Luna.

"Terima kasih, Luna. Thanks for everything," ucap Devano saat menjatuhkan tubuhnya ke atas tubuh Luna seraya mengecup keningnya. Luna pun hanya tersenyum kecut.

Devano kemudian bangkit dari tubuh Luna, lalu memungut pakaiannya dan pakaian Luna yang tercecer di bawah ranjang dan memberikannya pada Luna.

"Kau sudah selesai?" tanya Devano setelah melihat Luna yang kini sudah mengenakan pakaiannya kembali.

"Sudah," jawab Luna singkat.

"Ayo kuantar pulang!"

Luna menganggukan kepalanya, mereka lalu keluar dari sebuah kamar pribadi yang ada di ruang kerja Devano di kantornya. Sebuah ruangan yang sudah menjadi saksi bisu pergulatan nafsu antara dua insan yang sama-sama memiliki tujuan yang berbeda.

Beberapa saat kemudian, mobil Devano tampak berhenti di depan sebuah rumah sederhana di komplek pemukiman padat penduduk di ibu kota.

"Terima kasih, Luna."

Luna kemudian menganggukan kepalanya sambil menatap Devano, menatap wajah tampan yang ada di hadapannya dengan tatapan mata manik cokelatnya yang begitu dalam.

'Ahhh, tatapan mata ini? Kenapa dia harus menatapku dengan tatapan mata seperti ini lagi?' batin Devano.

"Semoga acara pertunangan anda besok lancar."

Devano pun menganggukan kepalanya. "Terima kasih, Luna."

"Saya turun dulu."

Luna kemudian bergegas turun dari mobil Devano. Sakit, hanya itu yang dia rasakan. "Tanpa sengaja, aku telah mengukir namamu, seharusnya aku sadar itu adalah sebuah kesalahan. Tapi aku bisa apa? Terkadang cinta datangnya begitu tiba-tiba tanpa memberi aba-aba, dan terpaksa aku harus menerimanya tanpa tahu penyebannya, karena hati tidak pernah memiliki banyak alasan untuk bisa jatuh cinta."

***

Keesokan harinya.

TOK TOK TOK

Minggu yang indah, namun tak seindah biasanya bagi Luna, entah karena merasa patah hati dengan pertunangan Devano, ataupun dia memang benar-benar tidak enak badan. Sejak tadi pagi, dia sudah beberapa kali muntah-muntah, bahkan kepalanya terasa begitu berat.

"Ahhh, kenapa rasanya kepalaku sakit sekali," ujar Luna. Dia kemudian bangkit dari atas tempat tidurnya lalu bergegas membuka pintu kamarnya.

"Luna, apa kau sakit, Nak?"

"Hanya sedikit tidak enak badan, Ma."

"Oh, mungkin menjelang masa menstruasi, bukankah biasanya kau seperti ini saat memasuki masa PMS?"

Luna pun hanya tersenyum getir saat mendengar perkataan mamanya. 'Menstruasi?' batin Luna.

'Astaga, ini sudah melewati masa menstruasiku?' batin Luna sambil menelan salivanya dengan kasar.

"Ma, aku pergi sebentar!" ujar Luna.

"Pergi ke apotek Ma, beli obat sakit kepala."

"Oh, iya Luna! Hati-hati!" sahut Rahma, mamanya dengan setengah berteriak karena Luna sudah berjalan keluar rumah.

"Iya Ma," sahut Luna, sayup-sayup terdengar di telinganya.

Setengah jam kemudian, Luna sudah berdiri di dalam kamar mandi sambil memegang sebuah benda pipih di tangannya.

Meskipun dengan penuh keraguan, dia mencelupkan benda pipih itu ke sebuah wadah kecil yang berisi cairan berwarna kuning.

CLUP

Luna menutup matanya, mata itu pun terpejam beberapa saat sambil mengumpulkan kekuatan untuk menegarkan hatinya.

"Hufttt, aku kuat!" ujar Luna sambil perlahan membuka matanya. Dia pun mengangkat benda pipih itu, seiring dengan matanya yang terbuka.

"Oh tidak!" ucap Luna saat melihat dua buah garis yang tertera di benda pipih itu.

Hatinya terasa begitu sakit, jauh lebih sakit daripada saat dia memendam rasa cintanya pada Devano. Luna pun hanya bisa menangis, sambil memegang perutnya dan memejamkan matanya.

"Keadaan yang membuatku jatuh cinta padamu, lalu aku dihancurkan oleh keadaan itu sendiri karena cinta ini adalah sebuah kesalahan."

Sementara itu, di sebuah rumah mewah tampak Devano sedang tersenyum setelah menyematkan cincin pada seorang wanita cantik yang ada di hadapannya diiringi riuh dan tepuk tangan orang-orang yang ada di sekitarnya.

'Cinta seorang laki-laki dewasa adalah kepalsuan, karena sesungguhnya laki-laki tidak butuh cinta. Just sexxx no love!' batin Devano.

Sweet Kiss

💞 TIGA BULAN SEBELUMNYA 💞

Sebuah mobil BMW 530i berwarna hitam berhenti di depan lobi kantor di sebuah gedung perkantoran di pusat ibu kota. Seorang laki-laki membuka pintu mobil, dan menyerahkan kunci itu pada staf yang sudah ada di depan lobi gedung.

Dengan penuh percaya diri, laki-laki tersebut masuk ke dalam gedung itu melewati beberapa orang yang menatap dan menyapanya.

"Selamat pagi, Tuan Devano!"

"Selamat pagi," jawab Devano tanpa melihat ke arah sekelilingnya. Tatapannya mata tajamnya lurus ke arah depan, meskipun dia sadar saat ini orang-orang yang dia lewati sedang menatapnya. Tampan, dan menarik itulah dirinya, dengan tinggi menjulang sekitar 180 cm, rambut cepak yang tersisir rapi, dan wajah tampan disertai bulu tipis di rahang tegas laki-laki berusia 25 tahun tersebut, tentu sangat menarik bagi kaum hawa yang melihatnya.

Saat berada di depan lift, Devano tampak mengetatkan dasi, kemudian dengan beralaskan sepatu mengkilapnya, dia memasuki lift tersebut menuju ke ruangannya di lantai 10.

Dengan langkah tegas, Devano keluar dari lift menuju ke ruangannya. Di depan ruangan tersebut, senyum nakalnya tampak tersungging pada seorang wanita yang terlihat sudah menunggunya.

"Selamat pagi, Tuan Devano."

"Selamat pagi, Helen," jawab Devano sambil melenggang masuk ke ruangannya, diikuti oleh wanita tersebut.

Setelah pintu ruangannya tertutup, tampak Devano membalikkan tubuhnya lalu mendorong tubuh Helen hingga menempel ke tembok lalu melummat bibir merahnya dengan begitu rakus.

"Emmmpttt, ahh!" sebuah legguhan pun lolos begitu saja. Mendengar leguhan wanita itu, Devano pun tersenyum, dia kemudian melepaskan ciumannya lalu membelai wajah Helen.

"Di sofa atau di ranjang private room?"

"Tidak Tuan, bukankah anda tahu hari ini saya datang ke kantor untuk berpamitan dengan anda?"

"Cihhhh, kenapa kau harus keluar Helen?"

"Tuan Devano, anda tahu satu minggu lagi saya menikah, dan setelah menikah saya harus ikut suami saya ke Bandung. Anda mengerti kan?"

"Tentu, asalkan kau juga sudah menyiapkan penggantimu untukku."

"Tentu saja, sudah. Mungkin sebentar lagi dia datang," jawab Helen sambil mengedipkan matanya.

"Bagus, kau sudah mencari sesuai dengan kriteriaku kan?"

"Tentu saja, dia cantik dan seksi. Sama sepertiku," jawab Helen dengan tatapan menggoda. Devano pun tersenyum, dia kemudian mengambil sebuah amplop berwarna cokelat yang ada di dalam tasnya, lalu memberikan amplop tersebut pada Helen.

"Bagaimana, cukup?" tanya Devano.

"Ini lebih dari cukup, Tuan," jawab Helen setelah melihat nominal yang cukup besar di dalam amplop berwarna cokelat tersebut.

"Baik, kalau begitu saya pergi dulu. Bersenang-senanglah dengan sekretaris baru anda."

"Terima kasih, Helen. Semoga acara pernikahanmu lancar, maaf aku tidak bisa datang ke pestamu. Ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar kota."

"Iya Tuan, saya pamit dulu. Sampai bertemu di lain kesempatan."

"Sampai bertemu di lain kesempatan, terima kasih banyak Helen."

"Sama-sama, saya yang seharusnya berterima kasih pada anda," jawab Helen. Setelah melihat senyuman dan anggukan kepala Devano, dia keluar dari ruangan tersebut.

Sedangkan Devano, tampak berjalan ke kursinya, menanti sekretaris barunya yang membuatnya merasa penasaran.

***

Seorang wanita tampak turun dari sebuah taksi yang berhenti di depan sebuah gedung kantor. Dia berjalan dengan begitu tergesa-gesa memasuki gedung perkantoran tersebut, hingga langkah ketukan sepatunya terdengar begitu nyaring beradu dengan lantai marmer di gedung kantor itu. Langkah ketukan sepatu itu, akhirnya terhenti di depan sebuah lift. Jemari lentik wanita itu, kemudian menekan tombol di lift tersebut, hingga beberapa saat kemudian, pintu lift itu pun terbuka.

Wanita itu memasuki lift sambil menahan perasaan yang begitu berkecamuk. Dia terlihat beberapa kali menaruh tangannya di dadanya, menahan irama jantungnya yang berdegup begitu kencang.

"Semoga aku tidak terlambat," ujarnya, sambil menangkap bayangannya dirinya sendiri dari dinding bening yang ada di dalam lift. Sebuah bayangan wanita cantik, dengan tubuh proporsional, dengan bentuk buah dada yang terlihat sempurna, dan bokkong sintalnya, berbalut tanktop warna putih serta stelan blazer dan short line skirt warna cokelat muda.

Pintu lift yang membawanya ke lantai sepuluh, akhirnya terbuka. Dia kemudian berjalan keluar dari lift tersebut ke sebuah ruangan yang terletak di pojok ruangan. Ujung line skirtnya berkibar ringan takkala kakinya berayun dalam irama teratur sepanjang langkahnya menuju ke sebuah ruangan yang ditujunya. Langkah itu akhirnya terhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu warna putih. Dia kemudian mengetuk pintu warna putih tersebut yang ada di hadapannya, meskipun sambil menahan perasaan yang begitu tak menentu.

TOK TOK TOK

"Masuk!" jawab sebuah suara di dalam ruangan. Akhirnya dia pun membuka pintu ruangan itu.

CEKLEK

Pintu berwarna putih itu pun terbuka, dia kemudian menyunggingkan senyum tipisnya pada seorang laki-laki tampan yang sedang duduk di kursinya.

'Astaga, jadi dia Tuan Devano Alexander Haidar? Dia memang sangat tampan,' batinnya sambil berjalan, kemudian berdiri dan memberi salam pada Devano.

"Selamat pagi, Tuan Devano."

"Selamat pagi, jadi kau yang bernama Luna? Luna Aurelia?"

"Iya Tuan. Perkenalkan, saya Luna."

'Cantik, dan sexy. Tubuhnya juga indah, Helen memang tidak salah pilih,' batin Devano sambil menatap wanita cantik berkulit putih, dengan wajah oval dan rambut sebahunya.

"Permisi, Tuan Devano. Apa saya sudah bisa memulai pekerjaan saya?"

Lamunan Devano yang sedang menatap tubuh indah Luna, pun buyar saat mendengar suara Luna.

"Ehemmm," jawab Devano, sambil bangkit dari atas kursinya. Dia kemudian mendekat ke arah Luna yang kini terlihat salah tingkah.

"Jadi namamu Luna Aurelia?" tanya Devano kembali.

"Iya Tuan," jawab Luna yang heran karena Devano menanyakan hal yang sama.

"Baik Luna, mulai hari ini kau yang mengatur semua scheduleku. Bekerjalah dengan baik!"

"Baik Tuan, saya permisi dulu."

Luna kemudian melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu. Namun, saat melihat bokkong sintalnya yang bergerak ke kiri dan ke kanan membuat hasrat kelaki-lakian Devano mulai terpancing.

"Tunggu!" ucap Devano saat Luna hendak membuka pintu.

"Luna, apa Helen sudah memberi tahu apa saja yang harus kau lakukan?" tanya Devano sambil mendekat ke arah Luna, lalu berdiri di hadapannya.

"Tentu saja, Tuan. Jobdesk sebagai seorang sekretaris mengatur jadwal anda, mengatur komunikasi dengan beberapa klien, mencatat hasil rapat, dan..."

Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba bibir Devano sudah mendarat di bibirnya, lalu mengecup bibir itu, dan melummatnya dengan begitu rakus.

'Astaga, apa-apaan ini? Apa yang sedang dia lakukan? Kenapa tiba-tiba dia menciumku begitu saja? Pekerjaan macam apa ini?' batin Luna. Ingin rasanya dia melepaskan ciuman bos yang baru saja dikenalnya itu, hatinya pun begitu meronta. Tapi yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah dia sedang membutuhkan pekerjaan. Sebuah pekerjaan karena dia membutuhkan uang dalam jumlah yang cukup besar.

Setelah puas menikmati bibir Luna yang saat ini terlihat membengkak, Devano pun melepaskan ciumannya, meskipun ciuman itu tak mendapat balasan.

"Ini salah satu tugasmu saat bekerja denganku, apa kau mengerti? Sekarang kembalilah ke mejamu. Thanks for sweet kiss in this morning, Luna," ucap Devano, meninggalkan Luna yang saat ini masih diam terpaku.

NOTE:

Halo, ketemu lagi sama othor super kece yang cakepnya kek Mak Lampir 😂😂.

Yang mampir, wajib tinggalin jejak ya. Like, komen, atau vote, karena suami kalian adalah semangatku, eh maap jejak kalian adalah semangatku 😭😭😷🤕😂😂

Mau Kuajari?

"Luna!" panggil Devano kembali yang membuyarkan lamunannya.

Akhirnya Luna membalikkan tubuhnya ke arah Devano yang sejak tadi masih diam terpaku. Keringat dingin kini keluar di sekujur tubuhnya.

"Luna, silahkan ke mejamu dan kerjakan pekerjaanmu!" perintah Devano dengan begitu entengnya.

Mendengar perkataan Devano, Luna menelan ludahnya dengan kasar. 'Laki-laki macam apa ini? Setelah dia memperlakukanku dengan seenak hatinya, dia bisa berkata seperti itu dengan begitu mudah, seperti tanpa dosa! Tapi aku bisa apa? Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan ini!' batin Luna.

"Luna!" panggil Devano, kembali.

"Oh-E, iya Tuan," jawab Luna. Dia kemudian menarik gagang pintu, meskipun dengan tangan yang kini masih gemetar.

Setelah keluar dari ruangan Devano, Luna menaruh tasnya di atas mejanya lalu bergegas masuk ke dalam toilet.

BYUR BYUR BYUR

Berulang kali, Luna tampak membasuh wajahnya sambil berkumur dan menggosok-gosokan bibirnya. Hingga beberapa saat kemudian, dia tampak lebih tenang.

Luna akhirnya menyenderkan tubuhnya ke tembok, sambil memejamkan matanya dan menggatur irama nafasnya yang sejak tadi begitu tak beraturan.

"Huffttt, hufffttt, hufff!"

Setelah menghembuskan nafas panjannya, Luna kemudian membuka matanya lalu menatap wajahnya di cermin yang ada di atas wastafel sambil memegang bibirnya.

"Bibirku," gerutu Luna.

"Jahat sekali, dia begitu semena-mena padaku. Sungguh benar-benar lancang! Bibirku yang masih perawan ini, harus ternoda oleh lummatan bibirnya yang begitu menjijikan!" keluh Luna sambil mengusap-usap bibirnya dengan menggunakan tissue basah.

"Oh Tuhan, haruskah setiap hari aku menghadapi laki-laki messum seperti dia? Ahhh, tapi aku bisa apa? Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan ini. Astaga, apa yang harus kulakukan? Tuhan, tolong bantu aku untuk menjalani semua ini. Tolong lindungi aku, Tuhan," ujar Luna seraya menelungkupkan tangannya pada wajahnya.

Setelah menegarkan hatinya, dan merapikan riasannya, Luna kemudian keluar dari toilet lalu berjalan ke arah mejanya. Namun, saat baru saja sampai di mejanya, tiba-tiba suara ponselnya berbunyi.

Luna menghembuskan napas panjangnya kembali saat melihat sebuah nama di ponselnya. Dengan malas, dia akhirnya mengangkat panggilan di ponselnya.

[Halo.]

[Halo, Mba. Bagaimana Mba Luna? Apa Mba Luna sudah dapet pinjaman dari bos Mba Luna?]

[ASTAGA ARKA! Kau pikir bisa semudah itu? Mba baru saja kerja di kantor ini. Tapi kamu sudah menuntut Mba seperti itu! Sudah bagus Mba mau bantu bayar hutang-hutang kamu, Arka!]

[Tapi, Mba. Waktuku tinggal satu minggu lagi, Mba. Kalau dalam satu minggu aku tidak bisa mendapatkan uang itu, kemungkinan aku akan dipenjara, atau kemungkinan terburuk, rumah kita akan disita oleh mereka Mba.]

[Astaga! Jadi kau juga menggadaikan sertifikat rumah kita, Arka?]

[Arkaaaaa! Kau memang tidak tahu diri! Apa kau tidak sadar, dengan semua tingkahmu? Apa kau tidak melihat bagaimana malunya kami saat kau harus menikah muda karena kau sudah menghamili Kayla? Tidak hanya itu, kau juga rasanya seperti mencekek kami saat kau meminta pesta pernikahan yang mewah dan mahar yang besar untuk diberikan pada keluarga Kayla? Kupikir saat kau pulang dengan membawa uang yang banyak, kau sudah mendapat pinjanan dari restaurant tempat kau bekerja, tapi aku benar-benar tidak menyangka jika kau sampai separah ini, nnenggadaikan sesuatu barang yang bukan menjadi mikikmu, itu adalah sebuah kejahatan, Arka! Lebih baik, kau kulaporkan ke polisi saja!]

[Mba, tolong Mba, tolong jangan bersikap seperti itu, Kayla sedang hamil. Apa Mba mau, keponakan Mba lahir tanpa seorang ayah?]

[Aku tidak peduli, Arka!]

[Mba, tolong Mba, tolong jangan berbuat dzalim padaku.] rengek Arka.

[Dzalim padamu? Apa kau tidak salah? Kau yang sudah dzalim padaku dan orang tuamu!]

[Maafkan aku Mba, maaf. Tolong maafkan aku, Mba. Aku khilaf.]

[Ck, enak sekali kau berkata khilaf begitu saja!]

[Mba, tolong Mba, cuma Mba Luna yang bisa nolongin aku.]

[Akan kupikirkan.]

[Mba, ingat rumah, Mba. Kalau Mba ga mau rumah kita dilelalang, Mba harus berbuat sesuatu.]

[ARKAAA!!!] bentak Luna, dia kemudian menutup ponselnya dan membanting ponsel itu ke atas meja.

"Satu masalah belum selesai. Sudah ada masalah lain lagi!" gerutu Luna.

Dia kemudian mulai menyalakan komputernya untuk mengerjakan pekerjaannya.

***

Luna tampak melirik arloji yang ada di tangannya. "Astaga, sudah pukul lima sore? jam kantor sudah selesai, sebaiknya aku pulang sekarang! Bekas pekerjaan yang Helen tinggalkan sangat banyak. Memangnya, apa saja yang selama ini dia kerjakan? Apa cuma melayani Devano?" gerutu Luna sambil bergidik ngeri.

Saat baru saja beranjak dari kursinya, tiba-tiba telepon di atas mejanya berbunyi.

KRING KRING

Meskipun diselimuti keraguan, akhirnya Luna mengangkat panggilan telepon itu.

[Cepat ke ruanganku!] perintah sebuah suara di ujung sambungan telepon.

[Ta-tapi jam kantor sudah habis, Tuan.]

[Cepat ke ruanganku jika kau masih ingin bekerja di sini!]

[Baik, Tuan.]

Luna lalu melangkahkann kakinya ke ruangan Devano, meskipun disertai irama degup jantung yang berdegup begitu kencang. Dengan ragu-ragu dia mulai mengetuk pintu itu.

TOK TOK TOK

"Masuk!" perintah suara di dalam ruangan.

Luna menarik gagang pintu, lalu membuka pintu itu disertai raut wajah yang begitu tegang, masih jelas di dalam benaknya, ciuman Devano tadi pagi yang membuat harinya terasa begitu buruk.

"Duduk di sini Luna!" perintah Devano yang saat ini sedang duduk di atas sofa. Luna lalu mendekat ke arah Devano. Namun, saat Luna akan menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa, tiba-tiba Devano sudah menarik tangannya hingga tubuhnya terhempas ke pelukan Devano.

"Duduk di sini Luna!" perintah Devano sambil menepuk pahanya. Luna pun menelan salivanya dengan kasar.

"Kau takut? Santai saja!" ujar Devano yang melihat raut wajah cemas di wajah Luna. Luna pun terpaksa mengikuti perintah Devano untuk duduk di atas pahanya.

Setelah Luna duduk di atas paha Devano, jemarinya kemudian merengkuh wajah Luna, dan membelai wajah cantik itu, lalu mengangkat dagunya, dan sebuah kecupan pun kembali menempel di bibir Luna.

CUP

'Astaga! Sial! Dasar laki-laki brengsekkkk! Kurang ajar! Jika saja aku tidak sedang membutuhkan uang, aku tidak mau diperlakukan oleh lelaki bajjinggan seperti dirinya!' umpat Luna di dalam hati.

"Kau sepertinya sangat polos, apa kau belum pernah berpacaran?"

"Be-belum, Tuan."

"Pantas saja, tadi pagi kau tidak membalas ciumanku."

Luna hanya tersenyum getir. "Mau kuajari?" tanya Devano. Belum sempat Luna menjawab, tiba-tiba Devano sudah menempelkan bibirnya di bibir Luna.

"Ayo Luna, pelan-pelan, ikuti gerakanku!"

'Astaga, apa-apaan ini?' batin Luna, tapi dia tidak bisa berkutik, dan akhirnya mengikuti perintah Devano. Luna pun akhirnya membalas ciuman itu bibir mereka pun saling memmagut, ciuman yang awalnya dipaksakan, kini terasa begitu nikmat bagi Luna, hingga tanpa dia sadari, sebuah legguhan pun keluar dari bibirnya.

"Ahhhh, Tuan Devano."

Devano yang mendengar leggguhan Luna pun melepaskan ciumannya. "Hai, kau mulai menggodaku, Luna?"

'SIALLLL! OH NOOOO! KENAPA AKU HARUS HANYUT DALAM CIUMAN ITU!' umpat Luna di dalam hati.

"Luna, kita lakukan lebih. Kau mau kan?"

"Tidak!" jawab Luna begitu lirih hingga Devano pun tak mendengarnya, tiba-tiba lidah Devano sudah menyapu leher Luna yang membuatnya merasakan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Kata hatinya sebenarnya menolak semua sikap Devano, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain mengikuti perintahnya. Saat tangan Devano mulai merasuk ke dalam pakaian Luna, tiba-tiba sebuah ketukan pintu pun terdengar.

TOK TOK TOK

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!