Aku bergegas masuk ke dalam rumah, saat tak sengaja aku mendengar suara kegaduhan dari arah luar, dan pemandangan pertama yang aku lihat saat aku membuka pintu adalah, rumah yang nampak seperti kapal pecah. Pecahan beling berserakan dilantai, serta barang-barang yang nampak berjatuhan, tidak terletak di tempatnya, dan aku tahu siapa pelaku yang membuat semua isi rumah menjadi berantakan, Ayah.
Sudah beberapa hari ini, aku melihat Ayah bersikap berbeda, dia jadi sering marah dan mengamuk, itu semua disinyalir karena perusahaan Ayah yang kolabs, membuatnya terlilit hutang demi untuk menyelamatkan perusahaan yang sudah dia bangun dari nol. Tapi, hasilnya nihil, perusahaan tetap tidak membaik tapi Ayah malah memiliki hutang yang menumpuk, belum lagi karyawan yang menuntut gaji mereka.
Aku melangkahkan kaki dengan perlahan, dan ku ayunkan menuju kamar ku. Tapi, saat aku melintasi ruang keluarga, aku melihat pemandangan yang aneh, ku lihat Ayah tengah berlutut didepan kakak ku, dia memohon dengan sangat dan aku belum tahu apa yang membuat Ayah sampai melakukan itu.
“Ayah mohon Gita, tolong bantu Ayah, hanya ini cara satu-satunya agar kita bisa keluar dari masalah ini, apa kamu mau melihat Ayah di penjara?”
Aku langsung terkejut, tak tega rasanya membayangkan Ayah yang selama ini sudah menjadi tulang punggung keluarga masuk ke penjara, tapi aku masih bingung, Ayah meminta apa dari kak Gita, putri sulung Ayah ku, dan saudari ku tapi kami beda Ibu.
“Kenapa harus aku?” Gita bersedekap dada dan menatap Agam dengan berani, “Ayah sudah berhasil menyingkirkan Bunda, dan sekarang Ayah juga ingin menyingkirkan aku? dengan menikahkan aku dengan pria asing? Dan menjadikan aku penebus hutang?” Gita menatap Agam dengan memicing.
“Dan apa Ayah bilang tadi? Demi keluarga? Kalian akan hidup tenang disini menikmati hasil pengorbanan ku, sedangkan aku?” Gita nampak tidak percaya dengan permintaan Ayahnya, yang meminta Gita menikah dengan pria yang sama sekali tidak Gita sukai, “aku tidak mau!” tolak Gita mentah-mentah.
“Kalian semua sudah menyakiti aku! gara-gara kalian Bunda ku meninggal!” Gita nampak histeris, “kenapa Ayah tidak meminta dia yang menikah?!” tunjuk Gita kearah ku membuat aku tersentak karena kaget, Gita melemparkannya padaku? Beginikah caranya menyelamatkan diri? Dengan menjadikan aku korbannya?
Aku hendak menjawab ucapan kak Gita, tapi tangan Ibu yang langsung memegang bahuku, membuat aku terdiam.
“Ibu setuju Yah, kalau Anyelir yang menikah,” ucap Ibu tanpa menanyakan dahulu padaku, membuat aku menatap ibu tidak percaya. Ini kan Ibu ku? Wanita yang melahirkan aku? aku sama sekali tidak menyangka kalau Ibu akan menyerahkan aku tanpa meminta persetujuan ku lebih dulu.
Dapat aku lihat senyum penuh kemenangan kak Gita, yang seolah menertawakan nasib ku selanjutnya, sudah lama aku tahu kalau kak Gita tak pernah menyukai ku dan Ibu ku, itu semua karena ibuku adalah wanita simpanan ayah, mereka lebih dulu menikah secara siri dibelakang Ibunda kak Gita, dan lahirlah aku. Kemudian mereka menikah secara sah dimata hukum tepat 1 bulan setelah kepergian Ibunda kak Gita.
Jika aku diposisi kak Gita, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama, jadi aku tidak menyalahkannya karena dia membenciku. Tapi, aku masih tidak habis pikir dengan pemikiran Ibu ku sendiri, aku tahu dia merasa bersalah kepada kak Gita, sampai ibu melakukan segala cara untuk bisa mengambil hati putri sambungnya itu, tapi tidak dengan mengorbankan aku juga kan?
“Bu …” aku menatap ibuku protes.
“Ibu mohon Anyelir, kali ini saja kamu berkorban demi keluarga," mata ibu menatap ku dengan memohon.
Berkorban? Salah, lebih tepatnya aku berkorban demi menyelamatkan suami ibu dan putri sambung ibu. Aku menatap nanar ibuku, yang masih bersikukuh meminta ku menikah dengan pria asing menggantikan kak Gita.
“Sudah lah Rose, tidak akan ada yang mau membantu ku, biarkan saja kita semua hancur,” perkataan Ayah Agam
seolah tertuju padaku, padahal putrinya bukan hanya aku, tapi ada kak Gita juga.
“Baiklah, aku bersedia,” dengan raut wajah datar, aku menerima permintaan kedua orangtua ku.
“Benarkah Nak?” ibu ku seolah tidak percaya dengan jawaban yang aku berikan.
“Ini kan yang ibu mau, sekarang terserah kalian, aku sudah memberikan jawabannya,” ku ayunkan kaki meninggalkan kedua orangtua ku yang tersenyum lega, karena sebentar lagi mereka akan keluar dari semua kesusahan ini.
Sesampainya di kamar, ku lempar tasku kesembarang arah, rasanya aku ingin berteriak sejadi-jadinya. Aku tahu, ibu dan ayah sudah salah karena diam-diam mereka menikah siri dibelakang Bunda kak Gita, sampai kak Gita sangat membenci ayah dan juga ibu, bahkan bukan sampai disitu saja, aku juga turut menjadi pelampiasan amarah kak Gita, karena aku lahir dari rahim wanita yang sudah merebut ayah kak Gita.
Selama ini ibu sudah terus mencoba untuk mengambil hati kak Gita, dan berharap kak Gita mau menerima ibu, bahkan sampai-sampai ibu lebih mementingkan kak Gita dan mengutamakan semua hal tentang kak Gita ketimbang aku, putri kandungnya sendiri. Aku tidak masalah jika ibuku menyayangi kak Gita, hanya saja aku ingin ibu bersikap adil juga pada diriku, tapi nyatanya ibu seolah mencari tempat aman sendiri.
Saat aku tengah melamun, kudengar suara ketukan dipintu kamar ku yang memang tidak ku kunci sebelumnya, dan tidak lama aku mendengar suara ibu yang meminta izin untuk masuk. Susah payah aku mengatur nafas ku, berusaha menekan rasa emosional ku, perlahan aku melangkah kearah pintu. Aku melihat senyum ibu yang jarang ku lihat semenjak kami pindah ke rumah ini, bukan karena ibu tak pernah tersenyum bahagia, hanya saja ibu tak lagi pernah tersenyum kearah ku lagi.
“Ada apa Bu?” dengan malas aku bertanya, aku masih bersabar dan bertanya dengan nada sesopan mungkin.
“Boleh Ibu masuk?” aku menggeser tubuhku dari pintu, supaya ibu bisa masuk kedalam kamar ku, dan aku pun menutup kembali pintu kamarku.
“Ibu tahu, kamu pasti sangat marah dan kecewa dengan sikap ibu, tapi …”
“Apa pun itu, aku tidak mau mendengar pembelaan Ibu,” katakan saja aku kurang ajar karena sudah menyela perkataan ibuku yang ingin membela diri, tapi aku juga ingin berontak, aku ingin mereka tahu perasaan ku.
“Anyelir, dengarkan Ibu Nak, selama ini Ibu merasa bersalah pada Gita, karena kesalahan Ibu. Dan Ibu tidak tega kalau dia harus menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai, selama ini dia sudah menderita karena kesalahan Ibu dan Ayah, ditambah lagi dia harus kehilangan ibu kandungnya. Ibu ingin memberikan kasih sayang untuk Gita, Ibu harap kamu bisa mengerti Nak,” ujar Ibu seraya menitikkan air matanya.
Aku seolah tak mengenal ibuku, aku seolah menjadi anak tiri di rumah ini, kenapa ibu begitu perduli dengan perasaan kak Gita? Tapi ibu sama sekali tidak pernah perduli dengan perasaan ku, putri kandungnya sendiri.
“Itu semua kesalahan Ibu dan Ayah, tapi kenapa harus aku yang menanggung Bu?” bulir bening yang sedari tadi kutahan kini keluar dari sudut mataku.
“Karena kamu putri Ibu ..” dengan entengnya ibu menjawab demikian, tidak ada kata maaf sedikitpun yang terucap dari bibirnya, membuat aku seolah merasa bahwa ibuku tak pernah memikirkan perasaan ku selama ini.
“Aku tidak pernah meminta dilahirkan dari rahim ibu!” seru ku, kekecewaan yang mendalam membuat aku spontan bernada kasar pada ibuku, rasanya dadaku terlalu sesak untuk menahan perasaan ini. Aku melihat tatapan nanar dari ibu, dia melayangkan tangannya pada ku dan sepersekian detik selanjutnya, tangan itu
sudah mendarat di pipiku.
Aku tidak menyangka, ibu sudah tega bermain tangan pada ku, tatapan kekecewaan kulemparkan padanya, dan tidak ada raut wajah penyesalan yang ibu ku tunjukkan, dia seolah sudah merasa benar telah menamparku.
“Jangan kurang ajar kamu Anyelir!” seru Ibu padaku.
“Lalu aku harus diam saja? aku tahu, ibu tidak lagi membutuhkan aku, yang ibu inginkan hanya kak Gita!” seru ku, panas dan nyeri di pipi ini tidak sebanding dengan panas dan perih di hati ku, perasaan kecewa yang aku pendam bertahun-tahun seolah sudah tidak mampu lagi ku bendung, aku ingin memuntahkan semuanya, aku ingin mengeluarkan semuanya, agar beban dihatiku bisa sedikit berkurang. Tapi, aku tak pernah bisa mendapatkan kesempatan itu, sekali aku menjawab perkataan ibu, maka aku akan dianggap durhaka olehnya.
Tidak bolehkah aku jujur tentang perasaan yang aku pendam selama ini?
“Ibu tenang saja, karena sebentar lagi aku akan keluar dari rumah ini, dan ibu akan kehilangann anak perempuan ibu, dan ibu tenang saja, masih ada kak Gita kan? hanya kak Gita yang ibu inginkan,” aku membanting pintu kamarku dengan keras, dan aku pergi meninggalkan ibuku, aku butuh ketenangan dan aku butuh waktu.
Ketika aku melangkah pergi, aku mendengar suara ibu yang meminta ku kembali, dia terus berteriak tapi aku mengabaikannya, aku juga mendengar kalau nanti malam aku sudah harus berada di rumah karena calon suamiku akan datang. Aku masih tidak menyangka, setelah apa yang aku katakana pada ibu, dia masih terus memikirkan pernikahan ini, pernikahan yang mengorbankan aku menjadi pelunas hutang.
Aku masih terduduk di tepi danau, disini memang sudah menjadi tempat andalanku saat tengah dirundung masalah yang menumpuk seperti sekarang ini, sekelebat bayangan ibu menamparku membuat aku kembali menitikkan air mata, entah kenapa belakangan ini aku menjadi cengeng membuat aku kesal pada diriku sendiri.
“Apa ini memang akhir dari hidupku? Bagaimana dengan perjalanan cintaku dengan Arman?” iya aku memang sudah menjalin hubungan beberapa bulan ini dengan pria bernama Arman, seorang mahasiswa kedokteran. Aku berpikir, mungkin aku harus memberitahukan hal ini pada Arman sekarang juga, dan mungkin Arman bisa membantuku.
Kulajukan mobil ku menuju apartment kekasihku, aku sering kesana bersama teman-teman yang lain, karena memang aku jarang sekali menghabiskan waktu berdua, kalaupun iya mungkin hanya sekedar nonton bioskop. Hubungan aku dan Arman biasa saja, karena kami tidak pernah melakukan hubungan diluar batas, bahkan first kiss ku pun masih terjaga dengan baik.
Kini aku melangkah dengan pasti menuju unit apartment Arman, saat sudah didepan pintu aku langsung saja memasukkan kode keamanan yaitu tanggal lahir Arman, pintu terbuka dan aku pun masuk. Tapi, manataku
menyipit, kala aku melihat pakaian berserakan, dan yang lebih anehnya itu adalah pakaian wanita.
‘Aku seperti mengenal pakaian ini?’ batinku, tapi aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, tidak mungkin dia, karena pakaian seperti ini tentu saja banyak diluaran. Tapi ini milik siapa?
Aku mencoba sekuat tenaga terus berpikir positif,ku raih gagang pintu saat kamar Arman, karena samar-samar aku mendengar suara-suara aneh dari dalam. Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang kulihat sekarang. Arman tengah bercumbu mesra dengan seorang wanita yang sangat aku kenal, kak Gita.
Aku tidak tahan lagi, aku pergi meninggalkan mereka berdua dengan penuh luka. Aku tidak menyangka Arman, lelaki yang aku kenal sebagai lelaki baik-baik tega mengkhianati aku, apalagi dengan kakak ku Gita. Apa tidak puas kah Gita membuat aku harus menggantikannya menikah dengan pria asing? Kini dia merebut Arman, sejak kapan hubungan mereka terjalin? Semua pertanyaan itu membuat aku semakin pusing.
Aku memutuskan pulang ke rumah, dan saat aku masuk keadaan rumah sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku melangkah menuju kamarku, dan aku mendengar suara ibu yang tengah mencari kak Gita. Aku tersenyum masam, kala aku tahu justru ibuku lebih mengkhawatirkan kak Gita disbanding aku. aku kembali melangkah menuju kamar ku, seolah tak mau tahu dengan mereka.
Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu ku rapat-rapat, ku ambil salah satu foto, dimana itu adalah fotoku dan Arman yang diambil ketika kami dinner pertama kali, kuhancurkan foto itu sehancur-hancur nya seperti hatiku yang sudah dia patahkan sepatah-patahnya. Rasanya aku masih tidak menyangka, kalau Arman tega berkhianat dari ku, bahkan wanita itu adalah kak Gita, kakak tiri ku sendiri. Kak Gita bukan hanya menghancurkan masa depanku, tapi juga perasaannku, aku tidak tahu lagi harus bercerita dengan siapa, ibu ku sendiri pastinya akan jauh lebih membela kak Gita, dia tidak akan ambil pusing tentang urusan ku tentunya.
Malam hari, aku sudah bersiap diri, karena malam ini aku akan bertemu dengan calon suamiku, saat aku tengah sibuk membenahi make up ku, pintu kamar terbuka, dan aku pikir itu Ibu yang ingin memastikan bahwa aku tidak kabur.
“Wah lihat, ada yang sedang bersemangat bertemu calon suaminya,” dari suaranya saja aku sudah tahu siapa dia, iya dia adalah kak Gita. Dia tersenyum puas padaku, tidak ada rasa bersalah sama sekali.
“Kalau ka Gita cuman mau mengejekku sebaiknya kakak pergi,” usir ku, aku tidak mau lagi berbasa-basi dengannya.
“Oh sudah berani sekarang?” kak Gita semakin melangkah maju, dia membawa segelas jus ditangannya, dan aku tahu apa yang akan dia lakukan. Sebelum dia berbuat hal jahat padaku, aku lebih dulu menyenggol gelas kak Gita hingga mengenai dressnya.
“Loe!!” kak Gita nampak sekali menahan amarahnya.
“Anyelir!!” suara nyaring ibu terdengar, dan aku sudah tahu apa yang sebentar lagi terjadi.
“Kalau Ibu mau memarahi aku, maka aku tidak akan mau menemui calon suamiku,” ujar ku mengancam, hari ini mood ku sudah sangat buruk, dan aku tidak mau lagi kalau sampai detik-detik penting ini mood ku kembali di buat hancur, jadi jalan satu-satunya adalah ancaman.
Ternyata ancaman yang aku berikan pada Ibu benar-benar manjur, ibu nampak menghela nafasnya dan mencoba mengontrol emosinya, ingin sekali aku tertawa dihapadapan kak Gita, kalau kali ini rencanya membuat Ibu marah gagal.
“Ayo sayang, ibu bantu kamu membersihkan dress, kamu mau dinner kan sama pacar kamu,” ucap Ibu dengan halus, dia membawa kak Gita keluar dari kamarku, membuat aku bernafas lega.
“Eh tapi tunggu,” aku teringat sesuatu, 'tadi ibu bilang kak Gita mau dinner kan? sama Arman?' aku bertanya dalam hati, tapi lagi-lagi aku menggelengkan kepala, karena aku tidak mau terus memikirkan pria itu.
Malam ini kami semua sudah duduk ditempat masing-masing, saat aku keluar dari kamar karena dipanggil oleh Ibu, aku melihat dua orang lelaki asing, dan salah satunya tengah bercengkrama dengan
Ayah.
‘Yang mana calon suamiku?’ batin ku. Kemudian aku diajak duduk oleh Ayah.
“Ini wanita yang akan menikah dengan ku?” tanya seorang pria yang tadi tengah berbincang dengan Ayah.
Dari cara bicaranya, pria itu terlihat angkuh dan sombong, aku tidak menyangka akan menikah dengan lelaki sepertinya.
“Benar tuan, namayan Anyelir,” dengan sopan Ayah
menjawab pertanyaan lelaki itu, yang kutafsir berusia 26 tahu, bertubuh tegap dan tinggi.
“Apa kelebihannya sampai kau menawarkan dia sebagai jaminan hutang mu?” kata-kata lelaki itu sungguh menyinggung perasaan ku, apa katanya? Aku penebus hutang? Ingin sekali aku melawan, tapi melihat bagaimana
Ayah yang berbicara dengan takut-takut kepada pria itu, aku yakin pria
dihadapanku ini bukanlah orang sembarangan.
“Eemmm, saya jamin tuan, putri saya ini akan sangat menurut kepada tuan dan tidak banyak bertingkah seperti yang tuan mau,” jawab Ayah meyakinkan. Aku merasa seperti barang dagangan yang tengah ditawarkan, dan malam ini orangtuaku sendiri yang menjatuhkan harga diriku.
“Baiklah, aku tidak mau bertele-tele, satu minggu lagi pernikahan akan segera digelar,” lelaki itu memutuskan secara sepihak, dan tentunya kedua orangtuaku hanya mengangguk patuh. Tapi, setelah mengatakan hal itu, dia langsung pergi begitu saja dengan lelaki yang ditengarai adalah asisten pribadinya. Padahal, Ibu sudah memasak cukup banyak karena berpikir mungkin akan makan malam bersama.
Aku hendak melangkah meninggalkan kedua orangtuaku, karena aku merasa tidak ada lagi yang akan kami bicarakan. Semuanya sudah sangat jelas, bahwa satu minggu lagi aku akan angkat kaki dari rumah ini dan
menyandang status istri? Istri? Aku bahkan tidak pernah membayangkan kalau aku akan menikah diusia muda, yaitu 22 tahun.
“Anyelir,” suara lirih Ayah memanggilku, membuat ku memutar tubuh dan menjawab panggilannya.
“Ada apa Yah?” tanyaku dengan lembut.
“Bisa kita bicara Nak?” dari nada suaranya, sangat nampak kalau Ayah ingin berbicara tentang pernikahanku nanti, akhirnya aku putuskan untuk kembali duduk berhadapan dengan Ayah, sedangkan Ibu sudah masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya.
“Ayah ingin bicara apa?” tukasku setelah aku duduk berhadapan dengan Ayah.
Nampak Ayah menghela napasnya berat, “Ayah tahu, mungkin kamu merasa marah dan kecewa dengan semua yang terjadi Nak, tapi Ayahpribadi juga ingin meminta maaf serta mengucapkan terimakasih atas pengorbanan
kamu untuk keluarga kita,” kata-kata Ayah terdengar tulus, hingga aku hanya mampu terdiam untuk mendengarkannya.
“Ayah akan terima kalau kamu akan membenci Ayah, itu wajar karena mungkin kamu belum siap dengan semua ini, tapi Ayah tidak punya pilihan lain Nak. Tuan Devan sudah banyak membantu Ayah, dan sekarang perusahaan Ayah benar-benar diambang kehancuran, dan tuan Devan adalah satu-satunya orang yang bisa membantu Ayah. Tapi, tuan Devan memberikan syarat, supaya Ayah memberikan jaminan, dan jaminannya adalah pernikahan,” aku sempat menutup mataku saat Ayah mencoba menjelaskan semuanya, entah kenapa ada gemuruh
yang bergejolak dalam dadaku, rupanya aku belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa pernikahan ini hanyalah penebus hutang.
“Sudahlah Yah, tidak perlu dilanjutkan … toh semua sudah terjadi,” pungkasku, aku tidak mau lagi mendengar penjelasan Ayah yang nantinya hanya akan membuat hatiku semakin pedih.
“Baiklah Nak,” Ayah pun mengangguk paham, nampaknya Ayah mulai mengerti perasaan ku kini, atau mungkin dia hanya ingin menjaga perasaan ku agar tidak merubah keputusan.
“Tapi apa ada yang kamu inginkan Nak?” tanya Ayah, aku pun terdiam sejenak, karena terlintas satu rencana diotak ku.
“Apa Ayah akan mengabulkannya?” aku mencoba memastikan.
“Tentu saja, apapun itu akan Ayah usahakan,” Ayah menjawab dengan sangat yakin.
“Baiklah,” akupun mengatakan dan menjelaskan semua keinginanku pada Ayah, tentu saja Ayah langsung mengangguk setuju.
^^^
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk pergi ke kampus, iya aku adalah seorang mahasiswi semester 5 sekarang, sedangkan kak Gita mahasisiwi semester 6 seangkatan dengan Arman. Lagi-lagi aku teringat
dengan lelaki yang sudah mengkhianati ku. Kuhembuskan napasku pelan, dan mengayunkan kaki keluar dari kamar untuk sarapan.
“Pagi Ayah …” kusapa Ayah yang tengah membaca Koran seraya menunggu kopinya.
“Pagi putri Ayah,” dengan lembut Ayah menjawab sapaanku, aku bisa melihat bagaimana kak Gita nampak menatapku aneh. Mungkin dia bingung, kenapa aku masih terlihat baik-baik saja, padahal semalam aku baru
saja bertemu dengan calon suamiku.
Aku nampak acuh dengan tatapan aneh dari kak Gita dan Ibu, aku langsung mengambil roti dan slai strawberry kesukaanku. Terlintas ide jahil diotaku yang akan menjadi pembuka sampai 7 hari kedepan.
“Ayah … tanganku pegal, tapi aku pengen makan roti,” aku merajuk manja pada Ayah, membuat kak Gita dan juga Ibu semakin merasa curiga, karena ini bukanlah sifatku.
“Rose, tolong siapkan roti selai Strawberry untuk Anyelir,” titah Ayah pada Ibu.
“Ayah, jangann perlakukan Anyelir begitu manja, sebentar lagi dia akan menjadi istri, dan seharusnya dia mulai belajar mandiri,” Ibu mencoba menasehati ku, tapi kupasang wajah sendu didepan Ayah.
“Rose, saat ini Anyelir masih putri kita, biarkan dia merasakan masa-masa lajangnya,” terdengar nada membela Ayah yang membuat kak Gita tak suka, dia sudah menatapku dengan memicing, tapi aku masih berusaha
cuek.
Akhirnya, mau tidak mau Ibu membuatkan aku roti yang aku minta, dengan tersenyum manis aku ucapkan terimakasih pada Ibu. Aku marasa senang karena Ibu kembali membuatkan aku sarapan, karena semenjak kami pindah di rumah ini, Ibu tidak lagi memperhatikan aku.
Aku selesia sarapan lebih dulu disbanding yang lain, “Yah, aku boleh nggak pakai mobil yang merah,” mobil itu adalah mobil milik kak Gita.
“Apa!? enggak!” kak Gita tentu langsung menolak dengan keras.
“Boleh,” tapi jawaban berbeda diberikan oleh Ayah, membuat kak Gita menatap Ayah tidak percaya.
“Ayah …” kak Gita nampak merajuk, tapi bukannya pembelaan yang kak Gita dapatkan, dia malah dinasehati Ayah panjang lebar. Ayah berkata kalau satu minggu lagi aku akan menikah, jadi semua orang di rumah ini harus bisa bersikap lebih baik kepadaku, bahkan kak Gita juga harus lebih banyak mengalah, kalau kak Gita tidak mau, maka Ayah mengancam kalau kak Gita lah yang akan menikah dengan pria bernama Devan.
Mendengar ancaman Ayah, tentu saja kak Gita tidak bisa berkutik sedikitpun, hal itu membuat aku tersenyum senang, karena sekarang aku bisa merasakan bagaimana rasanya diprioritaskan. Dan aku juga ingin menunjukkan, bagaimana rasanya ketika milik kita direbut dengan paksa, karena aku sangat tahu betul kalau kak Gita paling tidak suka jikalau miliknya dipakai oleh oranglain juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!