NovelToon NovelToon

Pernikahan dengan Perusak Impianku

Episode 1 Kenyataan yang Menyakitkan

Gadis berambut panjang berdiri dibawah guyuran hujan deras di sebuah taman yang sepi, di salah satu sudut Kota Jakarta. Dia tidak peduli malam semakin gelap, angin kencang juga air hujan yang membuat badannya semakin menggigil. Dia hanya ingin menyembunyikan tangisnya yang tidak bisa dia hentikan karena beratnya beban yang dia pikul saat ini.

Hatinya teriris pilu, mendapati kenyataan bahwa dia sudah kehilangan kehormatannya lebih dari sebulan yang lalu. Karena diambil paksa oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Malam anniversary yang seharusnya dia lewati bersama kekasihnya yang merupakan kakak angkatannya di kampus, berubah menjadi malam penuh petaka baginya.

Bagaimana aku memberitahu kedua orangtuaku? Aku juga tidak mungkin bisa melanjutkan hubunganku dengan Jordan. Dia pasti kecewa dan tidak mau menerima perempuan yang sudah kotor sepertiku. Apalagi sekarang aku ... hamil.

Tubuhnya roboh hingga terduduk di atas tanah yang basah, membuat pakaiannya menjadi kotor dan berlumpur.

Wajahnya perlahan mendongak, saat dirasakannya air hujan tidak lagi membasahi tubuhnya yang memang sudah basah kuyup. Ternyata bukan karena hujan yang sudah berhenti, melainkan ada seorang pria yang berdiri dihadapannya seraya memegang payung dan memandangnya dengan raut khawatirnya.

"Jee ... akhirnya aku menemukanmu, Sayang." Tangis perempuan yang bernama lengkap Jillian Prisa Nararya itu semakin menjadi. Saat dilihatnya laki-laki yang dicintainya berada tepat di hadapannya.

"Jordan ...!" lirih Jillian dengan tatapan sendunya.

Jordan Abraham Smith, laki-laki tampan blasteran Inggris-Indonesia yang sudah 2 tahun menjadi kekasihnya, perlahan berjongkok lalu memegang bahu Jillian dengan sebelah tangannya. Tatapan khawatir dan penuh kasih sayang itu masih sama, membuat Jillian merasakan sesak di dadanya.

"Sayang, ayo kita ke apartemenku. Kamu harus mengeringkan dan mengganti bajumu. Nanti aku antar pulang." Jillian masih bergeming, enggan menuruti permintaan Jordan yang sebenarnya membuat hatinya haru.

"Jordan ... lupakan aku! Kita tidak bisa bersama lagi, aku tidak layak untukmu," ucap Jillian lirih.

Sebelah tangan Jordan kini menangkup pipi Jillian yang semakin basah karena air mata yang mengalir deras.

"Jelaskan padaku apa alasanmu, agar aku bisa mengerti. Kamu selalu menghindariku selama beberapa minggu ini, aku tidak tahu apa salahku hingga kamu memintaku melupakanmu," jawab Jordan begitu lembut, membuat hati Jillian semakin terenyuh dan merasa bersalah.

"Tidak ada yang salah denganmu, justru aku yang salah." Jillian menundukkan kepalanya, tidak kuasa memandang wajah Jordan yang begitu dicintainya.

"Jelaskan padaku di apartemenku, kamu bisa sakit kalau terus-terusan memakai baju basah. Apalagi anginnya cukup kencang." Akhirnya Jillian mengangguk pasrah. Menuruti ucapan Jordan yang kemudian memapahnya menuju mobil yang terparkir di depan taman.

Sesampainya di apartemen Jordan, Jillian segera membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian yang dibeli Jordan, di mall yang terletak tidak jauh dari apartemennya.

Jordan menyajikan secangkir jasmine tea hangat dan sepiring cheese cake di hadapan Jillian, yang duduk di atas sofa ruang tamunya. Wajah Jillian terlihat begitu pucat, semakin membuat Jordan merasa khawatir akan keadaan kekasihnya itu.

"Makanlah Sayang, aku yakin kamu belum mengisi perutmu kan? Maaf hanya ada ini di lemari es-ku. Apa kamu menginginkan makanan lain? Biar aku pesankan." Jillian hanya menggeleng pelan mendengar tawaran Jordan. Sungguh dirinya tidak memiliki selera makan saat ini. Tapi perutnya yang berbunyi tentu mengisyaratkan kebalikannya.

Jordan tersenyum tipis mendengar suara perut Jillian yang lumayan kencang. Hingga akhirnya Jillian memilih menyuapkan potongan cheese cake ke dalam mulutnya, setelah terlebih dahulu menyesap  jasmine tea-nya.

"Pelan-pelan Sayang. Jika kamu masih belum kenyang, cheese cake-nya masih ada kok," ucap Jordan yang langsung diangguki Jillian.

Hanya berselang beberapa menit saja, cheese cake dihadapan Jillian sudah tandas tak bersisa.

"Jordan, apa aku boleh minta lagi?" Pertanyaan Jillian yang terdengar ragu, disambut Jordan dengan senyuman di wajah tampannya.

"Tentu saja, aku ambilkan lagi ya." Jordan beranjak dari duduknya hendak menuju lemari es yang terdapat di pantry. Namun langkahnya urung, saat dilihatnya Jillian berlari ke arah wastafel yang berada di luar kamar mandi di sebelah pantry.

"Uweeek ... uweeekk ...." Jordan bergegas mendekati Jillian yang menunduk di depan wastafel. Perlahan tangannya memijat pelan tengkuk Jillian, agar Jillian bisa mengeluarkan isi perutnya. Sama sekali tidak ada rasa jijik melihat kekasihnya memuntahkan semua makanan yang sudah dimakannya. Jordan justru terlihat begitu khawatir dengan keadaan Jillian.

"Sudah lega?" Jillian hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah Jordan yang kemudian memapahnya kembali menuju sofa. Jordan mendudukkan Jillian di atas sofa, lalu duduk disebelah gadis yang dicintainya.

Jordan menyodorkan secangkir jasmine tea yang masih tersisa setengah itu, dan langsung diteguk Jillian hingga tandas.

"Sebaiknya kita ke dokter ya. Sepertinya kamu masuk angin, Sayang." Jillian menggeleng cepat menolak tawaran Jordan. Mual dan muntah memang sudah dirasakannya selama beberapa hari ini, dan itu bukan karena masuk angin. Melainkan karena dirinya yang sedang berbadan dua.

"Jordan ... ada yang harus aku bicarakan," lirih Jillian seraya menatap dalam netra Jordan yang berwarna hazel.

"Katakan, apa yang ingin kamu bicarakan?" Kali ini Jordan menghadapkan tubuhnya ke arah Jillian dengan kedua tangan menggenggam erat tangan Jillian.

"Aku mau kita putus." Jordan berusaha bersikap tenang, meskipun lagi-lagi harus mendengar kalimat yang tidak ingin didengarnya dari mulut Jillian.

"Kenapa?" Suara tenang dan lembut dari mulut Jordan, membuat Jillian tidak tega. Namun keputusannya sudah bulat untuk mengakhiri hubungannya dengan Jordan.

"Kamu berhak bahagia dengan gadis lain, sedangkan aku tidak mungkin bersamamu lagi." Akhirnya air mata Jillian kembali jatuh melalui kedua sudut matanya.

"Aku hanya bisa bahagia bersamamu, Sayang. Kenapa kamu terus mendorongku untuk pergi dari kamu? Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Tolong beri aku penjelasan!" Suara yang awalnya lembut itu, sedikit meninggi karena tidak sabar menunggu penjelasan Jillian.

"Aku tidak layak untukmu, Jordan," lirih Jillian seraya menundukkan kepalanya menghindari tatapan Jordan yang mengintimidasi.

"Tapi kenapa Sayang?" tanya Jordan semakin tidak sabar.

"Karena aku sudah kotor. Aku diperkosa." Jordan begitu terkejut mendengar perkataan Jillian. Hingga melepas genggaman tangannya dari kedua tangan Jillian. Matanya tampak menatap Jillian dengan pandangan tidak percaya, bahkan kepala Jordan menggeleng beberapa kali.

"Katakan kalau kamu hanya bercanda!" pinta Jordan dengan nada memelas.

"Apa mungkin aku bercanda mengenai hal sebesar ini Jordan?" Nada suara Jillian yang meninggi menyadarkan Jordan kalau kekasihnya itu memang mengatakan hal yang sebenarnya. Namun hati dan pikirannya menolak untuk percaya. Berharap kalau Jillian hanya sedang mengerjainya saja.

"Siapa yang melakukannya?" Kedua bahu Jillian tampak bergetar, saat Jordan mengguncangnya sedikit keras.

"Aku sungguh tidak mengenalnya Jordan. Saat itu aku menunggumu menjemputku di dekat kampus, untuk merayakan hari anniversary kita. Tapi kamu tidak juga datang, bahkan sampai malam kamu tetap tidak datang. Saat itu sebuah mobil sport hitam berhenti di depanku, seorang laki-laki yang terlihat mabuk keluar dan langsung menarikku untuk masuk ke dalam mobilnya. Aku berteriak, menendang kakinya dan meronta sekuat tenaga, tapi dia membekapku dan kekuatanku tidak sebanding dengan tenaganya yang besar. Hingga dia berhasil mendorongku masuk ke dalam mobilnya." Isak Jillian terdengar semakin keras, sebelum dia kembali melanjutkan ceritanya. Sementara Jordan pun menangis meskipun tanpa suara.

"Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, aku terus berusaha membuka pintu mobil dan menyuruhnya untuk menghentikan mobilnya dengan mencoba mengambil alih kemudi. Hingga akhirnya mobil itu berhenti saat menabrak sebuah pohon di pinggir jalan. Kepalaku membentur jendela mobil hingga kepalaku terasa pusing sekali. Laki-laki itu memanfaatkan kesempatan dengan menurunkan sandaran kursi mobil, lalu mengikat dan mengangkat kedua tanganku diatas kepala. Saat itu kepalaku terasa semakin pusing, badanku pun lemas. Hingga akhirnya dia menindih tubuhku." Tangis Jillian kembali pecah. Tubuhnya bergetar hebat, dengan tangan sesekali memukul dadanya yang sesak. Jordan yang menahan isaknya sejak tadi, kini menangis sesenggukan. Dipeluknya tubuh Jillian dengan erat, hingga air matanya tumpah di bahu kekasih yang begitu dicintainya itu.

"Maafkan aku, seharusnya saat itu aku tidak terlambat menjemputmu. Jika saja aku tidak terlambat, semua kejadian buruk ini tidak akan terjadi." Sesal Jordan semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku akan tetap bersamamu," lirih Jordan lalu menatap dalam netra Jillian yang memerah. Tanpa melepas pelukannya dari tubuh Jillian.

"Tapi aku hamil, Jordan." Ucapan Jillian bagaikan petir yang menyambar. Seketika pelukan Jordan terlepas, diiringi air mata yang mengalir semakin deras.

*************************

Episode 2 Cinta Tulus

Rasa kecewa perlahan merayap di hati Jillian, saat melihat reaksi Jordan yang melepas pelukannya disaat Jillian mengatakan bahwa dirinya hamil. Meskipun Jillian memang bermaksud mendorong Jordan untuk pergi dari hidupnya, tapi ternyata dia tidak cukup siap menerima reaksi jijik dari sang kekasih yang masih setia bertahta di hatinya.

"Aku akan menikahimu." Tiba-tiba sebuah ungkapan dari mulut Jordan membuat tubuh Jillian membeku, lidahnya kelu, bahkan netra indahnya tidak berkedip selama beberapa detik.

"Apa maksudmu?" Jillian bertanya, merasa pendengarannya tidak cukup baik menangkap kalimat dari mulut Jordan.

"Kehamilanmu akan semakin besar, biarkan aku menikahimu," pinta Jordan dengan sorot mata yang begitu tulus.

"Tidak, untuk apa kamu bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan? Kamu berhak mendapatkan gadis lain yang layak untuk kamu. Kamu tidak akan bahagia bersamaku Jordan. Kamu akan selalu teringat kalau anak yang aku kandung bukanlah anakmu." Meskipun perih dan sakit, Jillian tetap berusaha mengingatkan Jordan tentang konsekuensi yang akan Jordan terima, jika terus memaksa bersamanya.

"Kebahagiaanku adalah kamu, Sayang. Tidak peduli kamu hamil anak siapa, aku akan tetap menikahimu." Jordan berusaha meyakinkan Jillian yang menatapnya dengan ragu.

"Kamu hanya merasa bersalah karena saat itu terlambat menjemputku kan? Kamu hanya kasihan padaku Jordan. Tolong jangan bohongi hatimu. Kamu tidak mungkin bisa menerimaku yang mengandung anak laki-laki lain." Suara Jillian begitu lirih dan bergetar, sorot matanya terlihat sendu dan dipenuhi kesedihan.

"Tidak. Aku melakukannya karena benar-benar mencintaimu, Jee," ungkap Jordan yakin, seraya menatap dalam netra Jillian yang kembali mengalirkan air matanya.

*************************

Plaaaakk ...

Sebuah tamparan mendarat di pipi Jordan. Saat dirinya menyampaikan alasan kepada kedua orangtuanya, Daddy Jonathan dan Mommy Rachel. Kenapa dirinya begitu terburu-buru ingin menikahi kekasihnya.

"Jadi kekasihmu hamil? Kamu sudah benar-benar membuat Daddy dan Mommy kecewa Jordan." Daddy Jonathan menatap nyalang putra bungsunya, yang dia pikir tidak akan pernah mengecewakannya dengan melakukan hal yang memalukan.

"Tolong maafkan Jordan, Dad ... Mom. Tapi Jordan akan menikahi Jillian secepatnya. Tolong restui Jordan, Dad ... Mom!" Jordan menangkupkan kedua tangannya memohon restu dari kedua orangtuanya.

Daddy Jonathan mengurut pelan keningnya yang mendadak pusing. Sementara Mommy Rachel terpekur dengan wajah tertunduk, menyembunyikan air mata yang perlahan keluar dari kedua sudut matanya.

"Kita restui saja pernikahan Jordan dan Jillian. Sudah seharusnya anak kita bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan. Lagipula selama ini Mommy lihat Jillian adalah gadis yang baik." Mendengar perkataan Mommy-nya, senyum Jordan mengembang. Meskipun pipinya masih merasa sakit akibat tamparan dari Daddy-nya.

"Tapi Mom, Jordan masih kuliah. Jordan akan melangkahi kakaknya, Jeffran. Apa kata orang nanti, pasti mereka berpikir yang tidak-tidak." Daddy Jonathan bersikeras menolak niat Jordan untuk menikahi Jillian.

"Lalu Daddy mau apa? Membiarkan putra kita lepas tanggung jawab dan tega membiarkan Jillian hamil tanpa suami?" Suara Mommy Rachel mulai meninggi, tidak setuju dengan pendapat suaminya. Namun Daddy Jonathan pun masih belum bisa mengambil keputusan, meskipun hati kecilnya mengiyakan pendapat istrinya itu.

Tiba-tiba Jordan berlutut didepan kedua orangtuanya. Mendongak dengan pandangan sendu menatap dalam netra kedua orangtuanya.

"Tolong Dad, Jordan sangat mencintai Jillian. Jordan ingin menikahinya dan membangun keluarga bersamanya. Maafkan Jordan yang sudah mengecewakan Daddy dan Mommy. Tapi tolong restui Jordan untuk menikahi Jillian."

Sikap Jordan membuat Mommy Rachel dan Daddy Jonathan begitu terenyuh. Isak Mommy Rachel terdengar semakin keras. Sementara Daddy Jonathan perlahan mendekat dengan tangan terulur menyentuh bahu putranya.

"Baiklah, Daddy dan Mommy akan merestui pernikahan kalian," ucap Daddy Jonathan, yang langsung disambut senyum sumringah Jordan.

Jordan berdiri, lalu memeluk kedua orangtuanya bergantian. Meluapkan kebahagiaan dan juga rasa syukur, karena akhirnya kedua orangtuanya mau memberikan restu untuknya dan Jillian.

"Terima kasih Dad, Mom. Aku sangat menyayangi kalian."

*************************

Akhirnya, setelah dua minggu mempersiapkan pernikahan, esok Jordan akan resmi menyandang status sebagai suami sah dari Jillian. Wajahnya begitu berseri-seri membayangkan dirinya akan duduk di pelaminan bersama dengan kekasihnya.

Wajah yang selalu dihiasi senyuman itu, kini tidak luput dari ledekan Kakaknya, Jeffran. Juga godaan sepupu-sepupunya yang sengaja datang dari luar kota juga luar negeri. Mereka berkumpul di ruang keluarga rumah Jordan sehabis makan malam.

"Berhentilah senyum-senyum sendiri seperti itu, lama-lama aku bisa berpikir kalau kamu sudah mulai gila." Protes Jeffran sambil melempar bantal sofa tepat di wajah Jordan. Tapi Jordan bukannya marah, justru senyumnya mengembang semakin lebar.

"Bilang saja kalau Kakak iri padaku, karena aku akan menikah lebih dulu dibanding Kakak." Ucapan Jordan yang diakhiri juluran lidah sang adik, membuat Jeffran sebal. Lagi-lagi dilemparnya wajah Jordan dengan bantal sofa.

"Kamu saja yang bodoh, mau menikah di usia yang masih sangat muda. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk menikah. Menikah hanya akan membuat hidupmu rumit." Ucapan Jeffran hanya dibalas gelengan kepala oleh Jordan.

Jeffran memang seorang laki-laki yang berpikiran sangat bebas. Dia tidak suka berkomitmen dengan seorang wanita. Baginya perempuan hanyalah sumber masalah yang akan membuat hidupnya kacau. Jeffran memilih menyibukan dirinya dengan pekerjaan, dibanding membangun suatu hubungan dengan seseorang. Apalagi saat ini dirinya merupakan CEO dari group perusahaan keluarganya, Smith Group Company.

"Aku tahu isi otakmu Jordan. Pasti kamu sedang membayangkan malam pertama." Sepupu jauh Jordan yang bernama Liam, sekaligus asisten pribadi Jeffran ikut menimpali.

"Kak Liam tahu saja apa yang aku pikirkan." Jawaban Jordan memancing tawa semua orang yang ada di ruangan itu.

"Jordan, aku doakan kamu bahagia dengan pernikahanmu. Dan kamu Jeffran, suatu saat kamu pasti akan menemukan belahan jiwamu. Dimana kamu akan tahu, kalau hidupmu akan terasa lengkap jika bersamanya. Bisa saja saat ini kamu belum memikirkan pernikahan, tapi aku yakin suatu saat kamu akan menikahi seseorang yang kamu cintai dengan sepenuh hatimu." Ucapan serius Shawn sepupu Jordan dan Jeffran itu diangguki semua orang. Kecuali Jeffran yang hanya mengulas senyum tipis disertai deheman pelan. Tanpa berniat menyetujui perkataan sepupunya yang sudah menikah itu.

Beberapa saat kemudian, Jordan bangkit dari duduknya lalu berbalik hendak berjalan menuju pintu ruang keluarga.

"Mau kemana kamu?" tanya Liam.

"Menemui pujaan hati," jawab Jordan sembari mengulas senyum nakalnya.

"Jangan aneh-aneh Jordan, besok pagi kamu akan bertemu dengannya. Mommy berkali-kali mengatakan, kamu tidak boleh keluar rumah menjelang pernikahanmu." Jeffran sedikit berteriak seraya menghunus tatapan tajamnya. Namun Jordan seolah enggan menuruti titah kakaknya.

"Pingitan maksud Kakak? Ah tidak kusangka, kakak yang berpikiran sangat modern malah setuju dengan perkataan Mommy," ujar Jordan malah meledek perkataan Jeffran.

"Kamu memang semakin sulit diatur Jordan." Bukannya tersinggung dengan perkataan Jeffran yang datar namun penuh penekanan, Jordan justru membalasnya dengan kekehan kecil.

"Heh bocah, apa yang dikatakan Mommy dan kakakmu ada benarnya. Mereka ingin kamu bisa beristirahat di rumah. Jadi besok kamu bisa fit di hari pernikahanmu," timpal Liam.

Namun Jordan lagi-lagi tidak mengindahkan. Jordan memilih melangkah pergi seraya melambaikan sebelah tangannya ke arah kakak dan sepupu-sepupunya.

"Aku pergi ya," ujar Jordan lagi-lagi disertai senyum jahilnya.

*************************

Drrrtt ... Drrtt ... Drrtt

Jillian yang sudah merebahkan tubuh dan memejamkan mata di atas tempat tidur, terpaksa kembali membuka matanya. Diambilnya ponsel yang dia simpan di atas nakas, lalu mendudukkan dirinya setelah mengetahui kalau Jordan-lah yang menelponnya.

"Hai Sayang, ada apa kamu menelponku?" tanya Jillian penasaran.

"Sayang, sebentar lagi aku sampai di rumahmu. Kamu tunggu aku diluar rumah ya. Pasti keluargamu tidak akan mengizinkanku untuk masuk dan menemuimu." Ucapan Jordan membuat Jillian terkejut seketika.

"Hah? Besok juga kita bertemu Sayang. Kenapa kamu malah kesini, bukannya beristirahat?" protes Jillian.

"Aku terlalu rindu, tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu tahu kan kalau aku begitu mencintaimu." Jordan menjawab dengan begitu santai.

"Iya, aku tahu Sayang. Tapi kan kamu tidak harus datang. Kita bisa mengobrol lewat video call."

"Tidak. Rasanya waktu bersamamu terlalu berharga untuk aku lewatkan. Aku benar-benar ingin bertemu denganmu, Sayang. Aku mencintaimu Jillian Prisa Nararya."

Braaaaakk ...

Suara keras yang terdengar seperti hantaman benda besar, mengejutkan Jillian. Seketika pikiran buruk memenuhi otak Jillian yang masih menempelkan ponsel di telinganya.

"Hallo ... Sayang ... apa yang terjadi? Sayang tolong jawab aku ... Sayang. Jordan, kamu dimana?" Namun tidak ada jawaban dari seberang sana, meskipun Jillian terus bertanya dan berteriak histeris memanggil nama calon suaminya.

*************************

Episode 3 Permintaan Jordan

Jillian menatap nanar gundukan tanah yang masih basah dengan taburan bunga berwarna-warni diatasnya. Sudah tidak ada satupun orang sore ini. Sedangkan Jillian yang berkali-kali pingsan sejak prosesi pemakaman hendak dimulai, baru bisa menguasai dirinya untuk melepas kepergian Jordan.

Dipegangnya batu nisan bertuliskan nama kekasih hatinya. Sungguh hatinya remuk menerima kenyataan bahwa seseorang yang begitu dicintainya kini telah meninggalkannya untuk selamanya. Tangis yang sempat berhenti, kini terdengar lagi dengan isakan yang menyayat hati.

Jordan, bagaimana bisa aku menjalani hidupku tanpamu? Tapi aku yakin Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik untuk umat-Nya. Jika kamu tetap bersamaku, mungkin kamu tidak akan bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku sama sekali tidak menyalahkan Tuhan atas kepergianmu.. Karena aku yakin, disana kamu sudah jauh lebih bahagia. Terima kasih Jordan, karena sudah memberiku cinta yang begitu besar. Aku mencintaimu.

************************

Di kediaman keluarga Smith yang masih dalam suasana berkabung, kedua orangtua mendiang Jordan yaitu Daddy Jonathan dan Mommy Rachel sedang berbicara serius dengan Jeffran, anak pertama mereka.

"Jeffran, saat ini Jillian sedang mengandung anak adikmu. Tapi sekarang adikmu sudah meninggal. Tapi Daddy dan Mommy tetap menginginkan cucu yang saat ini ada dalam kandungan Jillian. Apalagi Jordan sudah meninggal. Keberadaan anak dalam kandungan Jillian akan menjadi pengobat rindu untuk kami saat merindukan Jordan nanti. Daddy dan Mommy ingin meminta sesuatu padamu." Daddy Jonathan terdengar saat berbicara.

"Minta apa Dad, Mom?" Jeffran begitu penasaran, karena dirinya masih belum mengerti arah pembicaraan kedua orangtuanya.

"Menikahlah dengan Jillian, dan jadilah ayah dari anak Jordan yang sedang dikandung Jillian." Ucapan Daddy Jonathan yang terdengar tenang itu, seketika memancing emosi Jeffran yang langsung berdiri dari duduknya.

"Daddy sama Mommy apa-apaan sih? Seenaknya saja meminta Jeffran menikahi perempuan itu. Ya tinggal urus saja perempuan itu sampai melahirkan. Nanti baru ambil bayinya setelah lahir. Pasti perempuan itu juga tidak mau mengurus anaknya. Tidak perlu sampai menyuruh Jeffran menikahi perempuan yang bahkan tidak Jeffran kenal."

Penolakan Jeffran memang bisa Daddy Jonathan dan Mommy Rachel maklumi. Tapi mereka juga memikirkan status cucu mereka kelak. Mereka tidak mau anak yang dikandung Jillian dilabeli anak haram. Bagaimanapun mereka masih berpikir kalau anak yang dikandung Jillian benarlah anak Jordan.

"Jeffran, Mommy tidak mau nanti cucu Mommy dibully dan disebut anak haram karena tidak memiliki ayah. Kasihan juga Jillian. Dia akan dianggap perempuan tidak baik, karena hamil tanpa suami. Tolong Jeffran, menikahlah dengan Jillian. Berikan status untuk cucu Mommy itu. Mommy mau dia menjadi bagian dari keluarga Smith." Tatapan sendu sang Mommy, sedikit membuat Jeffran tidak tega. Tapi Jeffran yakin, menikah dengan calon istri mendiang adiknya akan membuat hidupnya berantakan.

"Jangan memaksaku Mom, Dad. Kalian jelas tahu kalau aku tidak pernah mau menikah. Suruh saja perempuan itu menikah dengan orang lain," ujar Jeffran begitu entengnya.

"Jeff, tidak akan ada laki-laki yang mau menikahi perempuan yang sedang hamil anak laki-laki lain."

"Begitupun dengan aku Dad. Aku tidak mau menikahi perempuan itu!" tegas Jeffran.

"Tapi dia sedang mengandung anak Jordan, adikmu yang sudah meninggal. Tolong kali ini saja, penuhi permintaan kami Jeff." Mommy Rachel memohon seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada, semakin membuat Jeffran merasa dilema.

*************************

Sementara itu di kediaman Jillian, kedua orangtua Jillian yaitu Papa Rendra dan Mama Jovita juga sedang mengobrol serius dengan Jillian.

"Papa dan Mama sudah membicarakan hal ini dengan kedua orangtua Jordan. Bahkan mereka yang mengusulkan ide ini. Kami ingin agar kamu menikah dengan kakaknya Jordan yang bernama Jeffran."

"Apa?" Jillian begitu terkejut dengan apa yang didengarnya.

"Sayang, hal ini demi kebaikanmu juga. Kedua orangtua Jordan tetap ingin bertanggung jawab. Bagaimanapun juga kamu sedang mengandung cucu mereka. Kehamilanmu semakin lama akan semakin membesar. Kami tidak mau orang-orang menghinamu juga anak dalam kandunganmu. Tolong Sayang, menikahlah demi kebaikanmu dan anak dalam kandunganmu." Mama Jovita berusaha meyakinkan putrinya.

"Tidak, aku tidak mau menikah. Biar aku membesarkan anak ini seorang diri. Kalau perlu, aku akan pergi keluar negeri agar Papa dan Mama tidak malu," tegas Jillian, lalu pergi menuju kamarnya.

Setelah mengunci pintu kamarnya, Jillian merebahkan tubuhnya yang lemah di atas tempat tidur dengan posisi menyamping. Pandangan matanya tertuju pada sebuah photo yang terpajang di atas nakas. Photonya bersama Jordan yang terlihat sangat bahagia di moment anniversary pertama mereka.

Air mata Jillian kembali jatuh, saat mengingat begitu banyak kenangan indah selama 2 tahun bersama Jordan. Kekasihnya itu begitu lembut, baik dan sangat menyayanginya. Bahkan saat tahu kalau Jillian mengandung anak pria lain pun, Jordan masih mau menikahinya.

"Jordan, aku mencintaimu ... sangat mencintaimu. Aku tidak yakin akan ada laki-laki baik sepertimu, yang bisa mencintaiku setulus kamu. Mungkin aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi," ucap Jillian dalam tangisnya.

Jillian terus saja meratapi nasibnya yang malang sambil terus menatap photo dirinya dan Jordan tanpa jemu. Hingga akhirnya matanya tertutup dengan jiwa yang terbawa ke alam mimpi.

Di sebuah padang rumput yang begitu luas, Jillian duduk sendiri di atas bangku taman. Gadis itu menatap ke kanan dan ke kiri, mencari tahu dimana dirinya berada. Tiba-tiba muncul seseorang dari belakang dan duduk tepat disebelahnya.

"Jordan?"

Kekasih hati yang begitu Jillian rindukan itu terlihat begitu tampan dengan pakaian serba putihnya.

"Iya ini aku Sayang." Jordan berkata begitu lembut dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya.

"Syukurlah, ternyata kamu masih hidup." Jillian memeluk tubuh Jordan begitu erat. Tapi tubuh Jordan yang terasa sangat dingin membuat Jillian segera melepas pelukannya.

"Tubuhmu dingin sekali." Jordan hanya tersenyum mendengar perkataan Jillian.

"Jee ... Sayang. Menikahlah dengan Kak Jeffran. Jangan pernah menolak pernikahan itu, dengan mengatakan kalau anak yang kamu kandung bukanlah anakku. Biarkan semua keluarga kita tahu, kalau itu anakku. Hingga nanti kamu bertemu dengan ayah kandung dari anak itu. Suatu saat dia akan mengetahui dan mengakui anak di dalam kandunganmu, Jee. Tolong kabulkan permintaanku ya Jee!" Sorot mata sendu Jordan, sungguh sangat Jillian rindukan. Hati Jillian pun sungguh berat mendengar permohonan Jordan padanya. Hingga beberapa saat kemudian, Jordan berdiri dari duduknya seraya mengulas senyum tipis.

"Please ... jangan pergi Jordan!" Jillian hendak berdiri, namun kakinya tidak bisa digerakkan, tubuhnya pun terasa kaku.

"Aku pergi ya Sayang. Ingat pesanku, Jee ...!" Jordan berjalan menjauh, sampai tubuhnya menghilang dibalik kabut putih yang menghalangi pandangan Jillian.

*************************

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!