NovelToon NovelToon

My Sweet Doctor (Lika-liku Perjodohan dengan Dokter)

Kebahagiaan dan Keikhlasan

Tujuan Hidup adalah Bahagia. Kebahagiaan bukanlah saat kamu memiliki kesempurnaan, namun ketika kamu dapat menerima ketidaksempurnaan dengan tulus dan ikhlas.

Keikhlasan juga yang akan membentuk diri kita menjadi sosok yang kuat. Jika kita menginginkan kebahagiaan hidup, maka jadikanlah sabar sebagai sahabat dan ikhlas sebagai penguat langkah.

Seperti perjalanan hidup Askana Afsheen. Anak bungsu dari 4 bersaudara ini hidup dengan penuh kesederhanaan. Di balik kesederhanaannya tak banyak orang yang menyangka jika dia anak seorang Komisaris perusahaan besar di kotanya.

Gadis yang saat ini berusia 25 tahun, sedari kecil hidup di kalangan yang agamis. Tak lain dia juga masih keturunan orang besar di kotanya. Beranjak remaja, Afsheen meneruskan sekolahnya di pesantren terbesar. Tanpa menolak ia memilih bersekolah di lingkungan pesantren, sebab ia ingin menjadi sosok yang lebih paham akan Islam.

Setelah lulus dari pesantren Afsheen melanjutkan sekolahnya, ia mendaftar di kampus yang islami nan berakreditasi A. Masuk ke perguruan tinggi negeri tempat Neneknya menjadi dosen. Namun, Afsheen tidak memilih jurusan seperti neneknya.

Afsheen sangat semangat untuk menyelesaikan kuliahnya. Namun, di saat ia mencapai semester 7, takdir berkata lain. Abinya meninggal dunia. Afsheen sempat patah semangat, namun ia harus bangkit demi Uminya.

Dalam kurun 4½ tahun, Afsheen dapat menyelesaikan kuliahnya. Menyandang gelar Sarjana Hukum. Di saat teman-temannya berbondong-bondong untuk mendaftar tes CPNS, ia justru memilih melamar pekerjaan. Ya, ia ingin bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup bersama Uminya.

Sejak itu, Afsheen diterima dan bergabung di sebuah lembaga keuangan. Kehidupannya mulai membaik dengan adanya tambahan penghasilan dari kerjaan Afsheen.

Seperti orang pada umumnya jika sudah menginjak usia dewasa, pastilah memiliki tambatan hati untuk ke jenjang yang lebih serius. Afsheen memiliki hubungan spesial dengan laki-laki yang berbeda kufu dan berulang kali mendapat pertentangan dari keluarganya.

Walau sang pasangan berusaha mendapatkan hati keluarga Afsheen, ternyata semua tak bisa berjalan sesuai keinginannya.

Semenjak itu, Afsheen mulai menutup diri. Walau begitu, ia tetap melangkah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, sampai pada masa ia akan menemukan kebahagiaan yang ia cari selama ini.

*****

Di tempat kerja Afsheen

"Lah iya, kayak Afsheen itu gak nikah-nikah? Lu kapan sheen nikahnya? Nanti keduluan Seyna loh." Ujar karyawan di tempat kerja Afsheen.

Afsheen yang saat itu masih menyelesaikan pekerjaannya pun sedikit emosi.

"Astaghfirullah, kalian tau kan, jodoh maut rejeki itu sudah ada yang ngatur."

"Kalo lu mah pilih-pilih, sheen." Ucap karyawan lain.

"Yuk, kalian main ke keluargaku biar kalian tau siapa aku." Jawab Afsheen dengan senyum jahat.

Tak semua orang tahu siapa Afsheen, dari keturunan keluarga mana, dan seperti apa keluarganya. Jadi, orang-orang hanya menilai ia seperti orang biasa yang orang tuanya tak banyak menuntut.

Sebenarnya Afsheen sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan seperti ini. Namun, terkadang ia merasa kesal dan ingin berkata, 'coba sehari saja kalian menjadi aku di keluargaku'.

Di lain sisi, Afsheen merupakan karyawan terbaik di tempat ia kerja, sehingga pimpinannya sangat menyayangkan jika Afsheen harus resign lebih cepat.

Sedari kecil ia terbiasa menjadi sosok yang cuek, sehingga tak mudah terbawa perasaan jika ada orang yang menjatuhkan mental maupun kinerjanya. Ia hanya fokus dengan pencapaiannya.

Setelah memberikan jawaban serupa, teman kerja Afsheen sudah tak lagi dapat berkata-kata.

Jam menunjukkan pukul 15.00, Afsheen segera mengambil air wudhu dan menuju musholla di tempat ia kerja. Dilepasnya terlebih dahulu kaos kaki dan arloji yang masih melekat. Membuka sedikit kerudung agar tidak basah terkena air.

Seusai sholat, Afsheen membereskan berkas-berkas dan perlatan yang masih berserakan di meja kerjanya. Kemudian, ia bersiap untuk pulang.

"Sheen, mau pulang sekarang?" Tanya Heny. Rekan kerja yang satu ruangan dengan Afsheen.

"Iya, Mbak. Biar gak kejebak macet. Hehe. Mbak Heny masih nunggu dijemput suaminya?" Jawab Afsheen yang sedang memasukkan kacamata ke dalam tas.

"Iya ini. Suamiku lama banget. Kalo mau duluan gak apa-apa, Sheen."

"Oh iya, Mbak. Aku duluan kalo begitu "

Heny hanya menganggukkan kepalanya. Terlihat Heny masih sibuk dengan ponselnya. Entah sedang berusaha menghubungi suaminya atau sedang bermain game. Afsheen pun meninggalkan kantor terlebih dahulu.

Jarak kantor dengan rumah Afsheen tak begitu jauh, hanya berjarak 3 km.

Dengan mengemudikan motornya, Afsheen sedikit melamun, kepikiran dengan ucapan-ucapan karyawan di kantor tadi. Padahal, ia sangat gak peduli, tapi entah kenapa ucapan itu terngiang-ngiang di telinganya.

Ciiiittt..

"Astaghfirullahal'adhiim!!" teriak Afsheen.

Ia terkejut, karena ada pengendara motor yang dengan seenaknya keluar gang dengan kecepatan tinggi. Afsheen seketika berhenti.

"Ya Allah, untung pada gak apa-apa. Ih, itu anak gimana sih, malah cabut gitu aja." Gerutu Afsheen.

Banyak warga yang menghampirinya, memastikan Afsheen baik-baik saja.

"Mbak, gak apa-apa kah? Maaf ya, anak itu memang suka ngawur kalo berkendara." Ujar seorang bapak-bapak yang mengenali pemotor tadi.

"Alhamdulillah, gak apa-apa, Pak. Cuma kaget aja. Terima kasih Pak, Bu." Ucap Afsheen pada warga yang membantunya.

Kembali ia kendarai motornya dengan kecepatan sedang. Ia berbelok arah tak langsung menuju rumah, karena separuh badannya masih gemetaran. Afsheen selalu hati-hati, tapi tidak untuk hari ini.

Ia mampir membeli minuman di kios yang tak jauh dari tempat Afsheen diserempet. Ia parkirkan motornya dengan perlahan.

"Bu, beli air putihnya ini. Berapa ya?" Ucap Afsheen.

"Tiga ribu, mbak." Ucap Afsheen.

"Ini, Bu. (Memberikan uangnya) terima kasih."

Setelah membayar air yang ia beli, Afsheen duduk sejenak untuk meminum airnya.

"Mau bilang apes banget juga gak boleh, tapi ya gimana.. kesel banget sama itu bocah. Astaghfirullah.." gerutu Afsheen.

Setelah beberapa menit ia duduk di depan kios tadi, Afsheen pun melanjutkan perjalanan pulang.

Di tengah perjalanan ia seperti melihat sosok laki-laki yang ia kenal dari spion motornya. Namun, karena wajahnya tertutup masker, ia tak berani menyapanya.

"Seperti anaknya Nini. Tapi, beliau kan masih di Jepang." Gumam Afsheen di balik helmnya. "Lah, kok aku jadi mikirin beliau. Haha."

Kembali Afsheen kepikiran dengan ucapan orang-orang di kantornya. Entah kenapa tak seperti biasanya ia cuek dengan hal-hal tersebut.

Ia mengingat hal yang lalu, andai orang tuanya tak banyak pertimbangan mengenai bibit bebet bobot menantu, pasti hari ini Afsheen sudah menjadi istri orang.

Orang mengiranya Afsheen bodo amat dengan usianya yang tak lagi muda. Tapi, mereka tak tahu bagaimana perasaan Afsheen jika harus gagal lagi dan kembali tak mendapatkan restu dari keluarganya.

Keridhoan Seorang Ibu

Rumah Afsheen

Sore itu Afsheen pulang dari kantor dan baru saja sampai di rumah. Saat ia memarkirkan motor dan ia melihat Uminya sedang berbincang dengan tetangga. Afsheen berjalan menuju teras rumah dan memilih menunggu Uminya kembali.

“Tingg..”

Suara nada pesan singkat keluar dari handphone Afsheen. Ia pun segera membukanya.

“Sudah sampai rumah Sheen?” isi pesan singkat tersebut.

“Oalah, kirain pesan dari siapa.” Batin Afsheen.

Pesan tersebut dari laki-laki yang sedang mendekati Afsheen. Namanya Arya teman sekolah Farhan, kakaknya Afsheen. Belum sampai Afsheen membalas pesan, ternyata Uminya sudah ada di depannya. Ia pun menutup handphone sejenak.

“Assalamu’alaikum anak Umi. MasyaAllah, maaf ya, tadi Umi masih ngobrol sama Bu Dian tanya soal posyandu lansia yang kabarnya diadakan awal bulan depan itu.”

Terdengar suara seorang perempuan berusia 57 tahun menyapa Afsheen. Ya, itu adalah suara Umi Tsuroyah, Umi Afsheen.

“Wa’alaikumsalam (mengais tangan Umi Tsuroyah dan menciumnya). Iya Umi gak apa-apa, jadi diadakan di balai RT, Mi?” jawab Afsheen.

“Katanya sih begitu.”

Kemudian, Umi Tsuroyah menceritakan semua informasi yang diterima dari Bu Dian. Sampai pembicaraan beralih ke persoalan jodoh.

“Oh iya Sheen. Minggu depan anak Pak Mahmud lamaran. Dapat orang tetangga kampung aja.” Umi menceritakannya dengan ketawa kecil.

“Loh iya kah, Mi? Berarti jadi sama yang itu?” Afsheen menjawab dengan penasaran.

Umi menganggukkan kepala. "Terus, anak Umi ini mau sampai kapan membiarkan Umi menunggu calon menantu? Ingat umur loh nak, jangan keasyikan kerja. Ingat, Abimu juga sudah tiada.”

“Eemm.. anu Umi. Iya nanti akan Afsheen kenalkan sama Umi.”

“Siapa? Anak mana? Sekufu sama kita?”

Afsheen pun terdiam, mengingat keluarganya selalu menuntut untuk mendapatkan pasangan yang sekufu dengan mereka. Sebab, sudah 2x juga Afsheen menjalani hubungan dengan laki-laki yang berbeda kufu dan keluarganya tidak merestui.

Umi memperhatikan Anaknya yang sedang melamun.

Menyentuh pundak Afsheen. "Nak.. kenapa?”

“huufftt..” Afsheen pun menghela nafas panjang.

“Ngobrolnya sambil duduk saja Umi.”

Mereka akhirnya duduk di kursi depan rumah yang biasa disediakan untuk menerima tamu. Afsheen mencoba menenangkan diri dan perlahan menjelaskan pada Uminya.

“Gini Umi. Afsheen itu dideketin sama orang yang Afsheen sendiri sudah kenal lama.”

“Siapa? Orang mana?” Tanya Umi Tsuroyah dengan penasaran.

Melihat ekspresi Umi Tsuroyah, Afsheen semakin gugup dan ketakutan. “Tenang Afsheen, tenang.. laki-laki itu baru mendekati kamu, kamu belum menjalin hubungan lebih dengan dia.” Gerutunya dalam hati.

“Beliau temannya Kak Farhan, Umi.”

“Temannya Farhan? Yang mana? Dia pernah ke sini?”

“Namanya Kak Arya. Umi pernah bertemu dan bersalaman dengan beliau saat nikahannya Kak Farhan. Tapi mungkin Umi gak perhatikan saking banyaknya tamu.”

“Ya kalau temannya Farhan pasti sekufu dengan kita. Umi boleh saja sih. Tapi, tetap nanti Umi istikharah dulu ya?”

Afsheen membalas dengan anggukan kepala.

Suasana menjadi hening.. Tiba-tiba Afsheen angkat bicara lagi.

“Tapi beliau orang jauh, orang perbatasan provinsi, Mi. Beliau juga belum bekerja dan masih terjebak di zona nyamannya. Masih ikut gurunya menurus kebun dan tempat anak-anak mengaji.”

Afsheen menjelaskan inti tentang kehidupan Arya. Umi Tsuroyah yang terkejut langsung menatap dalam-dalam wajah putrinya itu.

“Sheen, Umi boleh saja kamu nikah sama siapapun yang sekufu dengan kita. Tapi, Afsheen harus buat pertimbangan, plus minus nya jika Afsheen menikah dengan orang jauh yang masih nyaman dengan zonanya.” Tutur Umi Tsuroyah.

Saat awal Afsheen mengenal Arya, ia telah mempertimbangkan segalanya. Keputusan final tetap pada Uminya, jadi Afsheen hanya bisa menceritakan siapa laki-laki yang sedang dekat dengannya.

“Ya sudah, kamu masuk dulu, nanti bisa dibicarakan lagi ya. Mandi dulu, terus Umi sudah siapkan makan di meja.”

“Iya Umi. Afsheen masuk dulu ya.”

Kreeek… blaak..

Afsheen terlihat berjalan memasuki kamar dan langsung menutup pintu. Ia menyeret kursi yang ada di depan meja rias.

Membuka handphone

“Sebelum berjalan lebih jauh, sebaiknya aku bilang ke Kak Arya dari sekarang. Mumpung beliau juga lagi senggang.”

Afsheen mengirim pesan panjang ke Arya. Menjelaskan semuanya dan meminta agar dia tidak berharap lebih dengan Afsheen.

Setelah mengirim pesan tersebut Afsheen merasa sedikit lega walau ada rasa bersalah. Tapi, ia juga tak ingin menyakiti hati Arya terlalu dalam dan dianggap memberikan harapan palsu.

10 menit Afsheen duduk terdiam di depan kaca. Terdengar suara motor Farhan yang berhenti di depan rumah pun ia tak berkutik. Ia berfikiran pasti Umi meminta Farhan datang untuk membicarakan hubungannya dengan Arya. Tiba-tiba..

Tok.. tok.. tok..

Afsheen dikejutkan oleh ketukan pintu kamarnya.

“Siapa?”

“Kakak. Boleh masuk?”

“Masuk saja.”

Ternyata Farhan yang sedang mengetuk pintu kamar Afsheen.

Melangkah masuk ke kamar Afsheen dan langsung duduk di ujung kasur “Dek, Umi tadi sudah cerita tentang Arya yang deketin kamu. Kamu yakin sama dia?”

“Gimana ya, Kak. Jujur Afsheen itu perasaannya biasa saja, tapi karena beliau berani melamarku, ya aku buka hati buat beliau.”

“Saran kakak, kalau gak yakin gak apa-apa kok. Sampaikan saja ke dia, pasti dia paham. Walau dia temannya kakak, kakak juga gak mau adek kakak cewek satu-satunya ini jatuh ke orang yang salah lagi.”

Afsheen terdiam. Farhan yang melihat adiknya sedang merenung langsung meninggalkan kamar tanpa berpamitan. Sesaat Farhan menutup pintu, Afsheen langsung memanggilnya.

“Kak, aku jahat gak sih? Kalau menyampaikan semuanya?”

“Sampaikan saja, sebelum semuanya terlambat. Kakak percaya kamu.”

Brakk..

“Dih, kakak. Suka banget motong pembicaraan dengan nutup pintu.”

Begitulah Farhan, orang yang sangat dingin namun ia yang akan maju paling depan jikalau ada apa-apa dengan keluarganya. Terlebih Afsheen yang paling bungsu dan adik perempuan satu-satunya.

Karena hari semakin larut, Afsheen memutuskan untuk segera mandi. Saat di kamar mandi, terdengar ponsel Afsheen berdering.

Segera ia selesaikan mandinya, lalu melangkah mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja rias.

“Panggilan tak terjawab Kak Arya, banyak pesan masuk juga?” gerutunya.

Afsheen membaca setiap pesan yang masuk. Di dalam pesan tersebut, Arya menyampaikan perasaannya yang terlihat berusaha untuk ikhlas.

“Alhamdulillah, mudah-mudahan Kak Arya bisa memahami semuanya. Kalau gak dibicarakan dari awal juga bakalan lebih sulit nantinya.” Ucap Afsheen perlahan.

Afsheen melangkahkan kaki menuju jendela kamar yang masih terbuka. Jendela yang langsung menembus pemandangan taman kecil yang Umi buat di samping rumah. Ia sandarkan bahunya pada tepi jendela.

Seketika perasaannya hampa, merasakan kehilangan yang semestinya lebih baik sekarang daripada nanti yang akan berujung traumanya kembali.

Allahu Akbar Allahu Akbar..

Terdengar suara lantunan adzan maghrib dari musholla tempat Afsheen tinggal. Ia pun segera menutup jendela dan bersiap untuk sholat maghrib.

Setelah itu, Afsheen bergegas menuju ruangan yang diperuntukkan untuk sholat. Terlihat Umi Tsuroyah dan Farhan sudah berada di sana.

Sholat

Assalamu’alaikum wa rahmatullah..

Berdoa yang dipimpin oleh Farhan

“Umi (cium tangan Umi), Kak (cium tangan Farhan). Afsheen ke kamar duluan ya. Mau siap-siap makan, laper. Hehe.”

“Kebiasaan ini, ih.” Ucap Farhan, sembari menggapai kepala Afsheen.

Afsheen hanya tersenyum dan berlalu menuju kamar. Melepas mukenah yang masih dipakainya dan matanya melirik ke arah ponsel.

Hmm… biasanya jam segini Kak Arya kirim pesan. Semenjak aku mengungkap semuanya tadi, tak lagi ada pesan dari beliau. Gak apa-apa. Kamu bisa Sheen.

Kabar Dijodohkan

“Dari dulu Umi lebih sreg kalo Afsheen dijodohkan.” Ucap Umi Tsuroyah pada Farhan.

Malam itu, Farhan dan Umi sedang duduk di ruang tamu. Masih membahas tentang Afsheen yang semakin hari semakin acuh dengan pernikahan.

“Iya Umi. Minta Gus Lafi untuk menjodohkan Afsheen saja, Mi. Apalagi Gus Lafi bukan orang sembarangan. Pasti sangat mempertimbangkan bibit bebet bobot calon untuk Afsheen. Siapa tau nasib pernikahannya nanti harmonis seperti Hanafi sama Mey.”

Mengenai bibit bebet bobot seorang calon di keluarga Afsheen memang sangat dipertimbangkan. Sebab, Afsheen sendiri masih keturunan orang besar nan terpandang di kotanya. Begitu pula Afsheen anak perempuan terakhir yang sangat disayangi keluarganya.

“Hmm.. Tapi, Umi juga penasaran, siapa yang akan dijodohkan dengan Afsheen ya?”

Jawaban Umi membuat Farhan juga berfikir.

Dalam heningnya suasana, tiba-tiba terdengar ada seseorang yang mengucapkan salam dari luar rumah.

“Assalamu’alaikum..”

Ternyata Hanafi dan Mey, istri Hanafi yang datang. Hanafi merupakan kakak Afsheen yang nomor 3. Hanafi sudah menikah dengan kisah perjodohan yang diperantarai oleh Gus Lafi. Kehidupannya sangat bahagia dengan istri yang luar biasa sholihah. Namun, dalam 1 tahun ini mereka belum dikaruniai seorang anak, pasca keguguran 6 bulan lalu.

“Wa’alaikumsalam.. Eehh,, anak Umi yang datang. Duduk sini.”

Hanafi dan istrinya pun duduk di sebelah Umi Tsuroyah.

“Ada yang perlu diobrolkan kah, Mi?” tanya Hanafi.

Sebab, Hanafi yang malam itu tak ada rencana ke rumah Uminya, tiba-tiba ditelpon untuk datang ke rumah.

Umi Tsuroyah memberitahukan semuanya pada Hanafi. Atas pemaparan Umi tadi, Hanafi pun menyetujui apabila Afsheen dijodohkan saja.

“Kalo soal itu Hanafi setuju, Mi. Gus Lafi pernah bilang, kalo ingin menjodohkan Afsheen dengan Bang Kaba. Tinggal Afsheen nya aja mau apa enggak. Batu banget itu anak kalo soal perjodohan. Hehe.” Ucap Hanafi.

“Siapa? Kaba?” ucap Farhan dan Umi Tsuroyah secara bersamaan.

“Iya, paman jauh kita. Masih keponakannya Abi.”

“Iya gak apa-apa sih kalo emang Kaba. Walau usianya selisih 9 tahun. Duuh,, Umi punya mantu dokter kalo iya sama Kaba jodohnya. Hehe.” Jawab Umi sembari tertawa kecil.

Kedua anak lelakinya saling tertawa melihat Uminya terlalu bahagia. Farhan yang berada di sebelahnya pun meledek Umi Tsuroyah dengan gurauan.

“Umi ini. Giliran dokter aja mau. Haha.”

Umi Tsuroyah terlihat sangat bangga memiliki anak-anak dan menantu yang sangat membanggakan. Najwa yang memiliki bisnis bersama suaminya di luar kota, Farhan sukses menjadi kontraktor, Hanafi yang memilih kerja di kantoran, dan Afsheen diterima di lembaga keuangan.

Afsheen yang sedari tadi berada di dalam kamar, akhirnya keluar menuju ruang tamu setelah ia mendengar banyak suara orang.

Ruang Tamu

“Loh, ada Kak Hanafi sama Mbak Mey juga di sini. Kok aku gak denger suara motornya.” Sapa Afsheen sembari menyalami tangan kakaknya.

“Kamu mah headset an mulu, jadi gak denger kakak datang. Hehe.” Jawab Hanafi.

“Hehe, enggak, kak. Aku di dalam lagi ngetik naskah.”

Afsheen pun mengambil duduk di sebelah Mbak Mey. Ia sedikit kebingungan melihat kakak laki-lakinya kumpul semua. Walau hanya kakak perempuannya yang tidak ada malam itu.

Melihat adiknya senyum-senyum, akhirnya Farhan membuka obrolan malam itu.

“Gini loh, Sheen. Umi undang aku, Hanafi, itu buat ngobrolin yang tadi sore.” Ucap Farhan.

Afsheen terkejut.

Tadi sore? Harus dibahas secepat itu? bisik Afsheen dalam hati.

“Iya, terus?” jawab Afsheen.

“Hmm.. Gus Lafi pernah bilang sama kakak, mau ngejodohin kamu sama orang pilihan Gus Lafi.” Ujar Hanafi.

“Gimana-gimana? Dijodohkan? Harus aku terima gitu? Dikasih kesempatan untuk berkenalan lebih dulu kan?”

Afsheen di sini hanya bisa pasrah dan penasaran. Ia berpikir mungkin ini yang terbaik untuk dirinya. Melihat keluarga Hanafi yang adem ayem membuat Afsheen tak ada alasan untuk menolak. Ia menerima untuk berkenalan lebih dahulu.

“Tenang, tenang. Hehe. Iya pastinya kenalan dulu loh, gak langsung dilamar gitu. Kalo kamu bersedia, besok kakak langsung sowan ke Gus Lafi.” Ucap Hanafi.

Mey pun ikut mengelus pundak Afsheen yang sedari tadi terlihat tegang sejak Hanafi mengeluarkan sepatah kata.

Terlihat Umi Tsuroyah tersenyum tipis, pertanda beliau sangat bahagia akan mendapatkan menantu terlebih seorang dokter muda.

Hanafi yang dekat dengan Afsheen pun memastikan dan menjamin jika perjodohan tidak selamanya berakhir buruk. Karena Hanafi sudah mengetahui siapa calon Afsheen, maka ia ikhlas jika adiknya harus dijodohkan. Sejatinya ia mengenal siapa adiknya, adiknya yang sulit membuka hati dengan laki-laki yang tak dikenalinya.

Setelah terjadi percakapan panjang, Umi Tsuroyah pun berterima kasih kepada Afsheen karena mau menuruti ucapan orang tuanya, juga berterima kasih kepada Farhan dan Hanafi yang bersedia datang malam itu.

“Ya sudah, Farhan pamit ya, Mi. Kasihan nanti anak istri Farhan nunggu sampe malam.” Ucap Farhan saat mencium tangan Uminya. “Assalamu’alaikum..”

“Iya hati-hati ya, Nak. Wa’alaikumsalam.” Jawab Umi Tsuroyah.

Kemudian, Hanafi dan Mey pun ikut pamit untuk pulang ke rumah mereka yang berjarak 20 menit dari rumah Uminya. Afsheen dan Umi Tsuroyah ikut mengantarkan mereka sampai di depan pagar rumah. Hingga, lampu motor mereka sudah tak terlihat dari kejauhan.

Afsheen dengan wajah penuh penasaran berjalan menuju kamarnya, sedangkan Umi Tsuroyah masih menutup pintu dan jendela rumah. Setelah itu, Umi Tsuroyah memasuki kamarnya bersiap untuk tidur, karena jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam.

Kreek.. braak..

Suara khas pintu kamar Afsheen.

Ia langsung membaringkan badannya di kasur yang masih tertata rapi. Ia tutup laptop yang masih terbuka di samping badannya. Kemudian, berjalan menuju meja tempat ia meletakkan laptop.

“Hmm.. kira-kira siapa ya yang akan Gus Lafi jodohkan denganku? Ya Allah, mudah-mudahan ini jodoh terbaik untuk hamba.” Ucap Afsheen dengan suara lirih.

Hati seseorang memang tidak dapat ditebak. Nantinya tidak bisa jadi berubah menjadi iya.

Afsheen membuka jendela kamarnya, ia perhatikan setiap sudut langit yang cerah malam ini. Seraya berucap dengan seseorang, iya mendongakkan kepalanya mengahadap langit.

“Abi, kalo ini yang terbaik, Abi ikhlas kan? Siapapun nanti jodoh Afsheen. Afsheen berharap, dia seperti Abi yang sangat bertanggung jawab dan penyayang.” Ucap Afsheen dengan seyuman.

Sebenarnya Afsheen bukan orang yang mendukung akan perjodohan. Tapi, jika Umi Tsuroyah mengiyakan Afsheen untuk dijodohkan, maka Afsheen tak bisa menolak Keinginan Uminya.

Sebab, tak sedikit teman maupun kerabatnya yang dijodohkan hidupnya tak harmonis. Bahkan, Afsheen pernah menerima curhatan dari temannya yang dijodohkan, dan berakhir suami dari temannya itu memiliki wanita idaman lain. Dari situ lah, Afsheen sangat takut jika harus dijodohkan.

Hari semakin malam, udara semakin dingin. Afsheen yang masih bersandar di jendela perlahan menutup jendela tersebut. Berjalan menuju kasur yang tak berukuran besar dengan beralaskan seprei berwarna cream dengan motif abstrak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!