HOLAAA, SELAMAT BERGABUNG DI KARYAKU YANG KE EMPAT. SEMOGA KALIAN SEHAT SELALU YA. DO'AKAN JUGA BIAR AUTHOR DIBERI KESEHATAN DAN WANGSIT YANG BANYAK BIAR BISA RAJIN UP DAN MENGHIBUR READERS.
SEMOGA KALIAN SYUKAAAA🤗
HAPPY READING GAIS😘😘
O IYA, BUDAYAKAN LIKE N COMMENT YA SETELAH BACA BUAT DUKUNG KARYAKU YANG MASIH AMATIRAN DALAM MENULIS. JANGAN LUPA HADIAHNYA🤗
Pagi yang panas. Tak biasanya udara yang sejuk mendadak panas. Bahkan AC di dalam mobilpun tampak di stel ke tengah. Hanya ada dua orang di dalamnya, namun seperti berebut oksigen saat terjebak dalam lift.
"Sialan. Bahan mimisan lagi ini mah" Hendra langsung menengadahkan kepalanya agar darah tak menetes pada stelan kerjanya.
Jalanan macet parah. Mereka sedikit terlambat, tepatnya Hendra yang terlambat bangun karena semalam menghadiri pesta perayaan ulang tahun perusahaan, dan rekannya berhasil membuatnya mabuk. Alhasil, kuda besi Hendra harus rela berdesakkan di jalan.
Mereka terhenti di depan pasar tradisional.
Ceproot
Hendra terkejut dengan lemparan di kaca jendela sampingnya.
Tomat?
Seseorang melempar mobilnya dengan tomat? berani sekali?
"Kurang ajar. Siapa yang.." Beno si asisten serba bisa menggantung kalimatnya saat melihat seseorang mendekati mobil dan terlihat merasa bersalah. Lalu memutuskan keluar untuk menegurnya.
Lain halnya dengan Hendra yang memperhatikan sikap Beno, lalu melirik ke samping dimana tomat itu menempel indah di jendela yang sejurus kemudian sesuatu seperti kain me-lapnya, sehingga tampaklah segitiga bermuda milik seorang wanita yang bisa diyakini jika sesuatu lewat didepannya akan tenggelam didalamnya. Wanita itu me-lap noda tomat dengan rok nya.
Crooot
Darah segar menyembur dari hidung Hendra kala melihat pemandangan absurd itu.
Terlihat separuh wajah sang wanita yang hanya menampilkan senyum penyesalan dengan gigi ginsul, pada Beno yang tidak menyadari perilaku si wanita yang kemudian beberapa kali membungkukkan badannya tanda meminta maaf.
Setelah itu, dia mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik yang dijinjingnya yang juga tampak absurd.
Terong ungu dan 2 buah terong bulat berwarna hijau. Yang terlihat mirip dengan miliknya yang sudah sangat lama menganggur.
Wanita itu melemparnya dengan kencang ke arah belakang mobil. Hendra mengikuti arah lemparannya dan..
Strike
Tepat di kepala seorang laki laki yang kemudian membalikan badannya sambil memegangi kepala.
Setelah itu si wanita kembali melempar 1 terong bulat yang tepat mengenai hidungnya. Tanpa menunggu, 1 buah kembali di lempar dengan kencang dan...
Yesss
Si wanita berjingkrak karena tepat sasaran mengenai si junior.
Beno dan Hendra reflek memegangi milik mereka masing masing.
Merasa linu🤪
Sang wanita segera menghampiri laki laki itu yang kemudian menguncinya dengan gerakan Judo.
Dan ternyata si laki laki itu adalah pencopet di kawasan pasar yang telah berhasil mencopet milik seorang wanita tua yang tengah berjalan tergopoh-gopoh kearah si pencopet yang sedang apes.
Terlihat wanita tua itu menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah, namun ditolak si wanita absurd. Lalu menyerahkan si pencopet pada pihak keamanan pasar.
Hendra tak melepas pandangannya pada si wanita absurd yang terlihat cuek meski rok nya kotor. Dia hanya sedikit mengusap kotor pada roknya dan mencuci tangannya dengan air mineral botol yang dia beli dadakan. Lalu melenggang pergi.
"Menarik" seulas senyum terbit di bibirnya.
"Gila tuh emak emak. Tangguh beneeer- bos? bos baik baik aja? kita ke rumah sakit ya?" Beno terkejut saat kembali masuk ke dalam mobil dan melirik pada bos nya yang sudah bersimbah darah. Stelan kerjanya tentu saja terkena imbasnya.
"Kamu hubungi Sarah, bilang kalau jadwal meeting ditunda siang ini. Sekarang kita ke butik dulu"
"Baik bos"
Beno pun dengan sigap melaksanakan apa yang diperintahkan bos nya. Lalu memutar balik mobil itu dan mengarahkannya ke butik langganan Hendra.
Hendra menahan laju darah yang mengalir dengan menjejalkan tissue pada hidungnya, lalu kepalanya ditengadahkan dan bersandar pada sandaran kursi. Polip sialan.
Sekelebat bayangan si wanita absurd mampir saat memejamkan mata. Terutama senyumnya yang terlihat dekat dan jelas.
hhhh...
Helaan nafas dari mulutnya terdengar hingga Beno sedikit mengalihkan perhatiannya dari jalan ke belakang kursinya.
"Bos? Bos tidak apa apa?"
"Menurutmu?" masih menengadahkan kepalanya, namun matanya meliriknya tajam.
tring
tring
......Lovely Retha......
...Calling...
"Yes, honey?"
".........."
"Uhuh... jaaam 2 dady senggang"
".........."
"Really? Is he a good guy?" (benarkah? apakah dia laki laki yang baik?)
"........"
"Okay... okay... kayaknya sebentar lagi dady akan kesepian"
"........"
"Just kidding, honey" (cuma bercanda, sayang)
"........."
"Okay, see you" (baiklah, sampai nanti)
hhhhh
Hendra menghela nafas. Dia bermaksud menjodohkan anak gadisnya dengan seorang lelaki yang dia kenal seorang yang jujur dan pekerja keras.
Bukan anak relasinya, bukan pula pegawainya.
Namun dia yakin jika lelaki itu dia jadikan menantunya, dia bisa menjadi penerus pemimpin perusahaan.
Namun keinginannya hanya tinggal angan saja.
Anak gadisnya ternyata sudah mempunyai pilihannya sendiri.
Hhhhh
Semoga dia lelaki yang benar benar baik dan bertanggung jawab.
Hendra Sastradijaya, adalah seorang pebisnis handal di bidang IT. Dia merintis usahanya dari nol. Mengawali karir sebagai office boy, mengumpulkan pundi pundi rupiah untuk mengembangkan sistem teknologi firewall nya.
Hingga dia berhasil membangun kerajaannya sendiri.
Sang istri yang menemaninya dan mendukungnya dari nol, tidak bisa menemani masa emasnya ini.
Beberapa tahun yang lalu, istrinya harus tewas dalam kecelakaan di jalan tol. Tabrakan beruntun itu membuatnya meregang nyawa di tempat. Tepat saat peresmian didirikannya perusahaan Hendra.
Sehingga pesta perayaan itu berubah menjadi pemakaman yang menyayat hati.
Sedangkan sang anak, Aretha, saat itu baru berusia 2 tahun.
5 tahun istrinya menemaninya dalam masa sulit. Tapi tak bisa menemaninya dalam masa suka. Membuatnya menutup hati pada wanita lain.
Prinsipnya adalah, banyak yang mau menemaninya pada masa emas seperti sekarang. Namun tak menutup kemungkinan jika suatu saat dia akan menemui masa sulit. Karena roda terus berputar. Persaingan bisnis semakin ketat.
Apakah mereka mau mendampinginya pada masa masa seperti itu?
Dia sangsi akan hal itu.
Hendra selesai dengan stelan kerjanya. Dan kemeja dengan noda darah itu dia buang.
Dengan tergesa dia segera menuju kantornya dimana sang putri sudah menunggunya sedari tadi.
Dia tak pernah terlambat selama ini. Ingatkan dia untuk selalu menghindari segala jenis pesta. Selain pesta pernikahan anak semata wayangnya tentunya.
Hendra tiba di lobby kantor dan langsung diserbu oleh beberapa perwakilan divisi untuk meminta approval. Yap, Hendra tak menerapkan kunjungan ke ruangannya. Jika ada sesuatu yang harus ditanda tangani, dimana saja bisa asal mereka bertemu secara tak sengaja. Menurutnya waktu adalah uang. Selama mereka berada dalam satu gedung, dimanapun mereka bertemu, mereka bisa meminta persetujuannya saat itu juga. Untuk itulah mereka selalu menunggu kedatangan sang bos di lobby.
Kemampuan Hendra dalam menganalisis permohonan dan kontrak kerjasama dengan cepat tak pernah meleset. Dia selalu bisa langsung menghafalnya kata demi kata.
Hendra tiba di lantai paling atas dimana ruangannya berada.
"Selamat pagi pak, putri anda sudah menunggu" ucap sang sekertaris yang kemudian menyodorkan berkas yang harus ditanda tangani dan jadwal hari ini. Hendra hanya mengangguk.
"Papaaa....." Aretha segera berlari memeluk ayahnya.
"Lihat?" Aretha mengangkat kelima jari kanannya yang terselip sebuah cincin cantik di jari tengahnya. Lalu merangkul lengan ayahnya agar mendekat ke sofa.
"Papa, kenalkan. Ini Arga Prasetya, tunangan Aretha. Arga kenalkan ini papaku, Hendra Sastradijaya"
"Kamu?" Hendra terpaku dengan pemuda didepannya yang tersenyum ramah padanya.
"Halo, saya Arga. Senang bertemu anda lagi, tuan- pak"
JEJAK MANA JEJAAAAK😆
"Aku gak percaya kamu lakuin ini sama aku. Kamu bahkan gak mikirin anak kamu"
"Kamu tahu kalau dia cinta pertamaku. Sekarang dia sudah kembali ke kota ini. Dan aku akan mengejarnya kembali"
Plakk
"Kamu pikir aku ini mainan? Bukankah aku sudah menolakmu dulu? Lalu siapa yang memohon pada ibuku agar aku menerimamu? Lihatlah dirimu sekarang. Kamu terlihat menyedihkan.
Pergilah
Dan jangan pernah mencari kami lagi"
Keira memalingkan wajahnya, dan membalik badannya. Masuk ke mobil mungilnya dan pergi dari hiruk pikuk jalanan di sore itu. Dia memilih melepasnya, dari pada terus bersamanya dalam keterpaksaan.
Keterpaksaan suaminya menjalani hidup dengannya.
Sungguh, dia tak pernah merebut apapun dan siapapun dari seseorang.
Dia pikir berumah tangga selama 5 tahun dengannya, menjalaninya dengan suka cita, akan abadi selamanya. Namun tanpa ia sangka, sang suami menemukan kembali cinta pertamanya, dan berkeras ingin kembali padanya, tanpa melihat anak mereka yang sudah berusia 4 tahun.
Betapa egoisnya dia. Pikir Keira.
"Mama, kenapa papa ditinggal, Ma?"
"Nanti papamu ada yang jemput, sayang" Keira bersusah payah menahan air mata dihadapan anaknya, Arga.
Mereka tadi bersitegang di luar mobil. Sedangkan Arga tengah asik menggambar di dalam mobil.
Keira dan Jodi, suaminya, tak pernah memperlihatkan masalah mereka di depan anaknya.
Mereka baru saja kembali dari berlibur di Bali. Namun siapa sangka mereka bertemu cinta pertama sang suami, dan langsung membuatnya goyah.
Sesampainya di rumah. Tanpa berkata apapun dia menyiapkan makan malam. Lalu membereskan pakaiannya dan sang anak. Dia berfikir kembali. Dia yang akan pergi. Karena menyedihkan jika dia yang ditinggalkan.
Tapi Keira memutuskan untuk tak kembali pada orang tuanya.
Biarlah mereka bahagia di masa tuanya. Dia tak mau menjadi beban pikiran orang tuanya yang sudah renta itu.
"Mama, kita mau kemana lagi?" tanya Arga yang sudah terlihat mengantuk.
"Kita ke rumah teman mama ya sayang. Teman mama sedang pergi ke luar negri. Gak ada yang jagain rumahnya. Jadi, sementara kita yang jagain rumahnya"
"Rumah kita siapa yang jagain?"
"Kan ada papa. Mama udah bilang kok, sama papa. Arga jangan kuatir ya?"
"mm.." Arga mengangguk. Lalu merebahkan diri di kursi belakang.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 10 malam. Berhubung Arga belum sekolah, jadi Keira tak terburu buru untuk bangun pagi.
Dia mendapatkan sewaan apartemen kecil dalam sekejap. Untunglah Keira mempunyai simpanan pribadi dari hasil jualan online nya.
Sedangkan uang belanja mingguan dari suaminya terkadang dia gunakan untuk biaya berobat orang tuanya. Atas persetujuan sang suami tentunya.
Liburan kemarin adalah reward yang berupa voucher dari kantor sang suami karena menjadi pegawai teladan.
Kehidupan mereka sederhana, namun sangat bahagia, saling mendukung, saling menjaga, saling bekerjasama tentang pekerjaan rumah. Tak pernah ada yang menuntut melakukan ini itu.
Sebelumnya.
Tapi ternyata kebersamaan mereka selama 5 tahun seolah tak berarti apa apa saat sedikit angin menerpa kehidupan mereka. Akhirnya tumbang juga.
Keira membuka toko di dekat apartemen mungilnya. Toko bunga seperti impiannya selama ini. Sebenarnya sudah berjalan. Namun dia hanya menerima pesanan melalui teman dan kerabat dekatnya saja.
Tapi kini, dia bertekad untuk menjadikannya ladang penghasilan.
Toko kecil berukuran 2,5m x 3m itu awalnya sepi pembeli. Namun saat ada yang mulai memesan ulang hasil rangkaiannya, dan promosi yang tersebar dari mulut ke mulut, mulailah Keira kerap kebanjiran order.
Lambat laun usahanya menjadi berkembang. Dan Keira bisa merekrut 1 orang karyawan untuk meringankan pekerjaannya.
Setelah beberapa bulan berpisah dengan sang suami yang tak tahu apakah mencarinya atau tidak. Pikiran Keira teralihkan oleh kesibukannya.
tring
tring
Ponselnya berdering didalam saku apron yang dia pakai.
Keira yang tengah menyingkirkan duri bunga mawar pun melepaskan sarung tangan karet nya dan merogoh saku apron.
"Mama?"
"Halo, ma. Apa kabar?"
"Key kamu dimana? apa yang kau lakukan pada suamimu?"
"M-maksud mama apa?"
"Suamimu beberapa kali kesini menanyank.an keberadaanmu dan anakmu. Apa yang terjadi? Jangan menyembunyikan sesuatu dari mama"
Akhirnya Keira menceritakan perihal kondisi rumah tangganya yang tak bisa dipertahankan lagi. Sang mama hanya menghela nafas.
"Pulanglah Key. Setidaknya kamu masih istrinya. Mama lihat dia sedang terpuruk. Tubuhnya kurus kering. Besarkan hatimu nak. Ingatlah kebaikannya selama ini. Setidaknya jadilah temannya"
Sang mama menasehati yang akhirnya disetujui oleh Keira. Dia memang kuatir dengan suaminya yang sudah tak mempunyai siapapun.
Mama benar. Dia tak boleh menutup kebaikan suaminya selama ini hanya karena setitik debu, terutama pada orang tuanya.
Setidaknya kini dia akan berperan sebagai seorang teman, sahabat.
Benar saja. Saat Keira kembali ke rumah lamanya, tanpa membawa serta Arga, anaknya. Jodi, sang suami terlihat kusut dan kurus. Menurut penuturannya dia dipecat karena melakukan kesalahan fatal di perusahaan.
Rumah yang dulu nyaman dan hangat kini seperti kapal pecah. Serangga serangga kecil bertebaran dimana mana, menandakan jika penghuninya tak pernah membersihkannya.
"Jodi... Jod-" panggilan Keira terpotong oleh suara lemah dan bergetar dari seorang pria yang memanggil namanya.
"Key? apa itu kamu? kamu kembali?..." Jodi tertatih mencoba meraih Keira dengan tubuh lemah berbalut baju yang lusuh.
"Ya Tuhan. Jodi, apa yang terjadi denganmu?"
Keira menyeka keringat yang muncul di dahi Jodi. Setelah pertemuan mereka kembali, Jodi jatuh pingsan karena sudah berhari hari tidak makan. Keira merasa bersalah telah meninggalkannya.
Dia sempat membersihkan rumah yang pernah menjadi surganya yang kini tampak suram.
Benar adanya. Sebuah rumah tanpa adanya sentuhan wanita, tak bisa disebut rumah. Namun hanya akan menjadi tempat singgah.
Untung saja tadi Keira membawa beberapa bahan makanan untuk dimasak. Benar saja. Suaminya ini memanglah dalam kondisi mengenaskan.
Jika dia tak segera datang, entah bagaimana nasibnya.
Keira dengan telaten menyuapi bubur ayam buatannya sendiri, kesukaan Jodi.
Setetes demi setetes air mata lolos dari sudut matanya.
Jodi benar benar menghabiskan satu panci bubur buatan Keira.
Keira tersenyum. Dia merasa lega karena Jodi tak lagi terlihat pucat.
"Maafkan aku" Jodi memegang punggung tangan Keira yang sedang mengupas jeruk.
"Aku.. ternyata aku tak bisa hidup tanpa kamu. Berhari hari aku mengejarnya, tapi aku seperti mengejar bayanganku sendiri. Begitu dekat, tapi tak bisa kuraih. Seperti orang gila, tapi aku lebih gila lagi kala mendapati kamu tak lagi dirumah menungguku. Maafkan aku" Jodi menunduk sambil terisak"
Keira memeluknya dan menepuk perlahan punggungnya.
"Aku juga minta maaf. Seharusnya aku lebih bersabar lagi"
"Mana Arga?" tanya Jodi kemudian setelah mereka saling memaafkan.
"Di toko"
Jodi terlihat melipat kening nya.
"Sebenarnya aku sedang mencari seorang pengangguran untuk membantuku di toko" kelakar Keira yang dibalas senyuman Jodi.
Keira memutuskan untuk menjual rumah sederhana mereka dan menjadikannya uang muka untuk membeli apartemen sederhana di gedung yang sama tempatnya menyewa.
Jodi tak banyak berkomentar karena dia juga belum mempunyai rencana lanjutan setelah pemecatannya.
Untunglah usaha florist milik Keira kini semakin berkembang. Jodi memutuskan untuk menjadi bagian dari usaha istrinya itu.
Sekali waktu, Keira pernah mendapati sang suami tengah menangis dalam diam di dapur. Namun dia tetap tersenyum dihadapannya.
Keira tahu, betapa dia sangat mencintai wanita itu. Entah seperti apa rupa dan karakternya. Namun anehnya, Keira tak sedikitpun merasa marah dan cemburu.
Bahkan setelah beberapa tahun berlalu, Keira masih kerap mendapatinya menangis. Keira hanya bisa menjadi sahabatnya. Bahkan mereka sudah tak pernah melakukan hubungan suami istri meski tidur seranjang. Meski status mereka masih sah suami istri. Masing masing tak pernah saling menuntut dan meminta.
Tahun demi tahun berlalu. Arga kini sudah duduk di kelas XII SMA. Dalam masa senggangnya Arga selalu membantu sang ibu mengurusi toko. Terkadang menggantikan sang ayah untuk melakukan layanan hantar buket.
"Ma, pesanan buket bunga mawar putih dari langganan biasa sudah mama rangkai?" tanya Arga yang tengah menyusun buket buket bunga cantik pesanan pelanggan tetap dan baru toko sang mama.
"Ini lagi mama rangkai. Gimana papamu? sudah minum obat?"
"Sudah ma. Tapi papa nolak buat ke rumah sakit"
"Ya udah. Nih buket nya. Biar mama yang bujuk papa. Niis.. Aniis.. saya titip toko ya"
Keira pun segera pulang setelah menitipkan toko pada pegawainya. Dia benar benar kuatir dengan kondisi kesehatan suaminya yang sudah seminggu ini menurun. Pasalnya sang suami menolak untuk dibawa ke rumah sakit.
"Jodi.. ya ampun pucet banget. Jodi.. kita ke rumah sakit ya-"
Jodi meraih tangan Keira yang tengah mengutak atik ponselnya. Dengan lemah dia dia berkata
"Jangan. Aku gak mau dirawat sama orang gak aku kenal. Aku mau kamu aja yang rawat aku" Jodi lantas menarik lemah tangan Keira dan menyuruhnya untuk duduk di sampingnya.
"Tapi suhu tubuh kamu kenapa dingin banget ini" Keira menambahkan selimut tebal padanya.
"Aku gak apa apa. Key, terimakasih atas segalanya. Terima kasih telah bersabar atasku selama ini. Terima kasih telah menemani hari hari sepiku. Maaf.. maaf kalau aku telah menyakiti hatimu. Maaf karena aku tak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Carilah pendamping yang bisa membahagiakanmu dan mencintaimu sepenuh hati. Maaf juga karena aku tak bisa memberikan hatiku untukmu" Jodi sedikit susah payah mengutarakan isi hatinya.
Air mata Keira tiba tiba terjatuh. Dia punya firasat tak baik dengan kondisi Jodi.
Keira menggenggam erat tangannya.
"Aku sudah memaafkanmu. Sahabatku"
Jodi tersenyum. Lalu matanya terpejam. Tubuhnya tersentak beberapa kali. Lalu diam.
Keira terisak. Dia berduka atas kehilangan sahabatnya.
Tangan hangat yang ia genggam itu kini dingin dan kaku. Keira mengecup tangan yang tadi ia genggam.
"Selamat tinggal sahabat. Semoga kamu bahagia disana. Beristirahatlah dengan tenang" Keira tergugu. Bagaimanapun Jodi pernah menjadi laki laki yang dia cintai.
Sedikitnya, Keira menyalahkan pertemuan mereka dengan cinta pertama Jodi. Sehingga merubah kualitas hidup mereka.
Jodi dimakamkan di area pemakaman umum. Keira dan Arga saling menguatkan. Saat pengantar jenazah satu per satu menghilang. Tinggalah Keira dan Arga yang masih menatap pusara yang baru ditancapkan.
"Ma, ayo pulang. Langit sudah mendung"
"Kamu duluan aja, Ga. Kasian papa sendirian"
"Mama. Papa justru bakal sedih kalau mama sakit. Sekarang papa sudah sembuh. Papa pasti banyak yang nemenin. Yuk pulang. Nanti keburu hujan. Arga bikinin air jahe ya"
Titik titik air mulai berjatuhan. Dengan berat hati Keira pun menuruti Arga. Berbalik dan berjalan perlahan sembari didekap oleh tubuh tinggi sang anak. Melewati gundukan gundukan tanah.
Beberapa orang yang tadinya menziarahi makam keluarganya kini tak tampak lagi karena hujan mulai turun.
Hanya satu yang terlihat masih setia berdiri menatap satu nisan. Mengenakan stelan hitam dan payung hitam. Kaca mata bertengger di hidungnya. Namun yang cukup menyita perhatian Keira adalah buket bunga yang digenggam sang pria, adalah buket dengan kartu nama tokonya yang masih menempel.
Keira berjalan melewatinya.
"Ternyata orang ini" gumam Keira dalam hati.
Pasalnya, setiap tahun, jatuh pada tanggal dan bulan ini, seseorang dari perusahaan raksasa di negara ini selalu memesan buket bunga yang sama.
Mawar putih dengan kertas hitam sebagai pembungkusnya.
Keira terkadang menambahkan beberapa tangkai bunga Crysant atau bunga lain dengan warna senada.
Berhubung Keira datang terpisah dengan Arga menggunakan mobil, dan Arga menggunakan motor trail. Kini mereka berdua harus rela berboncengan menggunakan kendaraan off-road roda dua tersebut karena Keira sudah ditinggalkan oleh mobil yang ditumpanginya.
Tak masalah baginya, karena motor itu adalah peninggalan sang suami yang dulu sering dia pakai untuk pergi ke pasar. Dan kini motor lincah itu dipakai Arga untuk pergi ke sekolah dan mengantar paket bunga.
"Ah sialan." Arga menyelah motor trail itu berulang kali, namun tak kunjung menyala.
"Kenapa?" tanya sang mama.
"Gak tau nih, ma" Arga terus mencoba dan terus gagal.
"Sini sama mama" Keira mengambil alih.
breengg.....
Dengan sekali selahan, motor itu berhasil dinyalakan Keira.
"Wuih, papa kepingin mama yang bawa nih kayaknya" komentar Arga ingin sedikit menghibur sang mama.
"Ayo naik"
"Tapi, ma-"
"Udah bawel. Mau pulang ga? Atau mau nemenin papa disini?"
Arga langsung melompat naik ke jok belakang. Memeluk pinggang ramping mamanya, karena diyakini jika sang mama sudah mengendalikan motor ini, jangan harap bisa tidur dimotor.
breeng
breengg..
Keira membleyer motornya beberapa kali lalu melepaskan kopling dan menarik gas. Membuat motor itu sedikit terangkat ban depannya. Dan diapun membawanya melesat mengelilingi kota. Tak peduli hujan rintik rintik membasahi seluruh tubuh mereka.
Keira melalui jalanan dan area yang pernah dia dan suaminya lewati dan singgahi dulu. Dengan lelehan air mata bercampur air hujan. Dia menggali kembali memori masa bahagia mereka.
Arga tak berani mencegahnya. Selama mereka bersama, tak masalah jika sang mama ingin meluapkan rasa sedihnya ditinggalkan orang tercinta.
Bukannya Arga tak sedih. Dia hanya sadar diri bahwa dia harus menjadi kekuatan mamanya saat sedang terpuruk.
Mereka berhenti di perempatan karena lampu lalu lintas tiba tiba menghentikan mereka. Untunglah perhitungan Keira tepat. Dari kejauhan dia sudah memperkirakan dan menghitungnya. Jadi dia memperlambat lajunya.
Karena motor yang sedikit bermasalah dan harus selalu membuka gas, seorang pengendara lain dengan motor sport berhenti tepat disampingnya dan melakukan hal yang sama.
Keira melirik dan tak menghiraukannya.
"Hei, apa kau tidak malu dibonceng perempuan?" sarkas pengendara itu pada Arga yang dibalas senyum miring.
Keira tak terima anaknya direndahkan.
Dia mulai menghitung waktu dan bersiap. Pengendara di sebelahnya melihat gelagat Keira dan ikut bersiap.
Tepat saat lampu berubah hijau, motor trail itu melesat meliuk liuk melewati mobil mobil dan sedikit melakukan atraksi dengan melompat pada trotoar setinggi 20cm. Lalu mereka berhenti tepat didepan toko bunganya.
Orang yang berada didalam mobil yang ia lewati hanya menggelengkan kepala.
MASIH SELOW YA BEIBZ
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!