NovelToon NovelToon

Aromatherapic Girl

Prolog

DOR!

DOR!

Gadis kecil berusia 8 tahun itu terbangun saat mendengar suara letusan pistol di telinganya. Ia beranjak dari kasur dan melangkah pelan menuju pintu kamarnya. Ia membuka perlahan pintu kamarnya dan membelalak saat mendapati ayah dan ibunya tergeletak tak berdaya. Suara tawa itu terdengar jelas di telinganya. Gadis itu segera menutup perlahan pintu kamarnya dan mengunci pintu tersebut agar tidak diketahui siapapun. Ia kembali menaikki kasur dan menutup matanya rapat-rapat sambil mengenyahkan suara tembakan itu dari pikirannya. "Ini hanya mimpi hiks ... ini hanya mimpi hiks ... kamu harus bangun dari tidurmu, Clara," ujar gadis yang bernama Clara itu pada dirinya sendiri.

PRANG!!!

Suara piring pecah menggema di dapur hingga membuat nyonya rumah datang dengan penuh amarah. Wanita itu syok dengan apa yang dilakukan Clara. "Ya ampun!!! Bisa nggak kamu tuh kerja yang bener?!!! Piring ini tuh harganya mahal!!!"

"Ma-maaf Nyonya, sa-saya tidak sengaja. Sa-saya janji saya akan ganti piring ini." Clara menatap ketakutan sang nyonya yang semakin emosi.

"Apa??? Kamu mau ganti piring mahal ini??? Pakai apa kamu mengganti piring ini, hah?! Pakai daun?!!!" Sang Nyonya berteriak di depan wajah Clara hingga sang empu menutup matanya.

Clara menunduk sebentar, lalu kembali mendongak dengan wajah memelas. "Sa-saya ada tabungan, Nyonya. Saya yakin, uang tabungan saya cukup untuk menggantikan piring Nyonya."

Sang nyonya tertawa remeh. "Mau tabungan kamu cukup sekalipun, piring ini tidak akan ada yang jual di Indonesia! Piring ini impor dari Amerika, kamu paham?!!!"

Clara kembali menunduk dan meminta maaf. "Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak bermaksud memecahkan piring Nyonya. Saya janji, saya tidak akan ulangi lagi."

Sang nyonya kembali murka. "Tidak usah janji-janji! Sekarang, kamu ikut saya!" Sang nyonya menarik tangan Clara dan membawanya ke gudang.

Clara tentu tidak tinggal diam. "Saya mau dibawa kemana, Nyonya?"

"Tidak usah banyak tanya! Saya mau kurung kamu di gudang biar kamu sadar apa yang menjadi kesalahan kamu! Sekarang, kamu ikut saya!" Sang nyonya kembali menarik Clara sekuat tenaga hingga tenaga Clara habis untuk memberontak. Setelah sampai ke gudang, sang nyonya mendorong Clara dengan kasar hingga Clara jatuh ke lantai. "Selamat menikmati pengapnya gudang ini, Clara. Kamu akan ditemani tikus, kecoak, dan hewan-hewan menjijikan di gudang ini. Hahahahaha!!!" Sang nyonya tertawa seperti nenek sihir.

Clara beringsut dan berlutut di hadapan sang nyonya. "Saya mohon, Nyonya. Tolong jangan kurung saya di sini. Saya janji, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya betul-betul tidak sengaja mecahin piring kesayangan Nyonya. Saya mohon Nyonya, saya takut sendirian di sini," pinta Clara. Kedua tangannya menyatu meminta harapan agar nyonyanya itu tidak mengurungnya di gudang. 

Sang nyonya menghempaskan kembali tubuh Clara hingga Clara terjatuh ke lantai. “Tidak usah mohon-mohon sama saya. Ini akibatnya kalo kamu ceroboh! Kecerobohan kamu membawa kerugian buet saya. Mulai sekarang, kamu tidur di gudang ini selamanya." Sang nyonya keluar dan mengunci pintu gudang itu.

Clara bangkit dan menggedor pintu gudang itu sambil berteriak. "Nyonya!!! Tolong buka pintunya!!! Saya mohon jangan kurung saya di sini!!!" Clara terduduk dan bersandar di pintu sambil menangis. "Tuhan, mengapa Engkau tidak mengambil nyawaku? Kenapa Engkau membuatku menderita bersama orang jahat itu? Hiks ... kenapa?!!!" Clara mengeraskan suaranya.

"Hiks ... tidak ada gunanya lagi aku hidup. Tidakkah Engkau merasa dunia ini kejam padaku, Tuhan? Aku lelah hiks ... aku lelah bila hidup seperti ini terus hiks...." Di saat Clara sedang sibuk menangis, suara tikus terdengar di telinganya. Clara segera bangkit berdiri dan mencoba mencari cara untuk kabur dari gudang. Saat menemukan celah, Clara menggunakan celah itu agar bisa keluar dari rumah yang dianggapnya neraka. "Aku harap, masih ada orang baik yang mau menolongku membalaskan kematian kedua orang tuaku."

Dua orang perempuan berbeda usia baru saja pulang dari pemakaman. Suasana berkabung masih terasa di mansion itu. Mereka baru saja kehilangan sosok kepala keluarga yang begitu mencintai mereka. Setidaknya, begitulah yang ada di pikiran mereka.

“Kenapa semua ini harus terjadi, Ma? Apa Papa harus dihukum mati?” tanya seorang gadis berlinang air mata.

“Entahlah sayang, Mama juga tidak tahu," jawab sang ibu lesu.

Dubrakk!!!

"C-Clara???" gumam mereka terkejut. Kedua wanita bernama Risa dan Calista itu seperti baru saja melihat hantu saking terkejutnya.

"Kenapa? Kaget? Tidak usah kagetlah, aku ke sini untuk mendoakan kebahagiaan kalian selamanya. Tapi, aku rasa kalian tidak pantas untuk bahagia. Perbuatan kalian padaku dulu tidak termaafkan. Si tua bangka brengsek itu sudah merenggut nyawa kedua orang tuaku dan rumah ini. Sedangkan kalian? Kalian itu cuma numpang, tapi bertingkah seenaknya. Sampai sekarang, aku masih tidak terima dengan perbuatan kalian meski si tua bangka itu sudah mati." Clara melangkah mendekati sepasang ibu dan anak itu dengan pistol yang tertodong.

Sepasang ibu dan anak itu melangkah mundur untuk menghindari Clara. "Ma-mau apa kamu?" tanya Risa ketakutan.

"Aku cuma mau nyawa kamu, Risa. Aku mau anak kesayanganmu ini merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Kehilangan orang tua dan seluruh haknya di rumah ini." Clara menodongkan pistolnya di kepala

Risa.

"Jangan!!! Aku mohon, Clara ... jangan sakiti mamaku. Kami sudah sering nyakitin kamu dan perbuatan kami tidak termaafkan, tapi percayalah ... kami sangat menyesal dan merasa bersalah. Sungguh ... kami menyesali semuanya. Kami tidak tau kalau papa sudah membunuh orang tua kamu."

"Tidak tau??? Tidak tau apanya, hah?! Papa kamu merenggut nyawa orang tuaku supaya kalian tidak  jatuh miskin! Aku yakin, kalian tidak mau hidup miskin, kan?! Kalian pasti akan menghalalkan segala cara untuk menjadi kaya raya! Kebetulan, papa kamu saudara kandung papaku! Makanya, papa kamu ngincar keluarga kami agar bisa mengambil kekayaan kami! Aku masih terima kalaupun kami harus jatuh miskin, tapi yang aku tidak terima, kematian orang tuaku yang tidak adil! Bahkan polisi sekalipun tidak mau ngusut kematian kedua orang tuaku, dan semua itu karena siapa?! Karena papa kamu yang membayar mereka untuk menutup kasus kematian kedua orang tuaku!!!" Clara berteriak dengan berlinang air mata, membuat Risa dan Calista membisu.

"Kenapa kalian diam?! Benerkan yang aku bilang?! Kalian itu sama aja kayak suami ataupun ayah yang kalian banggakan itu! Sekarang, siap-siaplah untuk menghadapi kematianmu, Risa!" Clara menekan

pelatuk itu dan....

DOR!!!

BRAK!!!

Sebuah buku berisi pertanyaan yang menginterogasi diletakkan kasar di meja. "Jawab pertanyaan itu sedetail mungkin! Jangan ada yang dilewatkan!" perintah pemuda berwajah dingin itu.

Sementara yang diperintah tidak menanggapinya dan hanya meminum teh yang terhidangkan di meja ruang interogasi itu. Clara berhenti minum sejenak. "Kalau aku tidak mau?" tanyanya acuh.

Pemuda bernama Felix itu mendekat ke Clara. Menatap tajam tepat di mata Clara. "Kamu akan rasakan akibatnya."

Ancaman itu sama sekali tidak membuat Clara takut. "Kamu juga akan merasakan akibatnya." Selain tidak ada rasa takut, Clara justru membalikkan ancaman yang dilontarkan Felix kepada Felix sendiri. Clara kembali menyesap teh lotus itu dan meletakkan gelas di meja. "Kamu pikir, riwayatku akan tamat dengan di penjara? Asal kamu tau, aku masih bisa mengakhiri nyawa kekasih kamu."

Felix menegang sebentar, namun, dalam sekejap Felix mengendalikan ekspresinya. "Dengan cara apa?"

Clara tersenyum manis dan mencondongkan tubuhnya ke arah Felix. "Kamu tahu caraku membunuh selama ini, bukan?”

Felix meneguk salivanya kasar. “Jangan bilang kalau....”

TBC

Bab 1 : Membunuh Tanpa Jejak

“Uhuk ... argh!!!” Seorang pria paruh baya terbatuk dan merintih kesakitan. Tangannya mencengkeram lehernya lantaran tenggorokannya terasa menyakitkan.

“Kamu pikir, kamu bisa bertingkah seenaknya hanya karena kamu investor perusahaanku?Apa aku terlihat murahan, sampai-sampai aku harus tidur denganmu?” Gadis bermata onix dan masker yang menutupi wajahnya itu berkata dengan suara rendah menandakan kemarahannya. Tatapan gadis itu tajam, bagaikan belati yang akan menguliti tubuh pria paruh baya itu.

Pria paruh baya itu bergetar ketakutan. Aura yang dikeluarkan gadis itu tidaklah biasa. “A-ampuni sa-saya, No-Nona Lydia....” Suara pria paruh baya itu tercekat karena lehernya terasa tercekik hingga membuatnya tidak bisa bernapas.

Gadis yang disebut sebagai Lydia itu menggelengkan kepalanya. Dia berjongkok dan mencengkeram dagu pria paruh baya itu. “Permohonan ampun kamu, sudah terlambat. Nyawa kamu tidak akan tertolong. Jangan pernah sebut nama orang lain di hadapanku dengan mulut kotormu itu.” Gadis itu menghempaskan kasar dagu pria paruh baya itu hingga kepalanya membentur lantai.

“T-tolong, ja-jangan bu-bunuh sa-saya, No-Nona ... sa-saya berjanji, sa-saya ti-tidak a-akan me-melakukannya lagi...,” Setelah bersusah payah mengeluarkan suaranya, pria itu mengejang bagaikan ikan kekurangan air.

“Kamu sudah sekarat, tapi masih mau hidup? Bisa saja aku menyuntikkan penawar racun di tubuhmu. Tapi, melihat keadaanmu separah ini, aku tidak yakin kamu sanggup sama efek sampingnya.” Lydia berkata angkuh.

Pria itu tidak mampu lagi menjawab karena rasa sakitnya sungguh menyiksanya.

“Kasihan, aku akan membantu supaya kamu tidak tersiksa lagi.” Lydia mengeluarkan botol berisi cairan dan meminumkan sebotol cairan itu pada pria sekarat itu.

Pria yang sekarat itu semakin sekarat karena Lydia. Lydia tidak sebaik itu untuk memberikan penawar racun padanya. Cairan itu tentu akan menyembuhkan pria itu jika tidak diminum sampai habis. Akhirnya, pria itu berhenti mengejang dan meninggal dengan tatapan yang kosong. Tangan Lydia yang terlapisi sarung tangan itu memeriksa denyut nadi di leher pria itu. Lydia menyeringai saat tidak mendapati denyut di sana dan itu artinya, pria itu sudah kehilangan nyawanya. “Welcome to the hell, man. Aku tidak sebaik itu untuk mengampunimu. Goodbye.” Lydia menepuk wajah yang mulai memucat itu dan pergi meninggalkan hotel tersebut.

“Baiklah Pemirsa, telah ditemukan jenazah pria bernama Andreas di Hotel Baltony, Jakarta Utara. Pria yang dikenal sebagai investor tersohor di dunia. Penyebab kematian masih menjadi misteri. Untuk itu, para kepolisian sedang menyelidiki secara mendalam untuk menemukan titik terang dari penyebab kematian Andreas.”

Seorang gadis mematikan televisi di ruang kerjanya dan menyesap teh rasa lotus itu. Tentunya, hal itu mengundang rasa bingung pada sekretarisnya yang bernama Maura.

“Kenapa anda mematikan TVnya, Nona Lydia?” tanya Maura.

“Berita itu tidak penting untuk ditonton, Maura,” jawab Lydia.

“Tapi Nona, yang meninggal itu Tuan Andreas, investor di perusahaan kita,” bantah Maura.

Lydia menghela napasnya. “Aku tidak peduli. Lagian, mana ada yang mau nerima dia jadi investor?”

Maura menatap bingung. “Loh, memangnya kenapa tidak ada yang mau, Nona? Dia bahkan tidak pernah mengingkari janjinya, lho.” Maura yang masih polos itu, dengan bangganya memuji investor yang bernama Andreas itu.

Lydia menggeleng melihat tingkah Maura. “Kamu itu polos atau bodoh, hah? Kamu tidak tahu perlakuannya ke kita gimana?”

“Tidak tahu, Nona. Yang saya tahu, dia sangat menghormati wanita,” jawab Maura antusias.

Lydia menatap jijik pada Maura. “Bener-bener nggak waras ini anak. Kamu tidak tahu saja sifat asli Tuan Andreas, makanya bisa bilang begitu. Coba kalau kamu ada di posisiku? Pasti kamu mau dia mati.”

“Ehhh??? Mana mungkin aku mau dia mati, Nona? Memangnya, sifat asli Tuan Andreas seperti apa?” tanya Maura yang kini penasaran.

“Aku harus membayar mahal atas saham yang dia tanam di perusahaan ini. Dia memintaku untuk menemaninya di hotel semalaman, Maura.” Dengan rasa kesal, Lydia membongkar sifat sang investor.

Setelah Lydia menjelaskan, barulah Maura mengerti maksudnya. “M-maksud anda, me-menemaninya di hotel? Itu berarti, one night stand?” ujar Maura terbata.

Lydia mengangguk. “Akhirnya kamu paham juga. Apa kamu mau gantiin aku nemenin dia buet bayar investasinya?”

Maura menggeleng dan menatap Lydia horror. “Idih, siapa juga yang mau nemenin dia? Memang sudah seharusnya dia mati. Ya sudah, terima kasih atas penjelasannya, Nona. Saya mohon pamit undur diri karena ada urusan. Permisi.” Maura menunduk hormat sekilas, lalu meninggalkan ruangan Lydia.

“Dasar tidak berguna! Saya bayar kamu mahal-mahal untuk mencari bocah ingusan itu, tapi apa?!Tidak ada hasilnya, kan?!” Seorang pria paruh baya mengamuk di kantor detektif swasta.

Seorang pemuda yang merupakan detektif itu berlutut di lantai. Kedua tangannya diikat ke belakang tubuh dan kepalanya dipaksa mendongak ke atas untuk menatap Alvin. Ia sudah tidak berdaya di bawah kuasa tangan kanan pria pengamuk itu. “Tuan Alvin, sudah saya bilang jika data anak itu tidak ada, tapi anda tidak mendengarkan. Bagaimana mungkin saya mencari anak yang tidak ada, Tuan?”

BUGH!!

Pria yang dipanggil Alvin itu memukul wajah lebam detektif itu. “Beraninya kamu menyalahkan saya?! Kalau memang tidak bisa mencari, harusnya kamu bilang ke saya, bangsat! Saya juga tidak perlu keluarin uang buat kamu kalau tidak ada hasilnya!”

“Iya, saya salah karena tidak langsung berkata tidak bisa. Maafkan saya Tuan, saya mohon ampuni saya.” Kening detektif itu menyentuh lantai. Ia bersujud agar tidak mendapat siksaan lagi dari Alvin. Detektif itu yakin jika wajahnya sudah hancur sekarang.

“Apa? Kamu minta saya ampuni kamu? Oke, kembalikan uang saya sekarang juga! Semua uang yang saya bayarkan untuk kamu!” Tatapan Alvin kini seakan-akan menguliti tubuh detektif itu.

Detektif itu terdiam karena uang yang diberikan sudah habis olehnya.

“Kenapa kamu diam?! Jangan bilang kalau uangnya sudah kamu pakai! Ayo Jawab!!!” Alvin kini berteriak di depan wajah detektif itu. Bahkan jarak wajah mereka hanya beberapa centi.

“Ma-maaf, Tuan. Uang itu sudah habis saya pakai untuk pencarian, Tuan.” Detektif itu menjawab dengan tangis. Ia pasrah bila ditakdirkan mati di tangan Alvin.

Alvin tertawa, tetapi bukan karena jawaban detektif. Tapi tawa itu merupakan tawa ketidakpercayaan Alvin karena jawaban Detektif tersebut.

“Sudah kuduga, kamu pasti menghabiskan uangku secara sia-sia. Bunuh dia dan buang mayatnya di sungai!” perintah Alvin.

Detektif itu mulai gelagapan saat ia dipaksa berdiri oleh anggota Alvin. Kerah bajunya ditarik hingga membuatnya tercekik. Ia membelalak saat kepalan tinju anggota Alvin hendak melayang ke wajahnya. “AGGGGHHHH!!!!”

Alvin keluar dari ruangan detektif tanpa mempedulikan raungan detektif itu. Alvin berjalan menuju parkiran mobil dan menaikki mobilnya. Alvin menyalakan mobilnya dan menancap gas untuk keluar dari parkiran mobil. “Clara, aku pasti akan menemukanmu dan membunuhmu.”

“Menurut hasil otopsi, Tuan Andreas meninggal karena keracunan. Tapi polisi tidak menemukan racun di segelas wine yang dia minum. Bahkan, tidak ditemukan racun pada sebotol wine. Bisa disimpulkan jika pembunuh itu sangat teliti dalam pekerjaannya. Benar bukan, Felix?” Seorang pimpinan agen BIN yang membacakan dokumen berisi data Andreas itu menatap Felix.

“Benar sekali, Tuan Albert. Itu artinya, pembunuh Tuan Andreas bukan pembunuh sembarangan.” tanggap pemuda yang bernama Felix.

“Kalau begitu, bisakah kamu berhenti menjaga Nona Calista sebentar?” tanya sang pimpinan yang bernama Albert.

“Anda ingin saya menyelidiki sendiri kematian Tuan Andreas, Tuan?” Sebelum Albert mengutarakan keinginannya, Felix sudah terlebih dahulu menebaknya.

Albert tersenyum bak iblis. “Bingo, temukan apa yang tidak ditemukan polisi.”

Felix tersenyum miring. “Serahkan semuanya pada saya. Saya pastikan tidak akan ada yang saya lewatkan.”

“Apa kamu perlu seseorang untuk menemani?” tanya Albert.

Felix menggeleng. “Saya sendiri sudah cukup. Lagipula, banyak tangan akan mengganggu jalannya penyelidikan.”

“Baiklah, rapat selesai. Silakan bubar!” Para agen termasuk Felix meninggalkan ruang rapat. Felix menuju toilet untuk mengganti pakaiannya lebih kasual agar tidak terlalu mencolok. Setelah itu, Felix keluar dari toilet dan meninggalkan gedung BIN menuju parkiran mobil. Felix menyalakan mobilnya dan meninggalkan parkiran menuju Hotel Baltony.

TBC

Bab 1 : Pembunuhan Misterius

“Uhuk ... argh!!!” Seorang pria paruh baya terbatuk dan merintih kesakitan. Tangannya mencengkeram lehernya lantaran tenggorokannya terasa menyakitkan.

“Kamu pikir, kamu bisa bertingkah seenaknya hanya karena kamu investor perusahaanku? Apa aku terlihat murahan, sampai-sampai aku harus tidur denganmu?” Gadis bermata onix dan masker yang menutupi wajahnya itu berkata dengan suara rendah menandakan kemarahannya. Tatapan gadis itu tajam, bagaikan belati yang akan menguliti tubuh pria paruh baya itu.

Pria paruh baya itu bergetar ketakutan. Aura yang dikeluarkan gadis itu tidaklah biasa. “A-ampuni sa-saya, No-Nona Lydia....” Suara pria paruh baya itu tercekat karena lehernya terasa tercekik hingga membuatnya tidak bisa bernapas.

Gadis yang disebut sebagai Lydia itu menggelengkan kepalanya. Dia berjongkok dan mencengkeram dagu pria paruh baya itu. “Permohonan ampun kamu, sudah terlambat. Nyawa kamu tidak akan tertolong. Jangan pernah sebut nama orang lain di hadapanku dengan mulut kotormu itu.” Gadis itu menghempaskan kasar dagu pria paruh baya itu hingga kepalanya membentur lantai.

“T-tolong, ja-jangan bu-bunuh sa-saya, No-Nona ... sa-saya berjanji, sa-saya ti-tidak a-akan me-melakukannya lagi...,” Setelah bersusah payah mengeluarkan suaranya, pria itu mengejang bagaikan ikan kekurangan air.

“Kamu sudah sekarat, tapi masih mau hidup? Bisa saja aku menyuntikkan penawar racun di tubuhmu. Tapi, melihat keadaanmu separah ini, aku tidak yakin kamu sanggup sama efek sampingnya.” Lydia berkata angkuh.

Pria itu tidak mampu lagi menjawab karena rasa sakitnya sungguh menyiksanya.

“Kasihan, aku akan membantu supaya kamu tidak tersiksa lagi.” Lydia mengeluarkan botol berisi cairan dan meminumkan sebotol cairan itu pada pria sekarat itu.

Pria yang sekarat itu semakin sekarat karena Lydia. Lydia tidak sebaik itu untuk memberikan penawar racun padanya. Cairan itu tentu akan menyembuhkan pria itu jika tidak diminum sampai habis. Akhirnya, pria itu berhenti mengejang dan meninggal dengan tatapan yang kosong. Tangan Lydia yang terlapisi sarung tangan itu memeriksa denyut nadi di leher pria itu. Lydia menyeringai saat tidak mendapati denyut di sana dan itu artinya, pria itu sudah kehilangan nyawanya. “Welcome to the hell, man. Aku tidak sebaik itu untuk mengampunimu. Goodbye.” Lydia menepuk wajah yang mulai memucat itu dan pergi meninggalkan hotel tersebut.

“Baiklah Pemirsa, telah ditemukan jenazah pria bernama Andreas di Hotel Baltony, Jakarta Utara. Pria yang dikenal sebagai investor tersohor di dunia. Penyebab kematian masih menjadi misteri. Untuk itu, para kepolisian sedang menyelidiki secara mendalam untuk menemukan titik terang dari penyebab kematian Andreas.”

Seorang gadis mematikan televisi di ruang kerjanya dan menyesap teh rasa lotus itu. Tentunya, hal itu mengundang rasa bingung pada sekretarisnya yang bernama Maura.

“Kenapa anda mematikan TVnya, Nona Lydia?” tanya Maura.

“Berita itu tidak penting untuk ditonton, Maura,” jawab Lydia.

“Tapi Nona, yang meninggal itu Tuan Andreas, investor di perusahaan kita,” bantah Maura.

Lydia menghela napasnya. “Aku tidak peduli. Lagian, mana ada yang mau nerima dia jadi investor?”

Maura menatap bingung. “Loh, memangnya kenapa tidak ada yang mau, Nona? Dia bahkan tidak pernah mengingkari janjinya, lho.” Maura yang masih polos itu, dengan bangganya memuji investor yang bernama Andreas itu.

Lydia menggeleng melihat tingkah Maura. “Kamu itu polos atau bodoh, hah? Kamu tidak tahu perlakuannya ke kita gimana?”

“Tidak tahu, Nona. Yang saya tahu, dia sangat menghormati wanita,” jawab Maura antusias.

Lydia menatap jijik pada Maura. “Bener-bener nggak waras ini anak. Kamu tidak tahu saja sifat asli Tuan Andreas, makanya bisa bilang begitu. Coba kalau kamu ada di posisiku? Pasti kamu mau dia mati.”

“Ehhh??? Mana mungkin aku mau dia mati, Nona? Memangnya, sifat asli Tuan Andreas seperti apa?” tanya Maura yang kini penasaran.

“Aku harus membayar mahal atas saham yang dia tanam di perusahaan ini. Dia memintaku untuk menemaninya di hotel semalaman, Maura.” Dengan rasa kesal, Lydia membongkar sifat sang investor.

Setelah Lydia menjelaskan, barulah Maura mengerti maksudnya. “M-maksud anda, me-menemaninya di hotel? Itu berarti, one night stand?” ujar Maura terbata.

Lydia mengangguk. “Akhirnya kamu paham juga. Apa kamu mau gantiin aku nemenin dia buet bayar investasinya?”

Maura menggeleng dan menatap Lydia horror. “Idih, siapa juga yang mau nemenin dia? Memang sudah seharusnya dia mati. Ya sudah, terima kasih atas penjelasannya, Nona. Saya mohon pamit undur diri karena ada urusan. Permisi.” Maura menunduk hormat sekilas, lalu meninggalkan ruangan Lydia.

“Dasar tidak berguna! Saya bayar kamu mahal-mahal untuk mencari bocah ingusan itu, tapi apa?!Tidak ada hasilnya, kan?!” Seorang pria paruh baya mengamuk di kantor detektif swasta.

Seorang pemuda yang merupakan detektif itu berlutut di lantai. Kedua tangannya diikat ke belakang tubuh dan kepalanya dipaksa mendongak ke atas untuk menatap Alvin. Ia sudah tidak berdaya di bawah kuasa tangan kanan pria pengamuk itu. “Tuan Alvin, sudah saya bilang jika data anak itu tidak ada, tapi anda tidak mendengarkan. Bagaimana mungkin saya mencari anak yang tidak ada, Tuan?”

BUGH!!

Pria yang dipanggil Alvin itu memukul wajah lebam detektif itu. “Beraninya kamu menyalahkan saya?! Kalau memang tidak bisa mencari, harusnya kamu bilang ke saya, bangsat! Saya juga tidak perlu keluarin uang buat kamu kalau tidak ada hasilnya!”

“Iya, saya salah karena tidak langsung berkata tidak bisa. Maafkan saya Tuan, saya mohon ampuni saya.” Kening detektif itu menyentuh lantai. Ia bersujud agar tidak mendapat siksaan lagi dari Alvin. Detektif itu yakin jika wajahnya sudah hancur sekarang.

“Apa? Kamu minta saya ampuni kamu? Oke, kembalikan uang saya sekarang juga! Semua uang yang saya bayarkan untuk kamu!” Tatapan Alvin kini seakan-akan menguliti tubuh detektif itu.

Detektif itu terdiam karena uang yang diberikan sudah habis olehnya.

“Kenapa kamu diam?! Jangan bilang kalau uangnya sudah kamu pakai! Ayo Jawab!!!” Alvin kini berteriak di depan wajah detektif itu. Bahkan jarak wajah mereka hanya beberapa centi.

“Ma-maaf, Tuan. Uang itu sudah habis saya pakai untuk pencarian, Tuan.” Detektif itu menjawab dengan tangis. Ia pasrah bila ditakdirkan mati di tangan Alvin.

Alvin tertawa, tetapi bukan karena jawaban detektif. Tapi tawa itu merupakan tawa ketidakpercayaan Alvin atas jawaban yang keluar dari mulut Detektif itu.

“Sudah kuduga, kamu pasti menghabiskan uangku secara sia-sia. Bunuh dia dan buang mayatnya di sungai!” perintah Alvin.

Detektif itu mulai gelagapan saat ia dipaksa berdiri oleh anggota Alvin. Kerah bajunya ditarik hingga membuatnya tercekik. Ia membelalak saat kepalan tinju anggota Alvin hendak melayang ke wajahnya. “AGGGGHHHH!!!!”

Alvin keluar dari ruangan detektif tanpa mempedulikan raungan detektif itu. Alvin berjalan menuju parkiran mobil dan menaikki mobilnya. Alvin menyalakan mobilnya dan menancap gas untuk keluar dari parkiran mobil. “Clara, aku pasti akan menemukanmu dan membunuhmu.”

“Menurut hasil otopsi, Tuan Andreas meninggal karena keracunan. Tapi polisi tidak menemukan racun di segelas wine yang dia minum. Bahkan, tidak ditemukan racun pada sebotol wine. Bisa disimpulkan jika pembunuh itu sangat teliti dalam pekerjaannya. Benar bukan, Felix?” Seorang pimpinan agen BIN yang membacakan dokumen berisi data Andreas itu menatap Felix.

“Benar sekali, Tuan Albert. Itu artinya, pembunuh Tuan Andreas bukan pembunuh sembarangan.” tanggap pemuda yang bernama Felix.

“Kalau begitu, bisakah kamu berhenti menjaga Nona Calista sebentar?” tanya sang pimpinan yang bernama Albert.

“Anda ingin saya menyelidiki sendiri kematian Tuan Andreas, Tuan?” Sebelum Albert mengutarakan keinginannya, Felix sudah terlebih dahulu menebaknya.

Albert tersenyum bak iblis. “Bingo, temukan apa yang tidak ditemukan polisi.”

Felix tersenyum miring. “Serahkan semuanya pada saya. Saya pastikan tidak akan ada yang saya lewatkan.”

“Apa kamu perlu seseorang untuk menemani?” tanya Albert.

Felix menggeleng. “Saya sendiri sudah cukup. Lagipula, banyak tangan akan mengganggu jalannya penyelidikan.”

“Baiklah, rapat selesai. Silakan bubar!” Para agen termasuk Felix meninggalkan ruang rapat. Felix menuju toilet untuk mengganti pakaiannya lebih kasual agar tidak terlalu mencolok. Setelah itu, Felix keluar dari toilet dan meninggalkan gedung BIN menuju parkiran mobil. Felix menyalakan mobilnya dan meninggalkan parkiran

menuju Hotel Baltony.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!