Akia Rinjani adalah gadis cantik yang imut. Namun Hidup ditengah keluarga yang sederhana. Kini usianya baru menginjak tiga belas tahun. Dia memilik sahabat bernama Denan Al Fatan. Setiap hari mereka bertemu di taman rekreasi dan itu sudah terjadi selama lima tahun dari sejak Sekolah dasar.
Setiap bertemu, Denan selalu memainkan gitarnya dengan merdu dan romantis. Namun itu adalah hari perpisahan Denan dan Akia. karena Denan akan dibawa keluarganya pindah ke Jakarta.
Akia sangat suka dengan setiap Alunan gitar indah yang dimainkan Denan. Dan itu akan menjadi ciri khas nada persahabatan mereka.Tapi Ia juga merasa sedih. Karena hari itu adalah hari yang sangat menyakitkan.
”Denan, apa kita akan bertemu lagi?" tanya Akia. Air matanya mulai berlinang membasahi pipi gadis belia itu. Tatapannya kosong, Ia pasti akan merindukan alunan musik yang setiap hari Denan mainkan untuknya.
Denan mengulas senyum lalu menggenggam tangan nya.
"Aku pasti kembali, Ki. Aku juga pasti akan merindukan masa-masa ini," jawab Denan dengan perasaan getir. Sesungguhnya Ia tak tega meninggalkan sahabatnya itu. Akia adalah gadis manja dan ngangenin menurutnya.
"Den, aku sangat nyaman berada disisi mu berjanjilah kalau kau akan datang suatu saat nanti!" Pinta Akia dengan tatapan serius.
Denan pun menyerahkan kalung yang menggantung dilehernya.
"Simpan ini Ki, suatu saat nanti aku akan kembali untuk mengambilnya darimu," tukas Denan.
"Kau yakin? Apa kau tidak bohong?" Tanya Akia tersenyum dan kembali bersemangat dengan ucapan Denan.
"Ya, aku berjanji akan hal itu. Tapi aku punya satu permintaan," ujar Denan kemudian.
"Apa itu?" Tanya Akia ingin tau. Pasalnya Ia tak punya barang berharga apapun untuk diberikan kepada Denan.
Denan pun menunjukkan jepitan rambut yang ada di kepala Akia. Gadis itu pun terkekeh dibuatnya. Namun akhirnya Ia lepaskan jepitan itu.
"Kau minta ini?" Tanya Akia sembari menunjukkan jepitan rambut itu. "Ini sangatlah murah dan tidak berharga Den, kau tidak akan mampu membuatnya bertahan sampai kita bertemu," lanjut Akia terkekeh.
Namun Denan merampas jepitan rambut itu.
"Kita buktikan!" Tantang Denan membalas Akia.
"Baiklah, o ya aku juga punya satu permintaan lagi," tukas Akia kemudian.
"Apa itu?" Tanya Denan penasaran.
"Berjanjilah, kau hanya akan memainkan nada itu untukku jika kau bermain gitar dimana pun!" Pinta Akia sembari melipatkan tangannya didada dan sedikit memasang wajah imutnya itu.
Denan pun tertawa geli dibuatnya.
"Oke, aku janji. kalau begitu aku pergi dulu. Aku akan menunggu mu didepan rumah besok!" Teriak Denan sembari melangkah pergi.
"Eh, Den tunggu!" panggil Akia. Namun Denan sudah tidak mendengarnya lagi.
"Dasar! Aku akan sangat kesepian tampa mu Den," gumam Akia menatap Denan yang sudah semakin jauh.
Keesokan harinya, Denan dan keluarganya sudah bersiap untuk masuk ke mobil. Mereka akan berangkat pagi-pagi sekali. Denan memutar bola matanya melihat ke sekeliling jalanan. Namun Ia tak melihat Akia disana.
"Kamu dimana, Ki? Aku sangat berharap kalau kamu akan datang menemui aku untuk terakhir kalinya," batin Denan.
"Den, ayo masuk kita sudah mau berangkat!" Teriak Mama Yuni yang sudah lebih dulu naik ke mobil dengan ayahnya.
"Iya Ma, Denan mau masuk ni," jawab Denan.
Sampai Ia masuk dan mobilnya mulai bergerak. Denan tetap menoleh kebelakang kaca mobilnya berharap Akia berteriak memanggilnya. Tapi sia-sia Ia tak melihat Akia dimana pun hingga Mobil mereka jauh meninggalkan rumah lama Denan.
Akia berdiam diri disudut kamarnya, Ia menangis meratapi kepergian Denan. Denan adalah satu-satunya sahabat yang Ia punya. Namun kini Ia telah pergi. Entah sampai kapan mereka akan bertemu lagi.
Akia benar-benar merasa sendiri Ia hanya tinggal dengan Ibu dan Kakak tiri perempuannya yang kejam. Ayahnya sedang pergi berlayar ke Kalimantan.
Ibunya melarang Ia untuk pergi menemui Denan. Itulah sebabnya Ia lebih memilih mengurung diri dikamar.
"Akia...! Akia...!" Suara teriakan perempuan paruh baya membahana memanggilnya berulang ulang.
"Iya Bu," jawab Akia. Ia pun segera menghapus air matanya yang masih basah di pipi.
"Ada apa Bu?" Tanya Akia setelah membuka pintu.
"Ada apa? Ada apa? Lihat tu baju kotor numpuk, piring juga belum dicuci, ni lantai apalagi belum disapu. cepat bersihkan semuanya!" Bentak Bu Ratih.
"Iya Bu," jawab Akia menunduk takut akan bentakan Ibu tirinya.
"Ini lagi ngapain kamu dikamar? Habis nangis? Dasar cengeng. Denan itu anak orang kaya mana mau lama-lama jadi teman kamu," ejek Bu Ratih menonjol pipi Akia.
"Ma... maaf Bu," jawabnya. Air matanya kembali meleleh.
"Akia, kamu tu harusnya sadar diri, status mu sama Denan itu ja... uh sekali, jadi jangan mimpi berteman sama dia, lah," ejek Bu Ratih sambil menunjuk-nunjuk wajah Akia dan memasang muka sinis.
"Iya Bu," jawab Akia. Ia masih saja menunduk tak berani memandang tatapan tajam yang pasti akan menyakitkan itu.
"Ayo cepat kerjakan sana!" Perintah Bu Ratih galak.
"Iya Bu," jawab Akia lirih.
Akia pun mengerjakan semua pekerjaannya sendiri tampa saudara tirinya.
"Akia, ini sekalian ya cuciin sepatu aku!" Pinta Vivia.
"Tapi Vi, aku udah capek mengerjakan semuanya bisakah kamu mencucinya sendiri," tolak Akia halus.
"Apa?" Vivia kaget sembari berkaca pinggang dan menatap kesal. " Kamu berani membantahku, Ha?" Jengah Vivia kemudian sambil mendongakkan dagu Akia.
"Bu_ bukan begitu Vi," tukas Akia.
"Sudahlah kerjakan ini atau kau akan menyesalinya nanti!" Ancam Vivia.
"Baik Vi," jawabnya. Ia memutuskan untuk mengalah agar tidak terjadi keributan. Apalagi kalau Ibu tirinya turut campur masalah mereka.
*************
Sesampainya di kota. Denan bergegas turun dari mobil dan masuk kerumah mewah berlantai dua itu. Ia memilih kamar dilantai atas dengan girang.
Ayah dan ibunya hanya melihat dengan tersenyum memperhatikan putra semata wayangnya yang berlari-lari seperti anak kecil yang masih berumur 7 tahunan.
"Denan, ayo tidur kamu harus Istirahat. Karena besok kita akan mendaftar disekolah baru!" Pinta sang Mama.
"Iya Ma, Tapi nanti Denan mau makan bebek goreng ya!" Pintanya dengan nada merayu.
"Iya iya, nanti Mama suruh Mang Parjo beliin," jawab Sang Mama sambil menyelimuti si buah hati yang sudah berbaring di ranjang.
Yuni pun meninggalkan Denan yang masih belum memejamkan mata. Denan kembali duduk setelah dirasa Mamanya sudah pergi. Lalu membuka tas gendongnya mengambil jepitan rambut milik Akia.
Ia mengamati benda kecil yang sebenarnya tidak ada harganya itu sembari mengulas senyum. Tampak ada sehelai rambut Akia yang masih tersangkut disana.
Benda seperti itu banyak dijual dipasaran mana pun . Mungkin harganya hanya kisaran dua ribu perak saja. Tapi baginya benda itu amatlah sangat berharga.
"Aku akan menjaga jepitan ini untukmu Ki, akan ku tunjukkan padamu kalau benda ini akan tetap utuh ditangan ku sampai kita ketemu lagi. Dan rambut ini tidak akan pernah aku lepaskan dari sini," Tukas Denan berbicara sendiri. senyum indah masih saja terbit di bibirnya.
Ia memasukkan benda itu kesebuah kotak dan menyimpannya dengan aman di laci.
Pagi hari yang cerah, embun masih berkabut dan membasahi setiap helai dedaunan diluar rumah.
Sebagian orang pasti sudah ada yang bangun dan bekerja dan sebagiannya mungkin masih mendengkur menikmati suasana yang dingin itu.
Tidak dengan Denan, Ia langsung menarik selimutnya saat melihat jam menunjukkan pukul 05.30 menit. Dan bergegas bangun dari ranjang empuknya.
Ia langsung turun kelantai bawah dan menemui Yuni yang masih bergelut di dapur bersama Bi Ainun.
"Mama, aku sudah bangun. Dimana makanan yang aku minta semalam?" Tanyanya sambil mengucek Matanya yang masih berat diajak terbuka.
Yuni tersenyum melihat putranya yang sudah mulai beranjak dewasa berdiri diambang pintu. Ia masih mengoseng tumis kacang panjang. Bauk sedap menyeruak menyengat ke dalam rongga hidung.
la pun menghampiri Denan yang masih termenung menatapnya.
"Iya sayang, makananmu sudah ada. Cepat mandi sana bauk acem ni," tukas Yuni meledek sembari menutup hidung.
"Iya Ma," jawab Denan. Ia melangkah sedikit malas untuk mandi sepagi itu.
Denan mandi air hangat sambil bersenandung dengan nada musik gitar yang sering Ia mainkan untuk Akia dengan riang. Hingga beberapa menit berlalu.
Denan pun bergegas mengenakan seragam biru putih . Ia masih kelas dua SMP dan sangat manja pada orang tuanya.
"Mama, dimana kaos kakiku?" Teriak Denan dari lantai atas. Ia paling anti untuk mencari dan lupa dimana Ia menyimpan barang miliknya.
Yuni yang sudah selesai menghidangkan sarapan dimeja pun langsung naik kelantai atas untuk membantunya.
"Kebiasaan ya! Mama kan udah bilang kaos kakinya di laci paling bawah," Oceh Yuni gemas. Namun Ia selalu sabar menghadapi putra semata wayangnya itu dengan tulus.
"Maaf Ma," tukas Denan merasa bersalah.
"Ya sudah, segera turun kalau sudah selesai Papa harus kekantor pagi-pagi sekali. karena Papa akan diresmikan jadi Direktur utama ditempat kerjanya yang baru," jelas Yuni.
"Iya Ma," jawab Denan manyun.
Setelah selesai, Denan langsung bergabung bersama orang tuanya dimeja makan dan langsung menyeruput susu sampai setengah gelas.
"Den, ingat pesan Papa jangan bandel disekolah baru mu. Papa gak mau kamu bikin malu Papa lagi seperti disekolah kamu yang dulu," pesan Rama. Ia sudah sering dipanggil pihak sekolah karena kenakalan Denan.
Karena di sekolah nya yang lama Denan terkenal sombong, angkuh dan sering bolos sekolah diam-diam. Tak jarang Ia dihukum membersihkan WC karena sering mendapat nilai C dan tidak mengerjakan PR.
Akia lah yang sering membantunya mengerjakan tugas. Itulah sebabnya Ia sangat suka berteman dengan Akia.Tapi sekarang Ia harus mandiri tanpa bantuan Akia disisinya.
"Iya Pa," jawab Denan cemberut sembari menggigit bebek bakar kesukaannya.
Setelah selesai sarapan. Rama dan Denan berpamitan dengan Yuni.
*SMP Bhakti Husada
Rama dan Denan tiba disekolah. Sudah banyak anak-anak yang berdatangan pagi itu. Mereka nampak sangat ceria.
"Denan, ayo turun! Papa tidak bisa mengantarmu masuk karena Papa buru-buru," tukas Rama kemudian.
"Tidak perlu Pa, Denan justru akan malu kalau Papa ikut Masuk," jawab Denan santai sambil menikmati pemandangan disekolah barunya.
"Baiklah, ayo turun!" Perintah Rama pada Denan yang masih duduk didalam mobil.
"Oke Pa," jawabnya. Ia bergegas membuka pintu mobil dan melompat turun. Namun, Baru saja menutup pintu Mobil tiba-tiba sebuah motor menyelinap ugal-ugalan menabrak nya hingga jatuh dan kepalanya terbentur trotoar.
"Denan...!" teriak Rama terkejut. pengemudi motor itu langsung tancap gas saat melihat Denan tidak sadarkan diri.
Dalam sekejap jalanan itu dipenuhi orang-orang yang melihat Denan terkapar pingsan. Tampa basa basi Rama langsung menggendongnya ke mobil dibantu orang tua siswa yang lain.
*Rumah Sakit Sehat Merdeka
Denan langsung dimasukkan keruang UGD dan mendapat penanganan langsung dari Dokter.
Yuni berlari-lari di koridor rumah sakit dan menjatuhkan tubuhnya yang lemas didada Rama.
Ia sangat panik saat tau Denan kecelakaan.
"Apa yang terjadi Pa, kenapa Denan sampai kecelakaan dihari pertamanya sekolah?" Tanya Yuni sambil terisak takut.
"Entahlah Ma, semua terjadi begitu saja," jawab Rama sambil mengelus rambut sang Istri.
Ceklek!
Terdengar pintu terbuka.
Seorang Dokter dan seorang perawat keluar dari ruang UGD.
"Bagaimana dengan keadaan putra saya, Dok?" Tanya Yuni tak sabar.
"Maaf Pak, Bu akibat benturan keras di kepalanya Denan harus mengalami amnesia," jawab sang Dokter.
"Amnesia? Apa bisa disembuhkan Dok?" tanya Rama kemudian.
"Insya Allah, tapi mungkin waktunya tidak bisa dipastikan kapan akan pulih," ulas sang Dokter.
"Maksudnya Dok?" Tanya Yuni tidak paham.
"Ini sering terjadi pada pasien yang memiliki kasus serupa dengan Denan. Amnesia yang dialaminya bisa pulih mungkin cepat, mungkin juga lambat," jelas Dokter.
"Kami kurang paham maksud Dokter?" Tanya Yuni lagi.
"Ya tergantung kondisi Pasien bisa mudah atau tidak nya mengingat masa lalu. Bisa terjadi satu minggu, bulan atau mungkin tahunan," jelas Dokter lagi menjabarkan. "Dan ingat jangan coba memaksa ingatannya untuk pulih. Biarlah Dia perlahan mengingat sendiri siapa dan apa yang dilupakannya," imbuh sang Dokter.
"Baik Dok," jawab keduanya bersamaan.
"Apakah Denan akan melupakan kita, Pa?" Tanya Yuni yang kembali menjatuhkan diri di pelukan Rama setelah Dokter pergi.
"Kita akan menjelaskan perlahan-lahan Ma," jawab Rama tenang.
10 TAHUN KEMUDIAN
Pagi itu Akia berangkat ke sekolah. Ia akan menghadiri wisuda di kampusnya. Meski tak bisa pergi bersama orang tua pendamping. Tak mengurangi semangatnya untuk terus maju.
Namun saat Ia sampai di persimpangan, sebuah mobil tiba-tiba hampir menyerempet sepedanya hingga Akia hilang kendali.
Sepeda yang di tumpangi nya itu akhirnya oleng hingga sampai menindih kaki Akia yang tergusur ke badan jalan.
"Aduh ...!" Teriaknya terkejut.
Karena khawatir terjadi apa-apa mobil itu langsung berhenti. Kedua pemuda keluar dari dalamnya untuk mengecek kondisi Akia.
"Mbak gak papa? Ada yang luka?" Tanya salah seorang darinya. Ternyata yang di dalam mobil itu salah satunya adalah Alan Kakak lelaki Fatimah sahabatnya.
Lekas pemuda itu mengangkat sepeda Akia lalu mengulurkan tangan ke arah gadis itu. Dengan sedikit gugup Akia menerimanya.
"Aduh perih...!" Ucapnya mengeluh seraya menunduk lagi memeriksa lututnya yang berdarah.
Pemuda itu mengambil sapu tangan dari bajunya lalu berlutut untuk melilitkan benda itu di kaki Akia.
"Bagaimana kalau kita ke Dokter saja?" Tanya pemuda itu.
"Oh tidak usah Mas, saya harus ke kampus sekarang," tolak Akia.
"Tapi kakimu terluka?" Seloroh pria itu.
"Iya gak papa, cuma sedikit kok," jawab Akia lagi.
Pemuda itu tersenyum. "Kenalin saya Revan," ucapnya sembari mengulurkan tangan.
"Akia...," jawab gadis itu singkat. Tapi karena pemuda itu asing baginya Akia tidak menyambut uluran tangan tersebut.
"Maaf Mas saya permisi dulu!" Pamitnya sembari menuntun sepeda itu menjauh.
Tingkah laku Akia tak ayal membuat Revan dan Alan yang melihatnya terkekeh penuh keheranan.
Akia pun memaksakan diri mengayuh sepedanya sampai di kampus. Ia menahan ngilu yang masih terasa di lututnya akibat terjatuh dari sepeda tadi.
Semua maha siswa sudah mengunakan pakaian seragam toga khas wisuda. Mereka semua didampingi keluarga mereka.
Akia menatap sekitarnya dengan perasaaan getir. Tak ada yang mendampingi dirinya dihari terakhir
kuliahnya.
Ratih tampak baru datang dengan taksinya menyusul dan menghampiri Vivia. Kedua Ibu dan anak itu nampak sangat bahagia dan saling berpelukkan.
"Andai Ibu masih ada, pasti aku akan sangat bahagia," gumam Akia dengan perasaan sedih. Buliran bening jatuh membasahi pipinya.
"Akia, ayo pakai toga nya! kita akan memasuki ruang wisuda!" Ajak Fatimah sahabatnya.
Akia pun segera keruang ganti dan memakai baju tersebut. Mereka segera ikut berkumpul diruang wisuda. Suasana sangat ramai karena semua siswa yang wisuda ditemani kedua orang tua mereka.
Setelah mereka menunggu lama acara pun digelar.
Mereka mendengarkan pidato ketua yayasan pendiri kampus itu beberapa menit dan juga pidato dari Dosen pembimbing mereka.
Sampai dua jam bergulir akhirnya penyebutan Nama Maha siswa dengan nilai terbaik di universitas Paramida Bangsa langsung disebut.
(Nama Mahasiswa terbaik pertama diraih oleh Akia Rinjani dari jurusan Akutansi Dan Ekonomi)
Akia terkejut dan sangat bangga saat namanya disebut paling awal. Ia tak menyangka dirinya mendapat nilai terbaik di Kampus Piramida Bangsa. Ia langsung dipeluk Fatimah sahabatnya dan ikut senang akan prestasinya.
Iya pun diminta untuk naik keatas panggung menyampaikan visi dan misinya.
"Akia Rinjani, silahkan naik keatas panggung!" Tukas pembawa acara.
Aki Rinjani pun naik dan langsung disambut beberapa jajaran terpenting di kampusnya.
Ikat Kepala tanda bukti kelulusannya sudah syah dipindahkan ke sebelah kanan.
Ia juga langsung menerima piagam penghargaan, piala dan seikat bunga.
Setelah itu Ia pun menyampaikan visi dan misinya secara lantang dengan perasaan berdebar dan gugup.
Setelah semua mahasiswa dinyatakan lulus . Mereka kemudian foto bersama. Banyak dari orang tua mereka yang mengabadikan foto anak mereka di handphone.
"Akia, kau akan kemana setelah ini?" Tanya Fatimah penasaran.
"Entahlah, aku berencana ingin ke kota mencari pekerjaan di perusahaan," jawab Akia.
"Bagaimana kalau kau ikut aku ke jakarta?"
"Ha?"
"Iya, Abang ku kerja di perusahaan terbaik di Jakarta dan iya mendaftarkan aku disana? Aku akan meminta abang ku mendaftarkan mu juga," tukas Fatimah.
"Kau yakin, aku bisa ikut bekerja disana?"
"Tantu saja, Kau 'kan Maha siswa terbaik di universitas Piramida Bangsa."
"Baiklah aku akan pikirkan ajakan mu, dan meminta izin ayahku. Besok ayah akan pulang dari Kalimantan."
"Oke aku tunggu, jawabanmu lusa karena kita akan pergi Hari Sabtu," tukas Fatimah. Mereka pun berpisah di gerbang kampus.
***
Esoknya, ayah Akia sudah kembali dan disambut Akia dengan riang. Tentu saja diikuti Vivia dan Mama tirinya. Seperti biasa Mama tirinya dan Vivia menunjukkan sikap sayangnya pada Akia dihadapan sang Ayah.
"Ayah, Akia kangen," teriak Akia berhamburan memeluk sang Ayah.
"Ayah juga nak, Ayah bangga sama kamu mendengar kabar kalau kamu lulus dengan nilai terbaik."
"ayah, Vivia juga kangen," tukas Vivia ikut memeluk ayah tirinya.
Ayah mereka pun mengandeng kedua putrinya masuk kerumah. "Mas, ayo makan Ibu sudah masakin kesukaan Mas," tukas Ratih memasang muka manis.
(Itukan masakan Akia, kenapa Mama mengakui masakan itu masakannya?) Pikir Akia dalam hati.
Malam hari pun tiba, Ayah Akia tengah duduk santai di depan sembari menonton televisi. Ia ditemani Ibu Ratih yang baru datang dengan dua gelas kopi dan Vivia yang tampak asyik nyemil keripik ubi. Sesekali terdengar cekikikan tawanya menonton WARKOP DKI yang diperankan Donok, Kasino, dan Indro.
Film itu memang sangat terkenal di seantero negri ini pada masanya. sampai saat ini, film itu masih digemari banyak kalangan. Dengan aksi kekocakan kan tiga sahabat itu yang siap mengocok perut penontonnya.
Akia tampak gusar, Ia masih takut menyampaikan keinginannya untuk bekerja di Jakarta. Apalagi ayahnya baru pulang pagi tadi. Ia juga masih sangat merindukan ayahnya itu. Dan Fatimah bilang, jika Ia diizinkan, mereka akan pergi lusa.
Sungguh itu, membuat Akia bingung. Namun apa boleh buat, Ia bercita-cita ingin merubah kehidupan keluarganya untuk lebih baik dari sekarang. Dan keinginan itu sangat menggebu, mengingat Ayahnya sudah tidak muda lagi usianya sudah berkepala enam puluhan dan mungkin lebih.
Akia kasihan, jika Ayahnya yang sudah tua harus bekerja merantau ke Kalimantan berlayar terus menerus. Iya jika sang Ayah terus sehat? Bagaimana jika Ayahnya tiba-tiba sakit. Siapa yang akan menjamin kehidupan mereka. Sedangkan Ibu Ratih yang kejam itu hanya bisa hidup glamor dan meminta sesuatu yang mustahil Ayahnya mampu belikan.
Uangnya saja, tidak bisa membangun gubuk kecil itu. Ayahnya banting tulang hanya untuk menyekolahkan dirinya dan Vivia agar punya masa depan yang cerah.
"Ayah," tukas Akia memberanikan diri menyapa Ayahnya.
"Akia, ayo duduk nak!" Ajak Ayahnya menepuk kursi yang kosong disampingnya.
Akia pun melangkah mendekat dan ikut nimbrung. Ia melihat mata Ratih dan Vivia yang nampak sinis melihatnya. Tapi Akia berusaha mengacuhkannya.
"Ayah, ada yang ingin Akia sampaikan," ujar Akia. Ia menunduk takut dan gugup menyampaikan niatnya pada Ayah. Takut kalau ayahnya tidak mengijinkan dirinya pergi.
Namun sang Ayah mengusap rambut Akia dengan lembut. "Apa yang ingin kamu sampaikan, Ki?"
Tanya Ayah serius.
"Ayah," tutur Akia menatap wajah Ayah yang sudah mulai mengkerut itu. "Akia mau mintak ijin."
Ayahnya nampak terkejut mendengar ucapan Akia.
"Mintak ijin? Mau kemana nak?" Tanya Sang Ayah kemudian. Matanya itu tampak mulai berkaca-kaca.
"Fatimah, anak Pak Burhan mengajak Akia bekerja di Jakarta, Yah," Jawab Akia lirih. sebenarnya Ia belum mau meninggalkan Ayak tercintanya itu. Kerinduannya belumlah sirna.
Tampak Ayahnya menghela nafas dalam lalu menghembuskan nya dengan kasar.
"Akia, kau mau kerja apa disana?" Tanya Ayah menatap serius.
"Di perusahaan besar Ayah, Fatimah bilang Perusahaan itu terbesar di Jakarta," jawab Akia.
"Alah, pendidikan mu itu cuma bagus di Universitas kampung, Ki. mana mungkin Perusahaan besar menerimamu. Pasti banyak Anak-anak kelulusan terbaik di Universitas ternama di kota yang melamar kerja disana," sahut Ratih ketus.
"Kamu itu sok-sokan banget sih Ki mending ikut aku kerja di supermarket," jengah Vivia.
"Ratih, jangan mematahkan semangat anak begitu. Siapa tau nasib berpihak pada Akia dan dia diterima kerja disana," timbal Ayah.
"Ayah, Akia cuma mau berusaha untuk merubah kehidupan kita jadi lebih baik, supaya Ayah bisa pensiun jadi nelayan dan diam dirumah. Akia kasihan melihat Ayah pulang pergi ke pulau yang jauh itu," ucap Akia.
"Ayah mengerti nak, jika itu sudah menjadi niatmu Ayah tidak akan melarang kepergian mu," ucap sang Ayah kembali mengusap rambut Akia.
"Jadi ayah akan mengijinkan Akia pergi?" Tanya Akia meyakinkan.
Ayahnya mengangguk, tapi mata itu tampak sembab. Ada rasa getir yang Ayah rasakan saat Akia meminta ijin darinya.
"Sabar Ayah, Akia berjanji akan mengubah kehidupan kita," gumam Akia dalam hati. Ratih dan Vivia menatap tajam kearah Akia yang sedang memperhatikan keduanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!