NovelToon NovelToon

TERJERAT CINTA DOKTER GANTENG

Kabar Buruk dari Kak Ranti

Hari ini aku sedikit malas mengerjakan pekerjaanku. Entah kenapa, hatiku merasa gelisah. Ya, aku jadi teringat Kakak perempuanku yang seminggu lalu menelfonku dengan suara yang sengau, putus putus, dan berakhir tidak jelas apa yang di katakannya.

Oh, ya. Perkenalkan, namaku Hana, aku umur 20 tahun bulan lalu. Aku bekerja di sebuah Warung Makan di Kota B. Sedangkan Kakak perempuanku, bernama Ranti, dia juga bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga di Kota T.

Selesai mencuci piring, aku duduk termenung. Sampai sampai orang yang mau membeli pun teriak.

" Mbak, Mbak, bungkus satu" Teriaknya..

Kurasakan tepukan di pundak ku, " Hana, ada yang beli" Kata bu Nani.

Aku terkesiap dan langsung berdiri, " Tengah hari bolong malah melamun " Ucapnya. Aku hanya nyengir kuda. Kulihat teman temanku yang lain sedang sibuk dengan kerjaan masing masing.

Setelah membungkus satu porsi nasi dengan minumnya es teh aku kembali duduk, punggungku tegang kepalaku sedikit pusing.

* I will always love you, kekasihku, dalam hidupku, hanya dirimu satu * Tiba tiba kantong celanaku bergetar, lebih tepatnya telepon genggamku. Dengan musik yang kupilih menjadi nada dering chat masuk, dan itu lagu favoritku.

Aku mengambil ponsel ku dan melihat siapa yang mengirim pesan kepadaku, di situ tertera nama Kakaku yang seminggu lalu mènelpon ku.

" Kak Ranti, " gumamku, nyaris tak terdengar. Aku membukanya dan deg... detak jantungku berdebar tidak karuan..

"[Hana, kakak, harus dirawat tapi menunggu keputusan besok]" Tulisnya.

"Emangnya sakit apa Kak?" Aku membalas chatnya setelah beberapa menit terdiam.

"Kurang tahu, belum ada keputusan sakit apa dari dokternya," Balasnya.

" Tolong temenin Kakak ya, soalnya takut lama di rawatnya," Lanjutnya.

"Tapi, aku kesana sama siapa Kak?"

"Naik bus saja, dek. Nanti ongkosnya di ganti " Balas kakakku lagi.

Bukan soal ongkosnya, tapi, aku tidak terbiasa pergi jauh-jauh, bahkan tidak mengerti harus naik bus jurusan mana. Aku orang rumahan yang tidak pernah bepergian kemana-mana, yang ku tahu hanya kebun dan sawah, karena memang orang tuaku seorang petani dan tidak pernah pergi kemana-mana, walaupun hanya sekedar berwisata, itu tidak pernah.

Aku menjadi gugup dan bingung, pesan dari kakakku tidak di balas lagi.

Malam harinya, aku putuskan untuk mengemas baju dan keperluan lainnya yang sekiranya di butuhkan ketika nanti di Rumah Sakit. Baju, handuk, perlengkapan mandi jg aku masukan ke dalam tas besar yang biasa aku pakai untuk pergi merantau.

"Kak, mau kemana? " Tiba tiba Indah mendekatiku. Oh ya, aku di sini tinggal bersama ketiga temanku, ada Indah, Maryani dan Jelita. Dengan mereka juga aku bekerja, dan ada satu lagi Ibu Nani yang menjadi Juru Masak.

"Oh, iya Dah, aku harus nemenin Kakakku yang di Kota T, dia harus di rawat," Air mataku luruh tak terbendung lagi, Intan juga ikut menangis.

"Sakit apa kak? " Tanya Indah.

"Kurang tahu, belum pasti, karena belum ada keputusan sakitnya apa," Jawabku sambil mengusap air mata yang terus keluar .

Entah kenapa, ada kesedihan yang mendalam dengan rencana kepergianku.

" Heii, kenapa, kok pada nangis, " Tanya Jelita.

" Siapa yang nangis? " Maryani menimpali dari kamar mandi.

Ketiga temanku berkumpul di depanku, mereka banyak bertanya dan aku hanya bisa menangis. Selesai berkemas, aku chat Majikanku, kebetulan rumahnya tidak jauh dan berada di atas kamarku, lebih tepatnya kita satu rumah cuma beda lantai..

"[ Mpok, aku besok mau ke Kota J, aku harus menemani Kakakku, dia mau dirawat ]" Tulisku. Kemudian aku mengirimnya..

"[ Sakit apa Na?]" Balasnya.

" [ Kurang tau pasti Mpok, Kakakku sakit apa, tapi harus dirawat karena tidak bisa mengunyah makanan ] "

" [ Ya sudah, kesana sama siapa?]"

"[ Gak tau Mpok, besok di kabarin lagi sama Kakakku] "

Aku mematikan data ponselku, kurebahkan tubuh ini di atas kasur lantai yang sudah menipis, ada rasa nyaman juga lega. Seharian berjibaku di Warung yang sangat ramai, bahkan kami harus bangun dari pagi buta untuk bergantian mandi karena kamar mandi hanya ada satu untuk dipakai berempat.

Setelah shalat subuh kita berangkat untuk mempersiapkan penjualan, ada yng bersih bersih , ada yang cuci piring dan juga memasak, setiap hari pekerjaanku seperti itu. Karena terlalu ramai pengunjung, sering juga tidak kepegang semua dan akhirnya mereka menunggu lama.

Warung Makan, yang berada di pinggir sebuah Proyek besar, yang karyawannya lebih dari ratusan orang, membutuhkan Rumah Makan yang banyak. Di dalam Proyek juga terdapat Kantin, hanya saja kebanyakan orang lebih suka makan di Warung Luar Proyek, seperti halnya dengan Warung Mpok Erna, tempatku bekerja. Mereka berbondong bondong menghampiri warungnya ketika waktu makan tiba, bahkan hanya sekedar minum kopi atau juga es.

Warung di sini, bukan hanya punya Mpok Erna saja, tapi di sepanjang luar Proyek terdapat banyak Warung. Lebih tepatnya Warung di atas aliran pembuangan air yang terhubung ke Proyek, mereka membuat bangunan yang menyerupai Rumah Makan lengkap dengan dapur, kamar tidur juga kamar mandi.

"Dah, Indah..." Aku mengguncang lengan Indah untuk membangunkannya. Tepat pukul tiga lewat tiga puluh menit, aku sudah terbiasa untuk bangun, kemudian mandi. Tapi untuk sekarang, aku bangunin Indah terlebih dahulu, untuk aku nanti saja kalau teman temanku sudah pada berangkat.

Indah perlahan membuka mata dan menguceknya. " Jam berapa Kak? " Tanya Indah.

"Sudah jam setengah empat, Dah" Jawabku. Aku kembali merebahkan tubuhku setelah Indah ke Kamar Mandi.

Satu persatu temanku bergantian mandi dan di lanjutkan Shalat subuh ketika adzan tiba."Ka Hana gak masuk hari ini?" Tanya Maryani.

"Enggak Mar, nanti nunggu kabar dulu

." Jawabku. Aku menyambar handuk, kemudian berlalu ke kamar mandi.

Kurang lebih sepuluh menit aku mandi kemudian berwudhu." Kak, Kita berangkat dulu ya." Kata Indah.

"Iya, hati hati ya." Ucapku. Mereka kemudian memelukku, padahal aku masih mengenakan handuk dan masih basah oleh air wudhu.

"Ya sudah, hati-hati di jalan, ya, Na." Ucap Jelita. Jelita memang tidak pernah memanggil aku Kakak, mungkin usianya gk beda jauh dari aku, beda dengan Indah juga Maryani.

" Siap." Ucapku. Aku menutup pintu, setelah ke tiga temanku berangkat. Kesedihan kembali menghampiriku, aku harus berpisah bersama teman temanku. Selesai shalat subuh aku kembali merebahkan tubuhku dan memainkan ponselku sambil menunggu kabar dari Kakakku.

Selesai sarapan aku bingung mau ngapain, akhirnya aku menonton televisi. Tepat pukul delapan suara dering ponselku berbunyi, menandai kalau ada pesan masuk.

Benar saja, pesan dari Kakakku. " [Na, tidak jadi hari ini, masih belum ada keputusan dari dokternya] ". Isi pesan dari Kakakku membuatku menarik nafas dalam dalam, huffftt...

Sebenarnya aku tidak ingin pergi, karena aku tidak mengerti harus ngapain nantinya di sana. Tapi mau bagaimana lagi, hanya aku yang di harapkan, karena, Kakak perempuanku yang satu sudah berkeluarga dan punya anak sekolah, jadi tidak bisa untuk di tinggal.

Akhirnya aku menyusul teman temanku ke Warung. Dari pada berdiam diri di rumah. Hingga esoknya masih belum ada kabar, jadi aku memutuskan untuk tetap bekerja.

Tepat pukul sebelas siang, musik pesan masukku berbunyi. Dan, aku tak bisa menahan air mataku ketika membaca pesan itu...

Bersambung..

Pertama Kali Naik Bus

Assalamu'alaikum, sebelumnya saya mau ngasih tau, kalau cerita ini di ambil dari Kisah Nyata. Seorang adik yang harus mendampingi Kakak perempuannya yang sakit. Tapi sudah saya bumbui dengan kisah percintaan sang adik agar lebih seru, Terimakasih, Selamat Membaca..!!

_______________________

Tepat pukul sebelas siang, suara musik pesan masukku berbunyi, dan membuat aku menangis.

"[Na, hari ini Kakak jadi dirawat, dan kamu harus kesini]." Aku hanya membacanya, lalu aku kembali bekerja. Tidak lama kemudian, ponselku berbunyi lagi, kali ini nada dering telepon. mungkin karena aku hanya membacanya saja.

Aku keluar agar tidak menggangu yang sedang makan.

"Hallo, Assalamu'alaikum, " Aku mengawali percakapan dengan mengucap salam.

"Wa'alaikumsalam," Jawabnya. "Tolong ya, siapa lagi kalau bukan kamu dek," Suara sengaunya membuat gak jelas apa yang di omongin, tapi aku masih paham.

"Iya Kak, tapi aku harus kesana sama siapa? aku takut Kak " Aku mencoba mengelak. Karena jujur sebenarnya aku gak mau pergi. Entah kenapa, aku yang tidak terbiasa berinteraksi dengan orang banyak membuatku kesulitan untuk bersosialisasi. Rasa malu, takut, minder bahkan kadang mau berbicara pun sulit, apalagi lawan bicaraku orang orang berada.

"Naik Bus, nanti di kasih alamatnya," Bukan itu jawaban yang aku inginkan.Tapi semuanya tidak mungkin kalau aku tidak pergi kesana, karena hanya aku satu-satunya orang yang diharapkan.

Karena aku terus menangis jadi panggilan telepon terputus. Tidak lama kemudian, ponselku kembali berbunyi. Dan ternyata Kak Fitri yang menghubungiku.

"Hallo," Ucapku..

"Hallo Na, bagaimana? kasihan Kak Ranti harus dirawat, " Ucapnya dari seberang telepon.

"Tapi aku gak ngerti, gak ada temanuntuk pergi kesananya Kak, aku gak tahu jalan..." Tangisku seketika pecah. Aku tidak bisa membendung air mata lagi. Bersyukur keadaan Warung sedang tidak ramai jadi tidak mengganggu aktifitas kerjaku.

"Kalau gak kamu, siapa lagi Na? Tolong ya, kasihan " Suara Kakak perempuan tertuaku memohon kepadaku.

Disini aku berunding dengan majikanku juga Bu Nina yang sudah aku anggap sebagai Ibuku. Ya, aku sangat dekat dengan Bu Nina, bahkan anaknya pun selalu bilang, kalau akulah anaknya hehee, entah kenapa aku bisa sangat dekat, mungkin karena aku yang membutuhkan kasih sayang orang tua.

"Kalau gak ada temannya, atau gak di jemput jangan ya!! " Tutur Bu Nina

"Tapi Bu, aku bingung, kalau bukan aku siapa lagi?" Aku menghela nafas. Kak Ranti terus menghubungiku karena harus ada orang yang mendampingi. Di tengah kekalutan, akhirnya Bu Nina memutuskan untuk menghubungi Mas Ali.

Mas Ali adalah orang yang sangat dekat denganku, dia pernah menjadi pacarku, ahh tidak, entahlah aku menganggapnya siapa, karena sebenarnya aku tidak ada rasa sama sekali.

Berawal dari aku mendekatkan Kak Ranti dengannya, kenapa dia malah suka padaku. Padahal Kak Ranti dari segi umur tidak jauh mungkin hanya berbeda lima tahunan, sedangkan denganku bedanya hampir lima belas tahun.

Hal konyol memang, dengan alasan, kalau Kak Ranti tidak bisa melihat aslinya juga ketika di hubungi tidak merespon dan malah di cuekin. Akhirnya dia malah memilih aku. Tapi yang ku heran, kenapa aku menerimanya? Padahal sudah tau kalau dia pantasnya menjadi Om aku.

Hubunganku dengan Mas Ali sekarang sedang merenggang, lebih tepatnya, aku yang menjauh. Aku tidak ingin jatuh terlalu dalam, apalagi dia menganggap hubungan ini serius. Aku hanya tak ingin dia lebih kecewa lagi.

"Hallo, Assalamu'alaikum Mas Ali," Ucap Bu Nina setelah panggilan tersambung.

".........

" Sekarang lagi sibuk nggak?" tanya Bu Nina, untuk memastikan kalau Mas Ali ada waktu untuk mengantar aku ke tempat kakakku.

"................

"Bisa tolong anterin Hana ke kota T tidak? dia ga pernah kemana mana sendiri, Ibu khawatir," . Bu Nina terus bertanya kepada Mas Ali, sedangkan aku hanya mendengarkan di samping Bu Nina.

" Udah nanti sama Mas Ali, kamu jangan sendirian " Ucap Bu Nina setelah panggilan berakhir. Sebenarnya aku merasa gak enak harus minta tolong ke Mas Ali, tapi mau bagaimana lagi, tidak ada orang yang bisa dimintain tolong.

Setelah itu, aku pulang ke rumah untuk siap-siap dan berjanjian di rumah. Selesai berkemas aku keluar rumah dan sudah ada Mas Ali sedang mengobrol dengan saudara sepupuku Teh Sarah

" Emangnya Ranti sakit apa, Na? " Tanya Teh Sarah kepadaku.

"Tidak tahu teh, tapi bilangnya sih tidak bisa mengunyah sama tidak bisa menelan, jadi harus dirawat. " Jawabku.

Setelah perbincangan dengan Teh Sarah selesai, aku berangkat ke Terminal di bonceng oleh Mas Ali. Di perjalanan, aku hanya diam dia juga diam, Mas Ali membawa motornya sangat kencang, sampai sampai aku seperti mau terbang hehee, mau bilang jangan kencang kencang tidak bisa, apalagi kalau harus pegangan.

Sesampainya di Terminal, Mas Ali memarkirkan motornya dan menyuruh aku menunggu. " Mas tolong anterin sampai kesana." Ucapku.

Air mataku seperti mau turun lagi, kenapa mellow banget hari ini. Aku benar benar takut, kalau harus naik Bus sendirian, mungkin emang orang bilang gampang apalagi sudah ada alamat yang di tuju. Tapi tidak bagiku, orang rumahan yang tidak pernah bepergian kemana-mana, apalagi sampai naik turun kendaraan. Itu memang sifatku yang tak suka keramaian, pendiam juga pemalu.

" Iya, tunggu sebentar, aku nitipin motor dulu " Jawabnya. Kemudian Mas Ali menitipkan motornya di Penitipan Motor di sekitar Terminal.

Selesai menitipkan motor, Mas Ali pergi ke Loket untuk membeli tiket.

"Ayo, kita naik ke mobil, sebentar lagi berangkat," Ucapnya. Aku mengikutinya dari belakang. Betapa terkejutnya ketika tiba di depan Kendaraan yang super besar, aku hampir saja melongo. Aku terus mengikuti Mas Ali dan Mas Ali mempersilahkan aku untuk duduk ketika sampai di dalam Bus.

Aku duduk di dekat kaca dan Mas Ali di sampingku. Tidak lama kemudian Bus pun melaju, meninggalkan Kota B tempat ku bekerja. Aku hanya duduk tanpa bicara sedikitpun begitu juga dengan Mas Ali.

Jam empat sore, aku tiba di Terminal Kota T, dan aku harus naik motor lagi untuk sampai ke Perumahan tempat Kak Ranti bekerja. Sekitar lima sampai sepuluh menit aku tiba di depan rumah yang lumayan besar.

Kebetulan pintu garasi Rumah terbuka, aku langsung memasuki garasi rumah tersebut. " Benar ini rumahnya? " Tanya Mas Ali, yang dari tadi terus membuntutiku. Aku hanya mengangguk.

"Assalamu'alaikum ". Aku mengucapkan salam, tidak lama keluar wanita muda berkacamata.

" Apa benar ini rumahnya Bu Fatma?" Tanyaku.

"Iya benar, tapi Bu Fatmanya lagi keluar, " Jawabnya.

"Oh iya, saya adiknya Kak Ranti, " Aku memperkenalkan diri.

"Oh adiknya Mbak Ranti ya? Silahkan masuk, Mbak Rantinya lagi keluar sebentar." Ucapnya sambil mengulum senyum.

Aku mengikutinya masuk dan di arahkan ke ruang tamu. " Silahkan duduk, " Ucapnya. Akupun duduk begitu juga Mas Ali. Tidak lama kemudian, wanita berkacamata itu menghampiri lagi dengan dua gelas air putih di tangannya.

"Silahkan diminum." Ucapnya.

"Terimakasih," Jawabku.

"Oh iya, berangkat jam berapa dari sana,?" Tanyanya berbasa-basi.

"Tadi habis dzuhur, Mbak " Jawabku lagi.

"Oh, ya sudah tunggu dulu ya, sebentar lagi juga sampai, tadi sudah dalam perjalanan pulang. " Ucapnya.

Setelah wanita itu pergi, beberapa menit kemudian, terlihat sebuah mobil memasuki garasi rumah Bu Fatma, aku menengokkan kepalaku ke luar jendela. Benar saja, terlihat Kak Ranti turun dari mobil itu.

Terlihat wanita tadi menghampiri mobil itu dan berbincang dengan Kak Ranti juga wanita yang keluar dari mobil, mungkin itu majikan Kak Ranti, Bu Fatma. Setelah berbincang, terlihat Kak Ranti tergesa gesa masuk ke rumah. Mungkin wanita itu memberitahu kalau aku sudah sampai.

Bersambung...

Kondisi Kak Ranti

Terlihat wanita tadi menghampiri mobil itu dan berbincang dengan Kak Ranti juga wanita yang keluar dari mobil, mungkin itu majikan Kak Ranti, Bu Fatma. Setelah berbincang, terlihat Kak Ranti tergesa gesa masuk ke rumah. Mungkin wanita itu memberitahu kalau aku sudah sampai.

----‐-------------‐---------------------

"Na!!" Serunya, ketika sudah masuk ke dalam rumah. Aku bangun dari dudukku dan menghampirinya, lalu aku meraih tangannya dan bersalaman, kemudian Kak Ranti memelukku, dari raut wajahnya terlihat seperti ada beban pikiran yang berat.

Setelah itu, Kak Ranti bersalaman kepada Mas Ali dan pamit untuk masuk ke kamar terlebih dahulu. Tidak lama kemudian, Bu Fatma masuk dan menghampiriku.

"Adiknya Mbak Ranti ya?" Tanyanya. Aku pun bangun dan meraih tangannya untuk bersalaman. "Iya." Jawabku.

"Mbak Ranti sudah dua hari tidak bisa masuk makanan, makanya harus dirawat." Bu Fatma mulai bercerita setelah beliau duduk di depanku."Ini juga habis di rontgen dari Rumah Sakit G.." Lanjutnya.

Aku mengangguk, " Kalau sakitnya, sakit apa ya Bu? " Tanyaku.

"Sakitnya belum bisa di simpulkan dengan jelas, ada yang bilang tumor nasofaring. Makanya ini harus di rujuk ke Rumah Sakit besar di Kota J, peralatannya lebih lengkap dan harus segera dirawat karena sudah dua hari tidak bisa makan." Jelas Bu Fatma.

Setelah Bu Fatma bercerita, Mas Ali berpamitan karena hari sudah senja. Mas Ali memberiku uang senilai dua ratus ribu. "Aku tidak bisa memberi apa -apa ya, aku hanya bisa mendo'akan supaya Kakaknya cepat sembuh, ini ada sedikit untuk bekal " Ucapnya sambil menaruh uang di kantong tasku.

Aku langsung menolaknya, karena tidak enak hati. Sudah menyita waktu kerjanya, ditambah sudah mengantarkan aku sampai ke tempat tujuan. Dan, untuk ongkos mobil pun, dia yang membayarnya. Tapi Mas Ali tidak mau tahu, ia terus memaksa untuk aku menerimanya. Aku pun bisa apa dan membiarkan uang itu ditaruhnya di kantong tasku.

Lalu aku mengantarkan Mas Ali sampai ke depan rumah. " Terimakasih banyak ya Mas, mohon maaf aku sudah merepotkan " Ucapku.

" Iya tidak apa-apa, nanti terus berkabar ya." Jawabnya.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, " Hati hati di jalan " Ucapku. Mas Ali mengangguk dan berjalan meninggalkanku. Ada rasa sedih, tidak enak hati dan merasa entahlah. Aku terdiam sambil terus

melihat setiap langkah kakinya yang terus berjalan tanpa menoleh lagi, hingga akhirnya tidak terlihat lagi ketika dia berbelok.

Aku kembali masuk setelah Mas Ali benar benar tidak terlihat lagi. " Mas Alinya ke mana?" Tanya Kak Ranti. Sepertinya Kak Ranti baru saja mandi.

"Sudah pulang" Jawabku.

"Kenapa sudah pulang? Tadinya mau mengucapkan terimakasih dulu" tanya kak Ranti.

"Takut kemalaman, Kak " Jawabku lagi.

"Ya sudah, makan saja dulu." ucap kak Ranti.

Lalu kak Ranti membawaku ke kamarnya, kamar khusus untuk Asisten Rumah Tangga. Di situ juga ada ART satu lagi. setelah itu aku kembali ke ruang tamu untuk mengambil tas bajuku dan menaruhnya di kamar.

"Ayo makan dulu." ucap kak Ranti. Akupun mengikuti Kak Ranti ke ruang makan yang menyatu dengan dapur. Kak Ranti menyendok nasi juga lauk dan sayurnya yang sudah tersedia di meja makan, aku pun mengikutinya. Setelahnya aku kembali lagi ke kamar. Di situ aku melihat Kak Ranti yang kesusahan untuk mengunyah makanannya dan ketika menelannya malah tersedak. 'Ya Allah, sakit apa Kak Ranti?' Ucapku di dalam hati. Aku mempercepat makanku kemudian mencuci piring bekas makanku.

Setelahnya, aku kembali lagi ke Kamar, dan kulihat Kak Ranti sedang minum susu memakai sedotan dengan perlahan. Tapi lagi lagi susu itu keluar dari hidungnya. Aku hanya tergugu melihatnya, tapi walaupun kesusahan seperti itu Kak Ranti terlihat tegar.

"Mandi dulu aja, Na" Kata Kak Ranti.

Benar juga, badan ini terasa lengket oleh keringat, padahal di Bus tadi memakai AC. Akhinya aku mandi terlebih dahulu sampai badan ini terasa segar kembali.

Tidak lama kemudian, suara adzan magrib terdengar dari mesjid di sekitar Komplek, juga di televisi mungil di kamar Kak Ranti. Ya, aku menyabutnya televisi mungil, karena memang mungil. Entah berapa inci, karena ukurannya memang kecil dan aku baru melihatnya.

Setahuku televisi ukuran empat belas inci paling kecil, tetapi, masih ada yang labih kecil lagi di sini.

Selesai shalat maghrib, semuanya pada sibuk mempersiapkan keberangkatan Kak Ranti ke rumah sakit. Termasuk Kak Ranti, dia sibuk mengemasi bajunya ke dalam tas. "Apa!" hatiku berteriak melihat apa yang dilakukan oleh kak Ranti.

"Kenapa bawa bajunya banyak sekali Kak " Tanyaku. Kak Ranti seperti orang mau pulang kampung saja, tas yang besar di isi semua oleh bajunya.

"Tidak apa apa." Jawabnya. Aku pun tidak mempermasalahkan lagi.

"Mbak, sudah selesai belum? " Tanya Bu Fatma.

"Sudah Bu." Jawab Kak Ranti dengan suara yang sengau.

'Ya Allah, betapa banyak orang yang menyayangi Kak Ranti ' Ucapku dalam hati. Aku begitu terharu ketika melihat seorang majikan melakukan Asisten Rumah Tangganya. Beliau sangat baik, sangat-sangat baik, mengetahui ART nya sakit justru di kasih jalan menuju pengobatan yang lebih memadai. Kalau di Kampung, aku yakin mungkin Kak Ranti hanya akan diam di rumah dan tiduran, paling hanya minum obat warung.

Di Kampungku memang masih awam dengan berobat ke rumah sakit. Apalagi harus ke rumah sakit besar, itu tidak ada dalam pandangan orang di kampung, apalagi dengan kondisi keluargaku yang masuk kategori orang miskin. Bahkan ada bantuan Jaminan Kesehatan dari pemerintah juga tidak pernah di gunakan dengan alasan tidak ada biaya untuk transportasinya.

"Ini buat Mbak tidur ya." Ucap Bu Fatma. Beliau memberikan bantal dan bedcover kepadaku.

"Terimakasih banyak Bu." Ucapku. Aku menaruhnya di bagasi mobil. Setelah persiapan selesai, aku masuk kedalam mobil dan di ikuti Kak Ranti. Ada banyak tetangga yang menyaksikan kepergiaan Kak Ranti untuk ke rumah sakit malam ini. Dari mulai tetangga, para ART, juga teman teman Bu Fatma yang sudah kenal Kak Ranti. Solidaritas penduduk komplek itu sangat tinggi, bahkan sebelum berangkat tadi, temanya Bu Fatma menyerahkan donasi yang di kumpulkannya dari teman-temannya bu Fatma.

" Mbak, ini ada uang sedikit dari kami, di pegang mbaknya saja, kali, ya." Ucap seorang ibu yang sepantaran dengan bu Fatma. Aku hanya diam terpaku melihatnya karena sebelumnya aku belum pernah melihat uang sebanyak itu. "Ini jumlahnya dua juta lebih." Lanjutnya.

"Ya sudah Na, kamu yang pegang saja buat keperluan nanti." Kak Ranti menimpali. Aku tambah bingung, soalnya aku tidak pernah memegang uang sebanyak itu, gajiku saja hanya empat ratus ribu sebulan. Ya, gajiku di tempat kerjaku hanya empat ratus ribu dalam satu bulan dengan uang jajan sehari sepuluh ribu.

Akhirnya aku menerima uang itu dengan sedikit ragu, lalu aku menaruhnya di dompet. "Nitip Mbak Ranti ya Mbak." Ucap bu Fatma sebelum mobil itu meninggalkan rumah tempat kak Ranti bekerja.

Aku mengangguk dan tersenyum. 'Sungguh mulia hatimu Kak, semua orang menyayangimu' gumamku di dalam hati. Lalu bu Fatma dan beberapa teman bu Fatma memeluk kak Ranti dan memberikan dukungan bergantian sebelum mobil itu benar-benar meninggalkan rumah itu.

Hatiku lagi-lagi terharu saat mengetahui siapa yang membawa mobilnya, ternyata yang membawa mobilnya adalah suami bu Fatma yang di temani oleh suami temannya bu Fatma yqng menyerahkan uanh donasi tadi.

Mobil mulai berjalan membelah jalanan menuju Kota, suasana sangat ramai bahkan macet yang membuat perjalanan kami sedikit memakan waktu. Kurang lebih dua jam setengah kami di perjalanan, hingga akhirnya kami tiba di Rumah Sakit Umum besar di Kota J. barisan gedung mengelilinginya. Aku seperti mimpi di bawa ketempat seperti ini.

Mobil terparkir sempurna di depan IGD, kemudian suami bu Fatma dan temannya turun dan langsung menghampiri Security . Akupun ikut turun di susul Kak Ranti. Tidak lama kemudian Security membawa kursi roda untuk Kak Ranti.

Pertama yang di lakukan adalah pendaftaran ke bagian administrasi, kemudian memeriksa tensi darah dan menimbang berat badan. Setelah itu, Kak Ranti di cerca berbagai pertanyaan pertanyaan seputar sakitnya saat ini. Kemudian di bawa ke bagian THT di IGD.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!