Aku bukanlah wanita yang pintar, cantik, dan kaya. Aku hanya seorang wanita yang beruntung bisa menyelesaikan sekolah tinggiku dengan nilai yang cukup bagus. Keluarga ku bahkan tidak terkenal. Kami 3 bersaudari dan ibuku tengah mengandung calon adik kami dan aku yakini adalah seorang perempuan jua. Hanya saja, kenapa harus aku? Tidak bisakah dari keluarga lain? jujur saja, aku masih ingin menikmati masa mudaku dan melakukan hal-hal yang belum pernah aku rasakan. Aku bahkan ingin pergi ke luar negeri, melihat dunia luar dan mengetahui apa-apa saja didalamnya yang ku yakini akan luar biasa. Aku punya mimpi menjadi penulis perjalanan, yang mana aku akan menuangkan dunia yang aku lihat dalam sebuah buku. Aku menginginkan itu.
Jika tidak semua ini terjadi.
“Tuan Whitterdern ingin menikahi putri dari keluarga kita.”
Seketika denting alat makan langsung senyap dan memusatkan perhatian pada kepala keluarga. Ayahku tiba-tiba berbicara seperti itu saat kami sedang makan malam.
“Besok beliau akan berkunjung kemari dan membicarakannya pada ayah.”
“Tapi siapa yang akan ayah sandingkan dengan tuan Whitterdern?? Kenapa beliau memilih putri dari keluarga kita?? Bukankah banyak putri dari bangsawan terkenal yang lebih baik?” tanyaku penasaran.
“Ehem!! Terutama kau Elle, ayah ingin berbicara dengan mu sehabis makan malam ini.”
Seketika perasaanku menjadi sangat tidak nyaman.
Setelah makan malam aku menuruti permintaan ayah, aku masuk kedalam ruang kerjanya. Sedikit aku kaget karena ibu ku pun ada didalam. Suasana yang kurasa pun cukup serius.
Apa ini ada hubungannya dengan pembicaraan di meja makan tadi?
“Baiklah Elle, ayah akan bicara secara langsung saja. Ayah menjodohkanmu dengan tuan Whitterdern.”
Ucapan ayah benar-benar membuatku tercengang. Aku benar-benar tidak menyangka bahwa aku yang jadi sasaran. Aku baru saja menyelesaikan studi ku di luar kota belum lama ini dan belum bekerja dan melakukan apa-apa.
“Ayah tahu ini mendadak, hanya saja tuan Whitterdern ingin menikahi salah satu putri ayah dan kau Elle yang sesuai untuk beliau.”
Aku masih diam mencerna yang baru saja ayah katakan padaku. Ini terlalu tiba-tiba dan sulit membuatku untuk berpikir.
“Ayah aku belum siap untuk menikah secara tiba-tiba dan aku belum mengenal orang itu. aku tidak bisa, kenapa tidak kak Eurene atau Laine??” protesku.
Terlebih kakak ku Eurene belum menikah dan usianya lebih matang dari pada aku, itu kurasa lebih cocok dengan perjodohan ini.
“Elle, apa kau tidak tahu jika Eurene sudah bertunangan??” tanya ibuku.
Ah, Ternyata sudah setengah jalan dengan kekasihnya itu.
“Lalu Laine??”
“Dia bahkan lebih muda darimu, bagaimana bisa ibu membiarkannya.”
“Lantas ibu malah membiarkan aku yang dikorbankan???” tanyaku tidak terima, aku mulai meninggikan suara.
“Elle! Tenanglah. Kau sudah banyak belajar, kenapa kau tidak bisa mengontrol suaramu. Bersyukurlah tuan Whitterdern memilih keluarga kita. Beliau adalah orang kerajaan, kau harus tahu itu. Jika kau menikah dengan beliau, keluarga kita akan aman dan kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan itu.”
Aku terlalu sibuk dengan sastra dan obat-obatan herbal semasa belajar, hingga aku tidak begitu mengenal tokoh dalam negeri. Bahkan tuan Grexyn Whitterden yang dijodohkan denganku. Beliau adalah bangsawan kerajaan di negeri tempat ku tinggal ini. kekayaan, keamanan, relasi politik, mungkin hampir semuanya beliau miliki.
Namun, kenapa satu istri pun harus dari keluarga pedagang sederhana seperti ku?
Dengan keadaannya yang serba memiliki seperti itu, seharusnya wanita tercantik dalam negeri mungkin mudah untuk ia dapatkan.
Bahkan aku tidak tahu rupanya seperti apa.
Bagaimana jika ia sudah lebih tua dariku, atau seorang yang mesum dan menakutkan, mungkin seorang yang kejam hingga sulit mendapatkan wanita atau malah kebalikannya, banyak wanita disekelilingnya dan menikahi putri dari keluarga kami hanya untuk menutupi sifat buruknya itu karena keluarga kami tidak punya pengaruh besar pada reputasinya dan banyak bayangan kemungkinan dipikiranku. Tentu saja bukanlah hal positif yang dapat kupikirkan.
Aku sampai memikirkan orang sekejam ini karena frustasiku.
*
*
*
Puas aku bertanya semalaman, hingga saat waktu penentuan. Aku terdiam dalam kamarku memandang pantulan wajahku yang lesu. Aku menolak semua orang untuk masuk kedalam kamarku, bahkan ibuku yang sudah bersikeras meminta pelayan rumah mendandani ku untuk bertemu tuan Whitterdern. Aku seakan menutup telinga dari ketukan pintu yang tidak kunjung berhenti itu. aku menikmati ketukan itu bagaikan musik.
Aku tidak peduli.
Ini merupakan pemberontakanku yang pertama kalinya setelah 22 tahun aku bernapas di dunia ini. aku selalu menuruti permintaan orang tuaku, bahkan untuk belajar di luar kota pun aku turuti. Aku sudah sering tinggal jauh dari rumahku, mereka mengatakan apa yang aku lakukan adalah untuk kebaikan ku dan keluarga aku pun menuruti.
Hanya saja, kali ini aku tidak setuju.
Aku bahkan belum sempat merasakan kertetarikan pada pemuda. Bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang aku tidak kenal.
“Elle, ibu tahu kau masih di dalam. Ibu tahu kau pasti masih dengan kekesalanmu. Hanya saja, tolong bukakan pintu untuk ibu. Kau bisa berbicara dengan ibu. Elleina, apa kau mendengar ibu?”
Aku mengalah lagi. Aku tidak bisa mendengar suara ibu yang meminta seperti itu. aku tidak bisa membiarkan beliau stress di keadaannya yang sedang mengandung.
Pintu pun aku buka dengan menampakkan wajah lusuhku, kantung mataku membengkak akibat kurang tidur, surai hitam lurusku yang sebahu itu masih berantakan dan kuikat asal-asalan. Menandakan aku tidak ingin mengikuti pertemuan hari ini.
“Ibu tahu ini pilihan yang sulit untuk kau terima Elle, pikirkan lagi tentang kakakmu, adikmu dan ayah ibumu. mungkin kau merasa asing dengan tuan Whitterdern, namun beliau lah yang memilih keluarga kita. Beliau adalah seorang yang terkenal. Jika kau hidup bersama dengan nya, hidupmu tidak akan sulit lagi. Impianmu juga akan menjadi nyata jika kau menikah dengannya.”
“Aku tidak mengenalnya, aku tidak bisa melakukannya.”
“Ini terkesan mendadak, namun beliau sudah banyak membantu keluarga kita. Bahkan untuk menyelesaikan pendidikanmu.” ucap ibuku perlahan.
Tunggu dulu, ini di luar dugaanku. Tuan Whitterdern secara tidak langsung berhubungan dengan sekolahku? Aku tahu dia seorang yang kaya.
“Ayahmu berdagang untuk beliau, tuan Whitterdern banyak membeli dagangan kita tentu itulah yang membuatmu dapat menyelesaikan sekolahmu.”
Aku kembali merenung walaupun isi kepalaku benar-benar berantakan. Semua tidak teratur. Semakin kupikirkan semakin abstrak gambaran yang akan datang kedepannya.
Aku pun melakukannya.
Aku bertemu sekilas dengan nya, bahkan baru satu dari anak tangga yang aku turuni dan ia melihatku secara sekilas dan memutuskan untuk langsung pergi sedetik setelah mata kami bertemu.
Apa aku boleh berkata kasar sekarang?
Si Whitterdern itu menatap ku seolah dia tidak tertarik dengan perjodohan ini dan langsung pergi begitu saja. Tatapan nya sangat dingin dan sedikit kurasa tapi tatapan itu kejam sekali.
Grexyn Whitterdern, merupakan keponakan dari raja kerajaan Emerald tempat dimana aku tinggal saat ini. kedua orang tuanya meninggal, yaitu Pangeran Attern Whitterdern dan Putri Hilda Whitterdern karena bencana kebakaran di istana belasan tahun silam. Hal itu membuat Grexyn otomatis mewarisi semua kekayaan keluarga mereka dan menjadi bangsawan yang disegani.
Rambut panjang putih keperakan dan warna safir biru pada kedua matanya menandakan darah biru kerajaan.
Ia memiliki segalanya namun satu hal kekurangannya yang dapat menghancurkan segalanya di mataku.
Tuan Whitterdern sama sekali tidak ada keramahan dalam dirinya. Ia merupakan pembisnis yang dingin, ahli pedang yang kejam, dan watak nya benar-benar tidak ramah.
Aku menutup koran-koran bekas yang aku kumpulkan untuk mengetahui asal-usul tuan Whitterdern dan buku-buku yang menulis tentang keluarga kerajaan.
*
*
*
Aku menggenggam gugup buket bunga lili putih ditanganku. Sekelilingku sedari pagi buta sudah sibuk mempersiapkan acara pernikahanku dan tuan Whitterdern hari ini. aku sudah didandani selayak mungkin sebagai seorang pengantin wanita yang menunggu mempelai pria datang menjemputku dan membawa ku ke pelaminan.
“Rambut nona benar-benar hitam seperti mata nona. Namun berkilau dan dalam.” ujar perias pengantin padaku saat ia sedang menyisir rambut ku.
Aku tersenyum kikuk menanggapinya. Belum lama terpasang, tiara di kepala ku membuat ku pegal dan ingin ku lepas saja.
“Kereta kudanya sudah datang, ayo bergegas!”
Akhirnya datang juga.
Sebagai seorang mempelai wanita dengan gaun putih besar ini aku tidak leluasa untuk bergerak, aku hanya menunduk dan berdebar. Jika bisa kabur, aku ingin sekali kabur dan hidup dengan caraku. namun, wajah ayah dan ibuku terus terngiang dikepala ku saat aku memikirkan pilihan buruk itu.
Kereta kuda putih yang membawaku tiba di gereja tempat kami memberkati pernikahan kami. Kuintip tuan Whitterdern berdiri di depan pintu masuk menunggu aku turun dari kereta. Wajahnya sama saja dengan hampir satu bulan yang lalu pertama kali kami bertemu.
Dingin dan tidak ramah.
Tidak bisakah ia memasang topeng ramah untuk hari ini saja?? Aku begitu penasaran dengan otot wajahnya yang tidak dapat berubah itu.
*
*
*
*
To Be Continued.
Upacara pernikahan berjalan lancar tanpa masalah sedikitpun dan tanpa basa basi, aku langsung dibawa ke mansion tuan Whitterdern yang serba putih dan penuh dengan ornamen berwarna perak. Aku tidak begitu mengerti, kenapa luar dalam mansion megah ini yang kulihat hanyalah warna putih dan perak saja. Benar-benar monoton seperti pemiliknya.
Kamar baruku pun terasa begitu hampa tanpa seorang pun bersamaku di ruangan besar ini.
“Tuan Whitterdern datang.”
Aku tertegun, lamunanku terpecahkan begitu saja mendengar suara pelayan wanita yang berjaga di depan pintu kamarku. Tanpa pikir panjang aku langsung menghadap suara langkah yang masuk kedalam kamarku.
Dia adalah Grexyn Whitterdern, yang kini adalah suamiku. Ia masih seperti diriku dengan balutan setelan jas putihnya. Ia menatapku, aku tahu itu walaupun aku tidak menatapnya secara langsung.
“Hey.”
Suara bariton nan dingin itu menyapaku untuk pertama kalinya dan membuatku melawan tatapan datar tanpa nyawanya itu. Begitu biru dan dalam, indah, namun misterius. Begitulah aku menilai kedua bola matanya itu.
“Saya mengatakan ini padamu agar kamu tidak kebingungan nantinya. Disini kamu adalah seorang nyonya Whitterdern, mulai saat ini. bersikaplah selayaknya seorang Whitterdern kedepannya. Kejadian mendadak ini mungkin sedikit membingungkan, kamu pasti bisa menyesuaikan keadaan. Jika sudah mengerti saya pergi.”
“Tunggu sebentar, tuan Whitterdern.” ucapku menahan langkahnya.
“Hm?”
“Sedikit tidaknya, berikan saya alasan. Kenapa anda memilih istri dari keluarga kami? Setidaknya, jawaban anda mungkin bisa membantu saya menyesuaikan diri dan tidak bertindak sembarangan.”
Tanpa sedikitpun ekspresi kakunya berubah.
“Formalitas. Semua hanya untuk formalitas dan meneruskan garis keturunan. Jika tidak ada hal lain, saya pergi.”
Dia pergi sedetik setelah ia menyelesaikan kata-katanya tanpa menunggu aku yang harus berpikir lagi. Apa benar ia seorang yang terkenal dalam berbisnis dan keamanan negeri ini? sikap nya tidak lebih dari seorang yang tinggi hati.
Formalitas ia katakan? Apa laki-laki itu mengira menikah sama seperti membeli boneka. Oh, itu lebih baik. Kali ini ia seperti sembarangan tanpa peduli dengan dirinya. Bukan berarti aku orang yang sembarangan juga mau menerima.
*
*
*
Entah karena interior yang serba putih ini, membuatku lebih cepat bangun dari tidurku. Aku tidak biasa terbangun di tempat yang asing seperti ini.
Tidak ada suara pelayan rumahku.
Suara ibu,kakak, dan adikku.
Hanya suara sunyi dan kicauan burung di balik jendela yang terdengar. Membuatku berpikir, aku ingin pulang.
“Nyonya, kami adalah pelayan yang akan melayani anda.”
“Saya adalah Rose”
“Saya adalah Monica”
Aku tertegun dengan dua orang pelayan wanita yang masih muda masuk ke dalam kamarku.
Apa setiap pagi ku akan seperti ini?
Aku tidak tahu ingin berkata apa-apa saat Rose dan Monica membuka lemari yang menunjukkan deretan pakaian yang akan kukenakan sehari-hari. Begitu penuh warna dan glamour. Tidak seperti pakaian di rumahku yang cenderung berwarna gelap dan sederhana.
“Aku tidak ingin memakainya.” ujar ku pada Rose dan Monica.
Mereka berdua langsung menunduk.
“Tapi, tuan sudah meminta kami menyiapkan pakaian untuk nyonya.”
Hmm, aku tidak bisa melawan tuan Whitterdern.
“Bawakan aku yang hitam satu.” titahku singkat.
*
*
*
Entah kenapa, aku menebak akan menjadi menarik saat sarapan pertama aku dan tuan Whitterdern. Aku sengaja meminta Rose dan Monica mengenakan padaku gaun berwarna hitam sepanjang mata kaki, lengkap dengan sarung tangan berwarna hitam dan sepatu berwarna hitam. Sementara riasanku minimalis dengan lipstik merah darah di bibirku. Jujur saja, ini adalah gaya yang aku sukai dan model berpakaianku sehari-hari.
Sementara pria yang makan dengan tenang di seberang meja itu mengenakan setelan jas berwarna putih dengan surai panjangnya terikat rapi. Sudah kuduga ia adalah pria yang monoton dan tidak peduli.
“Sebelum anda pergi, tuan Whitterdern. Saya ingin berbicara sesuatu.”
Aku langsung angkat bicara saat ia selesai sarapan.
Seperti biasa wajah dinginnya menatap ku lurus dan nampak tidak begitu tertarik dengan ucapanku.
“Apa itu, katakanlah.”
“Saya ingin mengetahui tugas saya disini.”
Nampaknya perkataanku sudah masuk perhitungannya. Tuan Whitterdern nampak mengerti dalam diamnya.
“Sekretarisku, Leon akan mengatakan padamu.” Tuan Whitterdern menunjuk seorang pria bersurai abu-abu dibelakangnya dan pria bernama Leon itu menunduk menyapaku.
“Kalau begitu saya akan mulai bekerja. Jika kamu membutuhkan sesuatu dan lain hal, katakan saja pada Leon. Dia yang akan mengurusnya.”
Sedetik setelah tuan Whitterdern mengatakan hal itu, ia langsung beranjak dari meja makannya dan pergi meninggalkan ku diruang makan yang besar ini. Baiklah, hari pertama menjadi nyonya rumah akan dimulai dan kesan pada suami ku sendiri benar-benar biasa, sungguh biasa tanpa terasa apa-apa.
*
*
*
Aku masuk ke dalam rumah megah ini hanya karena tiba-tiba tuan Whitterdern yang merupakan suami ku menikahiku dalam waktu yang singkat. Aku belum terbiasa dengan hal ini, aku masih asing dengan pelayan di rumahnya, suasana rumah yang sunyi, wangi rumahnya, hingga pemandangan sekelilingku.
Semua terasa asing dan berbeda.
Namun, nampaknya tidak ada kesempatan untuk memutar balik langkahku. Aku telanjur di masukkan ke lubang tanpa dasar, bukan karena keinginanku.
Tanpa sadar, langkahku membawa ke suatu tempat yang indah.
Sebuah taman bunga di belakang mansion, begitu luas dan rindang.
Hampir seluruh bunga dalam negeri tersedia di taman luas ini. tidak kusangka, tempat monoton seperti ini memiliki tempat yang indah dan tenang seperti ini. tuan Whitterdern bahkan tidak memberitahuku sama sekali.
Heh, itu tidak mungkin. Ia tidak akan peduli dengan ini sama sekali.
Aku turun dari koridor dan mulai masuk kedalam taman. Aku semakin tertarik untuk tahu lebih dalam tentang taman seindah ini. mungkin tempat ini akan menjadi tempat favorit ku di mansion ini.
Terutama kau, kumpulan bunga mawar merah yang terawat indah dan berjajar rapi di depan taman. Aku memilih jongkok memandangi bunga mawar merah dengan perasaan senang. Warnanya begitu merah persis seperti lipstik yang ku gunakan setiap saat bahkan saat ini. begitu mencolok dan berani, memberi kesan yang kuat.
Bahkan untuk durinya, walau tidak mengeluarkan racun namun ketajamannya cukup disegani. Tidak bisa sembarangan memetiknya atau jarimu akan terkena si duri kecil itu.
Aku tertegun.
Sebuah suara seperti sedang bermain-main dengan tanaman dari balik pagar tanaman yang tinggi disampingku membuatku penasaran. Sesuatu, ku yakin ada sesuatu di baliknya atau di dalamnya. Apa seekor kelinci? Tikus tanah? Ular?
Aku bangkit secara perlahan dan melihat ke sekelilingku tentang apa yang bisa ku gunakan untuk pertahananku. Untungnya tenagaku cukup kuat mengangkat sebuah sekop. jemariku menggenggam erat sekop itu dan perlahan aku berjalan untuk melihat apa yang ada dibalik pagar tanaman itu.
Aku tidak berani maju dan memilih mengintip. Kulihat seorang maid tengah memetik mawar putih dan mengumpulkannya ke dalam keranjang hingga penuh. Aku rasa pemilik rumah ini tergila-gila dengan warna putih. Tidak ingin terlalu lama mengintip aku pun memutuskan pergi.
Eh?
"Awww!!!” aku meringis kesakitan saat kaki ku tersandung akar tanaman dan jatuh dengan konyolnya di hadapan pelyayan yang ingin pergi itu.
“Ny-nyonya!!! Anda tidak apa-apa?” pelayan bersurai merah itu langsung membantuku berdiri.
“Saya baik-baik saja.” ucapku sembari membersihkan gaun hitamku dari debu yang menempel.
“Apa yang kamu lakukan disini?” akhirnya aku menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran.
Pelayan muda itu nampak kebingungan setelah ku tanya demikian. Apa pertanyaanku salah??
“Mawar putih merupakan penghormatan tuan untuk mediang orang tuanya. Beliau setiap hari meletakkan mawar putih di depan foto orang tuanya.”
“Tuan Leon.”
Aku memutar tubuhku dan terlihat Leon, sekretaris Grexyn muncul dengan senyuman ramahnya.
“Saya kesini untuk mencari nyonya, karena ada beberapa hal yang harus saya beritahu tentang apa saja yang dapat nyonya lakukan.” Ujarnya sembari menatapku.
“Saya?? Uh-oh, baiklah.”
Dengan langkah perlahan aku mengikuti langkah Leon pergi dan meninggalkan maid tadi di taman.
Leon membawaku pergi kesebuah ruangan cukup besar dengan terdapat sebuah meja kerja dan sofa ditengah ruangan untuk bersantai. Ini terlihat seperti ruang kerja yang penuh dengan ornament putih dan perak, jangan lupakan hal itu.
“Ini adalah ruang kerja nyonya. Sebagai seorang nyonya rumah, anda dipercaya oleh tuan untuk mengatur anggaran pembelanjaan dan lain hal. Itulah tugas anda dan saya akan mendampingi anda sampai anda sanggup melakukannya sendiri.”
Sudah mulai rupanya, ini tidak akan jauh berbeda dengan apa yang ibu lakukan di rumah. Hanya saja, skala di rumah ini akan lebih besar dan tentu itu sedikit rumit nantinya. Namun, aku sudah belajar dan kini didampingi oleh Leon. Aku cukup percaya diri dengan kemampuan yang aku miliki.
“Terima kasih.” ujarku.
“Sudah menjadi tugas saya nyonya.”
Aku teringat akan sesuatu tentang mawar putih tadi.
“Itu tentang mawar putih, saya sudah mendengarkan penjelasan mu tadi. Sekarang saya ingin tahu, dimanakah mawar itu diletakkan, dapatkan kamu menunjukkan jalannya pada saya??” pinta ku.
Namun, raut wajah Leon berubah seketika.
“Maafkan saya nyonya, tuan Whitterdern tidak memperbolehkan siapapun masuk kecuali beliau.” ujar Leon.
Kukira akan mudah.
“Bahkan istrinya sendiri??” tanyaku.
Baiklah ini pertama kali aku menggunakan hak statusku dirumah ini. sebagai nyonya rumah, apa aku tidak diperbolehkan mengetahui seluk beluk rumah tempat aku menghabiskan sisa hidupku??
“Saya minta maaf nyonya, saya tidak memiliki hak untuk memberitahu. Saya permisi dulu.”
Aku menatap pintu ruanganku dengan datar. Apa aku sama sekali tidak diperbolehkan melihat foto mediang mertua ku? ck, tidak adil.
Kuputuskan untuk keluar ruangan dan berkeliling secara diam-diam hingga di persimpangan lorong aku sekilas melihat maid berambut merah itu lewat membawa keranjang Bunga mawar putih. Aku beruntung belum ketinggalan langkahnya. Aku mengintip gelagatnya diam-diam, wanita muda itu terlihat lebih berhati-hati sembari menggenggam erat keranjang berisi mawar putih itu.
Perlahan aku melihat Leon menghampirinya dan mengambil keranjang itu hingga maid itu pun pergi dan menyisakan Leon. Aku mengambil napas dalam.
Oke, ini tidak akan mudah.
Aku memberanikan diri mengikuti langkah Leon yang menuju kesuatu tempat paling belakang mansion ini.
Aku berhenti melangkah dan melihat sebuah bingkai foto besar disebuah dinding saat mengikuti Leon. Foto lawas sepasang suami istri dengan ekspresi datar. Sang suami memiliki rambut putih keperakan disini dan bermata biru seperti Grexyn. Sedangkan sang wanita memiliki rambut emas dengan mata biru juga. Tunggu, ini kan orang tuanya Grexyn?!
Mawar putih...mawar putih…
Bukan!
Kenapa malah krisan? Aku tidak melihat mawar putih di sekitaran ini. Hanya sebuah vas bunga berisi bunga krisan putih.
Jika bukan untuk kedua orang tua Grexyn, lantas untuk apa?
Tanpa ragu aku melanjutkan langkahku hingga membawaku ke ujung lorong tanpa pintu dan jendela. Iya, ini adalah jalan buntu. Tidak, pasti ada sesuatu.
Tidak ku lihat Leon kembali sejak tadi dan ku yakin jika pria itu berjalan melalui lorong ini. aku tidak boleh berhenti disini, hal yang tidak aku ketahui seperti ini dan membuatku begitu penasaran harus ku hilangkan dari diriku. Tidak mungkin sebagai nyonya rumah ini (walaupun aku tidak ingin) aku tidak mengetahui apa-apa. Tidak, tidak ingin aku dibodohi.
Aku meraba seluruh dinding putih itu dengan perlahan dan melangkah secara berhati-hati. Mungkin saja ada sesuatu yang dapat kutemukan dan dapat membantuku memuaskan rasa penasaranku. Tidak bisa aku sembarangan membuat bunyi atau semacamnya, takutnya seseorang malah mecurigaiku.
Aku merasa ada ruang kosong di lantai yang kupijak. Tidak besar dan tidak kecil, namun aku merasa ada sesuatu. Tanpa menunggu lama aku langsung menekan-nekan disekitar itu dengan telapak tanganku.
Sebuah penutup berbentuk persegi berukuran 30 cm x 30 cm terbuka dan menampakkan tuas. Tidak perlu aku berpikir 1, 2, 3…aku langsung menarik tuas tersebut dan
Sebuah gagang keluar begitu saja dari dinding dibelakangku.
Terima kasih kepada rasa penasaran ku yang besar.
Dengan perasaan semakin tertantang aku pun membuka sebuah pintu dengan memutar gagang misterius nya itu hingga menampakkanku sebuah tangga turun dan seketika saat pintu itu terbuka barulah aku mencium wangi bunga yang kuyakini salah satu dari mawar yang dibawa Leon. Langkahku terus mengikuti tangga turun dan lorong yang kumasuki saat ini begitu gelap. Tidak ada cahaya sedikit pun hingga membuatku terus meraba dinding dan melangkah dengan hati-hati.
Wangi bunga mawar semakin pekat saat aku semakin masuk kedalam dan semakin membuat rasa penasaranku terus bergolak untuk melihat apa yang ada. Disisi lain, aku juga merasa takut akan sesuatu yang buruk karena jantungku berdebar begitu kencang, terlebih perasaanku memang merasakan sesuatu yang tidak enak.
“Tuan, ini mawar yang hari ini. Maaf saya sedikit terlambat karena harus mengantar nyonya ke ruang kerjanya.”
Suara Leon dari sebuah ruangan yang bercahaya membuatku semakin memelankan suara langkahku. Bahkan aku sampai melepas sepatu hak ku agar tidak menciptakan ketukan pada lantai.
“Letakkan saja di tempat biasa dan buang bunga yang layu, hari ini banyak sekali pekerjaan hingga aku tidak sempat memetiknya seperti biasa.”
Aku mendengar Grexyn berbicara cukup panjang saat ini, namun aku tidak berani mengintip ruangan tersebut karena bisa saja berakibat fatal.
“Pasti menyakitkan bagi anda mengalami pernikahan ini.”
Kenapa Leon berkata demikian? Apa Grexyn tidak menginginkan pernikahan di antara kami?
Tidak ada sambutan dari Grexyn.
“Sampai memilih putri dari keluarga Rosmand, padahal raja merekomendasikan banyak putri bangsawan yang cantik dan pintar.”
Heh! Apa dia pikir aku juga mau dinikahkan seperti ini.
“Aku tidak menginginkan orang yang mengganggu kekuasaanku berada disekitarku. Keluarga nya tidak akan mampu memengaruhi ku. Terlebih, aku tidak memikirkan wanita lain saat ini.”
“Sayang sekali nona Alice harus berakhir di tangan orang-orang kejam.”
“Aku tahu, dia banyak menghabiskan hidupnya untuk menderita dan aku akan membalaskan penderitaannya pada orang-orang yang telah menyakitinya.”
Oke, pembicaraan mereka tiba-tiba terasa begitu serius. Lalu, siapa Alice? Aku memang sedikit kesal dengan kalimat pertamannya menyangkut keluargaku. Namun, tiba-tiba aku sedikit bersimpati dengan si Alice itu. apa dia kekasih Greyxn dulu dan sekarang sudah tiada? Apa seperti itu?
Seketika aku langsung bingung karena aku harus bersembunyi dari Grexyn maupun Leon sebab mereka berdua ingin keluar dari ruangan misterius tersebut.
Aku memutuskan masuk kedalam lemari kosong yang tidak jauh dari tempat aku berdiri.
“Segera kirimkan hal-hal yang telah kujanjikan untuk keluarga Rosemond dan katakan pada mereka semua nya baik-baik saja.” ucapan pelan Grexyn bahkan masih terdengar jelas ditelingaku.
Janji? Apa yang telah dijanjikan Grexyn pada ayahku dan keluargaku? Tunggu, ini terdengar seperti aku dijual untuk Grexyn. Bahkan ibu tidak mengatakan apa-apa terkait perjanjian yang dimaksud.
Sial! Aku malah tak sengaja membenturkan sepatuku pada badan lemari hingga membuat kedua pria itu terdiam dan memerhatikan lemari tempatku bersembunyi.
Oke, baiklah aku siap untuk mati bahkan ditangan suamiku sendiri. Terlebih saat Leon mendekat kelemariku itu sudah membuat jantungku ingin meledak dan aku ingin berteriak saat ini juga.
Namun, disaat-saat kritisku tiba-tiba muncul saja tikus dari belakang lemari. Kupikir aku masih ada harapan hidup, untuk saat ini.
“Tuan, tempat ini harus dibersihkan.” ujar Leon.
“Kamu tahu bagaimana mengaturnya.” timpal Grexyn lalu pergi diikuti oleh Leon dari belakang.
Cukup lama aku berada dalam lemari, barulah saat aku merasa suasana sudah cukup aman untuk keluar aku pun membuka lemari tempatku bersembunyi. Kurasa kedua pria itu sudah naik keatas dan kini saatnya melihat apa yang ada didalam ruangan berbau bunga mawar itu.
Sebuah bingkai foto besar seukuran dengan foto kedua orang tua Grexyn dan didalam bingkai tersebut terdapat gambar wanita dengan rambut emas yang panjang dan bergelombang dan mata merah shapire yang cantik. Sungguh wanita yang cantik…dengan bingkai foto yang dipenuhi mawar putih dibawahnya.
Tidak salah lagi, mawar tadi pagi yang dibawa Leon adalah untuk wanita yang ada di foto ini.
“Alice Gouldent.” aku membaca tulisan yang terdapat di bawah foto.
Sekali lagi aku melihat foto wanita anggun itu. ia memiliki senyum yang menawan dan sorot mata yang lembut nan hangat. Kulitnya begitu pucat namun bercahaya, benar-benar seorang putri bangsawan yang terkenal.
Siapapun yang menatap matanya pasti akan langsung jatuh cinta. Bahkan untuk pria sedingin Grexyn. Apa dulu wanita ini adalah kekasih Grexyn? Pasti begitu, dilihat bagaimana Grexyn memperlakukannya bahkan setelah ia tiada. Jika wanita ini masih hidup, aku pasti tidak akan terjebak dalam mimpi buruk saat ini.
Aku bahkan tidak tahu, haruskah aku bersedih dengan hal seperti ini atau tidak.
Jika Alice masih hidup, ia pasti akan dinikahi Grexyn dan aku tidak akan pernah bertemu dengan pria semacam itu.
Aku juga tidak ingin menyalahkan kepergian Alice adalah penyebab hidup sialku. Hanya saja, aku masih sedikit marah mendengar ucapan Grexyn tentang bagaimana ia menikahiku.
“Haaahh, salah benarnya aku tidak ingin menyalahkanmu atas segala yang aku alami.” keluhku di hadapan foto Alice.
“Kamu wanita yang cukup berani juga.”
Jantungku hampir jatuh dari tempatnya.
aku langsung memutar tubuhku dan melihat Grexyn dan Leon sudah berdiri diambang pintu memerhatikanku. Aku bahkan tidak sadar sejak kapan mereka melihatku. Intinya saat ini aku tidak berpikir akan selamat ditangan Grexyn yang menatapku tajam saat ini.
“Masukkan dia ke penjara sekarang!”
Habislah aku.
To Be Continued.
"Masukkan dia ke penjara sekarang!”
Ehem! Perkenalkan, namaku adalah Elleina Whitterdern. Kupikir aku akan hidup normal seperti orang-orang disekitarku. Percintaan biasa, hidup biasa, masalah biasa.
Kurasa harapan hidup normal sudah di buang jauh dari diriku oleh Yang Maha Kuasa.
Belum genap seminggu menjadi nyonya Whitterdern di mansion megah ini, aku sudah di masukkan ke penjara oleh suami ku sendiri.
Dingin, gelap, sunyi.
Namun, titah Grexyn yang memasukkanku ke tempat seperti ini lebih kejam. Hanya ada penjaga di depan pintu yang seperti patung dan monoton.
Hanya karena aku masuk ke ruangan yang ia anggap suci itu, aku sampai seperti ini. suamiku kejam sekali.
“Huftt…daripada mengurungku seperti ini, ada lebih baiknya aku diusir dari rumah aneh ini.”
tiba-tiba pintu jeruji terbuka dan menampakkan seorang wanita berpakaian pelayan masuk membawa troli makanan.
“Saya diminta untuk membawakan anda makanan.”
Aku ingat siapa pelayan yang masuk ini kalau tidak salah namanya Rose. Pelayan wanita yang mengurusku pagi tadi.
“Letakkan saja di situ, saya akan memakannya.”
Mungkin, siapa tau di makanan itu dimasukkan racun atau semacamnya.
“Tapi saya harus melihat nyonya menghabiskan makanannya.” ujar Rose sembari menatapku menunggu menyambut nampan berisi makanan.
Aku tidak tahu harus berpikir seperti apa, ia mengurungku di penjara. Namun tetap memberiku makan dan aku harus menghabiskannya. Kenapa pria itu setengah-setengah dan tetap membiarkan ku hidup.
*
*
*
“Namamu adalah Rose iya kan?” tanyaku setelah aku menghabiskan makananku.
“Iya nyonya.”
Aku menatap Rose, apa ia bisa ku tanyai terkait Grexyn.
“Saya ingin meminta pendapatmu terkait tuan Whitterdern.” ucapku lurus.
Apa salah meminta pendapat dari para pekerjanya. Raut wajah Rose terlihat kebingungan antara menjawab atau tidak.
“Kamu tidak ingin menjawabnya?” tanya ku ke detik kelima saat Rose masih diam.
“Sa-saya tidak pantas nyonya” Rose menunduk.
Aku menghela napas dan masih menatapnya.
“Kamu boleh pergi."
Setelah Rose pergi dari selku, aku kembali duduk di dipan. Bodohnya, aku belum memikirkan rencana tentang apa yang harus kulakukan ketika keadaanku sangat tidak bagus seperti ini.
Aku terkurung disini dan tidak tahu apa yang dilakukan si kepala uban itu di luar terkait dengan diriku. Pria itu benar-benar tidak waras, hanya karena satu wanita yang sudah tiada ia memerlakukan wanita lain dengan tidak pantas seperti ini.
*
*
*
*
Elleina kembali meringkuk memeluk lututnya sembari menikmati sinar bulan terang dari celah jendela kecil dengan pikiran tidak habis pikir tentang suaminya yang ia sebut ‘kepala uban’ itu.
Sementara itu diruang kerja Grexyn.
“Tuan, saatnya makan malam.” ujar Leon yang datang membawa troli berisi makanan untuk Grexyn.
“Terima kasih Leon.” ucap Grexyn sembari menyusun seluruh dokumen yang ia kerjakan.
“Tuan, mengenai nona Elleina.”
“Saya serahkan semuanya padamu Leon, intinya jangan mencelakainya, karena saya tidak ingin ada masalah untuk saat ini.” ujar Grexyn tidak peduli dan lebih mementingkan makanan yang ada di depannya.
“Baik tuan.”
“...dan saya tidak ingin lagi masalah seperti kemarin.”
Leon mengerti dengan titah sang tuan. Ia pun pergi ke penjara bawah tanah untuk menemui Elleina. Terlihat wanita itu dengan gaun hitamnya yang sudah lusuh sedang bersenandung sedirian di balik jeruji besi. Elleina hanya mengayun-ayunkan kakinya demi menghilangkan rasa bosan. Berada disuatu ruangan untuk waktu yang cukup lama tentu membosankan dan ingin rasanya Elleina berteriak, namun takut dikira gila oleh orang-orang.
“Nyonya.”
Panggilan Leon di respon cepat oleh Elleina.
“Ada apa?” tanya Elleina yang sudah menghentikan senandungnya sejak mendengar jejak kaki orang mendekat dan ternyata adalah Leon sekretaris suaminya.
“Saya akan mengeluarkan anda dari sini, namun dengan syarat untuk tidak lagi mencampuri urusan tuan kedepannya.”
Elleina menatap Leon yang membuka kunci jeruji kemudian membuka pintu jeruji tersebut.
“Saya tidak ingin berkomentar untuk saat ini, terima kasih sudah membuka pintunya.” ujar Elleina lalu keluar sendiri tanpa menunggu Leon mempersilahkan ia keluar.
Setibanya Elleina keluar dari penjara, ia langsung disambut Rose dan Monica yang nampak khawatir karena kelalaian tugas mereka dalam menjaga Elleina.
*
*
*
“Nyonya, saya benar-benar bersyukur nyonya bisa keluar secepat ini." ujar Monica sembari menyisir rambut hitam sebahu Elleina.
“Hmm…tidak perlu khawatir, kalian tidak akan dihukum. Karena ini sepenuhnya salah saya, kalaupun tuan Whitterdern ingin menghukum kalian, saya tidak akan membiarkannya.”
“Terima kasih nyonya.”
Setelah Monica dan Rose pergi dari kamar Elleina, barulah wanita itu bergerak membuka koper yang ia bawa dari rumahnya.
“Hhnn…. Aku taruh kemana semua buku ini.” ujar Elleina pada sekoper penuh buku-buku koleksinya. Matanya menerawang ke sekeliling kamarnya yang tidak ada tempat ataupun lemari kosong untuk buku-bukunya.
Biarpun Elleina tinggal di rumah yang bagai penjara seperti ini, ia tidak akan meninggalkan hobinya membaca dan menulis. Impiannya walaupun sepertinya mustahil, setidaknya ia ingin sedikit melakukannya. Yang terpenting saat ini adalah tempat untuk menyimpan buku-bukunya dan satu tempat terpikirkan olehnya.
Elleina membuka pintu ruang kerja miliknya dan melihat ada beberapa rak yang kosong. Sembari menyeret koper miliknya yang dapat dikatakan berat itu masuk kedalam ruang kerjanya.
“Setidaknya manusia putih itu ada memberi ruang seperti ini untukku.” ujar Elleina sembari menyusun buku-bukunya ke rak buku yang masih kosong.
“Nyonya, apa yang anda lakukan?”
Elleina menunda pekerjaan merapikan bukunya saat melihat Leon masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Ahh! Saya menaruh buku-buku di rak karena dikamar saya tidak ada lemari yang kosong.” jawab Elleina sembari melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda.
Leon memerhatikan kegiatan nyonya barunya itu. pria itu heran, kenapa Elleina melakukannya seorang diri dan tidak meminta bantuan para pelayan rumah yang bisa dibilang banyak.
“Bisa saya membantu nyonya?” tawar Leon.
Elleina tersenyum tipis.
“Tidak usah, saya hampir selesai. Lagi pula sekarang sudah larut. Sebaiknya anda beristirahat saja.” tolak Elleina halus.
“Baiklah Nyonya, lain kali jangan sungkan untuk memanggil saya.” Leon pamit undur diri.
Leon pun kembali menutup pintu kerja Elleina dan tidak sengaja siluet matanya menangkap bayangan Grexyn yang tidak jauh darinya.
“Selamat malam tuan. nyonya sedang menyusun buku.”
“Tidak ada yang perlu aku ketahui darinya, beristirahatlah.” ujar Grexyn sembari berjalan melewati Leon yang belum menyelesaikan kata-katanya terkait kegiatan Elleina.
Leon menatap punggung Grexyn pasrah. Tuannya itu benar-benar tidak peduli tentang Elleina. Kehidupan Elleina dirumah ini akan sangat berat kedepannya, pikir Leon.
Sebulan Elleina tinggal di kediaman Whitterdern, sebulan harus beradaptasi dengan segala hal baru, namun selama sebulan ini. Tidak pernah satu kalimat pembicaraan antara Elleina dan Grexyn. Wanita itu tidak masalah jika tidak ada, lagipula Grexyn tidak peduli padanya dan membebaskan Elleina untuk melakukan apa-apa tanpa melanggar aturan di kediaman.
Hingga suatu hari, kediaman Whitterdern menerima undangan dari istana dalam rangka ulang tahun Ratu.
“Apa saya harus pergi juga?” tanya Elleina pada Leon yang mengantarkan undangan tersebut pada Elleina.
Leon tersenyum lembut sembari mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Elleina.
“Hal ini juga bermaksud untuk mengenalkan nyonya pada publik, saya juga merasa ini kesempatan nyonya dan tuan untuk pergi bersama.”
Wajah Elleina seketika menjadi datar seperti bertuliskan ‘buang jauh-jauh ucapanmu barusan’ atau ‘yang benar saja.’
Melihat ekspresi ogah-ogahan Elleina, Leon hanya bisa memaklumi. Wanita itu juga bukan tipe yang mau saja bersama dengan Grexyn. Jika Grexyn tidak peduli, Elleina malah lebih tidak peduli. Biarpun ia seorang nyonya Whitterdern.
Leon mengerti jika Grexyn menikahi Elleina sekedar untuk formalitas untuk meneruskan keturunan Whitterdern. Namun, di sisi Elleina baginya formalitas itu justru tidak dipedulikannya. Namanya kini memang menyadang seorang Whitterdern, hanya saja Elleina lebih sering mengabaikannya. Wanita itu bertindak seperti biasa tanpa merasa ada seorang suami, melakukan pekerjaan yang diberikan seperti ia di gaji, mengerjakan sesuatu tanpa pernah meminta bantuan dari pelayan bahkan Leon sendiri tidak pernah Elleina meminta bantuan darinya. Wanita itu lebih suka melakukan segala nya sendiri.
“Jika ia tidak mau, biarkan aku sendiri.” ujar Grexyn saat mendengar jawaban Leon tentang tanggapan Elleina terkait undangan Ratu.
Tentu bagi Leon jawaban Grexyn memang akan seperti itu. namun, ada kegelisahan bagi Leon sendiri.
“Maaf saya lancang tuan. Hanya saja, Ratu lah yang meminta anda menikah, akan sangat sulit bagi anda jika tidak membawa Nyonya Elleina pergi bersama anda.”
Yang dikatakan Leon barusan tidak salah. Ratu lah sosok dibalik semua pernikahan ia dan Elleina terjadi, pikir Grexyn.
*
*
*
Kira-kira 8 bulan yang lalu, tiba-tiba saja Grexyn dipanggil ke istana Ratu. Ternyata untuk membahas tentang tawaran Ratu untuk menikahi wanita yang ia pilih untuk Grexyn. Ratu yang merupakan saudari ibunya memiliki tanggung jawab pada Grexyn setelah kedua orang tua Grexyn meninggal, mulai dari merawatnya dan keberlangsungan keluarga Whitterdern.
Semua adalah tanggung jawab Ratu Grace le Royaume.
Namun, Grexyn menolak tawaran Ratu tentang wanita yang diusulkan untuk menjadi istrinya. Bukannya ratu tidak mengetahui tentang Alice.
Hanya saja,
“Jangan katakan kamu menolak usulanku hanya karena orang yang sudah tiada itu.” ucapan Ratu sangat mengenai Grexyn tentang alasannya menolak.
“Saya bahkan belum menemukan pembunuhnya, bagaimana bisa saya menikah dengan perasaan bersalah ini.” ujar Grexyn pelan.
Alice Gouldent, seorang putri dari bangsawan terkenal dan kerabat dekat dari Raja. Merupakan tunangan Grexyn bahkan sebelum orang tuanya meninggal saat ia masih kecil, ia sudah ditunangkan dengan Alice.
Waktu membuatnya jatuh cinta pada wanita anggun dengan surai emas itu. bahkan setelah orang tua Grexyn tiada, sosok Alice yang selalu menemani nya dalam masa-masa sulitnya.
Ingin Grexyn cepat-cepat meminang gadis dari keluarga Gouldent itu. hanya saja, ia sibuk berlatih dan belajar di luar kota demi memenuhi syarat sebagai kepala keluarga Whitterdern yang layak dan terhormat.
Walau hanya melalui surat yang datang seminggu sekali, melalui itulah keduanya berhubungan.
Namun, disaat Grexyn kembali setelah selesai masa belajarnya sebuah kabar buruk terdengar, Alice ditemukan tidak bernyawa di kamarnya karena keracunan makanan. Tragedy buruk ini tentu mengenai semua orang yang terkait. Bahkan hari itu seluruh pelayan rumah keluarga Gouldent di pecat habis-habisan tanpa ampun.
*T*entu, hal itu menambah luka pada Grexyn.
*
*
*
Srakk!
Elleina menutup kembali lembaran-lembaran kertas surat kabar dan meletakkan nya di tumpukan yang ia taruh di atas mejanya.
Wanita itu baru saja selesai membaca berita tragedi seorang putri bangsawan diracuni pada tahun-tahun belakang ini. bukan Elleina jika ia tidak mencari informasi sebanyak-banyaknya. Ia mencari tahu tentang sosok Alice Gouldent, si ‘wanita cinta pertamanya’ Grexyn. Begitulah Elleina menyebutnya. Lalu tentang seluk beluk Ratu yang ternyata kerabat dekat keluarga Whitterdern.
Setahunya, Alice adalah putri bangsawan yang cantik bahkan kecantikan dan keanggunannya sampai ke negeri seberang. Jika bukan karena status pertunangannya dengan Grexyn, pasti sudah banyak pangeran yang melamarnya, pikir Elleina. Bahkan pangeran di negerinya sendiri juga. Hanya saja, Alice adalah manusia biasa. Cinta dan kebencian tidak pernah terpisahkan.
“Haah...aku benar-benar tidak ingin menyalahkannya karena ia cantik.” sungut Elleina sembari melihat keluar jendela, memalingkan pandangannya pada cuaca cerah di luar yang nampak segar itu dari tumpukkan buku yang ia baca.
Hari ini adalah perayaan pesta yang diadakan ratu di Istana dan Elleina beserta suaminya mendapatkan undangan. Sebuah kehormatan untuk mengunjungi istana bagi Elleina yang jika dipikir mustahil untuk menginjakkan kakinya di sana. Terlebih ia masih bingung, ingin ikut atau tidak.
Membayangkan dirinya harus satu kereta dengan Grexyn diperjalanan saja sudah membuat suasana hatinya buruk. Apalagi saat mereka menghadiri pesta, Elleina tidak sanggup jika berlama-lama berdiri di samping pria itu untuk menemaninya sebagai formalitas belaka.
Klek!
Ditengah lamunan bimbang Elleina, tiba-tiba saja Rose dan Monica masuk dengan wajah berseri-seri seperti taman bunga. Tentu perasaan bertanya-tanya muncul dari Elleina sangat pas dengan keadaan seperti ini.
“Kami diminta tuan Grexyn mendadani nyonya untuk pesta nanti malam.” ujar Monica pada Elleina.
Elleina tidak mau terlalu berkomentar. Mulutnya ia biarkan diam disaat Rose dan Monica sibuk mendandani nya, mulai dari rambut hingga ujung kaki. Hanya kata-kata singkat yang sempat Elleina keluarkan.
“Tidak untuk gaun cerah. Hanya hitam atau putih.”
Selera aneh seorang Elleina tentu sudah dipahami betul oleh kedua pelayannya.
sejak awal Elleina memang sudah menampakkan jika ia tidak menyukai warna yang begitu cerah. Bahkan jika ini adalah undangan perayaan ulang tahun Ratu, Elleina tidak peduli untuk mengenakan pakaian gelap hingga membuat kulit pucatnya kontras. Perlahan ia menuruni tangga dengan bantuan kedua pelayannya, Elleina dapat melihat sosok Grexyn yang membelakanginya disaat semua mata penghuni rumah tertuju pada dirinya saat ini. ia tidak merasa sakit hati ataupun kecewa saat suaminya sendiri tidak melirik dirinya. Semua terasa begitu hambar dan Elleina harap pria itu tidak melihatnya sedikitpun.
Bahkan di dalam kereta kuda yang menuju istana pun tidak ada sepatah kata dari sepasang suami istri itu. Elleina sibuk membaca buku yang ia bawa, sementara Grexyn memandang keluar jendela.
Rasanya aku ingin mati dalam kebosanan ini...-Elleina
Wanita itu bosan dengan perjalanan, gaun malam yang ia kenakan begitu berat dan melelahkan. Napasnya begitu sesak dengan keberadaan manusia putih di hadapannya yang diam seperti batu itu. halaman dalam buku sudah ratusan kali ia baca.
Namun, tetap saja manusiawi jika ia merasa bosan.
Perjalanan menuju istana ternyata cukup jauh atau karena kereta mereka sangat lambat. Haruskan Elleina yang mengambil alih kursi kusir ke depan agar cepat sampai. Setidaknya setiba di pesta ia akan lari dari samping Grexyn dan memakan banyak kue dan makanan.
“Apapun pertanyaan yang ratu berikan, katakan saja baik-baik saja. Jangan melebihkan atau mengurangi.”
Ucapan Grexyn barusan membuat Elleina menatap pria di depannya itu datar. Ia tidak mengharapkan kata-kata yang lebih buruk atau baik lainnya. Yang mengesankan adalah pria itu baru membuka mulutnya pada Elleina untuk pertama kali setelah sebulan Elleina tinggal bersamanya.
“Tentu.” ujar Elleina singkat.
Tak lama setelah suasana hening di kereta kuda itu, barulah Elleina bisa melihat cahaya kastil yang muncul dari kejauhan. Pertanda mereka akan segera sampai.
*
*
*
“Duke dan Duchess Whitterdern!!!”
Elleina sedikit kaget saat nama Grexyn dan dirinya disebutkan sebelum masuk kedalam aula acara, sebab mengharuskannya memasang ‘wajah’ selayaknya istri dari seorang Duke. Bahkan Elleina harus merelakan dirinya menaruh tangannya pada lengan Grexyn.
Ia bersumpah untuk tidak mengingat kejadian ini lagi.
Seketika seluruh mata tertuju pada sepasang suami istri yang nampak sangat kontras dari cara berpakaian yang hitam putih itu. wajah dingin dan kaku Grexyn harus Elleina seimbangkan dengan ‘wajah’ anggunnya.
Elleina ingin muntah saat ini, namun ia tidak pantas melakukannya.
Karena sangat sulit menyeimbangkan dirinya dengan Grexyn, membuat Elleina harus memasang wajah tebal. Tampang suaminya tentu menjadi pusat perhatian karena terlalu tampan walaupun dingin bagaikan es di musim dingin. Itu adalah makanan sehari-hari Elleina.
“Pangeran Lothair Rouyame, Ratu Grace Rouyame dan Raja Clovis Rouyame!!!”
Sama seperti semua orang, mata Elleina langsung tertuju pada tiga tokoh utama kerajaan yang turun dari tangga dan menuju meja perjamuan. Raja dan ratu beserta pangeran mahkota putra sulung dari raja Clovis, pangeran Lothair. Elleina tentu mengenal tokoh kerajaan dengan baik. Jika begitu, maka Grexyn dan Lothair adalah sepupu?? Itu terlihat dari mata biru milik Grexyn dan Lothair terlihat mirip, meski Lothair memiliki surai berwarna emas seperti ayahnya.
*
*
*
Elleina baru bisa bernapas lega saat Grexyn pergi untuk berbincang dengan raja. Dari tadi ia terus menerus mengekor di belakang Grexyn dan menjawab seperlunya saja pertanyaan atau pujian dari orang-orang yang ditemuinya. Padahal harapannya ia ingin makan makanan kerajaan dihari seperti ini, namun keinginan nya malah berbanding terbalik dengan yang terjadi.
Baiklah, ini adalah kesempatan, pikir Elleina saat Grexyn berbincang empat mata dengan raja membicarakan masalah kerajaan. Elleina bisa sedikit bebas dan menikmati pesta.
Mungkin,
“Apa anda adalah nyonya Elleina??”
Seorang pelayan kerajaan tiba-tiba menghampiri Elleina.
“Itu benar.”
“Ratu ingin bertemu anda di ruangannya.”
Terkaan Grexyn ternyata benar.-Elleina.
*
*
*
Elleina masuk perlahan kedalam sebuah ruangan dimana seorang wanita dengan surai putih dan mata biru khas nya itu berada didalamnya.
“Kehormatan bagi saya dapat menemui ratu.” Elleina memberikan hormatnya pada ratu negerinya.
Ratu Grace memperhatikan Elleina dengan teliti dari ujung rambut hingga kaki.
“Silahkan duduk nona Elleina.” ujarnya.
Barulah Elleina memberanikan diri untuk duduk di hadapan ratu.
“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan ulang tahun. Semoga anda selalu sehat dan diberkati.” ujar Elleina sebagai formalitas.
“Kamu adalah wanita yang sopan dan sederhana.”
“Belas kasih anda tiada tara. Terima kasih pujiannya.”
Ratu meletakkan kipas yang sedari tadi ia pegang itu kemudian menatap Elleina dengan senyum tipis diwajahnya.
“Saya tahu, Grexyn pasti sudah berpesan denganmu sebelum berbicara dengaku bukan?”
Elleina menatap ratu tidak percaya, naluri seorang ibu.
“Saya…”
"Pasti berat hidup bersama pria seperti Grexyn.” ujar Grace.
“Saya tidak mengerti kenapa beliau memilih saya.” ucap Elleina.
“Melihatmu saat ini sama seperti saya pertama kali masuk istana. Semua nya terasa asing, suasana rumah, orang-orang, bahkan udara yang saya hirup. Sangat berbeda dan hampir membuat saya menyerah dan keluar. Namun, saya bersikeras hidup berusaha di penjara yang dinamakan istana dan menjadi ratu.”
Entah apa alasannya Grace menceritakan masa lalunya sebelum menjadi ratu kepada Elleina. Hanya saja, itu terdengar menarik ditelinga Elleina.
“Hanya saja, kesulitanmu adalah tidak ada yang mendukungmu bukan?”
Pertanyaan Grace tentu menohok bagi Elleina.
Itu benar.
Tidak ada yang mendukungnya untuk bertahan hidup di kediaman Whitterdern. Mungkin kehadiran pelayannya sebagai formalitas untuk menemani Elleina di rumah. Namun, untuk dukungan batin dirinya sama sekali tidak mendapatkannya. Ia harus bertahan sendirian. Suaminya sendiri tidak mempedulikannya, bahkan keluarganya. Mereka sama sekali tidak ada menghubungi Elleina sejak ia menikah.
“Selama ini saya hanya menyemangati diri saya untuk bertahan hidup. Saya pikir, tidak perlu perasaan semacam itu muncul. Bahkan terpilihnya saya. Jika dipikirkan hal itu seperti menarik undian.” ujar Elleina seadanya.
“Pernikahan politik tidak selamanya buruk. Carilah peluang untuk saling menguntungkan dan tidak merugikan satu sama lain. Kamu tidak memerlukan perasaan di dalam kehidupan kalian. Jalankan saja formalitas yang kalian sepakati.” tutur Grace sembari meraih tangan Elleina dan ditepuknya pelan.
Grace juga merupakan korban pernikahan politik dulunya, ia menjalankan kehidupannya dengan tidak merugikan siapapun dan bisa menjadi seperti sekarang.
“Beribu-ribu kali pertanyaan yang sama muncul dikepala saya tentang kenapa saya yang dipilih dan bukan yang lain? Beribu-ribu kali juga saya selalu berpikiran semua akan baik-baik saja. Di lain sisi saya juga tidak bisa menyalahkan yang telah tiada.” tanpa Elleina sadari ia malah mengeluarkan emosinya di hadapan Grace.
Elleina sebenarnya lelah dan berpikir segala hal yang ia alami dalam tiga puluh hari ini merupakan beban pikirannya. Air mata lelahnya keluar begitu saja di hadapan Grace.
“Maafkan saya Yang Mulia, tidak seharusnya saya mengeluarkan emosi yang kekanakkan seperti ini.” ujar Elleina setelah sadar dengan perbuatannya yang kurang sopan.
“Tidak apa-apa nona Elleina, dari ini aku semakin yakin kamu adalah orang yang kuat. Kamu yang tidak bersalah ini malah masuk kedalam masalah antara saya dan Grexyn. Sejak muda Grexyn banyak menderita dan kehilangan orang-orang yang ia sayangi bahkan tidak tergantikan sampai sekarang. Kamu yang bukan siapa-siapa baginya tentu berat untuk diterimanya, walau ia sendiri yang memilihmu.”
Grace memberikan sapu tangan untuk Elleina mengusap air matanya.
“Terima kasih Yang Mulia.”
"Satu hal yang kuberitahu, Grexyn bukanlah seorang yang jahat. Sifatnya memang dingin dan nampak tak berperasaan. Namun, ia seorang pria yang mau mendengarkan. Jika ada masalah, bicarakan padanya. Walaupun kamu tahu jika responnya akan nampak tidak peduli.”
Ingin rasanya Elleina menyangkal saat Grace mengatakan bahwa Grexyn seorang yang baik saat ketika mengingat bahwa ia dijebloskan ke penjara di hari pertama pernikahan mereka. Baiklah, Elleina simpan itu sebagai rahasia rumah tangga.
“Ingat Elleina, seorang Whitterdern bukanlah seorang yang mudah putus asa.”
Setelah berincang untuk beberapa menit dengan ratu, barulah Elleina pamit pulang karena tiba-tiba saja Grexyn masuk kedalam ruangan ratu dan menemukan Elleina di sana. Elleina tidak mengerti, hanya saja ekspresi datar Grexyn nampak jengah melihat Elleina dan ratu berinteraksi. Pria itu langsung mengajak pulang istrinya tanpa mengatakan sepatah kata pada ratu maupun Elleina.
Suasana dingin di rumah mereka mungkin tidak akan pernah berubah, pikir Elleina. Namun, setelah berbicara dengan Grace, wanita itu pikir tidak ada salah untuk menjalankan dan mempertahankan diri dirumah Whitterdern.
Elleina berdiri menikmati sinar bulan yang terang melalui jendela kamarnya. Terlihat begitu terang dan dingin. Namun cukup menemani Elleina untuk melewati malam dengan tenang.
Ia tidak akan bertanya-tanya lagi tentang kenapa ia yang dipilih atau semacamnya, tidak akan membebani pikirannya dengan pertanyaan yang sama hampir setiap hari. Elleina tidak harus mempedulikan itu lagi. Terserah Grexyn dengan rencana pria itu kedepannya, Elleina tidak ingin terlibat jauh. Hanya formalitas saat dibutuhkan.
Selama ia tidak dirugikan.
Selama itulah Elleina bertahan.
Sementara itu di ruangan lain namun tetap di bawah atap yang sama, tepat di atas kamar milik Elleina, tempat ruang kerja Grexyn. Pria itu nampak berada di balkon sembari memegang segelas wine sembari diam menatap bulan yang begitu sempurna malam ini. semilir angin malam terus menyapu wajahnya yang sendu itu. Lelah tampak jelas di wajahnya yang datar dan jarang tersenyum itu.
Sepasang manusia itu masing-masing sibuk dengan pemikiran nya sendiri sembari menatap satu bulan. harapan mungkin tanpa sadar terucapkan dalam hati-hati masing-masing berharap akan menjadi nyata. Perasaan tidak bisa menyatukan satu sama lain, akan sulit untuk menjalankan kedepannya.
Kuharap tidak ada masalah lagi kedepannya/aku tidak ingin menghadap masalah yang merepotkan…-Grexyn/Elleina.
To Be Continued.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!