NovelToon NovelToon

Hareem of Queen Alessa

Pemujaan

Saat ini, seisi istana sedang sibuk menyiapkan pesta untuk beberapa hari ke depan. Hari kelahiran Puteri Alessa yang ke-18. Puteri Alessa begitu senang, apalagi sudah bisa dipastikan jika Pangeran Fabian akan datang. Karena Pangeran Fabian telah melakukan hal itu selama dua tahun terakhir. Puteri Alessa merindukan sang kekasih yang sulit untuk ditemui. Mereka hanya bisa berkirim surat karena jarak yang berjauhan. Sesekali Pangeran Fabian datang menghabiskan waktu bersama Puteri Alessa di taman istana di bawah pohon rindang.

“Darius, apa kau mendapat kabar dari kerajaan Prussia?” tanya Puteri Alessa. Dia sedang membuka gulungan kertas yang terbuat dari pohon papyrus.

“Maksud Anda kerajaan Pangeran Fabian?” sahut Darius.

“Tentu saja, siapa lagi?” kekeh Puteri Alessa.

“Hm… seingat hamba, tidak ada Yang mulia,” jawab Darius.

Puteri Alessa tampak menarik napas, gadis itu kecewa. Dia pun menyimpan gulungan ke sepuluh yang sudah di bacanya. Gadis itu sangat gemar membaca.

“Tidak biasanya, sudah beberapa bulan dia tidak mengabariku apa pun. Ada apa gerangan?”

Darius melihat kesedihan di mata sang Puteri. “Anda ingin hamba mengirimkan utusan untuk ke sana?” tawarnya.

“Hm? Sebenarnya sejak kemarin aku sudah memikirkan hal itu. Tapi, aku malu. Apa aku tidak terlihat agresif dengan mengirimkan utusan ke sana?” tanya Puteri Alessa dengan rona di pipinya. Gadis itu mondar-mandir karena salah tingkah.

“Pangeran Fabian Weasley adalah tunangan Anda, wajar jika Anda ingin mengetahui kedaaan beliau,” terang Darius.

“Benarkah?” raut wajah Puteri Alessa berbinar. Sungguh gadis yang sangat polos dan lugu.

Darius mengangguk. “Ya, yang Mulia!”

“Kalau begitu, kirimkan utusan sekarang juga!” perintahnya.

Darius membungkuk memberi hormat dan pergi dari sana. Puteri Alessa menatap punggung Darius dengan harapan besar, menantikan sebuah kabar baik sebelum pestanya berlangsung.

‘Aku menunggumu, Fabian…’ gumamnya dalam hati.

Pada zaman dahulu, tepatnya pada abad 4- 5 SM. Terdapat sebuah Kekaisaran di Negeri Yunani bernama Aegis. Kekaisaran yang makmur dan sejahtera. Hasil alam melimpah dengan peternakan di mana-mana. Tidak hanya itu, kekuatan militer kekaisaran Aegis sangat kuat, hingga banyak kerajaan yang tunduk di bawah Kekaisaran Aegis. Negeri yang di pimpin oleh Kaisar Basil itu pun terkenal dengan puterinya yang cantik jelita.

Alessa Melaina Aphrodite, gadis berusia 18 tahun yang sangat menawan itu menambatkan hatinya pada Pangeran Fabian Weasley yang merupakan pangeran kerajaan Eropa. Mereka sudah melakukan pertunangan. Dan kabarnya akan melangsungkan pernikahan di usia Puteri Alessa menginjak 20 tahun.

Puteri Alessa adalah anak dari Kaisar basil dengan permaisuri Rhea yang juga tidak kalah cantik. Kecantikan sang ibu benar-benar menurun pada puterinya. Sikap santun dan lembut itu mampu meluluhkan pria mana saja yang melihatnya. Tapi, tidak semua orang bisa melihat itu, karena Puteri Alessa selalu di kawal oleh pengawal pribadinya sekaligus jenderal perang di kekaisarannya.

***

“Puteri Alessa, kau mau ke mana?” tanya Permaisuri Rhea yang merupakan ibundanya. Wanita paruh baya namun, masih cantik itu memasuki kamar sang Puteri. Dilihatnya Puteri Alessa memakai jubah yang hanya di pakai ketika bepergian.

“Ibu!” Puteri Alessa menghampirinya dan memegang kedua tangan Permaisuri Rhea.

"Aku mau ke kuil Hephaestus,” ungkapnya.

“Kuil Hephaestus? Untuk apa?” tanya Permaisuri Rhea.

“Aku ingin berdo’a pada Dewa agar menjaga Fabian diperjalanan menuju ke sini.”

“Fabian akan datang?”

“Bukankah dia selalu datang di hari kelahiranku, Bu?”

Permaisuri sempat terdiam dan ketika melihat raut harapan di wajah puterinya dia langsung menjawab. “Ya, memang! Dia selalu datang!”

Puteri Alessa tersenyum. “Karena itu, aku ingin mendo’akannya. Aku tidak mau sesuatu yang buruk menimpanya. Mengingat sudah berbulan-bulan dia tidak ada kabar. Aku merindukannya, Bu…” terangnya.

“Oh, puteriku sayang. Sesampainya dia nanti. Ibu akan memintanya segera meminangmu,” Permaisuri Rhea mengusap kepala Puteri Alessa.

“Apa Ayah akan setuju? Karena aku belum 20 tahun…” cicitnya ragu.

“Semua demi dirimu, Ibu akan membujuknya,” ucap Permaisuri Rhea meyakinkan.

“Terima kasih, Ibu!” Puteri Alessa menghambur memeluk ibunda. Gadis itu sangat senang karena Ibundanya selalu mendukungnya.

Puteri Alessa pun pamit, dia ditemani dengan beberapa dayang menuju kuil Hephaestus. Wanita itu membawa sesembahan untuk sang Dewa agar mengabulkan do’anya. Di tengah istana dia berpapasan dengan selir Maria Eve bersama puteranya, Pangeran Yudas Klark.

“Panjang umur Yang Mulia Puteri Alessa,” ucap Selir Maria sambil membungkukkan tubuhnya. Sedangkan Pangeran Yudas hanya menundukkan kepala. Tubuhnya masih berdiri tegap. Puteri Alessa tidak mempermasalahkannya.

“Panjang umur Ibunda Maria Eve,” sahutnya sopan.

“Tuan Puteri hendak ke mana, membawa begitu banyak persembahan?” tanya Selir Maria.

Wanita itu memandang setiap dayang dan budak yang membawa buah, permata serta hewan-hewan ternak.

“Aku mau ke kuil Hephaestus, Ibu,” jawab Puteri Alessa.

“Oh, Puteri pasti mendo’akan agar Yang Mulia Kaisar sehat selalu,” jelas Selir Maria. Mendengar perkataan itu Puteri Alessa menggaruk ujung hidungnya.

“Hm… tidak juga,” ucapnya kikuk karena terasa disindir. “Aku ingin mendo’akan Pangeran Fabian,” pungkasnya.

“Ya ampun, maafkan Ibu yang sangat tidak peka ini. Tentu saja Pangeran Fabian pantas untuk dido’akan oleh Puteri Alessa,” kekehnya dan menyenggol tangan puteranya. “Benar ‘kan Yudas?”

“Ya, sangat pantas.” Sahutnya cepat. Pria itu menyeringai.

Puteri Alessa jadi tidak enak hati, seolah hanya memikirkan diri sendiri. “Aku juga akan mendo’akan Yang Mulia Kaisar, Ibunda dan Kakak Yudas.”

“Terima kasih Puteri Alessa, sebuah kehormatan mendapatkan do’a dari Anda,” Selir Maria membungkuk sungkan.

“Tidak masalah, karena kita keluarga.”

Selir Maria tersenyum manis lalu menepuk bahu Yudas. “Antarkan Puteri Alessa menuju kuil, jaga dia!” perintahnya pada Pangeran Yudas.

Pria itu merubah ekspresi wajahnya menjadi datar. Namun, kemudian mengangguk.

“Apakah tidak merepotkan? Lagi pula, aku tidak sendiri,” sergah Puteri Alessa.

“Tidak merepotkan sama sekali, ayo kita ke kuil sekarang!” ajak Yudas.

Puteri Alessa pun menurut. Dia berpamitan pada selir Maria dan pergi menuju kuil bersama Pangeran Yudas.

Proses pemujaan berjalan dengan lancar. Puteri Alessa berdo’a dengan sangat khitmat, memejamkan mata sambil berbisik memohon kepada Dewa Hephaestus agar Fabian selalu sehat dan bahagia serta mendoakan Kekaisaran Aegis agar terus berjaya sepanjang masa. Tidak lupa dia menyisipkan nama Kaisar Basil, para ibunda dan kakaknya, Yudas. Ketika hari mulai gelap, mereka pun memutuskan untuk kembali ke istana. Sepanjang perjalanan Yudas terus melihat ke arah Puteri Alessa.

“Kau yakin do’amu akan dikabulkan?” tanya Yudas mengalihkan perhatian Puteri Alessa.

“Maksudnya?”

“Kau berdo’a pada patung yang tidak bernyawa,” ledeknya.

Mata Puteri Alessa membulat. “Kakak! Hati-hati dengan ucapanmu. Kau tidak percaya dengan Dewa Hephaestus?”

“Tidak!”

“Kakak! Dewa Hephaestus yang menjaga kerajaan kita hingga saat ini!”

“Tapi, aku tidak mempercayainya. Bagaimana bisa sebuah patung mengabulkan begitu banyak permohonan, sedangkan dia hanya diam ditempat. Bahkan tidak bernafas,” lanjutnya dan pergi meninggalkan Puteri Alessa yang terperangah.

Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan orang yang tidak mempercayai Dewa. Dan orang itu adalah keluarganya sendiri.

Tbc.

Alessa Melaina Aprodite

Patah

Hari kelahiran Puteri Alessa pun tiba. Malam itu sebuah pesta meriah diadakan, berbagai hiburan dan jamuan mewah terdapat di sana. Semua orang bersuka cita. Namun, berbanding terbalik dengan Puteri Alessa. Gadis itu gusar karena sampai saat ini belum ada kabar mengenai Pangeran Fabian. Utusannya belum juga kembali dari perjalanan menuju kerajaan Prussia.

“Yang Mulia!”

Drap langkah cepat serta seruan seseorang berhasil menyadarkan Puteri Alessa dari lamunan. Ternyata yang memanggilnya adalah utusan kekaisaran yang ditugaskan untuk pergi ke kerajaan Prussia.

“Gondor, kenapa kau baru kembali?” tanya Darius. Pria itu menghampiri utusan itu.

“Maafkan hamba Tuan Darius, Yang Mulia Puteri,” ucapnya terengah-engah. Pria itu membungkuk berulang kali.

Puteri Alessa pun ikut mendekat. Gadis itu tersenyum ramah. “Tidak apa-apa Darius, yang penting dia sudah sampai. Di mana Pangeran Fabian? Aku tidak melihatnya?” dia mengedarkan pandangan mencari sosok tunangannya.

“Ada apa ini?” bersamaan itu datang pula Kaisar Basil di sana.

“Panjang umur Yang Mulia Kaisar,” seru Darius dan utusan tersebut.

“Panjang umur Ayahanda,” Puteri Alessa menyambut ayahnya.

Kaisar Basil mengangguk lalu kembali bertanya. “Kenapa kamu malah di sini Puteri Alessa? Pestanya sedang berlangsung di dalam.”

“Aku menunggu Pangeran Fabian, Ayah!” jawab Puteri Alessa.

“Pangeran Fabian telah datang?”

“Utusan yang aku kirim ke kerajaan Prussia baru saja sampai. Aku pikir dia datang bersamanya,” terang Puteri Alessa.

Utusan yang bernama Gordon itu menunduk dalam, pria itu tampak ketakutan.

“Maafkan hamba Tuan Puteri, Yang Mulia Kaisar…” ucapnya dengan suara bergetar.

“Ada apa Gordon?” Puteri Alessa menoleh.

“Pangeran Fabian tidak ikut bersama hamba,” tambah utusan itu.

“Maksudmu?” Puteri Alessa tampak keheranan.

Utusan itu pun bersujud di hadapan Puteri Alessa dan menengadahkan sebuah gulungan kertas, terlihat kayu di sudut kertas itu. symbol kerajaan Prussia yang tidak asing bagi Puteri Alessa.

Gadis itu menoleh pada Kaisar meminta persetujuan, setelah sang Kaisar mengangguk Puteri Alessa pun mengambil gulungan itu.

Puteri Alessa menarik nafas dalam, entah mengapa dia merasakan firasat buruk melihat respon yang diberikan utusannya. Terlebih lagi, bukannya menjawab pertanyaan, utusan itu malah memberikannya sebuah gulungan kertas yang berasal dari kerajaan Pangeran Fabian.

Dibukanya gulungan itu dengan perlahan, meski terdapat rasa penasaran yang membuncah. Namun, dia pun tidak menampik adanya rasa takut di hatinya. Puteri Alessa membaca setiap bait kata yang ada di sana. Seketika pula matanya melebar sempurna, bulir keringat menguar dari pori-pori keningnya. Tubuhnya seketika melemas hingga tanpa sadar dia terduduk di atas lantai.

“Tuan Puteri Alessa!” teriak Darius khawatir.

“Puteriku!” Kaisar Basil tidak kalah terkejut. Pria paruh baya itu segera menopang tubuh puterinya.

Puteri Alessa menitikkan air mata, dadanya sesak. “Ayah… ayah!” ucapnya lirih.

Kaisar yang melihat Puteri Alessa yang tiba-tita menangis kemudian merampas kertas itu dan membacanya. Berbanding terbalik dengan Puteri Alessa yang sedih, dia malah mengetatkan rahang karena amarah. Diremasnya kertas itu hingga tidak berbentuk.

“Kurang ajar!” maki Kaisar dengan suara meninggi. “DARIUS!”

“Hamba, Yang Mulia!” sahut Darius mantap.

“Siapkan tentara malam ini juga! Kita akan serang kerajaan Prussia. Aku pastikan mereka akan rata dengan tanah,” Kaisar menggeram.

Barusan dia membaca sebuah undangan pernikahan Pangeran Fabian dengan puteri lain. Pria itu memutuskan pertunangan yang telah terjalin, begitu saja. Bahkan hanya dengan sehelai kertas. Kaisar Basil merasa tidak dianggap.

“Jangan Ayah! Jangan…” Puteri Alessa menahan tangan ayahnya.

“Untuk apa kamu masih melindungi pria kurang ajar itu? Apa dia memandang remeh dirimu? Kamu adalah pewarisku! Apa dia tidak tahu itu?”

Puteri Alessa menggeleng dengan derai air mata. Hatinya berdarah-darah. Tapi, dia tidak mau sampai ada peperangan. “Aku… baik-baik saja Ayah…”

“Alessa-“

“Kumohon, kumohon… Ayah…” suara parau itu menyentuh hati sang Kaisar.

“Baik! Kita akan bahas ini lagi nanti. Sebaiknya kau beristirahat sekarang,” Kaisar Basil mengusap pipi puterinya yang basah. Dan meminta dayang mengantarkan sang Puteri ke kamarnya.

Kaisar Basil melihat Puteri Alessa yang berjalan menjauh, amarahnya masih belum mereda. Tapi, melihat Puterinya yang memohon membuatnya luluh juga.

“Darius…”

“Ya, Yang Mulia!” sahut Darius.

“Bubarkan pestanya, dan… panggil Tuan Cicero menemuiku besok!” perintah sang Kaisar.

“Baik, Yang Mulia!” Darius mengangguk dan membungkuk hormat melepas kepergian Kaisar Basil yang pergi dari sana.

Darius berfikir sejenak. Jika sampai Tuan Cicero dipanggil ke istana, pasti ada sesuatu hal yang amat penting mengenai kerajaan. Cicero Tullius, adalah seorang negarawan Yunani, pengacara, sarjana, dan penulis sekaligus seorang pejabat kehakiman yang sangat berkuasa saat ini.

Beliau juga berjasa menjaga kekaisaran Aegis dalam mempererat kerja sama dengan kerajaan lain di luar Yunani. Bisa di bilang dia merupakan duta besar pada zaman modern.

Di sisi lain ternyata ada Yudas yang sejak tadi mengamati Puteri Alessa bersama sang Kaisar. Pria itu berdiri tidak jauh dari keberadaan mereka. Bersembunyi di balik pohon pinus agar dia bisa mendengar semua yang dibicarakan antara Puteri Alessa dan Kaisar Basil. Manik hitam itu menajam, memancarkan kebencian. Yudas mengepalkan tangan sebelum akhirnya pergi dari sana setelah sang Kaisar meninggalkan tempat itu.

***

Puteri Alessa menangis semalaman hingga tertidur karena kelelahan. Bagaimana tidak, diputuskan oleh orang yang amat dia cintai hanya karena dia berbeda Ras keturunan dengan kerajaan sang Kekasih. Yang lebih menyakitkan adalah, perkataan yang tertulis di sana.

Sebuah tawaran untuknya menjadi selir saat Pangeran Fabian diangkat menjadi raja nanti. Karena itu lah Kaisal Basil murka, puterinya yang merupakan calon pewaris takhta akan dijadikan selir di kerajaan tetangga. Sebuah tawaran yang melecehkan harga dirinya.

Hingga matahari cukup tinggi, Puteri Alessa baru bangun dari tidurnya. Matanya yang sembab jelas terlihat di wajah cantiknya. Saat menatap diri di cermin, hanya bayang-bayang mantan tunangannya yang terlintas. Kebersamaan mereka selama dua tahun ini tidak cukup berarti untuk pria itu. Dan yang sangat disayangkan, Puteri Alessa sudah terlanjur jatuh cinta.

“Kau sangat kejam, Fabian…” bulir air mata itu kembali mengalir. Sungguh, hati Puteri Alessa begitu lemah. “Kau bilang mencintaiku, kau bilang aku adalah ratumu… semua hanya omong kosong!” Puteri Alessa melempar gelas emas yang ada di mejanya ke arah cermin hingga cermin itu pecah berhamburan.

PRANK!

“Yang Mulia Puteri Alessa!” para dayang memasuki kamar karena mendengar suara pecahan kaca. “Anda baik-baik saja?”

Puteri Alessa tidak menjawab. Dia mengusap wajahnya dan mengedikkan bahu.

“Bereskan pecahan itu,” perintahnya. Lalu dia keluar kamar tanpa berganti baju bahkan tanpa memakai alas kaki. Seorang dayang yang melihat itu segera mengejar sang Puteri.

“Yang Mulia, Anda belum memakai solea*,”

Puteri Alessa mengindahkannya dan terus berjalan tanpa arah. Puteri Alessa menyusuri koridor yang mengarah ke kamar Kaisar, dari kejauhan dia melihat kerumunan. Dahinya mengeryit, dan jantungnya berdebar seketika saat melihat Ibundanya, Permaisuri Rhea keluar dari sana dalam keadaan menangis.

“Ibunda!”

Permaisuri Rhea menoleh cepat. Ketika dia melihat wajah sang puteri, tangisnya pun pecah.

“Puteri Alessa…”

“Ibunda, ada apa?”

Darius mendekat dan segera meraih tubuh Permaisuri Rhea yang tiba-tiba tidak sadarkan diri. Puteri Alessa terkejut hingga memekik.

“IBU!”

Tbc.

*sebutan dari sandal rumah pada zaman yunani kuno.

Tragedi

“IBUNDA!”

Puteri Alessa berteriak karena terkejut melihat Ibundanya yang tidak sadarkan diri di depan matanya. Gadis itu bertanya-tanya, ada apa gerangan.

“Kenapa Ibunda pingsang? Katakan Darius!” gadis itu histeris dan mulai menangis lagi. Padahal matanya sudah menyipit karena sembab.

Darius diam dengan ekor matanya melirik ke arah kamar Kaisar. Puteri Alessa mengikuti arah pandang Darius, dia pun bangkit dan hendak memasuki kamar. Namun, tangannya dicekal oleh sang pengawal.

“Tuan Puteri,” Darius menggeleng. Tapi, justru itu membuat Puteri Alessa penasaran.

“Jika kau tidak bisa menjawab, aku akan mencari tahu sendiri!” Puteri Alessa menepis tangan Darius dan segera melangkah memasuki kamar.

Para dayang berusaha menahannya. Melihat hal itu Puteri Alessa semakin berontak. Dia tahu pasti bukan hal menyenangkan.

Dia memasuki kamar dan melihat Ayahandanya yang sedang tertidur pulas. Di sampingnya terdapat tabib dan para petinggi kekaisaran. Dia pun semakin keheranan.

“Ada apa ini?”

Mereka diam, Puteri Alessa pun geram.

“Apa kalian tuli? Aku bertanya! Ada apa kalian berkumpul di sini? Kalian tidak lihat kaisar sedang tidur?”

Mereka semua menunduk. Puteri Alessa pun memikirkan sesuatu. Dia mendekati ranjang dan melihat Kaisar yang tertidur sangat pulas, bahkan dia tidak melihat Ayahandanya menarik nafas. Puteri Alessa mencoba mengangkat tangannya yang gemetaran, menyentuh wajah Kaisar Basil yang terlihat pucat pasi.

Dingin

Kenapa begitu dingin?

Puteri Alessa pun menyingkap selimut dan menggenggam tangan Kaisar. Sama, dingin sekali. Puteri Alessa tercekat, menggeleng dengan air mata yang menyeruak deras.

“Tidak… tidak… ini tidak mungkin,” ucapnya lirih.

“Yang Mulia!” Darius datang dari luar kamar. Dia bisa melihat kesakitan di mata sang Puteri.

Puteri Alessa menutup mulutnya, kemudian menyeka pipinya yang basah. Dia mengusap tangan sang Kaisar.

“Ayahanda, bangun… apa kau tidak melihat jika matahari telah meninggi?” bisiknya. Gadis itu menyunggingkan senyum pahit. “Kumohon… bangunlah…” kini dia bersimpuh di sisi ranjang sambil mengecupi tangan Kaisar. “Ayah… hu… ayah…bangun… jangan tinggalkan aku…”

Darius menghampiri dan mendekap tubuh sang Puteri. Puteri Alessa meraung memanggil Ayahandanya yang sudah tidak bernyawa lagi. Sungguh tragedy yang memilukan. Ibarat sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Belum kering lukanya akibat diputuskan pertunangan, kini Puteri Alessa harus menerima kenyataan akan Ayahandanya yang telah tiada.

***

Kabar pertunangan yang dibatalkan serta kematian sang Kaisar menyebar ke penjuru kerajaan kecil di bawah kekuasaan Aegis, semua orang bersedih dan berkabung selama lebih dari 10 hari berturut-turut.

Puteri Alessa sendiri mengurung diri di kamar tanpa ingin dikunjungi, dunianya serasa runtuh dan seolah sudah tidak memiliki semangat untuk hidup. Kaisar Basil yang dikenalnya sebagai seorang Ayah yang sangat menyayangi dan selalu memanjakannya. Seseorang yang selalu mendukungnya selain Ibundanya, Permaisuri Rhea, kini telah tidur abadi di dalam catacombe*.

“Puteri Alessa,” panggil seseorang.

Orang itu memasuki kamar. Puteri Alessa menoleh sesaat untuk mengetahui siapa yang datang. Jika seorang dayang yang datang, sudah dipastikan akan diberi hukuman oleh Puteri Alessa. Dia sama sekali tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Tapi, terkecuali keluarganya.

Ternyata yang mendatanginya adalah selir Maria Eve dengan puteranya, Pangeran Yudas.

“Kemari Anakku,” Selir Eve merentangkan tangan menawarkan sebuah pelukan.

Puteri Alessa yang sudah tidak menangis akhirnya kembali mengingat kejadian naas itu. dia bangkit dari ranjangnya dan mendekap tubuh Selir Maria Eve.

Tubuh gadis itu bergetar dengan isak tertahan.

Selir Maria mengusap lembut punggung Puteri Alessa. “Menangis lah sebanyak yang kau mau,” hiburnya.

“Aku… aku rindu Ayahanda…”

“Aku dan Yudas merasakan hal yang sama. Puteri, kita sama-sama berduka. Tapi, sampai kapan kau mengurung diri?”

Selir Maria membawa wajah sembab Puteri Alessa ke arahnya hingga mereka bersitatap. “Keluar lah, hirup udara segar bersama Yudas. Dia mempunyai tempat yang cocok untuk melepas kesedihanmu,” sarannya.

“Tempat melepas kesedihan?” tanya Puteri Alessa.

“Ya, aku punya tempat yang menarik,” sahut Yudas.

Puteri Alessa melihat kedua anggota keluarganya yang tersenyum ramah, dan mulai memikirkan tawaran tersebut. Namun, saat Puteri Alessa akan menjawab  kehadiran seseorang menunda hal itu.

“Panjang umur Yang Mulia Puteri Alessa!” Permaisuri Rhea datang  dengan Tuan Cicero bersamanya.

Selir Maria Eve dengan Pangeran Yudas pun memberikan hormat pada sang Permaisuri.

“Panjang umur Permaisuri Rhea,” ucap mereka bersamaan.

Kali ini Pangeran Yudas membungkukkan badan. Puteri Alessa mengerutkan kening melihat itu.

Permaisuri Rhea hanya tersenyum membalas sapaan Selir Maria dan Yudas. Wanita itu pun berkata dengan serius pada puterinya.

“Puteri Alessa, ada hal yang sangat mendesak yang harus kamu lakukan saat ini!”

“Apa itu Ibunda?”

Permaisuri Rhea menoleh pada Tuan Cicero. Pria tua itu pun mengambil alih.

“Kita bicarakan ini aula sidang!”

“Ruang sidang? Memangnya ada apa Tuan Cicero?” Selir Maria manyahut.

“Anda akan tahu saat kita di sana,” jawab Tuan Cicero. Sikap pria tua itu tidak luput dari perhatian Pangeran Yudas.

“Ayo Puteri Alessa, semua pejabat telah menunggu kehadiranmu di sana,” ajak Permaisuri Rhea.

Puteri Alessa yang masih kebingungan hanya bisa mengikuti Ibunda yang menuntunnya menuju aula pengadilan.

***

“Dengan wasiat dari mendiang Kaisar Basil, serta melihat silsilah keturunan terdekat dari Yang Mulia maka tahkta Kaisar selanjutnya akan diberikan kepada Puteri Alessa Melaina Aphrodite!” seru Tuan Cicero selaku hakim kekaisaran Aegis.

Keputusan yang dilakukan secara mendadak dan terkesan tergesa-gesa itu tentu saja mengejutkan berbagai pihak, salah satunya Selir Maria Eve dengan Pangeran Yudas Klark.

“AKU MENOLAK!” teriak Yudas saat itu juga. Suaranya menggelegar memenuhi aula persidangan.

“Pangeran Yudas?” Tuan Cicero mengeryit dan melihat Pangeran Yudas menuruni kursi peserta sidang.

Pria muda itu tersenyum ramah setelah berdiri di hadapan mimbar sang hakim.

“Maaf menyela keputusanmu, Tuan Cicero… dengan lantang aku menyatakan keberatan, karena apa?” Yudas merubah mimik wajahnya menjadi menyedihkan dan melemparkan pandangan pada Puteri Alessa. “Aku kasihan dengan adik kesayanganku, harus mengemban beban yang berat disaat tubuh Ayahanda kami masih berupa daging segar. Kau mengerti maksudku ‘kan?”

“Maafkan saya Pangeran Yudas, semua demi kebaikan kekaisaran. Puteri Alessa harus naik takhta demi mengisi kekosongan kekuasaan. Terlepas dia bersedia atau tidak, terlepas dia senang atau tidak. Ini sebuah ketetapan yang mutlak!”  tegas Tuan Cicero.

“Bagaimana bisa Tuan Cicero begitu tidak memiliki hati?” Yudas menatap tajam Tuan Cicero, dia mendesis.

Puteri Alessa merasa akan ada perseteruan jika dibiarkan terus menerus. “Kakak, aku tidak apa-apa. Terima kasih atas perhatianmu yang sangat besar untukku. Aku bersedia menerima takhta itu,” ucapnya.

“Puteri Alessa…” Yudas menoleh dan sedikit terkejut.

“Kau bersedia, puteriku?” tanya Permaisuri Rhea.

Puteri Alessa mengangguk. Tuan Cicero pun tersenyum lega. Yudas terdiam, dia menunduk sesaat dan menengadahkan wajah. Dia menatap Puteri Alessa dan membungkuk hormat.

“Panjang umur Yang Mulia Kaisar,” ucapnya.

Selir Maria mengatupkan bibirnya dan pergi dari aula tersebut.

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!