Byur
Plak
Plok
Dug
"Hahaha ...."
"Hahaha ...."
"Sukurin, rasakan tuh!"
Mereka menertawakan seorang gadis kecil yang masih TK itu. Tidak peduli kalau anak kecil itu sudah bau dan terluka. Bau amis dari telur mentah yang sudah busuk sangat tercium di tubuh mungilnya. Tidak hanya itu, wajahnya juga sudah hitam karena air comberan.
Dia hanya bisa menahan isak tangisnya. Menunduk, tidak berani melawan anak-anak yang umurnya sudah lebih dewasa darinya.
"Dasar anak enggak tahu diri, pergi sana. Jangan bermain di sini, ini bukan tempat buat kamu."
Mereka kembali tertawa, lalu buru-buru membubarkan diri saat mendengar ada yang datang.
Gadis kecil itu berjalan terseok, karena kaki terluka akibat didorong oleh mereka.
Papa, mama ... kenapa aku? Apa salahku?
Orang-orang yang berlalu lalang menutup hidung mereka, menatap iba pada anak gembel, tapi tetap tidak menolong atau sekedar bertanya.
Buk
Dia menabrak seseorang, yang membuatnya terhuyung ke belakang. Dia dan orang itu sama-sama terjatuh.
"Nona, Anda enggak apa-apa?"
"Tidak apa," jawab orang yang terjatuh itu.
Pandangan mata keduanya bertemu. Nuna, gadis kecil kumuh itu melihat orang yang ditabraknya, yang ternyata anak kecil yang memang lebih kecil darinya.
"Duh, Anda jadi kotor begini, Nona."
Pria itu membersihkan kotoran yang melekat pada gadis kecil berkuncir kuda itu. Wajahnya imut, dan terlihat jelas kalau dia anak orang kaya. Gadis berkuncir kuda itu terus melihat Nuna, yang kotor dan bau.
Nuna menunduk, pada gadis yang lebih kecil darinya saja, dia tidak berani. Dia takut menghadapi orang-orang di sekitarnya, takut dengan pandangan mereka, dan takut dalam apa pun.
"Ini!" ucapnya sembari memberikan makanan dan minuman untuk Nuna. Nuna diam saja, tidak menerima pemberian itu.
Gadis kecil itu menatap Nuna, tidak tersenyum, tapi juga tidak terlihat marah.
"Ini!" Tangan kecilnya memegang tangan Nuna yang kotor dan bau, dan memberikan makanan juga minuman itu langsung ke tangannya.
Lumpur hitam itu sudah mengering di wajah Nuna, tapi sulit untuk dibersihkan.
"Ayo makan!"
Nuna makan, mereka berdua duduk di bangku, dan tidak bicara apa-apa.
"Nona, ayo kita pulang. Nanti kalau tuan dan nyonya besar tahu, saya bisa dimarahi."
"Opa dan oma tidak akan tahu, kalau kita tidak cerita."
"Tapi mereka selalu mengecek CCTV, untuk memantau Anda."
"Papa dan mama juga belum pulang. Jadi kita di sini dulu sebentar."
Tidak sampai lima menit, kedua orang itu pergi.
"Ini." Gadis berkuncir kuda itu memberikan uang pada Nuna. Nuna melihat beberapa dolar dalam genggamannya. Melihat punggung gadis kecil itu yang semakin menjauh.
Dia melihat makanan dan minuman yang masih ada dalam genggamannya.
Ini makanan biasa, tapi kenapa rasanya sangat enak?
Setelah menghabiskan semuanya, dia tidak membuang sampahnya ke tempat sampah, tapi mengantonginya.
Dia kembali berjalan, tetap menunduk menghindari pandangan orang-orang yang berlalu lalang.
Dia tiba di rumahnya, menunggu sesaat sebelum kembali melangkah.
"Nona Muda, apa yang terjadi?"
Penjaga membuka pintu gerbang yang berukuran sangat besar itu. Penjaga itu menghela nafas, selalu saja seperti ini. Nona muda mereka selalu pulang dalam keadaan berantakan. Bukan hanya kotor dan bau, tapi juga terluka.
"Nona, ya ampun, apa yang terjadi?"
Bibi langsung menghampiri Nuna, mengajaknya ke kamar untuk membersihkan diri.
"Apa ini?"
"Jangan dibuang, Bi."
"Kenapa? Ini kan sampah."
"Itu bukan sampah, tapi harta karunku."
Nuna lalu menyimpannya di dalam kotak kaca, bersama dengan beberapa dolar yang masih baru.
Ini sangat berharga, aku akan terus menjaganya.
.
.
.
Bab pertama, jangan lupa absen, biar ketahuan siapa yang duluan baca🤣
Buat yang belum tahu, daripada nanti bingung, jadi Sangat Disarankan membaca ini secara berurutan:
**1. Akibat Pernikahan Dini
Jarak
Mother**
Baca juga ya Arrogant Wife, biar sekalian gitu😉
Sampai jumpa di bab selanjutnya
Nuna sudah membersihkan dirinya. Memakai pakaian bagus, dan sangat wangi. Dia turun ke bawah, ke ruang makan yang selalu seli, hanya ada dirinya saja.
Banyak makanan enak di hadapannya, tapi dia tidak berselera sama sekali.
"Ayo Nona, dimakan."
"Tidak, aku sudah kenyang."
Dia kembali ke kamarnya, tidak makan satu sendok pun.
Nuna membaringkan tubuhnya ke kasur, memeluk boneka kelinci kesayangannya yang berwarna putih bersih, hingga tanpa sadar dia tertidur.
Pagi harinya, Nuna terbangun. Badannya terasa pegal-pegal, karena kejadian kemarin sore.
"Nona, apa Anda sudah bangun?"
Pintu kamarnya terbuka. Bik Sinta masuk dan melihat nona kecilnya itu masih tidur-tiduran di kasur.
"Ayo bersiap-siap Nona, Anda harus ke sekolah."
"Aku tidak mau ke sekolah." Bik Sinta menghela nafas berat. Setiap hari, Nuna memang selalu malas pergi ke sekolah.
"Kenapa tidak mau, kan enak di sekolah, ada banyak teman. Bisa belajar dan bermain bersama."
"Enggak. Aku enggak punya teman di sana, atau di mana pun." Wajah gadis kecil itu mendadak sedih.
Dia memang tidak punya teman. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Semua anak menatap galak padanya, juga ada pandangan jijik dari mereka, terutama para ibu dari anak-anak itu.
Nuna lebih banyak bolos nya, daripada sekolah. Dia akan mencari banyak alasan untuk tidak datang ke sana. Seperti pura-pura sakit, bangun kesiangan, atau hal lainya.
Dan sebenarnya, tidak ada yang peduli.
"Lagi pula, aku lagi sakit."
Bik Sinta memegang kening Nuna, yang memang terasa hangat.
"Ya sudah, Non istirahat saja, biar bibi buatkan sarapan."
Setelah pintu tertutup, Nuna melonjak gembira, tapi kemudian berhenti, mengehls nafas berat, seolah ada beban besar yang menghimpit di diri bocah sekecil itu.
Dia kemudian mengeluarkan kotak harta karunnya, yang hanya berisi beberapa dolar dan sampah bekas makanan dan minuman kemarin sore. Sampah itu sudah dicuci bersih, dan dikeringkan.
Bukan barang mewah yang menjadi harta karunnya.
🍃🍃🍃
Waktu berlalu, setiap hari Nuna akan pergi ke taman itu. Berdiri tersembunyi di balik pohon besar, tapi yang ditunggu tidak pernah datang. Dia hanya melihat kumpulan anak lainnya yang asik bermain, para orang tua yang mengawasi mereka dan saling berbincang.
Hingga menjelang malam, akhirnya Nuna baru pulang. Kembali ke rumah yang selalu sepi, yang hanya ada para pelayan juga penjaga.
Tidak ada kakek nenek
Tidak ada orang tua
Tidak ada saudara
Sepi
Dia kesepian
Dia ingin seperti yang lain
Memiliki segalanya
Segalanya dalam pikiran Nuna yang masih bocah, adalah orang tua.
Tidak ada binar bahagia layaknya anak kecil seumuran dia. Di mana anak lainnya asik bermain dan disayang oleh kedua orang tua mereka, tapi tidak dengan Nuna.
Tidak ada foto keluarga
Setiap hari, kalau dia sekolah, hanya akan diantar jemput okeh supir saja. Lalu disambut oleh bi Sinta. Bi Sinta lebih seperti ibunya, juga ayahnya.
Nuna selalu mengerjakan semuanya sendiri. Dia membuka buku pelajarannya. Ada tugas menggambar, tapi dia tidak menggambar. Ada tugas mewarnai, tapi dia tidak mewarnai.
Nuna memang tidak pernah mengerjakan tugas-tugasnya. Bukan karena dia bodoh, tapi memang dia tidak mau.
Pernah suatu hari, dia diminta maju untuk bernyanyi. Tapi gadis kecil itu diam saja di bangkunya, dan mendengar suara tawa mengejek dari teman-temannya. Meskipun begitu, dia tetap diam, tidak bersuara sedikit pun.
Nuna bermain sepeda seorang diri. Sepeda berwarna pink itu dikayuhnya dengan sedikit cepat.
Beberapa orang anak mencegatnya, tertawa mengejek melihat Nuna yang selalu seorang diri.
"Lihat kan, dia enggak punya teman."
"Iya, lagi pula siapa yang mau berteman dengannya!"
Tawa mengejek itu semakin keras. Nuna menunduk dalam-dalam, membuat mereka semakin merasa senang melihat dia yang takut.
Brugh
Salah satu dari mereka mendorong sepeda Nuna, membuat dia ikut terjatuh bersama sepedanya. Mereka menarik sepeda itu, dan membuangnta ke dalam got yang cukup dalam.
Rintik hujan mulai turun, Anak-anak yang usianya lebih besar dari Nuna itu membubarkan diri, meninggalkan Nuna sendiri yang menatap sepedanya.
Nuna berusaha mengambil sepeda itu, tapi tentu saja tidak bisa. Hujan semakin deras, diiringi suara petir. Tangan kecilnya berusaha menggapai seoeda itu, mencoba menarik, tapi sia-sia saja apa yang dilakukannya.
Dia tidak peduli dengan hujan, meski tubuhnya sudah basah kuyup. Dia tidak mau meninggalkan sepedanya itu sendiri di sini, seolah taku sepeda itu akan merasa kesepian, sama seperti dirinya.
Tiba-tiba saja hujan tidak lagi membasahi tubuhnya, tapi dia tahu hujan masih turun. Dia menoleh ke atas, melihat ada payung kecil berwarna merah yang melindunginya.
Dilhatnya siapa yang memegang payung itu. Tangan kecil, lebih kecil dari tangannya. Lalu wajahnya, lebih muda dari dirinya.
Dia adalah gadis kecil berkuncir kuda.
Gadis itu diam saja saat melihat Nuna. Sama seperti ang lainnya, si kuncir kuda tidak tersenyum, tapi juga menatap Nuna dengan pandangan mencela apalagi jijik. Dia hanya diam memandang wajah Nuna.
Nuna memperhatikan wajah mungil si kuncir kuda.
Si kuncir kuda itu manis dan imut. Orang-orang tentu saja tidak akan bosan memandang wajahnya.
Mereka saling memandang, tanpa Nuna sadari seorang pria tua sudah mengangkat sepeda Nuna dari dalam got.
"Sudah, Nona," beri tahunya, menyadarkan Nuna seketika. Nuna lalu memandang sepedanya, lalu melihat si kuncir kuda.
"Ini untuk kamu." Si kuncir kuda memberikan payung kecil berwarna merah itu, lalu dirinya sendiri dipayungi oleh seorang perempuan paruh baya, yang saat itu juga menemani di kuncir kuda di taman.
"Terima kasih," ucap Nuna pelan. Tangannya memegang payung dengan erat, takut payung itu terbang ditiup angin yang cukup kencang.
"Ayo Nona, kita harus pulang sekarang."
"Tapi dia bagaimana?"
"Tidak apa. Rumahku juga dekat dari sini," ucap Nuna.
Si kuncir kuda masuk ke dalam mobil bersama pengasuh dan supirnya. Si kuncir kuda menatap Nuna dari balik jendela mobil. Mereka saling melihat, lalu mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Nuna memegang payung itu, lalu naik ke sepedanya. Susah baginya untuk menjalankan sepeda dengan satu tangan, sedangkan tangannya yang lain harus memegang payung.
Di rumah, bi Sinta sudah sangat cemas. Dia sih menyuruh orang-orang untuk mencari nona kecilnya, tapi sampai sekarang belum juga kembali. Dia lalu memutuskan untuk mencarinya sendiri.
Belum sempat dia tiba di depan pintu, nona kecilnya sidah datang. Dalam keadaan basah kuyup, tapi tangannya memegang sebuah payung.
"Ya ampun Nona, Anda dari mana saja?"
"Aku bertemu dengan peri kecil."
"Peri kecil?"
"Iya. Peri itu sangat imut, dan cantik. Aku juga mau punya adik sepertinya. Tapi enggak mungkin ya, Bi?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!