Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero~
***
Kilas balik,
"Kamu mau cerai, hah? Hanya karena uang yang aku kasih nggak cukup? Jawab!!! Elen, ingat baik-baik dalam otak bo doh kamu itu, Orang tua kamu aja udah jual kamu ke aku, pakai berlagak minta cerai. Mau jadi gembel kamu?"
"Makan uang haram kamu? aku dan Satria gak butuh itu, Mas. Lebih baik kami jadi gembel dari pada menggunakan uang haram itu," teriak Ellen tak kalah keras, Bram mencengkram rambut Elen kemudian menariknya dengan kasar. Matanya menyalang tajam marah.
"Gak butuh kau bilang? Heh, harusnya kau jadi wanita pandai bersyukur, pandai tau diri. Lima juta itu lebih dari cukup dari pada kamu pontang panting kesana kemari kerja gak jelas! Gak usah berlagak kamu." Bram meninggikan suaranya, semakin menarik kasar rambut Elen sebelum menghempaskannya begitu saja hingga tubuh kurus Elen hampir membentur kursi.
Di balik pintu, Satria hanya bisa berdiri mematung melihat pertengkaran kedua orang tuanya. Tubuhnya beku, hatinya sakit melihat laki-laki yang ia sebut Ayah memperlakukan Momy-nya dengan kasar. Namun, Satria hanya bocah kecil lugu, ia masih bingung menghadapi situasi seperti itu meski sudah terlalu sering melihatnya. Kekerasan, teriakan, pukulan, Satria hanya bisa berharap kelak akan jadi orang kuat agar bisa melindungi Momy-nya.
Bram pergi meninggalkan Elen begitu saja, kesehariannya sebagai pengedar obat haram berkedok kuli membuat Elen geleng kepala. Jika bukan karena hutang piutang judi Ayahnya, Elen tak akan mungkin menikah dengan laki-laki kasar itu. Bukan, bukan hanya kasar, Bram juga tak pernah perduli dengannya dan Satria. Pulang hanya untuk mengambil apa yang dibutuhkan, entah mengisi perut, melampiaskan nafsu, entah melempar uang kuli ke wajahnya atau hanya sekedar melampiaskan amarah.
"Satria." Elen membeku di tempat dengan air mata meleleh saat melihat sang putra keluar dari persembunyian menatapnya polos tanpa kedip.
"Mom..." Lirih Satria.
"Momy gak apa-apa, Sayang!" Elen tersenyum, mengusap sudut matanya lalu memegang pundak Satria. Bocah kecil penguatnya yang sebentar lagi akan memasuki Sekolah Dasar.
"Mom ayo kita pergi, Ayah terlalu jahat sama Momy. Satria gak suka, Mom. Satria benci Ayah!" rengeknya sembari mengusap-usap pipi Elen. Tak ada yang bisa ia lakukan selain membujuk sang Momy agar segera pergi meninggalkan sang Ayah.
"Hey, Jagoan! Dia Ayah kamu loh, gak boleh benci seperti apapun bentuk dan sikapnya, kamu adalah anak satu-satunya Ayah dan Momy, anak kesayangan kami."
Satria mengangguk lesu, meski sebenarnya dalam hati ia sangat kecewa dengan sosok Ayah yang ia miliki. Andai Satria bisa memilih, andai ia bisa memiliki sosok Ayah yang bisa dibanggakan seperti teman-temannya. Mungkin, Satria akan menjadi orang yang paling bahagia.
Hari berikutnya, setelah semalaman tak kunjung pulang, Bram datang membawa sebuah map di tangan.
"Sesuai mau kamu, tapi ingat gak ada uang bulanan untuk Satria. Memilih pergi itu keputusanmu, jadi nafkahi sendiri anak itu." Bram melempar surat cerai di atas meja.
"Satria itu anak kamu juga, Mas."
"Kamu yang memutuskan, kamu sendiri yang menanggung resikonya. Jadi, tanda tangani dan pergi dari rumah ini. Nikmati hidup kalian di luar sana!" bentak Bram.
"Oke, aku dan Satria siap pergi. Aku, Momy-nya tentu aku yang menanggung semua keperluannya. Kelak, kamu jangan pernah menjilat ludahmu sendiri karena sudah memutus hubungan dengan Satria!"
***
Elena Shain, wanita berusia 28 tahun itu menenteng tasnya sambil menggandeng Satria keluar dari Rumah.
Menghela napas lega, karena kini ia sudah bebas dari jerat pria itu.
Menikah muda karena paksaan membuat hatinya luka parah. Bukan hanya itu, ia juga harus menanggung siksaan demi siksaan selama hidupnya bersama pria bernama Bram.
"Elen, mau minggat kemana? Udah dicampak'in Abang Bram ya, uh kasian! mana masih muda," sindir Siti sambil mengibas-ngibaskan kipasnya. Siti adalah keponakan Bram, sifatnya tak kalah jauh, angkuh dan menyebalkan. Setiap hari selalu mencari kesempatan menyerang Elen, sebab dari dulu ia tak suka jikalau Abang kesayangannya menikah dengan gadis kampung macam Elen.
"Mau ke LN, jadi TKW biar bisa bangun rumah tingkat tiga," Sinis Elen.
"Alah palingan juga jadi babu, kebanyakan halu!"
"Masih mending, dari pada jadi parasit!" kesal Elen.
"Ayo Satria, kita pergi jauh-jauh dari tempat ini." Elen menarik tangan Satria pelan, bocah itu menurut akan tetapi bibirnya sedari tadi diam tanpa suara.
"Dasar sombong amat, aku sumpahin kamu ketiban sial!" maki Siti yang kesal karena ucapan Elen.
Elen mengabaikan makian Siti, memilih membawa Satria pergi, ia masih beruntung memiliki sedikit simpanan hasil kerjanya di toko bunga dan uang itu bisa ia gunakan untuk menyewa tempat tinggal baru dan makan beberapa waktu sebelum mendapatkan perkerjaan lagi.
Mengingat Satria yang akan masuk sekolah, Elen tak mungkin tetap bekerja di toko bunga karena tak akan cukup untuk kebutuhan mereka selanjutnya.
Setelah berkeliling, ia akhirnya menemukan tempat yang cocok dengan harga murah.
"Berapa untuk sebulannya, Bu?" tanya Elen.
"Hanya tiga ratus ribu, tapi listrik sama air penyewa yang bayar, bagaimana?"
"Semurah itu, Bu?" tanya Elen tak percaya.
Idha, si pemilik rumah hanya tersenyum simpul kemudian mengangguk.
"Ini rumah saya waktu masih susah, sekarang udah tinggal sama anak laki-laki jadi rumah ini saya kasih murah, itung-itung ada yang bantu merawat," terang Idha.
"Kebetulan sekali, Ibu makasih." Elen tak kuasa menahan binar bahagianya hingga tanpa sadar meraih tangan Bu Idha dan menciumnya.
"Sama-sama, istirahatlah kalian. Saya pulang dulu," pamit Bu Idha.
"Satria, maafin momy, ya? Kamu nggak keberatan kan tinggal disini."
"Mom, asal momy nggak dipukul ayah lagi, Satria nggak keberatan."
Elen memeluk erat Satria, entah jika tak ada anak laki-lakinya mungkin Elen tak akan kuat menghadapi kehidupan peliknya.
Elen pun masuk, melangkahkan kaki di rumah minimalis sederhana yang masih sangat terawat.
"Mom, Kapan Satria sekolah?" tanyanya polos.
"Kita istirahat dulu, Sayang. Secepatnya momy akan cari kerja yang layak agar kamu bisa segera lanjut sekolah."
***
Assalamu'alaikum, saya author mimah e gibran mohon dukungan untuk novel barunya. Boleh tinggalkan jejak dengan rate, like, komen, vote gift sebanyak-banyaknya.
Salam hangat, semoga novel my posesif ceo menjadi salah satu novel favorit kalian nantinya ~
I Love you all__
Pagi-pagi sekali Elen terbangun, suasana baru membuatnya belum bisa menyesuaikan diri. Mengusap wajahnya, Elen keluar kamar meninggalkan Satria yang masih terlelap untuk menuju kamar mandi.
"Astaga, aku lupa membawa skincare-ku." Elen memandangi wajahnya yang pucat dan kusam karena akhir-akhir ini ia sering lupa merawat diri.
"Tak apalah, nanti kalau punya uang bisa dirawat lagi. Saat ini yang terpenting adalah kehidupan Satria. Dan aku harus semangat berjuang untuk itu, aku akan menampar wajah Bram agar dia tahu aku sama sekali tak butuh belas kasihnya membesarkan anakku, aku pasti bisa!" Elen menyemangati dirinya sendiri. Setelah mencuci mukanya, gegas keluar untuk membeli beberapa bahan untuk memasak.
"Satria, kamu sudah bangun? astaga, sudah mandi malah, cakep banget anak momy."
"Aku lapar Mom," ucapnya pelan dengan bibir cemberut.
"Ah iya, tadi Momy beli roti, kamu makan dulu gih dan tunggu lima belas menit sampai momymu selesai membuat sarapan."
"Okelah Mom, apa perlu aku bantu?"
"Tidak sayang, kamu cukup duduk dan menunggu Momy-mu ini. Coba mana semangatnya dulu?" tagih Elen.
Satria tersenyum, "Momy-ku tercantik, semangat ya."
Elen mengusap pucuk kepala Satria, ia sangat bangga pada sang putra yang selalu berhasil merubah moodnya yang buruk menjadi ceria lagi. Meski Elen tahu, dalam hati Satria menyimpan banyak kesedihan karena sikap Bram.
"Mom, boleh gak aku masuk sekolah lagi," mohon Satria.
Elen berfikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Yaudah bersiap, momy antar kamu."
"Oke Momy-ku yang cantik!" jawab Satria semangat.
***
TK Pelita Harapan, Elen mengantar Satria ke sekolah. Dulu, anak lakinya terbiasa berangkat sendiri karena jarak sekolah yang dekat, tapi sekarang? Sekolah itu menjadi jauh berjarak hampir tiga kilo dari rumah kontrakannya.
"Pagi, Bu." Elen menyapa salah satu guru Satria.
"Bu Elen, mari masuk. Ada yang ingin saya tanyakan. Satria, kamu gabung sama teman-teman di kelas ya."
"Baik Bu Wina." Satria mengangguk sopan lantas meninggalkan Momy-nya dan guru untuk masuk ke dalam kelas.
Dua perempuan muda itu kini tampak duduk berhadapan di ruang guru. Bedanya, Elen adalah Ibu Satria, sementara Wina, Guru TK Satria.
"Begini, Bu Elen. Sekolah kami akan mengadakan acara lomba untuk Ayah dan Anak. Tapi, selama ini Satria belum pernah membawa ayahnya ke Sekolah. Apa..." Wina menunduk, ia sungguh tak enak membicarakan hal seperti ini pada Elen.
"Saya tahu, Bu. Tapi, kami sudah bercerai dan untuk Ayah Satria, ia sibuk kerja, apa saya boleh menggantikannya?"
"Bu Elen yakin? Memang boleh digantikan kalau Ayah dari murid tidak bisa hadir," ujar Wina berusaha memahami posisi Elen.
"Sebenarnya saya mau mengajak pindah sekolah Satria karena jarak tempat tinggal baru kami jauh, tapi..."
"Bu Elen, ada baiknya jangan. Karena hanya tinggal menunggu hitungan bulan Satria lulus TK dan masuk Sekolah Dasar, dia pintar dan punya banyak teman disini. Sangat kasihan jika harus beradaptasi di lingkungan baru lagi. Lebih baik tunggu sekalian lulus," saran Bu Wina.
"Baik, Bu."
"Kalau begitu saya daftar nama Bu Elen sebagai pengganti ayahnya Satria ya? kebetulan minggu depan acaranya, jadi Ibu bisa latihan kekompakan dulu di rumah," ujar Wina sekali lagi menjelaskan.
Elen mengangguk, setelah pembicaraan usai ia pun pamit pulang.
***
"Elen, baru pulang ya?" sapa Bu Idha pemilik kontrakan.
"Iya, Bu. Mari masuk," ujar Elen.
Idha tersenyum, Wanita paruh baya cantik itu mengikuti langkah Elen memasuki rumah minimalis miliknya. Sejujurnya ia sangat kagum pada Elen sejak pertama kali bertemu.
"Barangkali kamu butuh pekerjaan, ini tadi anak saya Rafa ngasih info. Sebenarnya suruh bagi ke teman arisan, tapi kembali saya pikir kamu lebih butuh. Perusahaan Wijaya Group butuh sekertaris CEO."
"Sekertaris Bu?" tanya Elen menatap Bu Idha tak percaya.
Idha mengangguk, lantas menyodorkan ponselnya dimana Rafael mengirim pesan perihal lowongan kerja.
Elen membaca satu persatu persyaratan sebagai sekertaris CEO Wijaya Group, agak ragu akan tetapi melihat gaji yang akan diterima dalam sebulan jika bekerja membuatnya tertarik.
"Lima puluh juta sebulan, Bu?" tanya Elen masih tak percaya.
"Iya, Nak. Gaji anak saya sebagai assisten pribadi saja seratus juta sebulan." Idha mengu lum senyum.
"Hah?"
"Jangan kaget, segitu juga udah setara di perusahaan manapun. Makanya, saya nggak begitu butuh uang, kan ada anak. Suami juga sudah nggak ada, pengennya tinggal menikmati masa tua sambil nimang cucu," terang Idha, berulang kali menghela napas jika mengingat sang anak. Royal dalam hal uang dan perhatian, akan tetapi susah sekali jika disuruh menikah.
"Kalau segitu banyaknya masa depan Satria bisa terjamin," gumam Elen.
"Tapi Bu Idha, ini syaratnya..."
"Itu dia, Elen."
"Tapi gak apa-apa, aku coba dulu barangkali lolos."
"Semoga. Besok anak saya akan datang kesini jemput kamu. Jika CEO bertanya, kamu bilang saja ponakannya Rafa. Elen, saya begini karena peduli sama kamu, saya tau gimana susahnya membesarkan anak seorang diri, dan kamu harus semangat ya."
"Makasih banyak, Ibu. Andai Ibu dan Ayah saya seperti Bu Idha, mungkin seberat apapun masalah aku akan percaya diri bisa menghadapinya, tapi..." Elena menunduk, antara kesal dan kecewa menjadi satu. Kedua orang tua seolah tak perduli dengan nasibnya saat ini.
"Sabar, Ibu yakin kamu wanita yang kuat. Kalau begitu, Ibu pamit pulang, jika siap Rafa akan menjemputmu besok pagi, Elen."
Elen mengangguk, ia mengantar Ibu paruh baya itu sampai depan pintu kemudian nampak sebuah mobil menjemputnya di depan kontrakan.
"Saya pamit, Elen."
"Makasih banyak Ibu." Elena melambaikan tangan lantas tersenyum.
Kembali masuk, ia menyiapkan berkas-berkas yang akan digunakan untuk melamar kerja besok.
"Satria gimana?" menghela napas perlahan, kemudian terduduk, Elen berusaha menghubungi Keyra sahabatnya.
"Iya, Len?"
"Aku bisa nitip Satria sama kamu nggak?" mohon Elen.
"Bisa-bisa, nanti pulang sekolah biar aku yang jemput."
"Serius kamu?" tanya Elen sekali lagi.
Keyra malah terbahak, "tentu serius, aku ini kan momy angkatnya Satria, tak apa biar dia ikut aku ke toko kue."
"Makasih, Key. Aku baru mau mulai kerja, doain ya moga nggak di tolak, cukup cintaku saja yang pernah ditolak," ujar Elen sambil mengelap ingusnya.
"Ishh, curhat bu. Lagian itu udah dari jaman SMA, masih ngarep sama kulkas yang bahkan gak kenal kamu sama sekali," omel Keyra.
"Nggak ngarep kok, cuma kagum sama kegantengannya yang melebihi batas wajar."
"Inget, inget sama yang di rumah, jangan sampai laki tua kamu yang emosiannya segunung?" lagi-lagi Keyra mengomeli Elen.
"Iya iya, aku udah mau cerai sama Mas Bram kok," gumam Elen. Akan tetapi telepon sudah terputus membuat Elen mengernyitkan dahi.
"Ah, mati lagi ponselnya."
***
Siang itu lepas menjemput Satria, Elen mengajaknya mampir ke toko kue milik Keyra. Selain melepas rindu dengan sahabatnya, Elen juga menceritakan semua masalah dengan Bram pada sahabat terkasihnya.
Merasa beruntung meski mantan suami dan orang tuanya jahat, Elen masih dikelilingi beberapa orang baik yang membantunya.
"Jadi mulai besok aku sama Tante?" tanya Satria.
Keyra mengangguk antusias, "bukan tante, tapi momy, panggil aku momy."
"Tapi..."
"Iyain aja sayang, biar tante kamu seneng!" bisik Elen.
"Oke, jadi aku punya dua momy tapi gak punya ayah!" ujar Satria tanpa senyum.
"Satria!!" Elen dan Keyra saling tatap, kenapa bocah itu mendadak berubah lesu.
"Satria kan punya momy, Satria juga punya ayah Bram." Elen berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Satria, sementara Keyra mengusap-usap pundak bocah itu.
"Buat apa mom? Ayah nggak perduli sama aku, mau seberapa kali aku berusaha jadi pintar, bahkan jika aku mendapat nilai terbaik, ayah tak akan perduli, apa aku ini bukan anaknya? Apa aku tidak boleh mendapat pujian dari Ayah, aku ingin merasakan gimana Ayah bilang aku hebat, aku ingin dengar ayah bilang bangga sama aku, hiks." Satria menunduk lesu dan menangis.
"Sayang, percaya sama momy kelak kamu akan mendapatkan hal itu." Elen berusaha memeluk Satria dan menenangkannya, dalam hati juga merasa sesak. Sedihnya Satria adalah kepatahan hatinya yang paling menyakitkan.
"Kamu yang namanya Elena?" tanya pemuda tampan memakai setelan jass hitam yang rapi, keluar dari mobil bersamaan Elen keluar rumah menggandeng tangan Satria.
"Om ini siapa, Mom?"
"Saya Rafael, anak pemilik kontrakan ini." Rafael mengulurkan tangannya dengan senyum tersungging manis di bibir.
Elen pun menjabat, " Elena dan ini anakku, Satria."
"Hallo, boy. Senang bertemu denganmu!" Sapa Rafael, akan tetapi respon Satria justru bersembunyi di balik tubuh Elen dan menarik-narik kemeja belakang momy-nya.
"Maaf, dia sedikit sulit dengan orang baru," ujar Elen.
Rafael mengangguk, ia mempersilahkan masuk Elen dan Satria ke dalam mobilnya.
Setelah menghantarkan Satria ke sekolah, Elen bersama Rafael langsung pergi. Namun, bukan ke Wijaya Group melainkan ke sebuah salon ternama.
"Kok kesini?" tanya Elen.
"Kamu itu udah masuk kriteria boss, minimal dipoles dikit biar lebih seger," ujar Rafael gamblang.
"What ??? Sebenarnya Boss kamu itu mau cari sekertaris apa simpanan sih," gerutu Elen meskipun ia sendiri tahu kriteria yang tercantum harus cantik dan menarik.
Tapi tetap saja, Elen merasa ada udang dibalik batu.
"Gak lah, ini murni kemauan aku sebagai assistennya, Boss itu super dingin dan anti wanita, semua sekertaris yang pernah bekerja seksi-seksi pun gak ada yang berhasil menggodanya."
"Apa?" Elen semakin mengernyitkan dahinya.
"Masuk saja, nanti sisanya biar aku yang urus. Apapun cukup kamu iyakan nanti, butuh duit kan?" Rafael menaik turunkan alisnya.
Elen hanya bisa mengangguk pasrah, ia merasa terjebak dalam rencana Bu Idha dan Rafael kali ini. Namun, sekali lagi Elen memikirkan masa depan Satria, asalkan halal Elen akan melakoninya.
Setelah satu jam di make over salon, Elen keluar dengan ragu-ragu karena penampilan barunya yang membuat tak nyaman, bahkan Rafa terang-terangan menatapnya tak berkedip.
"Ish, kenapa? Aku jelek ya?" tanya Elen tak percaya diri.
"Cantik! Kalau boss masih nggak tertarik, berarti dia gak normal."
"Hah?"
"Ayo, karena kata Mama kamu wanita baik, jad..." Rafa terdiam, pria muda berjass itu tampak menghela napas panjang.
"Harus jadi adik kamu yang baik, iyakan?"
"Ya gimana lagi, walaupun nanti Boss gak akan percaya adikku Ibu-ibu yang sudah punya anak," gerutu Rafael.
"Hm, kamu tuh..." Elen sudah mengepalka tangan tak terima, kalau tak ingat lewat Rafael lah ia bekerja.
"Heh, Elen. Baik-baik jadi adik pura-puraku, kau tau semua anak teman Mamaku hampir semua pernah melamar jadi sekertaris Boss, tapi nggak ada yang nyangkut. Kamu berdoa saja," ujar Rafael sebelum akhirnya menghentikan mobilnya di depan gedung menjulang tinggi, dimana perusahaan Wijaya berada.
"Turun dan ikuti aku," ujar Rafael.
Meski ragu, Elen akhirnya mengikuti langkah tegap Rafael masuk gedung. Sangat bersyukur karena putra Bu Idha bukan laki-laki songong hingga ia sedikit tertolong.
"Boss," panggil Rafael setelah berulang kali mengetuk pintu bertuliskan CEO, Divine Sagara.
"Masuk!"
Rafael membawa Elen masuk, tampak Div langsung menyambut mereka dengan dahi mengkerut.
"Ada apa?"
"Ini kandidat terakhir calon sekertaris lo, Boss."
"Lo urus aja gimana, hari ini gue ada acara!"
"Tapi, gak pengen di lihat dulu, minimal dinilai lah cocok gak jadi sekertaris lo!" bisik Rafa setelah maju lebih dekat dengan Divine.
Divine mendongkak, Elen berdiri tegak menghadap ke arahnya.
"Lo keluar!" titahnya pada Rafael.
"Saya, Pak?" Respon Elen.
"Bukan, bukan kamu. Tapi dia," ujar Divine menunjuk Rafael yang nampak cengengesan.
"Oke siap!" Rafael keluar, kini tinggalah Div dan Elen yang duduk berhadapan setelah seperkian menit.
"Boleh saya liat berkasnya?" tanya Div dengan datar.
"Ini, Pak."
"Kamu sudah menikah?" tanya Divine.
"Sudah, Pak!" Elen mengangguk.
"Bagus, kamu diterima. Sekarang kamu pelajari tugas-tugas kamu dengan baik."
"Makasih banyak, Pak!"
"Ini perjanjian kontraknya, jika ada yang belum dimengerti, tanya Rafael. Dan, satu bulan masa percobaan tidak boleh dengan alasan apapun."
"Baik, Pak."
Elen membaca satu persatu kalimat yang tertera di map biru, merasa sudah paham ia pun segera membubuhkan tanda tangan di bawahnya. Dilihat dari sikapnya yang kaku, CEO Wijaya Group seperti tak pernah mengenal wanita akan tetapi jika ingat persyaratan yang tertera dari pesan Rafael membuatnya terheran-heran.
***
Hari itu meski Elen belum mulai bekerja, tapi cukup membuatnya sangat lelah. Terbiasa merawat bunga dan mengerjakan pekerjaan rumah saat dia diberikan tumpukan dokumen-dokumen membuat matanya sedikit syok. Namun, Elen tetap harus semangat demi Satria.
"Mau jemput si boy? Betah gak kerja sama Boss?" tanya Rafael penasaran, sebab tiba-tiba Divine meminta agar meja kerja Elen satu ruangan dengannya.
"Biasa, Boss cuek bebek. Tapi bukan itu masalahnya, hanya merasa grogi satu ruangan sama Boss berasa dipantau setiap gerakku!" keluh Elen.
"Ya itu dia masalahnya, ini pertama kali. Oh, mana alamat rumah teman kamu?" tanya Rafael.
"Ada di jalan XX, toko kue Keyrasa."
"Keyrasa?"
"Hm, pemiliknya adalah temanku!" jawab Elen.
Rafa mengangguk-angguk, mereka sudah sampai di tempat Keyra. Namun, terkejut dengan sosok Bram yang berada disana dengan wajah kesal sedang berdebat dengan Keyra.
"Ada apa ini, Mas?"
"Ada apa? Kamu bisa ngurus Satria gak hah? Jangan karena jadi simpanan orang kaya terus kamu titipkan Satria ke orang lain. Dan kamu, dibayar berapa sama Elen sampai mau diperalat?"
Plakkkk...
"Mas udah gak bantu apa-apa, kenapa harus ngomong yang gak-gak. Aku cari duit halal, Mas! Kalau kamu gak mau kasih duit, mending diam atau pergi dari sini."
"Oh oke, jangan mentang-mentang kamu sekarang bisa cari duit terus bisa sombong ya, Elen. Ingat kamu tu gak lebih dari perempuan matre berkedok, sok minta nafkah halal tapi cari duit sendiri dengan cara haram." kesal Bram.
Rafael yang mendengarnya pun ikut kesal hingga hampir memukul Bram kalau tak tangan Elen menghalanginya.
"Nggak gitu konsepnya bro, kalau mau dihargai istri, perlakukan dia dengan baik. Ya sikap lu aja kayak njing masa minta dihargai , disayang-sayang, pengen dibandrol berapa hah?"
"Udah stoppp!!!" teriak Satria.
"Ayah sama Momy kalau berantem, aku teriak ke orang-orang!" ancam Satria. Keyra berusaha menenangkan bocah kecil itu. Namun, Bram justru membalas ancaman sang putra dengan tatapan sengit.
"Didik anak kamu tuh, biar tahu sopan santun!" ujar Bram seraya berlalu pergi.
"Breng sek kali laki itu," maki Rafael.
"Ada apa sayang, kenapa bisa berantem sama Ayah?" tanya Elen setelah dirasa Satria lebih tenang.
"Satria cuma mau Ayah ikut acara lomba Ayah dan anak, tapi Ayah menolak. Mom, apa memang Ayah gak sayang sama aku, salah aku apa mom?" tanya Satria.
"Enggak sayang, kamu nggak salah. Mama yang salah, Nak."
"Tapi kata Momy Key..."
Rafael merasa kasian terhadap Satria yang besar tanpa sosok figure ayah yang baik.
"Kalau kamu gak keberatan, bisa anggap aku Ayah kamu," ujar Rafael tiba-tiba ikut berjongkok mensejajarkan tubuh jangkungnya dengan Satria.
Elen dan Keyra seketika saling tatap tanpa suara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!