"Babe (sayang)!" Ray baru saja tiba di apartemen Amora. Dia tidak membutuhkan seseorang untuk membukakan pintu untuknya karena dia memiliki kunci.
Tidak ada sahutan sama sekali. Biasanya suara lembut Amora akan menjawab panggilannya.
Mungkin dia sedang mandi. Ray berkata dalam hati sambil melangkahkan kaki menuju kamar utama. Pria tampan itu membuka pintu kamar perlahan.
Ray sedikit terkejut mendapati tempat tidur yang masih rapi. Dia melihat ke sekeliling kamar. Semuanya berada di tempat semestinya. Seharusnya tidak seperti itu. Amora terkenal sangat berantakan. Artinya, Amora tidak berada di apartemen.
Dia tidak perlu repot-repot mengecek kamar mandi. Sudah pasti Amora tidak berada di sana. Ray meraih ponsel di saku kemejanya. Dia mengusap layar dan menghubungi Amora.
Anehnya, ponsel Amora tidak aktif. Ray mencoba berkali-kali. Hasilnya tetap sama. Pikiran Ray mulai berkecamuk. Baru beberapa menit yang lalu dia masih bisa menghubungi Amora. Sekarang, ponselnya tidak aktif.
Ray memilih keluar dari apartemen dan kembali ke mansion. Berada di apartemen semakin membuatnya dekat dengan pikiran negatif.
Pria tampan itu mengendarai mobil terbarunya meninggalkan kawasan apartemen. Kenyamanan Tesla model X membuat dia sedikit melupakan Amora.
Sesampainya di mansion, Ray segera menuju kamar utama. Dia ingin menyegarkan tubuh dan pikiran yang satu harian ini sangat menyita tenaga.
"Pak Ibra, tolong antarkan makan malam!" Ray sangat lelah untuk turun makan malam. Dia meminta kepala pelayan untuk mengantarkan makanan melalui sambungan interkom di kamar.
Pria tampan dengan perawakan setengah bule berjalan dengan gagah menuju kamar mandi. Dia melepas semua kain yang melekat di tubuhnya satu persatu. Berendam adalah pilihan terbaiknya saat ini.
"Nindy! Di mana ibumu?" tanya pak Ibra saat masuk ke dapur. Dia mencari Nora untuk memasak dan mengantar makanan ke kamar tuan mereka. Akan tetapi, Nora tidak berada di sana. Pak tua itu hanya melihat Nindy yang sedang sibuk dengan buku dan pulpen di tangannya.
Nindy langsung berhenti melakukan aktivitasnya saat pak Ibra masuk ke dapur. "Mama pulang sebentar pak. Dia mengantar makanan untuk ayah. Jadi, Nindy diminta mama untuk menunggu di dapur jika ada yang mencari."
"Kapan dia kembali?"
"Mama baru saja pergi, pak. Mungkin sekitar setengah jam lagi baru kembali," jawab Nindy ragu-ragu. Dari kecil hingga sekarang, gadis cantik dengan surai panjang kecokelatan itu selalu merasa kikuk di depan pak Ibra, yang merupakan kepala pelayan mansion. Padahal pak Ibra sangat baik. Hanya saja pembawaannya yang tegas dan kaku membuat Nindy merasa sedikit tidak nyaman.
Pak tua itu mengangkat tangan kanan dan mengurut pelan dagunya. "Tidak cukup waktu. Biar aku saja yang melakukannya." pak Ibra segera mengambil celemek dan mulai mengolah bahan-bahan untuk makan malam tuannya.
Nindy yang melihat pak Ibra sibuk mengolah makanan, menawarkan diri untuk membantunya. Namun, pak Ibra menolaknya dengan sopan. Bukannya dia tidak menghargai bantuan Nindy, hanya saja dia tidak terbiasa saat memasak ada orang lain yang membantunya.
Gadis cantik itu kembali duduk dan melihat kelincahan pak Ibra mengolah makanan. Pak Ibra sangat pantas menjadi kepala pelayan di mansion. Dia menguasai berbagai macam keahlian. Terutama memasak. Rasanya sangat nikmat. Karena pak Ibra membuat Nindy bercita-cita menjadi seorang chef.
Beberapa menit kemudian, makanan telah siap. Aromanya sangat menggiurkan. Mulut kecil dengan bibir merah muda itu sampai ternganga dibuatnya. Untung saja, cairan bening tidak keluar dari sudut bibirnya.
Saat pak Ibra melepas celemek, dia merasa sedikit mengambang. Dia mengatur napas dan berusaha menstabilkan tubuhnya. Setelah dirasa aman, dia melangkahkan kaki pelan. Namun, kali ini tubuhnya terhuyung.
Nindy yang sudah melihat keadaan pak Ibra dari tadi, siap siaga jika sesuatu terjadi pada pak tua itu. Benar saja dugaan Nindy. Baru mengatur napas dan berjalan selangkah. Tubuh yang tidak muda lagi itu terhuyung ke samping.
Dengan cekatan, Nindy menahan tubuh pak Ibra sehingga nampan yang dipegangnya tidak terjatuh. Gadis cantik itu mengambil alih nampan dan meletakkannya di atas meja. Setelah itu, dia membantu pak Ibra duduk.
"Bapak sakit?" Nindy menatap wajah pak Ibra yang terlihat pucat.
"Bapak tidak apa-apa. Bapak harus mengantar makanan untuk tuan." pak Ibra berusaha bangkit. Nindy menahan tubuh pak Ibra untuk tidak bergerak.
"Bapak jangan berdiri dulu. Nindy ambilkan bapak air putih hangat dulu ya."
Pak Ibra mengangguk. Mungkin dengan meminum air putih hangat, masuk anginnya bisa berangsur membaik.
"Pak, biar Nindy saja yang mengantar makanan tuan Ray. Bapak istirahat dulu di sini."
Pak Ibra menuruti ucapan Nindy. Keadaannya saat ini sedang tidak baik. Tuannya pasti ingin segera menyantap makan malam.
"Kamu tahu kan kamar tuan Ray?"
"Nindy tahu pak."
"Baiklah. Terima kasih sudah membantu bapak. Pelan-pelan saja membawa nampannya."
"Iya pak." Nindy mengambil nampan yang tadi diletakkan di atas meja. Dia melangkahkan kaki menuju kamar tuan Ray.
Gadis itu menapaki setiap anak tangga selangkah demi selangkah. Binar mata hitamnya yang indah tidak henti menatap lurus ke depan. Pintu kamar tuannya semakin terlihat membuat perasaan si gadis cantik semakin menggebu.
Nindy menaruh hati pada sang majikan sejak dia mulai mengenal cinta. Saat ini usianya baru menginjak tujuh belas tahun, dia sadar jika yang dia rasakan adalah cinta bukan rasa suka yang biasa saja.
Namun, Nindy sangat tahu diri. Perbedaan status mereka membuat Nindy menyimpan rapat rahasia hatinya. Ditambah lagi sang pangeran hati telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya.
Pintu kamar sedikit terbuka. Nindy mendorong pelan pintu dengan bahu kiri hingga terbuka lebar. Dia segera meletakkan nampan di atas meja dan langsung keluar saat itu juga. Dia tidak ingin berlama-lama berada di dalam kamar tuannya.
Nindy menutup pelan pintu kamar tanpa berbunyi. Baru selangkah dari pintu kamar tuannya, ponsel Nindy bergetar di saku celana nya. Gadis cantik itu mengusap layar untuk menjawab panggilan masuk dari sahabat baiknya.
Bunyi piring di lempar dari dalam kamar Ray membuat Nindy terkejut sampai tidak jadi menjawab panggilan masuk dari Jasmin. Dia bingung antara ingin masuk ke dalam kamar atau kembali ke dapur.
Nindy menunggu beberapa saat untuk meyakinkan diri bahwa seseorang di dalam sana baik-baik saja. Teriakan kencang Ray membuat Nindy tersadar bahwa si pemilik kamar dalam keadaan marah. Nindy langsung mengambil langkah seribu menuju ke dapur.
Beberapa menit setelah Nindy meletakkan nampan di atas meja, Ray keluar dari kamar mandi. Dia sempat melihat sosok tubuh Nindy yang keluar dari kamar. Saat itu, ponsel Ray berbunyi. Dia segera menjawab panggilan masuk dari Jose, tangan kanannya.
"Ya," jawab Ray.
"Tuan, pesawat jet yang dinaiki nona Amora mengalami kecelakaan. Status saat ini seluruh penumpang di dalam pesawat tewas." Jose memberi laporan dengan satu kali tarikan napas.
Ray melempar ponsel hingga terbanting di dinding. Dia melempar nampan hingga piring, mangkuk, gelas beserta isinya terbanting ke lantai. Merasa belum puas, Ray berteriak sekuat tenaga.
"AMORA!"
Hatinya sangat pilu mendapati kenyataan kekasih hatinya telah pergi meninggalkan dia untuk selamanya.
Berita kematian Amora Sanchez telah tersebar di berbagai media cetak, siaran televisi, dan media sosial. Seorang model terkenal yang saat ini sedang menaiki puncak karir tewas dalam kecelakaan pesawat jet. Tidak ada satu pun media yang luput dari berita kematian Amora.
Ray yang masih dalam keadaan berduka memilih mengurung diri di dalam kamar. Perasaan tidak nyaman yang dia rasakan kemarin tenyata benar terjadi.
Pria tampan itu mengenang kembali setiap kejadian yang telah dia alami selama menjalin kasih dengan Amora, dari pertama kali mereka bertemu hingga hari terakhir dan berjanji untuk mengukuhkan jalinan kasih mereka ke jenjang pernikahan.
Ray tahu masalah yang dihadapi oleh Amora cukup pelik. Tapi, dia tidak peduli dengan berita yang menyudutkan Amora. Ray paham akan profesi yang dijalani Amora.
Selain itu, Amora adalah seorang wanita baik-baik. Selain memiliki wajah yang cantik, tutur kata Amora sangat lembut dan sopan.
Tubuh indah Amora juga tak kalah menambah daya tarik bagi kaum Adam.
Ray membanting ponsel untuk yang kedua kalinya. Dia tanpa sengaja membuka pesan yang berisi ucapan belasungkawa atas kematian Amora. Dia tidak terima akan kematian Amora.
Nindy merasa perih saat melihat pangeran hatinya yang sedang dirundung kesedihan. Dari balik pintu, Nindy mencuri pandang pada Ray. Pria gagah dan tampan itu terbalut kesedihan yang mendalam.
"Kemari lah!" Suara maskulin Ray terdengar serak. Tubuh pria itu merosot ke lantai dengan memeluk kedua kakinya yang ditekuk.
Nindy melihat ke kanan dan ke kiri mencari seseorang yang dimaksud oleh Ray. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di sana.
"Apa harus ku ulangi lagi?"
Tanpa sadar, Nindy melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Aura kamar terasa gelap dan dingin. Cocok dengan suasana hati Ray. Nindy merendahkan tubuh hingga sejajar dengan Ray. Dia tidak tahu yang harus dilakukannya saat ini.
Ray langsung mendaratkan kepala di atas kedua kaki Nindy. Untung saja keseimbangan tubuh Nindy sangat baik. Dia bisa menahan bobot kepala Ray yang langsung menghantam. Nindy terduduk dengan posisi kepala Ray berada di pangkuannya.
Cukup lama mereka dalam keadaan diam hingga Nindy mendengar dengkuran halus. Gadis itu menatap wajah Ray. Dia hanya ingin memastikan bahwa pria pemilik hatinya benar tertidur.
Ray tidur di pangkuan Nindy hingga malam. Membuat tubuh gadis itu kaku. Selama Ray tidur di pangkuannya, Nindy tidak berani menatap lama wajah Ray. Kedua netra hitamnya berselancar ke sekeliling ruangan untuk mengalihkan perhatiannya.
Beberapa saat kemudian, Ray terbangun. Pria tampan itu dari kemarin tidak tidur semenjak mendapat kabar duka Amora. Ray mengerjapkan kedua mata. Dia menatap wajah Nindy yang menatap ke samping.
Sadar karena tertidur di pangkuan Nindy, dia segera bangun. "Maaf." Kata pertama yang keluar dari bibir maskulin Ray.
"Tidak apa tuan." Nindy terpaksa memalingkan wajah menatap Ray.
"Bukannya sudah ku bilang panggil saja Ray."
Nindy hanya diam tertunduk. Jika saja kau tahu aku mencintaimu. Apa mungkin kau akan tetap sebaik ini denganku? Nindy bermonolog di dalam hati.
Tuannya itu selain tampan juga baik hati. Dia tidak pernah membedakan status. Nindy yang statusnya sebagai anak salah seorang pelayan tidak luput dari perhatiannya. Karena itu Nindy tetap membatasi diri. Dia tidak ingin hubungan baik dengan Ray hancur hanya karena keegoisan dan keinginan hatinya.
"Aku permisi dulu." Kesemutan di kakinya sudah menghilang. Tidak ada alasan baginya untuk berlama-lama di dalam kamar berdua dengan seorang pria. Meskipun pria itu adalah majikannya sendiri.
"Terima kasih," ucap Ray tanpa menoleh ke belakang.
"Sama-sama."
Sejak saat itu, hubungan Ray dan Nindy semakin dekat. Ray membutuhkan Nindy saat dia ingin tidur. Entah mengapa setiap kali berada di dekat Nindy, pikiran dan tubuhnya terasa lebih rileks hingga membuatnya tertidur di pangkuan Nindy.
Dua bulan berlalu sejak kematian Amora. Ray telah kembali seperti semula. Dia melakukan aktivitas seperti biasa. Dilihat dari luar, pria itu sudah berhasil melanjutkan hidupnya. Dia juga telah membuka hati untuk menerima seorang tambatan hati.
Namun, sayang. Wanita itu bukanlah Nindy. Saat ini, Ray menjalin kasih dengan seorang wanita dari kalangan yang sama dengan Amora. Seorang model yang baru saja memasuki dunia hiburan, Mischa Aureli.
Gadis Indonesia asli dengan warna kulit kuning langsat. Rambut hitam sebahunya menambah keeksotisan wajah sang model. Baru satu Minggu penjajakan hubungan, Mischa sudah diberi kemudahan oleh Ray untuk keluar masuk perusahaannya.
"Sayang, aku ingin ke pulau Dewata." Mischa tidak ingin kehilangan kesempatan saat berduaan dengan Ray. Dia selalu bergelayut manja di pangkuan Ray. Tentu saja Ray tidak keberatan dengan kelakuan manja Mischa yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya.
Mischa yang menentukan sendiri tanggal dan lokasi mereka menjadi sepasang kekasih. Dia ingin menjadikan momen jadian mereka spesial dan Ray hanya bertugas menyetujui keinginan dia saja.
"Ups, sorry."
Suara seorang pria yang dikenal oleh Ray menghilang cepat bersamaan dengan pintu yang ditutup. Ray mengarahkan tangannya ke pinggang Mischa, menuntunnya untuk turun dari pangkuannya.
"Tunggu sebentar, ok! Dia teman lamaku."
Ray langsung melangkahkan kaki menuju pintu ruang kerjanya. Dia keluar ruangan dan mendapati Samuel masih berada di sana. Pria bule asli dengan warna mata hazel. Samuel tak kalah tampan dari Ray. Bedanya, Samuel produk original. Asli dari Eropa.
"Kapan kau datang?" Ray memeluk singkat Samuel.
"Tadi pagi. Sepertinya kalimatku tidak jadi aku ucapkan setelah melihat adegan tadi." goda Samuel.
Ray tertawa pelan. Dia mengerti yang dimaksud oleh sahabatnya itu.
"Well, aku tidak bisa berlama-lama. Ada meeting (rapat) yang harus aku hadiri. Aku ke sini untuk menyerahkan ini."
Samuel menyerahkan sebuah kertas putih dengan bentuk persegi panjang. Ray sedikit bingung melihat amplop yang kini berada di tangannya.
"Apa ini?"
"How do I know (bagaimana aku bisa tahu)?" ucap Samuel.
Ray tersenyum tipis. Dia tidak habis pikir di jaman modern dan canggih seperti ini masih ada yang menggunakan surat untuk komunikasi. Pak pos saja sudah tidak dia temui.
"Aku pergi dulu. Kapan-kapan kita nongkrong." Samuel meninggalkan Ray sambil menepuk pelan pundak kiri sahabatnya.
"Thanks."
Ray memasukkan surat ke dalam saku jas bagian dalam. Dia berniat membacanya nanti setelah pulang ke mansion.
Tiga jam kemudian, Ray sudah berada di dalam kamar. Tepat pukul delapan Nindy pasti datang sesuai perintahnya untuk menemaninya mengobrol sebentar hingga Ray tertidur barulah Nindy kembali ke kamarnya sendiri. Ray masih membutuhkan bantuan Nindy untuk membuatnya tertidur.
Ray sempat berpikir mungkin perbuatannya tanpa sadar telah menjadi sebuah kebiasaan. Tapi, malam ini Ray menunggu kedatangan Nindy bukan untuk mengantarnya tidur.
"Aku masuk ya." Kalimat yang selalu sama setiap kali Nindy akan memasuki kamar Ray.
Ray tidak ingin menjawabnya. Dia berusaha menahan amarah yang ingin melompat keluar dari mulutnya.
Nindy melangkahkan kaki indahnya masuk ke kamar perlahan. Ray menatap Nindy dengan netra cokelat yang menggelora penuh amarah. Seketika dia merasa benci melihat tingkah Nindy yang malu-malu.
Jarak yang tersisa di antara mereka sekitar dua meter. Ray bangkit dari sofa, dia tidak sabar dengan tingkah Nindy. Ray mencengkram kedua lengan kecil Nindy dan menciumnya kasar.
Nindy terkejut mendapat perlakuan kasar. Dia memang mencintai Ray. Tapi, bukan seperti ini yang dia harapkan. Nindy meronta berusaha melepaskan diri. Beruntung dia pernah mengikuti karate sewaktu duduk di bangku sekolah menengah.
Setidaknya masih ada yang tersisa dari ilmunya untuk membela diri. Nindy mendorong tubuh Ray sekuat tenaga. Saat tautan mereka terlepas, Nindy menampar wajah Ray.
Seringai yang terukir di sudut bibir Ray membuat Nindy ngeri. Dia berinisiatif melarikan diri. Insting Nindy mengatakan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik di antara mereka.
Ray menangkap tangan kiri Nindy. Membalik tubuh gadis itu dengan kasar dan membalas tamparan yang lebih keras.
"Kau tahu! Kau yang pantas mendapat ini!" geram Ray sambil menampar wajah Nindy untuk yang kedua kalinya.
Tubuh Nindy terpental saat mendapat tamparan kedua. Tamparan itu menyebabkan sudut bibirnya pecah hingga cairan kental berwarna merah menetes.
"A-pa salahku, Ray?"
"TUAN. Aku tuan mu!" Ray berteriak sekuat tenaga tepat di depan wajah Nindy.
Buliran bening menembus pertahanan kedua netra Nindy. Alirannya sangat deras tanpa suara.
"Simpan tangisan licik mu! Dasar wanita murahan!"
Kedua mata Nindy membulat saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Ray. Dia tidak terima dengan tuduhan yang dia sendiri bingung. Kesalahan apa yang sudah dia perbuat hingga membuat Ray murka.
Ray melempar sebuah gumpalan kertas putih. Nindy meraih gumpalan kertas dan membukanya perlahan dengan kedua tangan yang gemetar hebat. Setelah terbuka, Nindy merapikan kertas itu agar mudah terbaca. Dia membaca perlahan isi dari surat itu.
Babe,
Maafkan aku. Aku tidak bisa berpamitan padamu. Kau tahu sendiri, berita miring yang beredar saat ini membuatku pusing. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku mengambil cuti hingga berita itu menghilang dengan sendirinya.
Aku tahu, kita akan menikah. Berita miring tentangku akan menghilang dengan sendirinya dengan berita pernikahan kita. Tapi, ada hal lain yang membuatku harus berjauhan denganmu. Kau tahu, sangat sulit bagiku berjauhan denganmu karena cintaku padamu sangat besar.
Tapi, ini demi kebaikanmu. Nindy, anak pelayan di mansion mu mendatangiku di apartemen kemarin. Dia memintaku untuk menjauhi mu. Dia sangat mencintaimu. Dia tidak terima jika kita bersatu. Tentu saja aku berani melawannya. Akan tetapi, Nindy menggertak ku. Dia bilang, dia bisa saja memberi racun pada makananmu. Jadi, di antara kami tidak ada yang mendapatkan dirimu. Sangat konyol. Tapi, aku sangat takut. Aku takut kehilangan dirimu.
Di saat surat ini tiba di tanganmu, mungkin aku sudah siap untuk kembali ke pelukanmu.
Jangan rindukan aku, ok.
Love you, babe
Amora
"Ini tidak be--,"
"DIAM! Sekali murahan tetap saja murahan. Sama seperti ibumu." Wajah Ray merah padam. Dia menumpahkan seluruh energi untuk meluapkan amarah.
"Jika saja kau tidak pergi ke sana, Amora masih hidup. Semua salahmu! SEMUA SALAHMU! Kematian Amora karena mu!" Teriakan Ray terdengar hingga ke lantai bawah mansion. Beberapa maid yang kebetulan lewat atau berada di sana langsung menghambur ke dapur.
Mendengar teriakan dari tuan mereka membuat para maid takut. Belum pernah mereka mendengar tuan Ray murka seperti ini. Pasti suatu kesalahan fatal yang telah diperbuat membuat majikan mereka murka.
Ray berjalan ke arah interkom. Dia menekan tombol sebelum berbicara pada pak Ibra. "Usir pelayan Nora dan putrinya dari mansion. Putuskan semua biaya sekolah dan rumah sakit. Jangan beri mereka tempat di kota ini!"
Perintah Ray terdengar jelas oleh Nindy. Dia tidak terima dilimpahkan kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Akan tetapi, dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Ayah. Nindy teringat sosok ayah yang selama ini memberi kasih sayang meski Nindy bukan anak kandungnya. Selama ini biaya pengobatan berasal dari mansion Ray. Jika semua diputuskan apa yang harus dia lakukan untuk kesembuhan sang ayah.
Nindy berjalan dengan kedua lutut, memohon pada Ray untuk tidak memutuskan biaya ruang sakit. Tidak masalah jika dia tidak melanjutkan kuliah. Untuk makan, dia masih bisa bertahan. Tapi ayahnya tidak bisa bertahan jika tidak meminum obat dari rumah sakit. Belum lagi setiap satu Minggu sekali, ayahnya harus check up untuk melihat perkembangan sel kanker di tubuhnya.
Ray yang diselimuti amarah, dengan mudahnya menendang tubuh Nindy sebelum Nindy sempat menyentuh kakinya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotor mu!" Ray mencengkram wajah Nindy dengan tangan kanannya.
Dapat Nindy rasakan kemarahan Ray yang meluap dan kebencian di kedua netra cokelatnya.
"Enyah kau dari hadapanku!" Suara gigi yang bergesekan menahan amarah membuat Nindy ngeri mendengarnya.
Ray melepas cengkraman. Dia membalikkan tubuh membelakangi Nindy. Alasannya menyuruh Nindy segera pergi dari pandangan karena tidak ingin mengotori kamarnya dengan menghilangkan nyawa seseorang tanpa sengaja.
Nindy bangkit dari lantai kaku dan dingin. Nyeri dan pegal mulai terasa di bagian tubuhnya yang terluka. Dia berjalan terseok-seok menahan semua sakit yang seharusnya tidak didapatkannya.
Jejak air mata di wajah Nindy terlihat jelas. Wajah cantiknya kini sembab karena menahan tangis yang menyesakkan dadanya. Hidup sangat tidak adil. Aku tidak melakukan apa pun. Rahasia hatiku hanya aku sendiri yang tahu. Bagaimana mungkin Amora bisa mengetahui isi hatiku? Aku sudah menyembunyikannya dengan sangat baik. Nindy bermonolog dalam hati.
Setibanya di muka pintu kamar Ray. Pandangan mata Nindy kabur, lama kelamaan menghitam hingga tubuh itu ambruk ke lantai. Samuel yang sejak tadi memperhatikan Nindy berjalan keluar dari kamar Ray sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Dia menahan tubuh Nindy agar tidak menghantam lantai.
Sudah cukup dia mendapat perlakuan kejam dari Ray. Samuel meraih tubuh Nindy dan menggendongnya ala bridal. Dia menuruni anak tangga dan membawa Nindy masuk ke dalam mobilnya.
Samuel sempat berpesan pada pak Ibra agar tidak mengatakan pada Ray jika dia datang berkunjung. Kunjungan dadakan yang dia lakukan berakhir menonton pertunjukan yang tidak ingin dia tonton.
Tadinya dia ingin pergi saat melihat Ray menampar wajah Nindy yang kedua kalinya. Namun, entah mengapa kedua alat gerak bagian bawah Samuel tidak ingin beranjak dari sana.
Samuel tetap diam menunggu kejadian yang menurutnya sedikit berbahaya. Setidaknya dia bisa menghalangi Ray jika ingin bertindak lebih jauh pada Nindy.
Mobil Jeep keluaran terbaru perlahan keluar dari mansion Ray. Wrangler JL yang dikendarai Samuel melaju menembus kepadatan ibukota.
Dua jam kemudian, apartemen Samuel.
Nindy dapat merasakan nyeri dan pegal yang bercampur menjadi satu. Kepalanya terasa berat saat dia membuka mata. Indra pendengarnya menangkap dua orang yang sedang bercakap melalui sambungan ponsel. Nindy mengenal suara kedua orang itu.
"Sudah bangun?" tanya Samuel. "Ini." Samuel memberi segelas air putih hangat dan kompres untuk wajah Nindy.
"Terima kasih kak." Nindy mengompres pelan wajahnya yang masih terasa nyeri. "Nindy ada di mana kak?" Gadis cantik dengan surai panjang kecokelatan menatap ke sekeliling ruangan dengan binar netra yang bingung.
"Di apartemenku." Jawab Samuel singkat.
"Kok bisa kak?" Nindy sedikit batuk karena mendengar kalimat lugas Samuel.
"Aku kebetulan ada di sana."
Keheningan langsung terjadi setelah Samuel mengatakan kalimat itu. Nindy langsung tertunduk malu. Sedangkan Samuel menanggapinya biasa saja.
"Apa isi suratnya?" nada bicara Samuel terdengar serius dan menuntut penjelasan. Dia memang sempat mendengar kalimat yang dilontarkan saat Ray marah. Tapi, dia ingin mendengar sendiri dari mulut gadis yang sudah ditolongnya.
Nindy mengatur napas. Dai menimbang untuk mengatakan yang sebenarnya atau tidak pada Samuel. Dia khawatir jika Samuel berpikiran yang sama dengan Ray tentang dia.
Samuel tidak ingin mendesak Nindy. Dia menunggu Nindy berbicara dengan sabar. Gadis kecil yang duduk di depannya pasti perlu waktu untuk menceritakan kejadian buruk yang dialaminya tadi.
Beberapa saat kemudian, Nindy menarik napas dan menghembuskan pelan. Dia mulai bersuara, "Surat itu berisi tentang Nindy yang mendatangi Amora ke apartemennya. Dia mengatakan bahwa Nindy akan meracuni tuan Ray jika Amora tidak menjauh dari tuan Ray. Karena ... karena Nindy mencintai tuan Ray." Buliran bening kembali menyeruak keluar dari netra cokelat Nindy.
"Gila!" seru Samuel sambil berdiri.
"Ray percaya begitu saja dan melampiaskan semuanya padamu!" Samuel berjalan mondar-mandir sambil memegang kepala dengan sebelah tangan.
"Kakak tidak percaya Nindy melakukan itu?" sedikit harapan muncul di relung hati Nindy yang terdalam.
"Tentu saja aku tidak percaya. Kecuali di bagian kau mencintai Ray."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!